Sabtu, 11 Desember 2021

Demokrasi Subtantif

 

DEMOKRASI SUBTANTIF, 

SUATU REFLEKSI

 oleh: Sintus Bezy, S.Fil

Dinamika Demokrasi Di Indonesia Sejak Awal Kemerdekaan- Sekarang.

Pernah ada dalam sejarah dunia kita muncul dua blok yakni, blok Barat dan blok Timur. Dua blok ini merepresentasikan dua ideologi dan sistem pemerintahan yang berbeda, kapitalisme-liberal dan komunisme. Keduanya adalah rival satu dengan yang lain. Blok barat diwakili oleh negara Amerika Serikat (US) dan negara-negera Eropa Barat seperti German Barat, Inggris, Prancis. Sedangkan blok Timur diwakili oleh negara Rusia, Jerman Timur sampai ke Cina dan lain-lain. Dalam mengelola pemerintahanya negara kapitalis-liberal sangat berkaitan erat degan sistem demokrasi sedangkan negara komunis menerapkan sistem komunis sosialis.[1] 

Indonesia dibawah pimpinan Sukarno menyatakan sikap sebagai negara nonblok, bukan demokrasi liberal dan juga bukan komunis. Indonesia menganut sistem demokrasi Pancasila, tentu sistem ini khas, unik. Inti perbedaanya ialah dalam hal prinsip berbangsa dan bernegara, jika dalam demokrasi liberal, supremasi hukum terjamin, kebebasan individu terjamin, hal-hal privat termasuk penentuan agama tidak diurus oleh negara maka dalam demokrasi Pancasil justeru yang terjadi sebaliknya. Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi prisip pertama, implikasinya semua warga wajib menganut salah satu agama. Kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai prinsip kedua, sedangkan ketiga ialah Persatuan Indonesia, keempat sendiri ialah demokrasi dengan bunyinya “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam perwakilan dan prisip terakhir yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sosial justice. Dalam urusan demokrasi itu sendiri, jika memang ada keputusan dari suara terbanyak tetap keputusan tersebut tidak boleh mengabaikan salah satu prinsip dari Pancasila, jadi demokrasi Indonesia adalah demokrasi Pancasila.[2]

Sepanjang 70 tahun kemerdekaan Indonesia, sistem demokrasi terus berubah dalam penerapannya. Pembagian berikut ini bisa membantu kiat memahaminya. A. Masa Republik Indonesia I (1945-1959), yaitu masa demokrasi konstitusional yang menonjolkan peranan parlemen serta partai-partai dank arena itu bisa disebut juga demokrasi parlementer. Dalam sejarah kita kenal beberapa Perdana Mentri seperti Sutan Sahrir yang menjalankan peran politik.  B. Masa Republik Indonesia II (1959-1965), adalah zaman demokrasi terpimpin. Ternyata sistem ini banyak menyimpang dari demokrasi konstitusional itu sendiri. Pada era ini Presiden Sukarno sebagai peimpin tertinggi dan Ia juga mencetus konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme) yang berujung pada G30SPKI. C. Masa Republik Indonesia III (1965-1998), yakni demokrasi Pancasila sebenarnya adalah demokrasi konstitusional denga peran presidensial yang lebih luas. Ini adalah era Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto yang kemudian meninggalkan beban sejarah tak terselesaikan hingga saat ini. D. Masa Republik Indonsia IV (1998-sekarang), adalah masa reformasi yang mana segala roh demokrasi yang sesungguhnya dikembalikan, terjadi banyak koreksi untuk masa republik III. Hingga kini kita hidup di era reformasi.[3]

