Jumat, 23 Agustus 2019

skripsi


FILSAFAT NAMA MENURUT PI’I PATO’
PADA KEBUDAYAAN MARONGGELA, KECAMATAN RIUNG BARAT
KABUPATEN NGADA, NUSA TENGGARA TIMUR
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Filsafat
Universitas Katolik Widya Mandira Kupang
Untuk Memenuhi Sebagai Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjan

OLEH

KRISANTUS YUSTUS
No. Reg: 611 15 005
 
FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA
KUPANG
2019

FILSAFAT NAMA MENURUT PI’I PATO’
PADA KEBUDAYAAN MARONGGELA, KECAMATAN RIUNG BARAT
 KABUPATEN NGADA, NUSA TENGGARA TIMUR

OLEH
KRISANTUS YUSTUS
No. Reg: 611 15 005


Menyetujui


Pembimbing I                                                               Pembimbing II

(Dr. Watu Yohanes Vianey, M. Hum.)                       (Rm. Drs. Theodorus Silab, Pr. Lic. Th)


Mengetahui,
Dekan Fakultas Filsafat
Universitas Katolik Widya Mandira


(Rm. Drs. Yohanes Subani, Pr. Lic. Iur. Can.)


Dipertahankan  Di Depan Dewan Penguji Skripsi
Fakultas Filsafat
Universitas Katolik Widya Mandira
Dan
Diterima Untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat


Pada Tanggal 14 Juni 2019

Mengesahkan
Dekan Fakultas Filsafat


Rm. Drs. Yohanes Subani, Pr. Lic. Iur. Can.

Dewan Penguji
1.      Rm. Drs. Mikhael Valens Boy, Pr. Lic. Bib.                                  _______________

