Senin, 10 Juni 2019

untuk dewy


jawaban:
11. Dasar pelukisan gambar dan rupa Allah. Oke, dalam kitab Keluaran 20: 4 memang dikatakan bahwa “"Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit atau yang ada di bumi atau yang ada di dalam air. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya". Hal ini menjadi dasar bagi orang yang menetang penggunaan patung dan gambar-gambar kudus dalam gereja. Tetap sampai sekarang kita lihat bahwa gereja katolik tetap menghormati patung dan gambar kudus, pertanyaanya apa alasan dasar? Tentu penghormatan terhadap patung dan gambar kudus itu bukanlah suatu penyembahan berhala, gambar dan patung hanyalah sarana yang menghatar umat kepada apa yang digambarkan. Misalnya patung Yesus/ Bunda Maria. Bukan patung itu yang kita sembah tetapi pribadi yang ada di balik patung, pribadi yang digambarkan oleh patung atau gambar tersebut itulah yang kita sembah. Dasarnya ialah Kitab Bilangan 21: 4-9, tentang orang Israel yang sedang di padang gurun dan dipagut oleh ular tedung, lalu Yhwe menyuruh Musa untuk membuat suatu ular tembaga, siapa saja yang memandang ular tembaga buatan musa itu akan selamat”, jadi ular tembaga buatan Musa itu adalah suruan Yahwe. Ular tembaga itu hanyalah sarana, yang disembah tetaplah Yahwe. (jika ingin lebih banyak informasi cari saja di internet tentang ikonoklasme)
22. Sebut dan jelaskan kekhasan-kekhasan Khtolik:
a.      Tanda salib (mengawali dan mengakhiri doa dengan tanda salib)
Alasannya : Tanda salib bersumber pada perayaan paskah, paskah adalah peristiwa sengsara, wafatdan kebangkitan Yesus. Salib yang awalnya dipandang sebagai tanda penghinaan kini sebagai tanda kemenangan sebab Yesus setelah dipaku pada kayu salib, wafat lalu bangkit, kebangkitan inilah tanda kemenangan. Tanda salib berarti tanda kemenangan. Meterai iman, Salib adalah meterai iman kita sebagai pengikut Kristus. Dari salib itulah mengalir darah dan air (dari lambung Yesus) yang membersihkan kita dari dosa dan menyelamatkan kita dari maut. Setiap kali kita membuat Tanda Salib ketika berdoa, kita mengenang peristiwa dimana kita diselamatkan dan dibersihkan melalui wafat Yesus Kristus di salib.Tradisi Gereja Perdana, Tanda Salib untuk mengawali doa sudah dipratikan sejak Gereja Perdana. Tradisi Gereja menjelaskan bahwa komunitas Jemaat Perdana membuat Tanda Salib dalam doa-doa mereka, ketika mereka masih berdoa berkelompok berpindah dari rumah ke rumah. Instruksi resmi dari Paus, Tradisi membuat Tanda Salib tersebut kemudian mendapat “legitimasi” pada masa Paus Inosensius III (1198 – 1216). Dialah yang menginstruksikan kepada umat Kristiani pada masa itu untuk selalu mengawali dan mengakhiri doa dengan Tanda Salib.
b.     Sikap Tubuh: Berlutut dan Menunduk Dalam misa, ada saat-saat dimana umat diminta untuk berlutut (biasanya saat membaca doa), dan menunduk (pada bagian pujian Kemuliaan, akhir Prefasi saat menyebut “Kudus, kudus, kudus”, dan pengakuan “Anak Domba Allah”). Kedua sikap ini sebetulnya menunjukkan bagaimana kita merendahkan diri kita di hadapan Tuhan, terutama saat mengajukan permohonan (doa).
c.       Misa. Ibadah Katolik yang paling utama adalah misa. Umumnya, misa diadakan tiap hari, yang disebut “Misa Harian”. Misa kudus atau misa besar diadakan setiap hari Minggu. Misa merupakan bentuk ibadah yang hubungannya paling dekat dengan iman dan kepercayaan umat Katolik. Setiap hari Minggu (sering disebut Hari Tuhan), umat Katolik datang ke gereja untuk mendengarkan sabda Tuhan yang disampaikan oleh pastor, dan menerima sakramen Ekaristi / komuni kudus. Pastor diyakini mewakili Kristus pada sakramen Ekaristi. Pastor memimpin liturgi (suatu urutan doa), kemudian umat yang sudah dibaptis dan menerima Komuni pertama berbaris untuk menerima Hosti (roti tak beragi, dilambangkan sebagai tubuh dan darah Kristus) yang dibagikan oleh Pastor dan prodiakon. Dalam misa, sikap tubuh yang telah diatur sedemikian rupa seperti berdiri, bernyanyi, berlutut, membuat tanda salib dan lainnya ditujukan untuk membuat efek “bersatu” bagi setiap umat yang beribadah. Bagi umat Katolik, mengikuti misa kudus mempengaruhi keseharian mereka. Banyak umat Katolik yang merasa lebih tenang dan lebih dekat dengan Tuhan setelah mengikuti misa. Seringkali, setelah misa diadakan kegiatan amal, bakti sosial, atau rekreasi ke alam bebas.
d.      Doa Harian. Doa harian yang dilakukan umat Katolik sangat beragam, tergantung waktu (misalnya doa sebelum makan, doa sebelum tidur) dan kepentingannya (doa waktu sakit, doa sebelum ujian, doa pertobatan). Doa-doa tersebut dapat dilihat di buku Puji Syukur. Tetapi, doa yang paling sering diucapkan oleh umat Katolik adalah doa Bapa Kami, Salam Maria, dan Kemuliaan. Ketiga doa tersebut disebutkan dalam misa, juga dalam doa Rosario.
e.       Doa Rosario. Doa Rosario adalah kumpulan doa yang kebanyakan diambil dari Alkitab dan dipraktekkan oleh semua umat Katolik di seluruh dunia. Doa Rosario dilakukan sebagai wujud devosi kepada Perawan Maria. Umat Katolik biasanya melakukan doa ini sambil memegang Rosario (rangkaian untaian manik-manik atau biji-bijian dengan salib di ujungnya), setiap manik-manik mewakili 1 doa. Kata “rosario”, yang diambil dari kata “rose” atau mawar, adalah simbol Perawan Maria dan setiap doa yang disebutkan (baik dengan suara keras atau pelan) artinya menaruh satu kuntum mawar di kaki Bunda Maria. Menyelesaikan satu rangkaian Doa Rosario artinya mempersembahkan satu mahkota mawar kepada Bunda Maria. Doa-doa yang dipakai dalam Doa Rosario adalah Bapa Kami, Salam Maria, dan Kemuliaan.
f.       Doa Novena. Kata Novena diambil dari bahasa Latin “Nove”, artinya “sembilan”. Doa ini dilakukan 9 kali berturut-turut, disertai permohonan yang diinginkan. Jenis Doa Novena bermacam-macam, yang paling sering dilakukan adalah Novena Salam Maria (mengucapkan 3 kali doa Salam Maria kemudian dilanjutkan dengan mengucapkan permohonan yang diinginkan), dan Novena Orang Kudus (meminta perantaraan Santo-Santa pelindung untuk menyampaikan doa kepada Allah). Umat Katolik sering melakukan doa Novena saat sedang ditimpa masalah. Seringkali, doa Novena disertai dengan puasa. Doa Novena dipercaya dapat mengabulkan keinginan / permohonan si pendoa. Tentunya, keinginan / permohonan tersebut harus yang baik-baik, tidak boleh merugikan orang lain.
3.     Bagaimana mengatur atau penataan umat Allah dalam Gereja Katolik.