Saat ini kita bangsa Indonesia berada pada masa reformasi, banyak praktik demokrasi dibedahi ke arah yang lebih baik. Namus justeru pada kepemimpinan Pak Jokowidodo ini, dan atas nama demokrasi, kebeasan berbicara, mengemukakan pendapat, berserikat maka muculah juga persoalan baru. 1. Persoalan ideologis. Sebagian kelompok berbaju agama masih menganggap bahwa Ideologi Pancasila itu belum berakhir, demokrasi buruk, pemimpinnya rusak sehingga mereka tetap mempropagandakan ideologi-ideologi khilafah seperti organisasi HTI dan FPI (Front Pembela Islam), walaupun pada akhirnya secara hukum kedua Organisasi ini bubar. Namun demikian para pengantu atau manusia-manusianya tetap ada, maka potensi untuk menyebarkan paham Khilafah tetap mungkin terjadi. 2. Persoalan HAM. Hak Asasi Manusia (human rights) masih banyak bermasalah, namun jauh daripada itu atas nama kebebasan, ruang public kita dinodai dengan berbagai informasi hoax, fitnahan satu kepada yang lainya. 3. Persoalan Ekonomi, dimana kesenjangan antara yang kaya dan miskin semakin lebar. Serta 4. Persoalan Pertahanan Negara, masalah OPM (Organisasi Papua Merdeka), rasisme, SARA (Suku, Agama, Ras, Antar Golongan). Persolan itu nyata dan sedang kita alami saat ini. Pertanyaan yang muncul dalam merespon berbagai persoalan di atas ialah, bagaiamana supremasi hukum Indonesia sebab negara kita bedasarkan pada hukum (Rechtsstaat) tidak berdasarkan pada kekuasaan semata (Machtstaat), maka hukum adalah penjamin dan panglima dalam mengatur tata tertib serta keberlangsungan negara kita.[4] Selain dari itu adalah masalah politik identitas yang sangat kentara pada Pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu hingga penjarannya Ahok. Semua ini butuh kejelasan demokrasi.

Demokrasi Subtantif

Demokrasi

        Kita mengenal berbagai istilah tentang demokrasi, seperti demokrasi konstitusional, demokrai, parlementer, demokrasi, Pancasila, demokrasi langsung, demokrasi terpimpin, demokrasi rakyat, demokrasi Soviet dan sebagaianya. Namun secara sederhana demokrasi bisa diartikan sebagai government by the people. Kata Demokrasi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani demos yang artinya rakyat dan kratein yakni memerintah. Demokrasi dimengerti sebagai suatu pemerintahan oleh rakyat. Masyarakat Yunanai menerpatkan sistem demokrasi ini sebagai pilihan yang berbeda sebab sebelumnya sistem pemerintahan Tirani dan Oligarki tidak bertahan lama dan cenderung merugikan rakyat. Dalam penerapanya bisa menggunakan demorasi langsung dimana masyarakat itu sendiri yang mengatur semua tata kelola kenegaraan atau demokrasi perwakilan dimana masyarakat memilih beberapa orang yang menjadi wakil untuk menjabat sebagai pemimpin dan jabatan lainya dengan prinsip utama bahwa masyarakatlah yang memegang kekuasaan tertinggi.[5]

           Walaupun sistem demokrasi Yunani ini dikitik oleh Plato dengan alasan bahwa demokrasi sangat berpotensi menjadi tirani. Plato mengusungkan negara itu harus dipimpin oleh seorang Filsuf-Raja sebab orang tersebut pasti memiliki kompeten dalam pengetahuan, praktik hidup sehingga Ia bisa memimpin rakyatnya. Berbeda dalam demokrasi, setiap orang setara dan memiliki hak meilih serta dipilih untuk menjadi pemimpin. Bahayanya adalah jika yang terpilih itu justeru mereka yang kurang kompeten, segala kepususannya akan bisa merugikan kelangsunga suatu negara. Bagi saya Plato berbicara dan mengkritik demokrasi sebab pada masa Ia hidup yang diterpakan adalah demokrasi murni dimana rakyat langsung yang mengatur tata kelolah kenegaraannya. Dalam perkembangan sejarah paham demokrasi terus berubah ke arah yang semakin sempurna. Tokoh-tokoh pemikir lain yang sangat mempengarui perkembangan demokrasi ialah Thomas Hobbes, John Locke, J.J. Rousseau, serta banyak tokoh lainya. Namun yang paling menarik bagi saya adalah  Montesque dengan membagi kekuasaan dalam demokrasi itu kepada tiga lembaga pemegang kekuasaan dalam istilah politis teknis diebut ‘trias politika’, perama eksekutif;  yakni mereka yang menjalani hukum (Presiden, Gubernur, Bupati, Lurah), kedua legislative; yakni mereka yang menciptakan hukum (DPR, MPR, DPRD, DPD) dan ketiga yudikatif; mereka yang mengontrol hukum/penegak hukum (MK, MA, Hakim, Jaksa Agung).[6]