2.      Rm. Drs. Theodorus Silab, Pr. Lic. Th                                           _______________

3.      Dr. Watu Yohanes Vianey, M. Hum.                                              ________________

KATA PANGANTAR
Pujian dan syukur kepada Allah karena atas berkat, bantuan dan kasih-Nya, penulis dapat menyelesaikan tulisan ini. Penulis menyadari penuh bahwa terciptanya tulisan ini karena bimbingan dan penyertaan-Nya.
            Kebudayaan merupakan keseluruhan proses dan hasil perkembangan manusia yang disalurkan dari generasi ke generasi untuk kehidupan manusia yang lebih baik. Kebudayaan tetap terpelihara karena didukung oleh filsafat hidup masyarakat setempat.  Filsafat hidup adalah suatu falsafah/pandangan hidup (way of life) yang menjadi ideal, titik tolak dan norma bagi masyarakat dalam berpikir dan bertindak sebagai seorang yang beradab. Sesuatu yang ideal itu dicita-citakan sebab terkandung makna kebaikan, kebenaran dan keindahan. Filsafat hidup adalah roh suatu masyarakat, cetusan orang terdahulu dan terus diwarisi kepada generasi mendatang.
            Dalam tulisan ini penulis mempresentasekan filsafat nama menurut Pi’i Pato’ pada kebudayaan orang Maronggela di Kecamatan Riung Barat, Kabupaten Ngada. Pi’i Pato’ sebagai suatu ritual pemberian nama kepada seorang bayi yang baru lahir terus dipelihara dan diwarisi sebab terdapat berbagai nilai filosfis. Filsafat nama menurut Pi’i Pato’ berarti pandangan tentang nama. Nama adalah bentuk kenangan kepada leluhur, sebagai harapan akan masa depan, sebagai tanda sosial, perestu Yang Ilahi dan Leluhur dan nama sebagai gambaran karakteristik seseorang. Filsafat nama perlu dipahami secara baik oleh sidang pembaca dan juga masyarakat Maronggela sebagai suatu pandangan hidup, dengannya pembaca memiliki suatu kekuatan konsep untuk melawan fenomena modernitas yang ditandai dengan westernisasi nama.
            Sesuai bidang pembelajaran penulis yaitu filsafat maka tulisan ini adalah suatu tulisan kebudayaan bernuansa filosofis. Oleh sebab itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. P. Philipus Tule, SVD selaku Rektor Unwira yang dengan bijaksana dan dengan penuh pengabdian telah memimpin penyelenggaraan pendidikan di lembaga pendidikan tinggi ini.
2. Rm. Drs.Yohanes Subani, Pr, Lic. Iur. Can., selaku Dekan Fakultas Filsafat beserta seluruh dosen yang telah mendidik dan memberi kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini sebagai kelengkapan akhir studi.
3. Para dosen pembimbing dan penguji: Dr. Watu Yohanes Vianey, M. Hum. Selaku pembimbing I yang telah membantu dan meneguhkan penulis selama proses bimbingan melalui sumbangan saran, nasihat dan petunjuk bermanfaat; Rm. Drs. Theodorus Silab, Pr, Lic. Th. selaku pembimbing II yang telah memberikan masukan-masukan yang membantu penulis dalam menyelesaikan tulisan ini; Rm. Drs. Mikhael Valens Boy, Pr. Lic. Bib., selaku penguji I yang telah bersedia menguji, member masukan dan membuka cakrawala baru kepada penulis untuk membuat karya ini menjadi semakin baik.
4. Para pegawai tata usaha: Bpk. Desiderius Metan, Ibu Brigita Pala dan Ibu Apolonia M. Fernandes selaku pustakawati yang telah membantu dan memperlancar proses pendidikan penulis di Fakultas Filsafat UNWIRA.
5. P. Markus Ture, OCD selaku Komisaris OCD Indonesia yang telah member kepercayaan dan kesempatan serta membiayai pendidikan penulis.
6. Para pembina di Biara Karmel San Juan Penfui-Kupang: P. Sakarias Abduli, OCD selaku superior yang telah menyediakan berbagai fasilitas yang diperlukan dan membiayai kehidupan penulis selama masa studi; P. Kletus Kristianus Sebhu, OCD selaku magister yang telah mendampingi dan mengayomi penulis; P. Aloysius George Deeny, OCD, P. Sirilus Pay, OCD dan P. Arkadeus Jabur, OCD yang telah memotivasi penulis untuk menyelesaikan karya ini tepat waktu.
7. Para frater OCD Biara Karmel San Juan Penfui, Kupang yang dengan tekun mendoakan dan mendukung penulis dengan caranya masing-masing.
8. Karyawan/i Biara Karmel San Juan Penfui, Kupang yang telah mengabdikan diri dan melayani penulis bersama teman-teman frater dengan setia.
9. Kedua orang tua tercinta; Bapak Viktus Ganu dan Mama Sinta Fatima, saudara/i, serta keluarga besar Maronggela- Riung yang senantiasa mendoakan, mendukung, memotivasi dan menguatkan penulis dalam panggilan.
10. Semua pihak yang tak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu penulis dengan cara mereka sendiri.
Penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari sempurna. Karena itu penulis mengharapkan sumbangan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi kebaikan dan penyempurnaan karya ini. Semoga karya ini membantu para pembaca untuk semakin akrab dengan adat dan kebudayaan masing-masing.
Kupang, Awal Juni 2019
 Penulis

DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN........................................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................................ iii
KATA PENGANTAR......................................................................................................... iv
DAFTAR ISI........................................................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................... 1
1.1  Latar Belakang................................................................................................................. 1
1.2  Rumusan Masalah............................................................................................................ 9
1.3  Tujuan Penelitian............................................................................................................. 9
1.4  Manfaat Penelitian........................................................................................................... 10
1.5  Metode Penelitian............................................................................................................ 10
1.6  Sistematika Penulisan...................................................................................................... 11
BAB II GAMBARAN UMUM MARONGGELA............................................................ 13
2.1 Asal-Usul Orang Maronggela.......................................................................................... 13
2.1.1 Maronggela Secara Etimologis..................................................................................... 13
2.1.2 Asal-Usul Maronggela.................................................................................................. 14
2.2 Letak Geografis, Iklim dan Jumlah Penduduk................................................................ 15
2.2.1 Letak Geografis ........................................................................................................... 15
2.2.2 Iklim.............................................................................................................................. 17
2.2.3 Jumlah Penduduk ........................................................................................................ 17
2.3 Kebudayaan Maronggela................................................................................................. 18
3.3.1 Bahasa .......................................................................................................................... 19       
2.3.2 Sistem Religi……………………................................................................................. 21
2.3.3 Sistem Pengetahuan ..................................................................................................... 22
2.3.3.1 Pengetahuan Tentang Alam....................................................................................... 23
2.3.3.2 Pengetahuan Tentang Tumbuhan............................................................................... 23
2.3.3.3 Pengetahuan Tentang Binatang................................................................................. 24
2.3.3.4 Pengetahuan Tentang Tubuh Manusia....................................................................... 24
2.3.3.5 Pengetahuan Tentang Sifat Dan Tingkah Laku Manusia.......................................... 24
2.3.3.6 Pengetahuan Tentang Ruang Dan Waktu.................................................................. 25
2.3.4 Struktur Sosial.............................................................................................................. 25
3.3.5 Perkawinan................................................................................................................... 27
3.3.5.1 Tawa Aza Lalan Daler Ale Wae................................................................................ 27
3.3.5.2 Reze Bewe’ Ngai Lezo’n........................................................................................... 28
3.3.5.3 Timbi Keba Ta’an Warat........................................................................................... 28
3.3.5.4 Para Gaen/Sot Gaen................................................................................................... 28
BAB III UPACARA PI’I PATO’ PADA KEBUDAYAAN MARONGGELA.............. 30
3.1 Arti Dan Makna Pi’i Pato’.............................................................................................. 30
3.1.1 Arti P’ii Pato’…………………     …..………….............................................................. 30
3.1.2 Makna P’ii Pato’.......................................................................................................... 31
3.2 Pi’i Pato’ Dalam Hubungannya Dengan Wina Wai Rana Laki...................................... 32
3.2.1 Wina Wai Rana Laki .................................................................................................... 32
3.2.2 Hubungan Wina Wai Rana Laki dan Pii Pato’............................................................. 33
3.3 Upacara Pi’i Pato’........................................................................................................... 34
3.3.1 Bahan-bahan................................................................................................................. 34
3.3.1.1 Pinang Mudah (wne’) beserta Sirih (rebo)................................................................ 35
3.3.1.2 Beras (dea’ kewus) ................................................................................................... 37
3.3.1.3Ayam (Manuk)............................................................................................................ 38
3.3.1.4 Babi (Wawi)............................................................................................................... 39
3.3.1.5 Nyiru ( Dining).......................................................................................................... 39
3.3.2 Pelaksana Upacara Pi’i Pato’....................................................................................... 39
3.3.2.1 Bayi Yang Baru Lahir (Anak Wara).......................................................................... 40
3.3.2.2 Orang Tua Bayi (Nde Ma’n) ..................................................................................... 40