43. Bagaimana pendapat anda berkaitan dengan gereja katolik dan katolik ortodoks?

Antara gereja Katolik Roma dan Katolik Ortodok terdapat banyak kesamaan namun ada juga perbedaan, inilah perbedaannya yaitu :
a.      Pandangan tentang kodrat Yesus, dalam Gereja Katolik Roma setelah konsili kalsedong meyakini bahwa Yesus itu seratus persen Allah dan seratus persen manusia. Sedanag Ortodoks tidak mengakui dua kodrat Yesus ini.
b.     Otoritas Paus hanya diakui dalam gereja Katolik Roma sedangkan gereja Katolik Ortodoks tidak akui itu.
54. Apa perbedaan doktrin yang sangat khas antara Protestan dan Katolik?

6.     Buktikan gereja mana yang paling alkitabiah?
7.     Mengapa gereja Katolik jauh lebih/ melebihi organisasi masa?
8.     Mengapa ekaristi disebut perayaan yang paling sacral?
9.     Apa sifat dasar dan utama kehadiran Yesus dalam ekaristi?
10.  Apa saja sifat gereja dan jelaskan penjelamaan sifat itu dalam kehdupan keluarga.

Rabu, 05 Juni 2019

Makna dan Nilai Pintu Pazir Pii Pato



MAKNA DAN NILAI TUTURAN PINTU PAZIR PII PATO
DALAM MASYARAKAT MARONGGELA



Oleh,

Krisantus Yustus  : 611 15 005


Fakultas Filsafat
Universitas Katolik Widya Mandira
Kupang
2016


BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang  
Kesatuan masyarakat disebut sebagai satu kelompok etnik jika memiliki kesamaan asal-usul/ sejarah, agama, budaya, dan kesamaan bahasa daerah. Unsur-unsur penciri etnik ini dapat dikaji untuk memperoleh gambaran mengenai nilai-nilai yang dianut yang menuntun perilaku mereka. Salah satu unsur yang menjadi penciri etnik  ialah bahasa. [1]
Dalam defenisi lain mengatakan bahwa secara abstrak, kebudayaan terdiri dari serangkaian ciri-ciri yang menandai suatu masyarakat maupun bentuk-bentuk ungkapannya dalam seni, sastra (bahasa), sistem symbol, sains, teknologi, filsafat, moralitas, agama dan sebagainya yang mengarah energi manusia ke arah perwujudan ciri-ciri yang menandai masyarakat tersebut.[2] Dalam ciri yang terungkap ini kemudian juga akan tertampak nilai-nilai yang menjadi alasan mengapa suatu kebudayaa tetap terjaga.
       Dari  kedua defenisi di atas kita bisa menarik suatu pengertian bahwa kalau kita berbicara tentang budaya dan nilai-nilai yang terkandung dalamnya berarti kita berbicarara tentang bahasa juga. Hubungan bahasa dan budaya ini dipertegas oleh White dan Dillingham, “Language is a part culture; the science of linguistics is subdivision of culturlogy”. Pengertian ini tidak hanya menyiratkan hubungan antara bahasa dan budaya, tetapi juga antara ilmu bahasa dengan ilmu budaya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, baik secara empirik maupun secara teoretis, bahasa dan budaya memiliki hubungan ketercakupan. Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan.[3] Bahasa adalah jelmaan kebudayaan.
       Orang Maronggela memperlihatkan ciri-ciri keetnikan yang ditandai oleh kesatuan unsur-unsur budaya. Salah satu unsur yang menjadi penciri etnik Maronggela ialah bahasa daerahnya. Bahasa dan budaya tak bisa terpisahkan. Dalam menjalankan fungsinya sebagai alat komunikasi, pemakaiannya merefleksikan pandangan penutur atau pemakai tentang (terhadap) apa yang dituturkan. Bahasa secara fungsional tidak hanya sekedar alat komunikasi, tetapi juga sebagai sarana berpikir yang sangat penting artinya dalam kebudayaan masyarakat Maronggela. Atas dasar itulah bahasa daerah Maronggela kemudian dipandang sebagai inti kebudayaan pada masyarakat Maronggela.
       Masyrakat Maronggela sebenarnya memakai bahasa  Riung dialeg Maronggela. Namun karena dipengaruhi oleh berbagai alasan  terutama alasan politis yaitu dengan pembagain kampung dan mekarnya kecamatan maka masing-masing kampung mengklaim bahwa bahasa yang mereka gunakan dalam percakapan seharian mereka dalam etniknya  adalaha bahasa daerah mereka sendiri, demikian juga masyarakat Maronggela. Data ini dapat kita buktikan di lapangan  bahwa selain bahasa Riung dialek Maronggela ada juga bahasa Riung yang dialek lain seperti bahasa Riung dialek Wangka, bahasa Riung dialek Mbarungkeli, Bekek dsb.
Disamping  sebagai alat komuniksi dan sebagai sarana berpikir, bahasa daerah Maronggela sebenarnya juga sebagai sarana untuk menggambarkan identitas dan eksistensi penutur sebagai seorang Maronggela. Disaat seseorang berbicara dalam bahasa Maronggela berarti dengan sendirinya kita mengenal bahwa dia adalah orang Maronggela. Kalaupun ada orang lain yang bukan dari dalam daerah namun dia berbahasa daerah, tetap berarti dia masih memiliki hubungan dengan daerah tersebut. Dalam hal ini ialah Maronggela.
Suatu fenomena yang menimpa masyarakat Maronggela saat ini yaitu ketika orang sudah jarang menggunakan bahasa daerahnya sendiri dalam komunikasi seharian mereka antar sesama anggota etnis. Hal penyebab fenomena ini terjadi karena pengaruh bahasa Indonesia yang mendominasi percakapan masyarakat. Hal ini sejalan dengan rumusan uangkapan Frans Dahler Eka Budianta dalam pengamatannya tentang bahasa nasional kita mengatakan bahwa, dewasa ini, bahasa telah mencapai tingkat abstraksi yang tinggi. Perbendaharaaan kata makin banyak, penyebaran bahasa Inggris secara agresif. Di beberapa masyarakat, orang mulai merasakan ekses-ekses negatif dari kejenuhan bahasa, karena bahasa yang dulu timbul dalam fungsi untuk mewakili dan melambangkan kenyataan, atau dengan kata lain menggambarkan identitas dan eksisitensi sekarang malahan menjadi tabir penghalang antara manusia dengan kenyataan-kenyataan itu sendiri.[4]  