Perkembangan Paham Demokrasi

     Pada awal mula sistem demokrasi ini dipakai di Yunani, yakni demokrasi langsung (direct democracy). Perlu diketahu bahwa demokrasi langsung ini hanya berlaku pada kota-kota di Yunani seperti Athena dengan penduduknya sekitar 3000 orang dan yang menjalankan atau membuat keputusan politis dalam demokrasi langsung ini hanyalah mereka yang adalah anggota polis (negara kota) yakni lelaki dewasa, sedangkan perempuan dan anak-anak serta budak tidak terhitung. Dalam negara modern saat ini tidak bisa lagi menerapkan demokrasi langsung sebab masyarakatnya banyak dan plural maka pakailah demokrasi representative (melalui wakil-wakil rakyat), mereka diberi mandate atau kepercayaan untuk menata, membuat keputusan-keputusan politis sosial atas nama rakyat yang diwakili. Memasuki era abad pertengahan demokrasi menjadi hilang oleh sebab sistem pemerintahan saat itu yang feodal, ini tentu terdapat di negara-negara Eropa Barat. Bangsa Romawi yang mewarisi sistem demokrasi Yunani dikalahkan maka sistem demokrasi juga hilang. Abad pertengahan inilah dimana Paus dan Raja bekerja sama dalam urusan politik sehingga tidak aka nada kemungkinan untuk rakyat jelata dipilih jadi pemimpin. [7]

          Renaissance yakni suatu gerakan untuk kembali ke budaya-budaya Yunani-Romawi maka dengan sendirinya berbagai warisan Yunani termasuk sekularisasi juga demokrasi dihidupkan kembali sehingga terjadi perang dan revolusi yang menuntut hak-hak kebebasan semua warga, di Prancis sendiri kita kenal tida semboyanya yakni kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan. Lalu munculah berbagai filsuf yang memberikan teori tentang kontrak sosial seperti John Locke dimana dituntunt hak-hak person seperti hak hidup, hak kebebasan dan hak memiliki harta benda. Montesque lalu membagi demokrasi kepada trias politica (yudikativ, eksekutif, legislative) sehingga tidak ada penguasa tunggal. Dari sana menimbulkan berbagai revolusi lain seperti revolusi Amerika melawan Inggris, sehingga demokrasi pada tahap ini mendapat tempat, digunakan dalam rana politis. Dengan mendasarkan dirinya pada kebebasan individu, persamaan hak, serta hak pilih untuk semua warga negara. [8]

      Tentu sejarah perkembangan demokrasi dari Yunani Klasik sampai ke era modern ini sangat kompleks tetapi kali ini saya sekedar memberi gambaran sederhana. Dalam perkembanganya nanti terdapat perdebatan lebih lanjut tentang demokrasi konstitusional, khas pada abad ke 19 dimana supremasi hukum menjadi penggerak demokrasi. Semua diatur oleh hukum. Pada abad 20 terdapat fenomena lain, dimana ada kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin, munculah kaum kapitalis sehingga demokrasi merambah pada bidang sosial ekonomi juga.