3.3.2.3 Tua Adat (Ata GaE).................................................................................................. 41
3.3.2.4 Warga Kampung (Woe wongko’).............................................................................. 42
3.3.3 Waktu dan Tempat ...................................................................................................... 43
3.3.3.1 Waktu ....................................................................................................................... 43
3.3.3.2 Tempat....................................................................................................................... 44
3.3.4 Upacara Pi’i Pato’........................................................................................................ 44
3.3.4.1 Persiapan.................................................................................................................... 44
3.3.4.2 Pelaksanaan................................................................................................................ 45
3.3.4.2.1 Pintu Pazir Pi’i Pato’:............................................................................................. 46
3.3.4.2.1.1 Syair Pintu Pazir Pi’i Pato'    …………………..................................................... 47
3.3.4.2.1.2 Syair Terjemahan................................................................................................. 48
3.3.4.2.2 Nampo’ Ngalit........................................................................................................ 50
3.3.4.2.3 Penyucian................................................................................................................ 50
3.3.4.2.4 Bunuh Babi dan Kambing (Tunu Wawi Mble Mbe’).............................................. 51
3.3.4.2.4 Barak Wae’ Sagi’.................................................................................................... 52
3.3.4.2.6 Makan Bersama (Ghan Inung Semo Gepok/Kte’ Mbako)...................................... 53
3.3.4.2.7 Pembubaran (Siba’ Kear)....................................................................................... 53
3.3.4.3 Gokat Lima Wali Ma Uma........................................................................................ 54
3.3.4.4 Konsekwensi Baik dan Buruk................................................................................... 55
BAB IV FILSAFAT NAMA MENURUT PI’I PATO’ PADA KEBUDAYAAN MARONGGELA KEC. RIUNG BARAT, KAB. NGADA NTT.............................................................................. 56
4.1 Filsafat ............................................................................................................................ 56
4.1.1 Filsafat Sebagai Karya Reflektif ................................................................................. 58
4.1.2 Filsafat Sebagai Suatu Kebijaksanaan Hidup.............................................................. 59
4.2 Nama................................................................................................................................ 60
4.2.1 Nama Religius............................................................................................................... 62
4.2.2 Nama Marga................................................................................................................. 63
4.3 Teori Nama...................................................................................................................... 63
4.3.1 Nama Dalam Filsafat Cina .......................................................................................... 63
4.3.2 Nama Dalam Tradisi Kristen........................................................................................ 64
4.3.3 Nama Pada Kebudayaan Maronggela........................................................................... 65
4.4 Filsafat Nama................................................................................................................... 66
4.5 Makna Di Balik Nama-Nama Orang Maronggela........................................................... 68
4.5.1 Nama Pogol.................................................................................................................. 68
4.5.2 Nama Buzan.................................................................................................................. 69
4.5.3 Nama Tanggo’.............................................................................................................. 70
4.5.4 Nama Nderu.................................................................................................................. 72
4.5.5 Nama Lawa................................................................................................................... 74
4.6 Point-Point  Filsafat Nama Menurut Pi’i Pato’ Pada Kebudayaan Maronggela............. 77
4.6.1 Nama Sebagai Kenangan Akan Leluhur...................................................................... 77
4.6.2 Nama Sebagai Harapan Akan Masa Depan................................................................. 80
4.6.3 Nama Sebegai Perestuan Yang Ilahi Dan Leluhur....................................................... 82
4.6.4 Nama Sebagai Tanda Sosial......................................................................................... 84
4.6.4.1 Nilai Pencitraan......................................................................................................... 85
4.6.4.2 Nilai Ekonomis.......................................................................................................... 86
4.6.5 Nama Sebagai Gambaran Karakter Seseorang............................................................. 87
4.7 Refleksi Filosofis............................................................................................................. 87
BAB V PENUTUP............................................................................................................... 89
5.1 Kesimpulan...................................................................................................................... 89
5.2 Saran................................................................................................................................ 92