Peneliti merefleksikan dalam relevansinya dengan masyarakat Maronggela bahwa orang Maronggela tidak mau hanya mengetahaui bahasa daerahnya sendiri dan bahkan tida mau menggunakannya lagi karena dia akan kesulitan dalam berelasi dengan orang–orang luar etnis dan juga susah untuk menerima berbagai kebijakan pemerintah yang notabene menggunakan bahasa Indonesia sebagai saran pelancar informasinya. Sementara kalau kita amati perkembangan penduduk di Maronggela setiap tahunnya meningkat disamping karena ada kelahiran baru terus tetapi yang paling terasa ialah adanya perpindahan  orang-orang dari luar etnis yang bukan masyarakat lokal dan menetap di Maronggela dengan berbagai alasan sebagai pegawai, pedagang atau karena terikat suatu perkawinan dsb. Nah, dalam kegiatan komunikasi dengan mereka  mau takmau orang Maronggela harus menggunakan bahasa Indonesia. Ada juga hal lain yang memepengaruhi berkurangnya penggunaan bahasa daerah Maronggela ialah  dari kalangan orang-orang terpelajar di Maronggela yang cendrung menggunakan Bahasa Indonesia dan dianggap tidak asing lagi dan berubah menjadi baahsa bersama yang akhirnya mendesak  dan perlahan menghapus bahasa daerah. Sehingga jangan heran kalau saat ini bahasa daerah suda dinomor duakan, bahkan sampai dalam percakapan keseharian orang Maronggela dengan sesama orang Maronggela. Dengan ini identitas orang Maronggela dipertanyakan.
 Bahasa tidak hanya  sebagai perwakilan eksistensi penggambaran identitas penutur  tetapi juga simbol interaksi.[5] Pada tempat ini peran bahasa sangat terasa, seperti yang Paul Recourd ungkapkan dalam hermeneutikanya yang memandang teks sebagai mediasi. Teks entah lisan atau tulisan sebagai mediasi antara aku dengan diri sendiri yang disebut refleksi, sebagai mediasi antara aku dan dunia yang dinamakan refrensi dan mediasi antara aku dan sesama sebagai komunnikasi. Teks hanya bisa dikatakan sebagai mediasi hanya apabila bahasa ada. Teks yang dilengkapai dengan bahasa ini dipandang sebagai mediasi yang kemudian menghantar orang pada relasi. Kalau kita rumuskan sebagai berikut mula-mula ada aksi (inisiatif individu) aksi ini merangsang reaksi dari lawan bicara. Aksi dan reaksi dilakukan secara terus menerus itulah yang dinamakan interaksi. Interaksi yang akrab kemudian melahirkan relasi.
Relasi yang dibangun baik dengan diri sendiri, sesama dan dunia dengan teks sebagai mediasi ini telah ada dalam masyarakat Maronggela. Tetapi ada satu relasi yang dibangun di etnik Maronggela yang belum Paul Recour ulas dalam hermenuetikanya yaitu relasi antar masyarakat etnik maronggela dengan Wujud Tertinggi. Relasi ini nyata dalam bagi orang Maronggela dalam doa–doa adatnya yang disebut sebagi Pintu Pazir.
Orang Maronggela sebagai sebuah komunitas budaya memiliki pandangan-pandangan kolektif atau bersama mengenai ha-hal yang dipandang baik dan bernilai, juga ha-hal yang dipandang buruk. Dikotomi baik dan tidak baik merupakan perwujudan nilai. Hal ini secara saksama tersirat di balik pemakaian bahasa Maronggela, terutama bahasa-bahasa adat dan bahasa ritual. Setiap komunitas memiliki pandangan yang bersifat khusus intraetnik dan yang bersifat universal antaretnik. Pandangan yang bersifat universal ini antara lain berkaitan dengan esensi keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya, dan antara manusia dengan lingkungan alamnya. Hubungan ini yang dalam konteks pemaknaan disebut sebagai makna religius, makna sosiologis, dan makna ekologis. Hubungan yang merefleksikan keseimbangan dimaksud merupakan esensi dari pewarisan budaya etnik antargenerasi. Pewarisan ke generasi berikut (regenerasi) mutlak dilakukan guna pemertahanan nilai budaya etnik. Keseimbangan dan keharmonisan hubungan tersebut terdapat juga di dalam masyarakat Maronggela. Salah satu sarana pemeliharaan dan pemertahanan hubungan dimaksud berupa upacara adat ataupun ungkapan-ungkapan yang dijadikan pedoman hidup. Ungkapan verbal yang menjadi fokus bahasan dalam tulisan ini ialah tuturan Pintu Pazir Pii Pato.[6] Fokus analisisnya ialah makna dan nilai yang terkandung di dalam tuturan ritual tersebut. Makna dan nilai itu merupakan sebagian dari pandangan orang maronggela tentang Wujud Tertinggi yang dibahasakan secara teleologisnya ialah Tuhan,juga tentang leluhur, dan tentang manusia. Tuhan, agama, dan manusia merupakan konsep universal dalam setiap agama dan aliran kepercayaan. Semua agama mengajarkan hubungan antara ketiganya disertai keyakinan bahwa Tuhanlah pencipta alam semesta, manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, dan agama adalah sarana yang memungkinkan berlangsungnya hubungan antara manusia dengan penciptanya. Atas dasar itulah maka manusia disebut sebagai homo religious dan homo socious. Jika demikian, maka pengungkapan makna dan nilai di balik tuturan Pintu Pazir Pii Pato merupakan upaya penting. Hal ini dimaksudkan untuk mempertahankan dan memberdayakan kekayaan budaya tradisi orang Maronggela yang berorientasi pada penguatan nilai-nilai kehidupan dalam dimensi “kini” dan “nanti”. Tindakan budaya semacam inilah yang harus dikupas secara komprehensif untuk memenuhi proposisi bahwa kehidupan kini harus lebih beradab daripada kehidupan sebelumnya, dan yang akan datang harus lebih beradab daripada kehidupan saat ini.

1.2  Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang di atas maka beberapa rumusan masalah yang terungkap dalam bentuk pertanyaan berikut menjadi penuntun dalam proposal penelitian ini. Adapun hal-hal yang dipermasalhkan ialah :
1)     Bagaimana Gambaran Umum Maronggela ?
2)     Bagaimana Pintu Pazir Pii Pato dipraktekkan?
3)     Apa sajakah nilai yang tersirat di balik makna tuturan ritual Pintu Pazir Pii Pato dalam masyarakat Maronggela?

1.3  Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah dan latar belakang yang telah dibahas di atas maka penyusunan proposal  ini dibuat dengan tujuannya ialah sebagai berikut:

1)     Menemukan dan memberikan makna bahasa tuturan ritual Pintu Pazir Pii Pato dalam  masyarakat Maronggela ?
2)     Mengidentifikasi dan memerikan sajakah nilai yang tersirat di balik makna tuturan ritual Pintu Pazir Pii Pato dalam masyarakat Maronggela?