Prisip-Prinsip Demokrasi

        Dalam suatu sistem demokrasi liberal dengan supremasi hukum seperti yang telah diulas di atas maka terdapat beberapa prinsip. Bicara tentang prinsip berarti tentang sesuatu yang seharusnya, subtantif dan penting diperhatikan oleh semua anggota negara penganut demokrasi tersebut. Degan demikian beberapa prisip itu ialah:

a.       Kedaulatan rakyat

b.      Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah

c.       Kekuasaan mayoritas

d.      Hak-hak minoritas dijamin

e.       Jaminan hak asasi manusia

f.        Pilihan yang bebas adil dan jujur mengenai hidupnya dijamin

g.      Persamaan di depan hukum

h.      Proses hukum yang wajar

i.        Pembatasa  pemerintahan secara konstitusional

j.        Pluralism sosial, ekonomi, politik

k.      Nilai-nilai toleransi, kerja sama dan mufakat.   

Relevansi Demokrasi Pancasila Di Indonesia

      Dalam membahas subtema ini saya sendiri sangat terbatu dengan sutu buku yang berjudul Mewacanakan Kembali Demokrasi Pancasila Yang Diperbarui Sebuah Polemik dengan editornya Anick HT. Dengan berangkat dari berbagai persoalan Indonesia kontemporer para penulis berusaha mempertanyakan dan menegaskan kembali demokrasi Pancasila yang semestinya. Titik berangkat mereka adalah kasus Pilkada DKI tahun 2017 dengan kemenangan Anis Baswedan dan dipenjaranya Ahok Basuki Purnama. Ada empat isu pokok yang diangkat Pertama, membicarakan berbagai embrio platform yang berbeda yang saling bertentangan tentu ada saat ini tentang kemana Indonesia harus dibentuk. Bagi saya hal inilah berkaitan dengan politik identitas, bahaya ideologi baru selain Pancasila. Kedua membicarakan tentang mengapa para elit perlu menegaskan komitmen pada demokrasi Pancasila yang diperbarui, tentu ini sangat berbeda dengan demokrasi Pancasila era Sukarno dan Suharto. Dijelakan pula dimana perbedaan antara demokrasi Pancasila dan demokrasi liberal di Barat. Ketiga, penjelasan tentang apa yang kurang dalam praktek demokrasi Indonesia saat ini agar mencapi platform ideal demokrasi Pancasila yang diperbaharui. Keempat,  apa yang bisa kita kerjakan untuk mengkonsolidasikan demokrasi Pancasila yang diperbarui.[9]

       Denny J. A mempertegas demokrasi Pancasila yang diperbarui itu kedalam lima bagian yakni pertama, demokrasi Pancasila mengadopsi mekanisme politik seperti di dunia Barat. Demokari Pancasila juga mengadopsi paham-paham Hak Asasi Manusia yang dirumuskan oleh PBB. Bagi Denny hal inilah menjadi prisip minimum agar disebut sebagai sistem demokrasi modern. Maka implementasi sila kedua tentang kemanusiaan yang adil dan beradab sangat berkaitan dengan HAM.  Implikasi lain yakni hak persamaan ekonomi sosial politik dijamin, tetapi tetap memperhatikan asas kemanusiaan yang adil dan beradab. Hak-hak minoritas dilindungi.[10]

        Kedua, agama memaninkan peranan penting dalam berbangsa. Tentu ini berbeda dengan dunia Barat. Di Indonesia terdapat menteri agama yang persis tidak ada di negara demokrasi Barat sebab mereka yakin urusan keagaamaan menjadi hal privat, tidak dibawa ke ruang public. Sedangkan di Indonesia sendiri, agama begitu berperan, sila pertama Pancasila menjamin keberadaan agama di Indonesia. Dari situ kita bisa memahami bahwa demokrasi Pancasila unik dan bisa diterapkan.  Menarik untuk didalami lebih lanjut bawasannya di Indonesia ada berbagai agama yang berbeda, semua agama itu diterima dan mestinya tidak ada persekusi antara satu dengan yang lain. [11]

       Ketiga, hadirnya undang-undang yang melindungi kebebasan beragama dan keyakinan masyarakat, justeru karena peran agama yang lebih besar dalam masyarakat maka perlu ada UU yang melindunginya. UU ini bertujuan untuk menjamin orang beragama tetapi juga mengoreksi pandangan agama yang sangat merugikan kemanusiaan itu sendiri. Ada berbagai peraturan syariah Islam yang mestinya hanya berlaku untuk mereka yang beragama Islam dan tidak boleh dipaksakan kepada orang beragama lain.  Dan undang-undang melindungi kebebasan beragama ini khas di Indonesia, sebagai implementasi dari demokrasi Pancasila.

