Sabtu, 24 April 2021

My Vocation

 

PANGGILANKU

  


 2021 adalah tahun ke sembilan saya bergabung dengan OCD. Ini menandakan hampir sepertiga usia saya berada dalam biara. Tentu ini bukanlah durasi waktu yang singkat, di dalamnya telah saya ukir dengan berbagai kisah. Menjadi seorang biarawan tidak seindah seperti yang orang awam bayangkan tapi juga tidak serumit yang para biarawan pessimist cemaskan, saya sendiri mengalami pasang surut kehidupan membiara, ada waktunya bergembira, tertawa, bersukacita tapi juga ada waktunya bersedih, menangis dan merasa kesepian. Mungkin ungkapan Pengkotbah itu benar bahwa segala sesuatu ada waktunya. Oleh sebab itu pada saat-saat ketika down, selalu ada harapan akan hari esok yang cerah. Itulah hidup, dan saya biasanya mengeneralisir bahwa pengalaman saya pasti juga dialami oleh orang lain.

         Pada tanggal 1 Mey 2021 mendatang ini saya akan memperbaharui kembali kaul sementara saya yakni kemiskinan, ketaatan, dan kemurnian. Pembaharuan kaul juga sebagai tanda komitmen saya untuk berlangkah setahun lagi menjadi seorang biarawan hingga jika saya sudah sangat siap dan konstitusipun mengaturnya, barulah saya bisa mengikrarkan kaul kekal saya. Sebelum sampai ke tanggal 1 Mey saya biasanya merefleksikan secara serius tentang kehidupan membiaraku. Berbagai hal yang saya pertimbangkan agar keputusanku tidak salah. Dalam permenugan saya, kadang saya tenggelam pada pertanyaan-pertanyaan klasik misalnya apakah Tuhan itu ada? Jika Dia ada mengapa saya harus mempercayainya? Apakah saya harus menjadi biarawan agar saya bisa melayani-Nya? Apakah menjadi biarawan OCD adalah pilihan satu-satunya? Di sisi lain sayapun sering bertanya dalam hati, jika saya bukan seorang Katolik apakah saya seorang biarawan seperti saat ini? Apakah saya masih memiliki iman atau masih bisa melayani Tuhan, jika saya bukan seorang biarawan? Itulah pertanyaan yang tidak pernah saya temukan jawaban akhir yang pasti, sebab jika ada jawaban, selalu juga disertai kontra refleksinya. Tapi itulah yang saya alami dan pasti teman-teman lain alami. Kadang saya menyerah dengan pertanyaan-pertanyaa klasik yang sangat menyita banyak waktu saya, dari pada memikirkan hal-hal ini mendingan saya melakuakan berbagai hal yang produktif seperti baca buku, latihan menulis, belajar bahasa asing dan mengasa bakat-bakat saya sebab hidup berjalan terus. Dan kadang saya berpikir mungkin inilah cara Tuhan bekerja.

           

Selama Sembilan tahun hidup membiara, saya telah mengalami banyak hal, ada yang pergi meninggalkan panggilannya dengan berbagai alasan, sebagain karena memang ingin benar-benar pergi, sebagian lagi harus pergi karena kesalahan-kesalahannya sendiri yang pasti selalu ada alasan mengapa mereka meninggalkan biara. Namun di sisi lain, tetap selalu ada yang bertahan, merekalah yang disebut orang-orang setia, tetap pada komitmen, lolos dari berbagai cobaan, orang-orang pilihan. Saya selalu berharap agar menjadi satu dari orang-orang pilihan ini apapun yang terjadi. Sebab ada kebanggaan tersediri di sana, saya akan merasakan perjuangan saya tidak sia-sia, orang yang mendukung sayapun tidak kecewa dan tentu para formator merasa didikan mereka berhasil. Tapi harapan saya selalu tidak sama persis dengan kenyataan apa yang saya rasakan. Saya mungkin bisa saja mengelabui orang dengan berpura-pura bahagia, namun ternyata saya tidak bisa menipu diri saya sendiri, maka pada akhirnya panggilan itu bersifat sangat personal, orang lain boleh mendukungnya tapi sayalah yang menjalani hidup ini. Kadang saya berpikir nakal, mungkinkah saya bisa membuat keputusan yang berbeda, bisakah saya mengundurkan diri, seberapa sakit hatinya orang-orang yang mendukung saya mengetahui ternyata saya mengecewakan mereka. Marakah para formator dan teman-teman saya yang selama ini sangat mengenal saya tapi akhirnya saya tidak menjalani hidup bersama mereka lagi? Saya tentu tidak bisa mengontrol apa yang orang lain pikir maupun katakan tentang saya tapi saya bisa mengontrol reaksi saya terhadap itu semua.