1.4  Manfaat Penelitian

1)      Sebagai sumbangan bagi Universitas Katolik Widya Mandira Kupang pada umumnya dan Fakultas Filsafat pada khususnya dalam konteks mengenal budaya asli orang Maronggela teristimewa aspek bahasa yang dalam proposal ini diteliti dalam syair adat Pintu Pazir Pii Pato, sekaligus menggugah hati para mahasiswa untuk menggali budaya yang terdapat di daerahnya masing-masing dan menelaahnya menurut disiplin ilmu yang didapatkannya. (bagi FFA)
2)     Para seminaris atau para calon imam boleh mendapatkan sekedar inspirasi dari penelitian ini, demi persiapan diri menjadi pemimpin iman yang mengenal keunikan dan latar belakang  umat teristimewa aspek bahasa karena itu yang menentukan siapa mereka. (bagi para seminaris)
3)     Sebagai sumbangan bagi orang Maronggela, agar mereka semakin cinta akan bahasa daerahnya yang ternyata mengandung berbagai makna dan nilai, baik nilai religius maupun nilai sosial dan juga sebagai simbol interaksi baik yang vertikal, dengan yang Transenden maupun yang horizontal, dengan sesama manusia.
4)     Dapat membantu peneliti sendiri untuk semakin mengenal warisan budaya masyarakat Maronggela serta melatih diri untuk merefleksi fenomen-fenomen kemasyarakatan secara ilmiah.



BAB II
KAJIAN TEORETIS

2.1 Gambaran Umum Tentang  Maronggela
2.1.1Orang Maronggela
Sebuah pepatah berbunyi ”tak kenal maka tak sayang”. Pengandaianya ialah nahwa rasa sayang timbul hanya jikalau kita mengenal siapa atau apa yang kita sayangi. Proses mengenal adalah suatu proses yang menjangakua sekadar mengetahui. Saya mengenal seseorang nilai rasanya lebih dalam  daripada sekedar saya mengetahui seseorang.
Dalam proposal ini,Maronggela dala arti etnis kultural dan dalam arti politis. Secara politis orang Maronggela adalah masyarakat yang berasal dari atau tinggal di kampung Maronggela Desa Wolomeze, Kecamatan Riung Barat Kabupataen Ngada. Sedangkan dalam arti etnis cultural, orang Maronggela adalah masyarakat yang tinggal atau berasal dari wilayah budaya Maronggela.
2.1.2Asal-Usul Orang Maronggela
 Mengetahui asal usul orang Maronggela ada dua sumber yang dipakai  Pertama  dari penelitian Antropolog Biljmer  mengatakan bahwa “suku yang berada di Pulau Flores, yaitu di Kabupaten Manggarai dan Riung di Kabupaten Ngada memilliki ciri-ciri fisik yang menunjukan bahwa mereka lebih dekat ke ciri-ciri  suku Deutro Melayu daripada suku-suku lain di Flores yang lebih dekat ke ciri suku Proto Melayu yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia.[7] Maronggela termasuk bagian dari Riung.
Pendapat  ini didukung oleh Paul Arndt, SVD. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa “ hanya orang Riung, yang terletak di sebelah  utara dari Ngadha dan Nagekeo, sepertinya bagian dari Manggarai. Kemiripan Riung dan Manggarai ditunjukan oleh bentuk perkampungan yang terdiri dari rumah-rupmah bernbentuk bulat dengan atap berbentuk kerucut, dan yang lain lagi rumah bersudut siku-siku. Bentuk rumah dan atap seperti itu hanya kita jumpai di Manggarai. Di beberapa kampung dapat dijumpai  kedua bentuk  rumah tersebut, sedangkan di kampung Warukia (sekarang Maronggela) dapat dijumpai tiga bentuk rumah.[8]  
Kedua dari cerita rakyat yang berkembang di daerah tersebut, mengisahkan bahwa : orang Riung berasal dari pulau Palue. Orang –orang Palue punya hobi  berburu.  Mereka berburu ke berbagai daerah yang memungkinkan mereka mendapat hasil buruan yang banyak. Sampailah mereka ke suatu tempat yang namanya Wolomeze. [9]  Melihat  tempatnya bagus dan padangnya masih menyembunyikan banyak binatang buruan, para pemburu memutuskan untuk menetap.  Inilah cikal bakal lahirnya Riung. Dari Wolomeze kemudian pecah ke dua daerah baru.   Daerah pertama,Wolomeze kemudian menyebar ke Namut, ke Denatana, ke Wanga dan sampai di Lenkosambi. Daerah kedua,Wolomeze menyebar ke Retas, dari Retas ini mnyebar lagi ke Warukia, sampai Wate dan berakhir di Mbarungkeli. Kampung-kampung ini  yang kemudian membentuk suatu etnis yaitu etnis Riung. Etnis Riung dulu terselimut dalam satu kecamatan. Karena penduduk semakin bertambah maka kecamatan Riung mekar menjadi tiga Kecamatan yaitu kec. Riung (di pesisir pantai), kec. Riung Barat (pedalaman, berbatasan langsung dangan kab. Manggarai Timur), kec. Wolomeze (dekat kec. Soa).[10]
2.1.3       Keadaan Geografis
Maronggela adalah nama sebuah kampung yang terletak di Desa Wolomeze, Kecamatan Riung Barat, Kabupaten Ngada, Propinsi Nusa Tenggara Timur, dengan batas wilayahnya ialah; sebelah barat berbatasan langsung dengan kampung Nampe, Desa Wolomeze 1,sebelah timur berbatasan dengan kampung Munting Desa Ngara, sebelah selatan dengan kampung Namut Desa Wolomeze II dan kampung Damu Desa Benteng Tawa.
Daerah Marongggela rata-rata terdiri atas bukit dan lembah yang memungkinkan orang-orangnya bisa menaruh harapan hidup.
2.1.4       Iklim

Seperti daerah-daerah lain di Riung Barat, Maronggela juga mengenal dua musim dalam setahun yaitu  musim kemarau dari bulan Mei sampai dengan oktober, dan  musim hujan dari bulan November sampai April. (dalam Bolong dan Sungga,1999 :19).
Suhu rata-rata di daerah pegunungan pda musim hujan berkisar sekitar  antara 20 ͦ C  sampai 29 0 C, dan pada musim panas antara 28 ͦC sampai 32 ͦ C. Sedangkan di daerah pantai, suhu udara pada musim hujan rata-rata  260 C sampai  30 ͦC dan  pada musim kemarau rata-rata 29 ͦ C sampai 34 ͦ C.[11]