        Keempat, Pancasila menjadi perekat bangsa. Berbagai keragaman agama di Indonesia menemukan titik perjumpaan atau persatuan mereka dalam Pancasila. Bagi Denny Pancasila itu bisa dilihat sebagai mutiara yang masing-masing agama temukan dalam ajarannya. Persoalan berbau agama memang sering kita alami, sulit untuk bersatu secara doktriner tetapi bahwa kita mesti tetap menerima perbedaan tersebut, Pancasila bagi saya adalah sebagai wadah yang menjamin atau mempertemuka perbedaan tersebut.

        Kelima, Pemerintah di bawah Presiden yang domandatkan konstitusi dan undang-undang menjaga dan melindungi keberagaman itu. Gagalnya pemerintah sebagai penjga dan pelindung keberagaman akan sangat berbahaya bagi keberlangsungan hidup bernegara Indonesia.[12]

       Lima prinsip demokrasi Pancasila yang diulas oleh Denny J.A di atas dalam rangka merespon kasus sesudah pilkada DKI Jakarta yang menurut banyak pakar disertai sarat kepentingan, tetapi juga tersingkapnya banyak intensi tersembunyi seperti kaum-kaum radikal. Tentu demokrasi Pancasila yang Denny refleksikan ini masih dalam tataran berkaitan dengan peran agama. Saya menemukan input baru bahwa untuk menjawai pertanyaan apa kekhasan demokrasi Pancasila dari demokrasi liberal barat, jawabanya demokrasi Pancasila itu masih menerima peran agama dalam ruang public. Lebih dari itu dalam demokrasi Pancasila sumber atau ideologi utama adalah Pancasila itu sendiri yang bagi saya dalamnya juga tersirat hampir semua prisip demokrasi modern, seperti keadilan sosial (sosial justice), kemanusiaan (humanisme), persatuan (nasionalisme), ketuhanan, demokrasi.

Refleksi Personal

         Refleksi personal saya ini tentu sebagai pengembangan lebih lanjut dari tema demokrasi subtantif. Apa arti kata subtantif, bagi saya subtantif artinya yang seharusnya, hal prinsipiil. Demokrasi subtantif dalam hal ini adalah suatu demokrasi yang semestinya ada. Dalam visi Indonesia menyongsong ulang tahunya yang ke 100 di tahun 2045, pemerintah telah memetakan empat pilar sebagai visi bersama yakni: pembangunan manusia dan penguasaan iptek, pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, pemerataan pembangunan, dan pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola pemerintahan. Tema yang saya angkat pada artikel ini tepat menjadi bagian dari visi ke empat. Dalam rangka kepentingan ketahanan nasional serta tata kelola pemerintahan maka perlu yang namannya demokrasi subtantif.

          Dari realitas saat ini seperti yang telah saya tulis di atas bahwa kita menemukan banyak persoalan dalam negeri ini yang tentu menggerogoti demokrasi itu sendiri. Persoalan seperti masalah politik identitas, dimana satu identitas tertentu mau mendominasi dan mengatur orang dengan identitas berbeda. Hal ini persoalan yang nyata kita alami seperti dalam kasus Pilkada DKI pada tahun 2017. Politik identitas ini menjadi wadah bagi para politisi untuk menunggangi agama demi kepentingan politiknya. Agama terlihat sebagai kuda tunggangan yang kehilangan kendali dan tidak tahu kemana arahnya. Dalam menangkal permasalah politik identitas dengan isu-isu radikalisme maka edukasi tentang demokrasi itu sangat perlu. Bagi saya secara pribadi, kita di Indonesia menjalankan demokrasi yang unik yang disebut demokrasi Pancasila. Pacasila adalah prinsip dasar kita berdemokrasi sehingga unsur-unsur yang dijabarkan dalam Pancasila tidak mesti dihilangkan.

