“ M a r o n g g e l a ”
Miniatur Surga
Dari Ujung Timur Indonesia
Tentang Maronggela :
Kampung
Maronggela adalah dampak dari transmigrasi lokal atau translokasi yang sebelumnya bertempat di kampung lama
Warukia. Alasan utama terjadinya transmigrasi ini antara lain disebabkan oleh kesulitan
air minum, susahnya tumbuh bahan
makanan, dan juga jauhnya jarak dari pemerintahan kabupaten. Tetapi
dibalik itu semua lebih pada alasan politik. Warukia yang berada di dataran
tinggi meski berpindah ke lembah Maronggela.
Sejak
pembentukan desa Warukia disaat zaman penjajahan Belanda, ada dua orang yang
menduduki jabatan sebagai pemimpin adat. Salah satunya sebagai pemimpin dalam
bidang pertanian (Dor Tanak) dan pemimpin dalam urusan berburu (Dor Zat).
Selain pemimpin adat, Desa Warukia juga dipimpin oleh pemimpin Desa (Dalu) atau
yang sekarang dikenal dengan sebutan Kepala Desa.
Perpindahan masyarakat beserta fasilitas desa dari kampung lama Warukia ke desa Maronggela/Wolomeze terjadi tiga gelombang. Gelombang pertama dilaksanakan pada tahun 1985, sebagian besar masyarakat dan SDK Warukia berpindah ke kampung Maronggela. Selanjutnya gelombang kedua pada tahun 1986 Sekolah Menengah Pertama Katolik (SMPK) Fatimah Warukia dipindahkan juga ke desa Maronggela/Wolomeze. Dan terakhir pada gelombang ketiga Gereja Paroki dipindahkan pada tahun 1987 dan selesai pada tahun 1988 dengan ini menutup transmigrasi lokal yang dilakukan oleh masyarakat Warukia.
Sejak saat ini Maronggela sudah menjadi satu perkampungan legal dengan system pemerintahan yang baik namun tidak menghilangkan unsur budaya. Suku Warukia itu sendiri sebenarnya adalah komposisi/gabungan dari dua anak suku yakni Suku Retas dan Suku Poso’. Terbentukknya Warukia dan Maronggela saat ini meleburkan masyarakatnya menjadi satu. Sekat antara suku Poso’ yang dilambangkan dengan “Lalung” (ayam jantan) dan suku Retas dengan lambing “Nepang” (Naga) hilang. Gotong royong menjadi semboyan yang merasuki setiap jiwa baik dalam pemahaman maupun pada karya nyata.
Selaian kaya akan cerita masa lalu, Maronggela juga
dianugerahi berjuta pesona alam, sebagian adalah warisan kreasi budaya leluhur,
selebihnya adalah ciptaan Tuhan. Orang-orang
menjulukinya “hidden paradise”. Surga
tersembunyi. Perpaduan antara masyarakat pedesaan yang masih memelihara budaya
lokal serta ribuan bukit-bukit kecil menyejukkan mata, menjadikan Maronggela
tak ada duanya. Siapa saja yang sempat
bersinggah ke Maronggela akan susah melupakan senyuman ramah warga setempat dan
pesona indah “bukit teletubies”.
Keindahan ini butuh dilestarikan. Kesadaran warga
meski tetap diasah sehingga “sense of belonging” atau rasa memiliki terhadap
budaya dan pesona alam ini tidak pudar tergerus oleh kemajuan dunia. Lipa Tala’ (kain adat Maronggela), Sape (tas adat Maronggela), Selempang (syal adat) adalah busana khas
yang tidak tergantikan. Busana tersebut memmperkenalkan siapa itu orang
Maronggela. Bukit teletubies kebanggaan warga mestinya juga menjadi kebanggan
wisatawan.
Maronggela cocok sekali sebagai tujuan pelancong
Mancanegara ataupun wisatawan lokal pencinta alam, pemburu senja, sebab dari
Maronggela, dari kisah-kisah masa lalunya, dari bukit teletubiesnya orang akan
belajar suatu filosfi kehidupan bahwasannya, walau kecil, terlupakan namun
tetap melajit, menunjukan kebolehannya. Filosofi bulu ketek “tetap melejit
walau terjepit.
Penulis : Krisantus
Yustus
Fotografer : Ennong Gimbal