2.1.5       Kebudayaan
Kata kebudayaan berasala dari kata Sansekerta, yaitu buddahyah sebagai bentuk jamak dari buddhi atau akal. Menrurt E.B. taylor
2.1.5.1 Bahasa Maronggela
Menurut Andre Martinent “bahasa adalah sebuah alat komunikasi untuk menganalisis pengalaman manusia, secara berbeda di dalam setiap masyarakat, dalam satuan-satuan yang mengandung isi semantis dan pengungkapan bunyi, yaitu monem. Pengungkapan bunyi tersebut pada gilirannya diartukulasikan  dalam satuan-satuan pembeda dan berurutan, yaitu fonem, yang jumlahnya tertentu dalam setiap bahasa, yang kodrat maupun kesalingterkaitannya berbeda juga di dalam setiap bahasa.[12]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahasa diartikan sebagai “ suatu sistem lambang  bunyi  yang abitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Bahasa Indonesia adalah gabungan dari berbagai bahasa daerah di seantero Nusantara ini, selain berasal dari bahasa Melayu dan bahasa Sansekerta.
Defenisi lain dari bahasa adalah sebagai sebuah sistem komunikasi yang membuat manusia dapat bekerja sama. Defenisi ini menekankan fungsi sosial dari bahasa, dan fakta bahwa manusia menggunakannya untuk mengekspresikan dirinya sendiri, dan untuk memanupulasi obeyk dalam lingkungannya.  
Ada dua bahasa yang digunakan dalam keseharian hidup orang Maronggela. Bahasa Indonesia dan bahasa Maronggela sendiri. Bahasa Indonesia dipakai untuk kepentingan komunikasi dengan orang dari luar etnis, juga dipakai pada saat-saat resmi. Sedangkan bahasa daerah digunakan bagi sesama anggota etnis, dalam komunikasi harian mereka maupun dalam ritus keagamaan serata upacara adat. BahasaMaronggela berfungsi sebagai alat ekspresi seni (pantun, peribahasa), sebagai bahasa adat dan sebagai  bahasa doa.
Bahasa Maronggela berbeda dialeknya dengankampung-kampung lain di daerah Riung Barat atau etnis Riung secara keseluruhannya.  Secara umum dapat dikelompokkan menjadi sepuluh daerah,  yang dapat ditemukn di etnis RIung; dialek Maronggela dan Muntin, Wate dan Ria, Teong dan Nampe, Terong dan Rawuk,  Wangka, Riung, Mbarungkeli,  Bekek, Lengkosambi, Mbazang dan Damu, dan Turaloa.
Bahasa Maronggela dengan dialek-dialeknya itu, selain digunakan sebagia bahasa pergaulan, juga sebagai simbol berupa pantun atau peribahasa, ada juga dalam bentuk kata-kata bijak tertentu berupa  puisi  yang syarat makna dan hanya digunakan dalam seremonial adat atau ritus keagamaan. Adapun contoh kata-kata bijak seperti yang diterangkan oleh P.Bertolomeus Bolong dalam bukunya, Tuhan dalam Pintu Pazir.
2.1.5.2 Struktur Sosial
Struktur sosial yang dimaksud ialah struktur kekuasaan orang Maronggela. Pemegang kekuasaan tertinggi ialah Ulu Golo (Kepala suku, pemimpin tertinggi di kampung Maronggela), yang menempati tingkat ke dua ialah Ga’en Wongko’(pemuka masyarakat), satu tingkat di bawahnya ialah yang disebut Gelarang (wakil dari Ulu Golo)[13]. Adapun juru bicara dalam kampung Maronggela itu disebut Pabisara. Satu tingkat dibawah Pabisara disapa sebagai Dor (jabatan ini biasa dipegang oleh orang yang mengetahaui masalah pertanahan dan  memahami adat serta budaya dalam suku. Dor juga yang bertugas untuk mengatur jadwal tahaunan di kampung Maronggela, misalnya kapan Ghan Weton[14], kapan Larik dan berbagai acara adat lainnya.
Ada pemegang kekuasaan di bawah tingkatan dor yaitu berambang, arti harafiahnya ialah dada. Dialah selaku badan keamanan kampung. Berambang kalau dalam Negara kita sama dengan polisi atau tentara. Kemudian ada tingkat berikut ialah tangan onar. Dia bertugas sebagai ahli nujum. Meramal tantang musim dengan melihat tanda-tanda bintang atau bulan. Ada paetugas kesehatan dalam eetnis Maronggela itu disebut sandi wne’- rbo. Tugasnya seperti dokter bisa mendetksi atau menganalisis sakit-sakit yang diderita oleh aggota suku. Dalam kegiatan kerja ada yang menjadi pembaginya dan juga pengamat serta vasilitataor pekerjaan itu yang dinamakan Punggawa. Dia tugasnay sebanding dengan ketua sub dalam proyek-proyek. Punggawa dipilih bukan berdasarkan suatu musyawarah suku namun langsung ditentukan oleh kepala suku. Selain punggawa yang dipilih  langsung oleh ulu golo ada juga badan pengaman kampung yang lain yang disebut ngawas ata, dia semacam FBI dalam bangsa Amerika. Tugasnya sebagai suatu agen rahasia yang memata-matai musuh dari luar etnis.dan tingktana yang paling bawah dalam etnis Maronggela disebut woe golo/woe wongko. Mereka adalah rakyat jelata. Para pendatang dari luar etnis juga masuka dalam golonagan ini.

2.1.5.3 Sistem perkawinan
Masyarakat Bajawa dalam hal ini yang beretnis Bajawa memiliki sistem perkawinan matrilinear
Orang Maronggela megenal sistem perkawinan patrilinear, artinya menurut garis keturunan bapa. Hal ini yang menyebabkan anak perempuan selalu dinomorduakan di Maronggela. Yang memegang

2.1.5.4 Agama
Agama adalah fakta sosial yang ditemukan pada hampir semua kelompok masyarakat.
Orang Maronggela (penduduk asli) semua beragama Kristen Katolik. Jika aada yang beragama non Kristen itu pendatang.  


2.2 Arti Dan Praktek  Pintu Pazir Pii Pato Dalam Masyarakat Maronggela
2.2.1 Arti Pintu Pazir Pii Pato
a) Arti Pintu Pazir
Secara nominal, Pintu Pazir terdiri dari dua kata. Pintu brarati perkataan atau sabda yang mengandung atau mangungkapkan harapan. Kata Pazir berarti keselamatan atau kebahagiaan.  Dengan  itu, Pintu Pazir merupakan perkataan yang menyelamtakan, dalam arti  bahwa kalau pesan, gagasan yang serta ajaran yang   terkandung  dalam Pintu Pazir ini diikuti serta dihayati oleh para pewarisnya maka akan mendatangkan keselamatan atau kebahagiaan hidup lahir batin (sekurang-kurngnya di dunia ini).[15]
Pintu Pazir sebenarnya  ungkapan kepercayaan orang Riung terhadap wujud tertinggi.  Ini adalah kata –kata keramat leluhur dalam bentuk doa, sebagai ekspresi pikiran dan hati mengenai Mori (Tuhan) atas perannya dalam kehidpan  manusia, dan diwariskan secara turun temurun. Sebagai suatu warisan Pintu Pazir tentu sarat  makna. Terdapat nilai kebenaran, kebaikan, keinsafandan kekuatan tersendiri, demi kebahagiaan manusia pewarisnya, baik secara individual maupun sosial.
Selain
b)  Arti  Pi’i Pato
Secara etimologis Pii Pato terdiri dari dua kata, yakni Pii dan Pato. Pii artinya nama dn Pato artinya pemberian(nama). Kedua kata tersebut merupkan padanan mempertegas makna. Pintu Pazir Pii Pato merupakan jenis  pintu pazir yang didoakan pada ritus pemberian nama bagi seorang bayi.
2.2.2 Praktek Pintu Pazir dalam Masyarakat Maronggela
Upacara Pii Pato dilaksanakan hari kelima setelah kelahiran bayi, bertempat di rumah orang tua bayi. Pada awal ritus pemberian nama , bapa atau  nenek dari bayi bersangkutan mngucapkan Pintu Pazir ini. Korban yang diperlukan  seekor babi dan ayam, serta seberkas sirih pinang .  Dengan adanya nama bagi sang bayi maka sang bayi secarah resmi diterima dalam lingkungan sukunya.
Tujuan dari Pintu Pazir jenis ini adalah meminta Mori Kraeng[16] untuk merestui nama sang bayi dan memohon kepadanya agar anak itu memperoleh umur yang panjang, sehat lahir batin, memperoleh kemurahan hidup, dan kelak menjadi manusia yang baik dan berguna bagi keluarga dan sukunya.
2.2.3 Untaian Pintu Pazir Pii Pato
Ø  Bahasa aslinya :
O Mori Kraeng                                                                                                                                          Raza meze                                                                                                                                      Mori ata nai lawe                                                                                                                                Mori ata dia                                                                                                                                       Kau ata mbolok kami                                                                                                              Mori pae sengkar mbear kami
Kami paro elang
Kami paing sombang lone Kau
Kami paing kempe panggang anak kendo
Kempe puti  mbore angin sat
Raza ata nai moghas
Raza ata nai meze
Zaga anak kendo
Ziu nggi lawe weki dia ngalit                                                                          