      Saya sangat tertarik dengan tulisa Denny J.A di atas tentang realitas demokrasi di Indonesia. Demokrasi Pancasila yang diperbaharui untuk membedakannya dari demokrasi Pancasila Sukarno dan terlebih khusus Suharto. Demokrasi Pancasila yang diperbarui dalam artian bahwa Indonesia menerima imput lain yang memperkaya Pancasila seperti HAM, dimana hak-hak semua warga dijamin. Denny juga menekankan pada peran agama dalam demokrasi Pancasila di Indonesia yang tentu tidak terdapat pada demokrasi liberal di Barat. Agama dalam hal ini adalah suatu organisasi yang sangat mempengaruhi kehidupan berbangsa di Indonesia. Tetapi bagi saya demokrasi subtantif itu penting dalam rangka tidak membiarkan agama sangat mendominasi dan bahkan dalam setiap keputusan politis public mesti berdasarkan agama sebab pada prinsipnya kita bukan negara agama.

       Demokrasi subtantif mempertegas peran-peran trias politika, sehingga akan ada keseimbangan sebab ekesekutif tidak memiliki kekuasaan yang absolut, ia dikontrol oleh legislative dan yudikatif. Contoh sederhana, jika seorang Bupati dalam kebijakannya merugikan rakyat dengan melanggar HAM, maka waluapun Ia menjabat sebagai bupati tetap Ia mesti dihukum. Kekuasaan eksekutif selalu dicek oleh legislative, untuk sebuah keputusan besar dan diundangkan maka perlu peran serta legislative. Dengan demokrasi subtantif maka trias politik bisa berjalan secara baik.

         Demokrasi subtantif juga menjamin supremasi hukum. Sebagai negara hukum tentu Indonesia juga mendasari semua kehidupannya berdasarkan hukum yang berlaku. Hukum kita bersumber dari Pancasila itu sendiri dan dari Undang-Undang. Oleh sebab itu, berdasarkan hukum yang berlaku semua warga dijamin hak-haknya, dan barang siapa yang melanggar peraturan yang berlaku meski dihukum secara setimpal agar bisa menimbulkan efek jerah.

           Sebagai konklusi refleksi filosofi saya ini maka saya bersyukur sebab Indonesia menganut sistem demokrasi yang menurut banyak ahli lebih baik daripada sistem monarki, aristokrasi dan lainya. Namun yang perlu diperhatikan agar demokrasi kita tetap efektif dalam penerapan maka perlu pemahaman yang mendalam serta mengusahakan hingga ke substansi demokrasi itu sendriri. Kita di Indonesia mengantu demokrasi Pancasila yang khas dan unik, maka perlulah untuk memerptegas identitas kita.

 

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Bagus, Lorens., Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996.

Magnis Suseno, Franz., Mencari Makna Kebangsaan,  Yogyakarta: Kanisius, 1998.

Budiardjo, Miriam., Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2014-edisi revisi.

Sunarso., Membedah Demokrasi Sejarah, Konsep, dan Implementasinya di Indonesia, Yogyakarta: UNY Press, 2015.