           


Banyak orang kudus Karmel tentu pernah mengalami hal-hal seperti yang saya rasakan bahkan lebih daripada sekedar ragu dengan panggilan dan bahkan ragu dengan Tuhan yang mereka imani dan layani. Jangankan para Kudus Karmel, para biarawan terdahulu, para pastor formator saya, senior-senior saya pasti dalam hidup panggilannya pernah melewati moment seperti yang saya alami ini, tapi mereka berhasil dan tetap bertahan dan saya sangat kagum atas sikap mereka. Saya kagum atas pastor-pastor tua yang masih tetap menjaga kaul kemurian, ketaatan, kemiskinan mereka untuk sekian puluh tahun masa  panggilannya, ini menandakan bahwa ada sesuatu nilai luhur yang mereka perjuangkan, ada iman yang kokoh dan harapan yang tidak pernah pupus. Tentu mereka selalu memiliki alasan untuk bertahan daripada meninggalkan panggilannya. Saya kagum dengan para biarawan yang sangat sukses dalam bidangnya dan menunjukan kualitas hidup membiara yang baik dalam hal doa, persaudaraan, dan pelayanan. Saya kagum dengan para senior saya yang tidak hanya bicara tapi menghasilkan sesuatu demi kebaikan bersama, yang kehadirannya selalu membawa sukacita Injil bagi sesama, merekalah orang-orang yang betul-betul mengena identitas dan panggilannya. Tentu saya tidak pernah mengabaikan aspek mansiawinya, bahwa di sana sini tetap ada kekurangan itulah manusia. Orang-orang seperti inilah yang nanti akan saya teladani di hari-hari mendatang. 


            Inilah pengalaman manusiawi saya. Dari segi intelektual saya mungkin tergolong rata-rata tidak menonjol tapi juga tidak lemah. Dari segi emosional sayapun merasakan bahwa saya masih normal, marah ketika ada sesautu hal yang tidak sesuai dengan pikiran atau aturan, senang ketika keadaan memang harus menuntut saya senang, relasi dengan formator, teman-teman serta orang awam dan keluarga saya jalani seperti lazimnya. Kadang marah kadang baik, kadang merasa dekat namun kadang merasa jauh itulah dinamika kehidupan yang selalu bisa saya jalani. Sedangkan kehidupan rohani saya bertumbuh seperti teman-teman lain. Saya mungkin orang yang tidak terlalu sangat rohani, tapi intinya saya masih tetap percaya akan keberadan Tuhan meski pertanyaan konyol  tentang-Nya sering nongol dalam pikiran saya. Saya tetap percaya pada ajaran-ajaran Gereja Katolik Roma dan tentu kekayaan spiritualitas Karmel yang menjadi kebanggan saya. Walaupun semuanya masih dalam tahap perjuangan dalam mengimplementasikanya dalam keseharian hidup saya tapi secara teori, secara iman saya masih tetap seperti orang katolik pada umumnya dan seperti para biaraawan OCD pada khsusunya.   Tentu refleksi singkat ini tidak mewakili seratus persen perasaan saya tapi inilah serpihan kecil isi hati saya. Saya selalu percaya akan hari esok yang lebih baik maka mengakhiri refleksi ini saya bersyukur kepada Tuhan Yesus Yang Maha Rahim yang masih tetap meyakinkan saya akan pilihan hidup ini dan akan keputusan-keputusan saya untuk tetap bertahan. Sebab saya selalu percaya akan hari esok yang baik. Amin.


 

 

 

 

Biara St. Theresia Lisieux,

Kaliurang K. 10,9 Jogjakarta,

Jumad, 23 April 2021

 

 

 

 

(Bro. Krisantus Yustus

of Divine Mercy, OCD)

Senin, 12 April 2021

Cukup

 

CUKUP


Aku bukanlah seorang yang pandai merangakai kata. Tapi aku selalu mengekspresikan rasa melalui kata. Walau pada momen tertentu aku yakin bahwa kata tidak pernah cukup mewakili rasa. Masih sejuta yang tetap tersembunyi di balik dada ini. aku mungkin berusaha mengekspresikannya melalui music, cuman musikku pun seribu tingkat di bawah Mozart. Rasa ini tetaplah rasa, tidak seorangpun yang sungguh memahaminya selain diriku dan juga kadang-kadang Tuhan. Yah, aku mengatakannya kadanga-kadang sebab bagiku Tuhan tidak pernah sungguh peduli. Dia diam. Dia hanya ada kalau aku menganggapnya ada, dan akupun tidak pernah tahu apakah Dia masih tetap ada jika aku mengabaikannya.