Lezong kendo kami pii pato                                                                                                     Kami ko ziu nglit ziu anak kendo                                                                              

 Lezo lima taun kia manga lonto tana                                                                                     Kia zari le Nggau                                                                                                                      Kau bot ngalit anak kendo                                                                                           Lengkang muzin awan zaa laza teto                                                                                       Muzin awan more lawe                                                                                                             Zari ata laki mosa                                                                                                              Ndirung tikus logo welong                                                                                                   Sa, zua,  telu,  pat, e….. lima.

Mori ata ndong kita
Sanggeng-sanggen pinga le Nggau
Mori ata pae rani rintong
Mori ata nai mbalung
Zaga weki ngalit nggia
Neang wena lezong kendong
Saing wi muzi awan. [17]

Ø  Arti harafiahnya :[18]

            O Mori Kraeng
            Raja Besar
            Mori yang hati baik
            Mori yang bijak
            Kau yang mempersatukan kami
            Mori tidak bongkar bangkir kami
           
                        Kami beri Engkau
                        Kami minta ampun dalam Engkau
                        Kami minta lindung anak ini
                        Lindung dari suanggi setan
                        Raja yang hati cinta
                        Raja yang hati baik
                        Jaga anak ini
                        Beri dia baik badan baik sembuh nama
           
            Hari ini kami pii pato (pesta pemberian nama)
            Kami mau kasi nama anak ini
            Sudah lima hari dia ada di atas tana
            Dia dijadikan olehMu
            Engkau mnyetujui nama anak ini
            Supaya kemudian nanti jangan sakit
            Kemudian nanti hidup baik
            Jadi orang kaya raya
            Umur panjang
            Satu, dua, tiga, empat, e.....lima.

                        Mori yang pegang dia
                        Semua-semua terserah Engkau
                        Mori yang tidak mara-mara
                        Mori yang hati lembut
                        Jaga badan nama dia
                        Sejak ini hari
                        Sampi salamanya.
                       
Ø  Terjemahan yang sudah diinterpretasi :

            O Mori Kraeng
            Raja yang agung
            Engkaulah yang baik
            Engkaulah yang  bijaksana
            Egkaulah  engkaulah yang mempersatukan kami
            Tuhan tidak mencerai-beraikan kami
.
Kami persembahkan kepada-Mu
Kami mohon ampun pada-Mu
Kami mohon perlindungan bagi anak ini
Dari segala nafsu setan
Raja Mahacinta
Raja Mahamurah
Jagalah anak kami
Berilah dia keselamatan lahir batin.
            Hari ini kami rayakan (pesta pemberian nama)
Kami memberi nama bagi anak ini
            Sudah lima hari dia berada di atas dunia ini
            Engkaulah yang menciptakannya
            Restuilah nama anak ini
            Agar di kemudian hari dia bebas dari derita
            Hidupnya sejahtera
            Menjadi orang yang berguna
            Berumur panjang
            Satu, dua, tiga, empat, e………lima.
            `          
Tuhanlah yang menguasai dia
                        Segala sesuatu adalah kehendak-Mu
                        Tuhan itu Mahamurah
                        Tuhan itu lemah lembut
                        Sertailah dia
                        Mulai hari ini
                        Da sepanjang hidupnya.

2.3 Makna Dan Nilai  Bahasa Dalam Ritual Pintu Pazir Pii Pato
Makna artinya sesuatu yang dinyatakan oleh suatu kalimat. Ada defenisi lain yang mengartikan makna sebagai pertautan antara unsur-unsur dalam suatu bahasa. Makna merupakan esensi dari studi bahasa. Jika demikian, maka pemakaian bahasa, termasuk tuturan ritual dipandang sebagai sebuah bentuk ekspresi (entitas) yang memiliki atau mengandung makna.
Di samping makna, pemakaian bahasa ritual menyiratkan nilai budaya di balik makna
dimaksud.  Nilai budaya bersifat abstrak yang menjadi pedoman guyup tutur dan guyup budaya
prinsip di dalam berperilaku. Nilai itu bukan berupa benda atau unsur dari benda, melainkan sifat
dan kualitas yang dimiliki objek tertentu yang dikatakan “baik”. Nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat menggambarkan kepribadiannya, sebagaimana dikemukakan oleh Notosusanto, “Kita tidak bisa berbicara tentang kepribadian kalau kita tidak bertumpu pada nilai-nilai sebab yang menentukan kepribadian kita ialah nilai-nilai kita, yang menentukan kepribadian seseorang adalah nilai-nilai yang dianut dibandingkan dengan nilai-nilai orang lain. Demikian pula nilai-nilai dari suatu masyarakat yang menentukan kepribadian masyarakat itu”.[19]