Deny J.A dalam Anick HT (ed), Mewacanakan Kembali Demokrasi Pancasila Yand Diperbarui, Sebuah Polemik, Jakarta: Cerah Budaya Indonesia, 2017

Internet:

                Danur Lambang Pristiandaru, dalam Kompas.com



[1] Danur Lambang Pristiandaru, dalam Kompas.com, diakses pada tanggal 9/12/2021. (https://www.kompas.com/global/read/2021/11/27/180100070/daftar-negara-blok-barat-dan-blok-timur-dalam-perang-dingin?page=all)

[2] Franz Magnis Suseno, Mencari Makna Kebangsaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 67-68

[3] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2007-edisi revisi), hlm. 127-135

[4] Ibid., hlm. 106

[5] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996),  hlm. 154

[6] Sunarso, Membedah Demokrasi Sejarah, Konsep, dan Implementasinya di Indonesia, (Yogyakarta: UNY Press, 2015), hlm.22

[7] Miriam, Op.Cit., hlm. 110

[8] Ibid., hlm. 111

[9] Deny J.A dalam Anick HT (ed), Mewacanakan Kembali Demokrasi Pancasila Yand Diperbarui, Sebuah Polemik, (Jakarta: Cerah Budaya Indonesia, 2017), hlm. ix-xi

[10]Ibid., hlm. 8

[11] Ibid.

[12] Ibid., hlm.10

Rabu, 08 Desember 2021

Henri Bergson

Henri Bergson[1]

Biografi:

Henri Bergson seorang filsuf prancis lahir di Paris 18 Oktober 1859. Ayahnya adalah seorang pemusik dan komponis yang mengungsi dari Polandia. Ibunya berasal dari inggirs. Ayah dan ibunya penganut agama Yahudi dan Bergson dibesarkan dalam suasana Yahudi. Ia tertarik kepada Gereja Katolik tetapi tidak dibaptiskan sebagai bentuk kehormatannya terhadap komunitas Yahudi. Ia meninggal di Paris 1941. Bergson mendapatkan pendidikan yang bagus selama di Paris, Ia belajar bersama Emil Durkheim dan Jean Jaures. Henri kemudian mengajar di Universitas namun cepat pension oleh karena alasan kesehatannya.

Henri Bergson dalam hal pemikirannya banyak dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin dan juga pemikiran Herbert Spencer.

Karya-Karya Henri Bergson:

1.     Essai sur les donnees immediates de la conscience   (1889: Waktu dan Kehendak Bebas).

2.     Matiere et memoire (1896; Materi dan Ingatan).

3.     Duree et simultaneite (1922; Lamanya dan Keserentakan).

4.     L’evolution creatice (1907; Evolusi Kreatif)

Les deux sources de la morale et de la religion (1932; Kedua Sumber Moral dan Agama.

5.     Dalam bidang politik Bergson berperan, PD I: Mengabdi kepada negara sebagai utusan pemerintah Prancis. Ketua Komisi Kerja Sama Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Terlibat dalam persiapan pembaruan pendidikan di Prancis. Terpilih sebagai anggota Academie Francaise (1914). Menerima nobel Kesastraan (1928).

Pemikiran:

a.     Pemikiran Bergson Tentang Moral dan Agama

1.     Tentang Moral.

Bergson membagi persoalan moral ini menjadi dua bagian yakni moral tertutup dan moral terbuka. Moral tertutup menandakan masyarakat yang tertutup. Masyarakat tertutup bukan berarti karena keterbatasan ruang atau hanya meliputi sebagian orang saja tetapi karena dikuasai oleh suatu moral yang hanya berlaku dalam masyarakat tertentu saja atau tidak berlaku universal. Prinsip dasar moral tertutup ialah kerukunan di dalam dan permusuhan di luar. Dalam suatu negara, setiap warga memihak kepada sesama warga negara dan melawan musuh. Sumber moral tertutup adalah desakan sosial atau desakan kerukunan yang harus dimengerti sejalan dengan insting. Bagi Bergson kewajiban etis tidak berasal dari rasio tetapi berasal dari desakan sosial untuk tetap mempertahankan kehidupan dan kerukunan masyarakat. Sedangkan moral terbuka menandakan masyarakat terbuka. Moral terbuka bersifat universal dan mencari kesatuan antara seluruh umat manusia. Moral terbuka juga bersifat dinamis akibat dari perubahan masyarakat. Moral terbuka berasal dari emotion creatrice atau emosi kreatif yang mendorong individu melakukan suatu tindakan etis. Moral terbuka tidak didasarkan pada kewajiban, melainkan imbauan dan aspirasi. Hal ini telah ditunjukkan tokoh-tokoh dunia yang menggugah banyak orang untuk melalui tindakan mereka yang mencanangkan cinta universal sebagai cita-cita dan diwujudkan dalam kepribadian dan kehidupan mereka. Tindakan dari mereka yang memilik moral terbuka menggugah orang lain bukan karena desakan sosial dan alasan-alasan rasional tetapi karena keteladanan mereka.