Entah ada atau tidak, bagiku saat ini Tuhan absen. Mungkin ini terlalu naif untuk diungkapkan, tapi aku punya bukti kok. Tentu aku tidak mengikuti logika santo Thomas Aquias yang mengajukan lima jalan untuk mengerti Allah. Aku hanya punya satu bukti bahwa Tuhan itu diam. Apakah diam manandakan Dia tidak ada? Aku juga tidak tahu, namun diam juga bukan berarti Dia ada. Kesimpulan nakalku kadang menyamakan diam itu dengan ketiadaan. Yah, aku selalu berusaha merenungkannya tapi hingga kini hanyalah ketiadaan yang kutemukan. Para guruku sering bilang kalau Tuhan itu akan semakin sulit dipahami jika kita berusaha memahami-Nya. Lah, buat apa aku habiskan waktu mempelajari sesuatu yang akhirnya akupun tidak akan tahu? Katanya setelah kematian barulah kita paham semua yang menjadi misteri di dunia ini. kamu akan memahami neraka, surga, Tuhan, malaikat. Ternyata Tuhan hanya dipahami oleh orang yang sudah mati. Berati tidak relevan bagi kita yang masih hidup.

Merenungkan semua ini, mempertanyakan eksistensi Tuhan hingga menghantarkanku pada suatu titik keraguan akan keberadaannya. Keraguanku akan Tuhan ternyata membawa effek yang sangat besar bagi kehidupanku. Yah, Tuhan sebenarnya adalah inti dari kehidupanku, pusat dari panggilanku. Tuhan semestinya adalah penggerak yang menarikku ke dalam lingkaran Karmel ini. tuhan adalah alasan aku menjadi seorang biarawan hingga pada hari ini.   bayangkan seorang religious tanpa Tuhan, itu sama seperti teknologi tanpa sains, atau sama seperti marxisme tanpa Karl Marxs.

Hmmmm, kalau Tuhan memang bukan untuk dipahami, lantas apa manfaat akal? Bukankah iman tetap membutuhkan akal budi. Apakah tuhan yang berusaha aku pahami melalui akal akan berbeda dengan tuhan yang ada dalam hatiku? Simon Petrus L. Tjahjadi dalam bukunya tuhan para filsuf dan ilmuwan, menunjukan bahwa ada tuhan yang bisa ditemukan melalui akal. Namun tuhannya para filsuf dan ilmuwan ini kadang berbeda dengan Tuhan para agamawan. Para filsuf sering memahami tuhan sebagai sesuatu entitas yang di luar jangakauan nalar. Tuhan hanya direnugnkan ketika orang mencapai jalan buntu pikiran. Tuhan seolah tidak terlibat langsung dengan eksistensi manusia. Ada yang memahami Tuhan seperti pembuat arloji yang setelah menciptakan alam dan segala isinya lalu membiarkannya berjalan sendiri.

Itu semua pandangan mereka. Aku mungkin membacanya tapi tidak serta merta menerima sebagai keyakinan pribadiku. Dalam benakku tuhan tetap sebuah misteri, yang entah ada entah tidak. Kalau dia tidak ada mengapa begitu banyak yang mempercayanya ada?. Mengapa agama begitu yakin sebagai suatu institusi dengan Tuhan sebagai intinya. Apakah aku dikatakan  salah jika aku menentukan posisi yang tidak sesuai dengan pandangan agama? Apakah aku akan dikatakan pengkhianat agama jika aku berusaha mengimani Tuhan versiku? Lantas bukankah Tuhan versi agama-agama adalah juga hasil refleksi orang-orang terdahulu yang kemudia diwariskan lalu diterima.

          Satu hal yang masih tetap aku pikirkan ialah tentang bagaiaman aku harus mengatakannya kepada orang lain. Apa yang akan terjadi jika aku mengatakan kepada teman-temanku dan para pastor bahwa aku tidak menerima lagi cara memahami tuhan seprti yang kalian yakini. Bagaiamakah reaksi ibuku yang konservatif jika mengetahuai bahwa aku ragu akan tuhan? Mungkinkah mereka menganggapku aneh? Aku tidak peduli, sebab bagiku, kita boleh hidup di dunia yang sama tapi kita masing-masing bertanggung jawab dengen hidupnya, dengan apa yang dia Imani. Mungkin suatu saat aku akan sangat menyesal bahwa di masa lalu kehidupanku aku pernah meragukan Tuhan. Atau juga mungkin suatu saat aku malah bersyurkur terntaya aku tepat. Entahlah, itu masa depan yang tidak pernah aku tahu bagaiamana nantinya. Yang terpenting apa yang aku RASAKAN saat ini ialah (BEGINI). 

            … hey dear dy. Kamu tahu bahwa aku tidak pandai merengkai kata, maka mengertilah kalau aku tidak tahu bagaimana mengakhiri rangkain kalimat ini.

 

 

Jogja 11/04/2021

Sintus bezy.

           

  Perihal Hidup: Sejak awal 2023, saya sudah disibukkan dengan satu pekerjaan baru yakni penyelenggara Pemilu persisnya panwaslu desa (PKD...