 Nilai juga bisa disamakan dengan makna. Nilai atau makna dimaksud berhubungan dengan kebudayaan, atau secara lebih khusus berhubungan dengan dunia simbolik dalam kebudayaan. Menurut pandangan ini, nilai terkait dengan pengetahuan, kepercayaan, simbol, dan makna. Pengetahuan dan kepercayaan suatu komunitas etnik berwujud simbol-simbol bermakna. Simbol kebahasaan yang bermakna dalam tuturan ritual membungkus gagasan dan keyakinan kolektif yang dipandang bernilai.
Koentjaraningrat  mengatakan bahwa nilai budaya adalah lapisan pertama dari
kebudayaan yang ideal atau adat. Nilai-nilai budaya tersebut memberi konsep tentang hal-hal yang paling bernilai dalam keseluruhan kehidupan masyarakat. Nilai merupakan sebagai muatan mental dan kognitif yang menuntun individu atau pun masyarakat dalam berperilaku. Menurut pengertian ini, nilai mengacu pada sesuatu yang berkualitas, atau setidak-tidaknya dipandang baik sehingga layak untuk diacu. Nilai terdiri atas konsep-konsep yang hidup dan tumbuh dalam alam pikiran suatu komunitas yang erat kaitannya keluhuran budi dan nurani.
Menurut Andre Martinent “bahasa adalah sebuah alat komunikasi untuk menganalisis pengalaman manusia, secara berbeda di dalam setiap masyarakat, dalam satuan-satuan yang mengandung isi semantis dan pengungkapan bunyi, yaitu monem. Pengungkapan bunyi tersebut pada gilirannya diartukulasikan  dalam satuan-satuan pembeda dan berurutan, yaitu fonem, yang jumlahnya tertentu dalam setiap bahasa, yang kodrat maupun kesalingterkaitannya berbeda juga di dalam setiap bahasa.[20]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahasa diartikan sebagai “ suatu sistem lambang  bunyi  yang abitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Bahasa Indonesia adalah gabungan dari berbagai bahasa daerah di seantero Nusantara ini, selain berasal dari bahasa Melayu dan bahasa Sansekerta.
2.3.1 Makna Pintu Pazir Pii Pato
Setiap kata, kalimat, puisi atau ungkapan-ungkapan selalu tersirat makna. Begitupun dalam untaian syair adat Pintu Pazir Pii Poto juga tersembunyi makna yang menjadi alasan keberadaannya. Ada makna sakral religi dan ada juga makna puitis tersirat dalamnya. Alasan inipulallah yang memugkinkan masyarakat Maronggela tetap memeliharanya. Berkut peneliti akan memaparkan makna dari Pintu pazir pii pato.
2.3.1.1 Makna Religius
Ada defenisi lain yang mengungkapkan bahwa bahasa adalah simbol interaksi.[21] Dengan bahasa sebagai media atau sarana maka komunikasai akan mungkin terjadi. Komunakasi dengan menggunakan bahasa ini bersifat vertikal maupun horisontal. Bersifat horisontal itu ialah menerangkan bahwa dengan bahasa kita bisa membangun relasi antara sesama kita. Sementara besifat vertikal mengartikan bahwa dengan bahasa, memungkinkan kita sebagai mahluk berdimensi religius dapat berdialog dengan Dia selaku Wujud Tertinggi yang bagi masyarakat Maronggela dikenal dengan Mori Kraeng. Oleh sebab itu tuturan ritual Pintu pazir pii Pato sebenarnya adalah juga suatu untaian doa yang diarahkan kepada Wujud Tertinggi yang dalam bahasa Teologisnya disebut Allah.
Mayrakat  Maronggea sadar bahwa selain wujud-wujud lain yang mererka hormati seperti Mbo’ Nusi atau nenek Moyang, Mata Wae’ (terjemahan harafiahnya disebut mata air, bukan merujuk pada tempat tetapi suatu wujud), Ulung Temok (penghulu sawah), Nitu Sat (sutu wujud yang disebut penunggu hutan)   ada suatu wujud yang melampuai semuanya itu. Dialah selakku pencipta manusia dan segala macam hal yang ada di bumi ini termasuk wujud–wujud lain tersebut. Wujud ini disapaa oleh orang Maronggela sebagai Mori Kraeng[22] Dalam Pintu Pazir Pii Pato
2.3.1.2 Makna Sosial
2.3.2 Nilai Pintu Pazir Pii Pato
2.3.2.1 Nilai Religius
v Nilai Pemulihan
v Nilai Pemujaan dan  Permohonan
v Nilai Kepasrahan
Kata pasrah secara semantik berkaitan dengan ketidakberdayaan. Dalam dimensi religius,manusia senantiasa berada dalam kondisi ketidakberdayaan jika dikaitkan dengan Sang Pencipta.Kepasrahan dalam dunia religi merupakan pengakuan mutlak terhadap peran Sang Pencipta didalam mengatur seuruh aspek kehidupan manusia. Kepasrahan dalam konteks ini tidak dimaknaisebagai sikap apatis manusia terhadap kehidupannya. Kepasrahan dibarengi dengan usaha dan kerjakeras dengan prinsip semua usaha dan pekerjaan dimaksud dapat mencapai keberhasilan jikamendapatkan ridho dari Sang Pencipta, Mbo Mori.
Untuk mencapai keberhasilan dalam setiap usaha, manusia harus bekerja. Namun, pekerjaanyang dilakukan itu dipasrahkan keberhasilannya kepada Mbo Mori.

2.3.2.2 Nilai Sosial
v Nilai Pencitraan
Nama merupakan konsep esensial yang berhubungan dengan identitas. Dari konsep ini muncul istilah penamaan dan nama baik. Nama diberikan berdasarkan asal-usul dan pencitraan terhadap nama dimaksud. Oleh karena itu, orang yang menggunakan nama/ mewarisi nama berkewajiban moral untuk tetap menjaga nama tersebut agar tidak tercela. Dalam budaya Maronggela, hal nama baik terarah pada kisah berikut.
Nilai pencitraan ini secara sosiologis menuntun setiap anggota guyup budaya Pintu Pazir Pii Pato mempertahankan nama baik. Sehubungan dengan itu, orang Riung berkewajiban moral untuk hidup taat norma sosial budaya agar peribahasa “Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama” dapat tewujud. Nama itu harus bebas dari citra buruk (stereotip) sehingga layak untuk diwariskan ke generasi berikutnya.

v Nilai Ekonomis
v Nilai Kejujuran


KESIMPULAN
Secara esensial Pintu Pazir Pii Pato merupakan doa warisan leluhur orang Maronggela. Terkait dengan analisis data, dapat disimpulkan beberapa hal tentang Pintu Pazir Pii Pato, seperti berikut ini.

a. Tuturan Pintu Pazir Pii Pato dalam budaya Maronggela mengandung makna religius yang menyiratkan seperangkan sistem nilai religius, yani: nilai pemulihan, pemujaan dan
permohonan, serta nilai kepasrahan. Ketiga nilai ini dijadikan petuntun perilaku orang
Maronggela. Keterbatasan manusia menjadikan kesalahan/ pelanggaran norma menjadi hal yang
mungkin dalam kehidupan. Oleh karena itu diperlukan pemulihan. Keterbatasan manusia
jugalah yang membuatnya pasrah, dan kemudian memohon pertolongan Sang Pencipta agar
hidup (anak) selamat dan sehat-sejahtera.