2.     Tentang Agama

Bergson juga mengklasifikasikan agama menjadi dua yakni agama statis dan agama dinamis. Agama statis menurutnya, sangat lah berguna dalam menunjang kesatuan sosial. Dalam agama statis, penganut agama cenderung mengutamakan kepentingan diri sendiri dan mengabaikan kepentingan masyarakat umum karena mempunyai intelegensi. Intelegensi adalah kemungkinan bagi manusia untuk menggunakan dan menciptakan alat-alat buatan sehingga dengan intelegensinya manusia berusaha menjalankan pengaruhnya atas dunia material dan mengabaikan kepentingan umum. Oleh karena itu, akal budi sangat lah kritis dan mendorong orang mementingkan diri sendiri. Menurut Bergson, hal ini dapat mengancam kebersamaan dalam masyarakat. Pengaruh akal budi perlu diimbangi oleh la function fabularitic (bisa dikatakan sebagai mitos atau fantasi) yang dipandang berasal dari dewa-dewa yang berisi larangan dan adat kebiasaan. Melalui pelaksanaan tradisi adat dan penghukuman atas pelanggaran, para dewa dipandang telah menjaga susunan masyarakat dari perpecahan. Sedangakan agama dinamis Agama dinamis menurut Bergson adalah mistik. Para mistikus bersatu dengan usaha kreatif Allah (oleh Bergson disebut Elan Vital). Para mistikus merasakan kesatuan dengan Allah secara tertentu. Menurut Bergson, Tuhan adalah cinta dan objek cinta. Bergson mengatakan bahwa ada tujuan ilahi dalam proses evolusi yakni usaha Allah agar setiap makhluk mendapatkan kasihnya. Pengalaman akan kasih Allah tidak dapat dipahami oleh intelek, tetapi hanya dapat dipahami melalui intuisi. Melalui intuisi manusia mencapai taraf reflektif atau mencapai pengalaman mistik. Menurut Bergson Elan Vital (dapat dikatakan sebagai Allah) dikomunikasikan orang-orang tertentu yang disebut mistikus. Para mistikus mengalami kontak atau komunikasi secara intens dengan Tuhan. Kaum mistik inilah yang berpartisipasi dalam kasih Tuhan bagi umat manusia.

Menurut Bergson, dalam agama Kristen mistik mencapai bentuknya yang paling lengkap karena di situ mistik disertai aktivitas dan kreativitas. Dalam agama dinamis para menganut agama mengamalkan hal yang dipercayai atau diimani dalam aktivitas dan karya. Pengalaman bersama Allah diaktualisasikan dalam realitas hidup. Melalui pengalaman mistik manusia dapat merasakan adanya energi kreatif yang bekerja dalam dunia yakni cinta. Sama seperti moral terbuka, agama terbuka juga mengamalkan cinta universal untuk semua orang, tidak hanya untuk kelompok tertentu saja.

b.     Pemikiran Tentang Dure dan Kebebasan



[1] Sebagian besar isi artikel ini saya salin dari materi presentasi kelompok, pada kelas Capita Selecta semester VII, Universitas Sanata Dharma tahun ajaran 2021/2022. Sebagian lainya adalah hasil pencarian saya secara personal. 

  Perihal Hidup: Sejak awal 2023, saya sudah disibukkan dengan satu pekerjaan baru yakni penyelenggara Pemilu persisnya panwaslu desa (PKD...