b. Meskipun beresensi doa, isi tuturan menyiratkan pula makna sosial yang sudah tentu
berdimensi humanis. Makna sosial dimaksud berimplikasi pada nilai-nilai sosial, yakni:
nilai pencitraan, nilai eknomis, nilai kejujuran, dan nilai pewarisan. Pintu Pazir Ziu Anak
menunjukkan hasrat dan cita-cita orang tua, agar secara sosial, anak bertumbuh menjadi
orang.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian kualitatif ini  dibatasi oleh …. pertanyaan dasar yang telah dikemukakan dalam bagian permasalahan/rumusan masalah dalam proposal ini.
Pertama,baerkaitan dengan gambaran umum orang Maronggela,Kecamatan Riung Barat, Kabupaten Ngada. Komponen yang diteliti ialah, Orang Riung, keadaan geografisnya, mata pencaharian, produk budaya, bahasa yang digunakan, agama setempat, struktur kepemimpinan orang Riung, sistem perkawinan.
Kedua, berkaitan dengan paham orang tentang yang transenden. Kompnen yang diteliti adalah bagaimana orang Riung mengenal yang transenden. Siapa itu wujud terringgi atau yang transenden bagi orang riung, cara-cara penghormatannya, serta sapaan-sapaan orang Riung terhadap wujud tertinggi ini.
Ketiga, berkaitan dengan penggunaan Pintu Pazir sebagai simbol interaksi dengan yang transenden serta manfaatnya. Hal yang diteliti ialah mengapa orang Riung menggunakan simbol interaksi ini dalam berinteraksi dengan yang transenden dan apa sebenarnya manfaat atau keunggulan memamakai Pintu pzir Pii Pato.
Keempat, berkaitan dengan waktu, tempat juga orang yang layak dalam menggunakan pintu pazir pii pato sebagai simbol interkasi dengan yang transenden ini. Komponen elemen yang diteliti.
Relasi kebenaran simbolik yang khas pada penglaman manusia yang sadar. Kata-kata entah diucapakan  atau ditulis, sebagai simbol dan maknanya, merupakan contoh relasi kebenaran simbolik. Simbol-simbol tertantu seperti yang dipakai dalam puisi ataupun drama, tidak hanya menyampaikan makna obyektif , tetapi juga  bentuk sybektif penerimanya.[23]

Daftar Pustaka
Andre Martinent., Elements de Linguistique Generale  (Paris, Librairie Armand COLIN, 1980)., terjemahan Indonesia,  Ilmu Bahasa Pengantar.,( Yogyakarta, Kanisius, 1987).
Paul Nganggung SVD, diktat
Jurnal Diskursus,38.
Demokrasi dalam budaya Lokal
Bertolomeus Bolong,OCD, drs.Cyrilus Sungga S
Stephanus Ozias Fernandez, SVD, Kebijaksanaan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu dan Kini, (sekolahTinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero.
[1],Paul Arndt, SVD, Aus der Mythologie und Religion der Riunger, (Netherland : Overgedruckt uit het Tijdschrift voor Ind. Taal-, Land-en Volkenkunde Deel LXXV, Afl.3,1935)hal.382  ( dalam buku)Bertolomeus Bolong, drs. Cyrilus Sungga S, Tuhan Dalam Pintu Pazir. Tinjaun Filosofis Tenteng Tuhan Dalam Kepercayaan Asli Orang Riung,Flores, , 1999
Frans Dahler Eka Budianta., Pijar Peradaban Manusia., (Yogyakarta: Kanisius, 2004
MAKALAH LANNY KOROH
[1] J. Sudarminta, ” Mengulik Pemikiran Alfred N. Whithead  Tentang Kebudayaan”, dalam AA VV.,
Bertolomeus Bolong, OCD, drs. Cyrilus Sungga S. Tuhan Dalam Pintu Pazir, Tinjauan Filosofis Tentang Tuhan Dalam Kepercayaan asli orang Riuang, Flores, (Ende: Nusa Indah,) hlm.19.
[1] Andre Martinent., Elements de Linguistique Generale  (Paris, Librairie Armand COLIN, 1980)., terjemahan Indonesia,  Ilmu Bahasa Pengantar.,( Yogyakarta, Kanisius, 1987).




[1] MAKALAH LANNY KOROH
[2] J. Sudarminta, ” Mengulik Pemikiran Alfred N. Whithead  Tentang Kebudayaan”, dalam AA VV., Diskursus, ( 35
[3] MAKALAH LANNY KOROH
[4] Frans Dahler Eka Budianta., Pijar Peradaban Manusia., (Yogyakarta: Kanisius, 2004)., hlm.167.
[5] P.paul nganggung, SVD
[6] Bolong dan Sungga, 1999:64—66)
[7] Stephanus Ozias Fernandez, SVD, Kebijaksanaan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu dan Kini, (sekolahTinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero.
[8],Paul Arndt, SVD, Aus der Mythologie und Religion der Riunger, (Netherland : Overgedruckt uit het Tijdschrift voor Ind. Taal-, Land-en Volkenkunde Deel LXXV, Afl.3,1935)hal.382  ( dalam buku)Bertolomeus Bolong, drs. Cyrilus Sungga S, Tuhan Dalam Pintu Pazir. Tinjaun Filosofis Tenteng Tuhan Dalam Kepercayaan Asli Orang Riung,Flores, , 1999,hal.20
[9]  Wolomeze adalah nama suatu kampung yang berada di kecamatan Riung Barat, kab.Ngada. Kampung ini sudah ditinggalkan semenjak perpindahan penduduk tahun  1980-an. Nama wolomeze sekarang menjadi nama sebuah desa
di kec.Riung Barat dan nama sebuah Kecamatan. Di kab Ngada.
[10]  Wawancara, Senin 21-Maret-2016; jam 10.00-12.00 pagi. Narasumber, P.Bertolomeus Bolong OCD, tercatat dalam jurnal harian Krisantus Yustus dan Gregorius O. Langkamau.
[11] Bertolomeus Bolong, OCD, drs. Cyrilus Sungga S. Tuhan Dalam Pintu Pazir, Tinjauan Filosofis Tentang Tuhan Dalam Kepercayaan asli orang Riuang, Flores, (Ende: Nusa Indah,) hlm.19.
[12] Andre Martinent., Elements de Linguistique Generale  (Paris, Librairie Armand COLIN, 1980)., terjemahan Indonesia,  Ilmu Bahasa Pengantar.,( Yogyakarta, Kanisius, 1987). hlm.32.
[13] Walau wakil Ulu Golo tetapi dari wibawanya tetap berada setelah Ga’en Wongko’.
[14] Ghan Weton adalah salah satu upacara di Maronggela.
[15] Bertolomeus Bolong,OCD, drs.Cyrilus Sungga S., Op.Cit., hlm.39.
[16] Mori Kraeng adalah sapaan orang Maronggela terhadap yang transenden atau wujud tertinggi.
[17],Bertolomeus Bolong,OCD, drs.Cyrilus Sungga S., Op.Cit., hlm.62-63.
[18] Terjemahan ini sengaja diseliipkan oleh peneliti agar bisa menjadi bahan pembanding dalam terjemahan tafsirannya.
[19] Demokrasi dalam budaya Lokal
[20] Andre Martinent., Elements de Linguistique Generale  (Paris, Librairie Armand COLIN, 1980)., terjemahan Indonesia,  Ilmu Bahasa Pengantar.,( Yogyakarta, Kanisius, 1987). hlm.32.
[21] Paul Nganggung SVD
[22]  Sapaan Mori Kraeng yang dipakai oleh orang Maronggela dalam menyapa wujud tertinggi dipakai juga oleh orang Manggarai. Ini salah satu bukti pembenaran defenisi Paul Arndt yang mengatakan bahwa masyarakat Maronggela itu mirip dengan masyarakt Manggarai. (bdk. Hal.7 di atas).
[23] Jurnal Diskursus,38.

  Perihal Hidup: Sejak awal 2023, saya sudah disibukkan dengan satu pekerjaan baru yakni penyelenggara Pemilu persisnya panwaslu desa (PKD...