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 93
DAFTAR INFORMAN...................................................................................................... 96
DAFTAR QUESIONER..................................................................................................... 99
LAMPIRAN GAMBAR..................................................................................................... 100
CURRICULUM VITAE..................................................................................................... 104
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Manusia secara eksistensial[1] bersifat dwitunggal, sebagai individu sekaligus berkodrat sosial “ens sociale”. Sebagai individu manusia itu “ada” dalam dirinya, unik, tak ada duanya, ia pribadi yang otonom, berdiri sendiri dan berhak menjadi diri sendiri. Setiap individu berhak mempergunakan kebebasan  dan inisiatifnya. Individu bisa eksis tanpa harus terlalu bergantung pada intervensi individu lain, berbuat sebebas-bebasnya berpusat pada kemampuan pribadi (egosentris) serta yakin akan kebenaran dirinya sendiri tanpa mempertimbangkan orang lain. Hal ini bisa menimbulkan bahaya yang disebut individualisme.[2]
Dalam realitas kita tahu bahwa individu tidak bisa tidak,  ada-nya selalu ada bersama orang lain. Penegasan terhadap individualitas justeru karena ada-nya orang lain. Individu terhubung dengan yang lain.[3] Keterhubungan dengan yang lain itu nyata, bahwa individu terlahir dari orang lain yaitu dari orang tuanya, bahkan ia terlahir sebagai mahluk yang belum sempurna dan lemah, sehingga menggantungkan nasib sepenuhnya kepada orang tua. Sejak kelahiran sesungguhnya unsur sosialitas sudah tampak dalam diri manusia. Individu membutuhkan orang lain, berinteraksi dengan orang lain demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Pada titik ini harus diterima bahwa manusia itu adalah mahluk sosial. Sebab manusia terhubung dengan yang lain. Jadi dua kodrat yang melekat pada manusia ini tidak bisa dilepas pisahkan, bahkan saling mempertegas kodrat masing-masing, sebagai individu yang otonom pada sisi lain dan sebagai mahluk sosial di sisi lainya. Keterhubungan dengan orang lain justeru mempertegas individualitas manusia.[4]
Sebagai individu otonom dan juga sekaligus mahluk sosial manusia saling terhubung demi kepenuhan hidupnya, sosialitas adalah kumpulan berbagai individu otonom membentuk kebersamaan yang mutual, peleburan dalam kebersamaan tidak akan pernah menghilangkan otonomi individu, tentu masing-masing individu berbeda satu dengan yang lain. Anak kembarpun pasti akan selalu berbeda, macam-macam unsur pembeda baik secara psikis, biologis, identitas sosial, bakat dan sebagainya. Salah satu dari sekian banyak unsur pembeda antar individu yang satu dan individu yang lain adalah nama diri (proper name). Nama diri (proper name) itu spesifik, pembeda dari nama orang lain tetapi juga tanda pengenal.  Dengan menyebut namanya, orang  lain bisa mengklasifikasikan individu tersebut berkarakter seperti apa, berasal dari daerah tertentu, beragama tertentu. Namun jika menyebut nama individu lain tentu orang dapat mengklasifikasikan bahwa individu tersebut berasal dari daerah lain dan beragama lain.
Selain sebagai tanda pembeda, nama juga adalah tanda pengenal, apa dan siapa serta bagaiman pribadi seseorang. Dari namanya orang lain bisa mengetahui siapa dirinya, darimana asalnya, apa agamanya. Memanggil nama seseorang berarti memanggil totalitas dirinya. Menghargai nama seseorang berarti menghargai existensi orang tersebut. Tetapi menghina nama seseorang, yang terhina adalah pribadi secara utuh dari orang bersangkutan. Menyebut namanya secara sopan itu menjadi suatu bentuk penghargaan terhadap dirinya.Nama mempunyai makna terhadap setiap pribadi. Setiap orang memiliki nama. Nama merupakan perwujutan, pengejawantahan sekaligus menjadi identitas pribadi seseorang. Seseorang dipanggil dengan namanya, menyebut nama tidak saja hanya mengeluarkan bunyi melalui huruf-huruf yang tersusun, melainkan mengandung makna pengakuan terhadap eksistensi pemilik nama. Pengakuan ini bersifat utuh, artinya menyebut nama seseorang dengan baik adalah mengakui eksistensi orang bersangkutan, sebaliknya melecehkan nama seseorang sama dengan melecehkan pribadi pemilik nama.[5]
Banyak orang yang berusaha untuk berbuat baik sesuai ukuran masyarakat dan agama agar ketika meninggalkan dunia ini nanti nama baiknya dihargai. Ada pepatah kuno berbunyi “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meniggalkan nama.” Nama baik identik dengan prilaku baik, yang identik dengan kebenaran dan terpuji, sehingga tidak tercela semasa hidupnya.[6] Pengakuan akan kebaikan seseorang menghargai manusia, sebab menurut Abraham Maslow secara esensial manusia butuh dihargai (kebutuhan akan harga diri)[7]  butuh diakui keberadaanya. Pertama kebutuhan untuk dianggap kuat, mampu mencapai sesuatu, memadai, punya keahlian dan kompetensi, percaya diri untuk menghadapi dunia, mandiri dan bebas. Kedua manusia mempunyai keinginan untuk memilki reputasi dan prestise tertentu (didefinisikan sebagai penghargaan atau penghormatan dari orang lain), yang berupa status, kebanggaan kemenangan, dominasi, dikenal, diperhatikan, dianggap penting, martabat, atau apresiasi tertentu lainnya.[8]Penghargaan karena prestasi akademik biasanya diberi gelar Master, Doktor dan penghargaan tertinggi yakni Professor. Gelar-gelar ini lalu ditambahkan pada nama seseorang. Nama memang sangat penting dan harus dihargai.
Dalam berbagai kebudayaan, nama mengandung arti yang penting. Banyak suku mempertahankan sebagian tradisi dengan salah satunya melalui nama-nama yang diberikan pada anggota keluarganya, bahkan pemberian nama selalu disertai dengan kegiatan ritual baik bersifat agamis maupun bersifat kultural. Tujuannya adalah untuk keselamatan jiwa si pemilik nama. Tidak jarang pula ketika nama yang diberikan kepada seseorang tidak cocok, nama itu membawa malapetaka, misalnya pemilik nama sakit-sakitan. Melakukan ritual pemberian nama secara baik selalu mengandung makna tersendiri bagi orang-orang yang menganut budaya tersebut. Sang proklamator kemerdekaan bangsa Indonesia (Seokarno), dijuluki Putera Sang Fajar.[9]Sesuai pemaparannya dalam buku Soekarno Penyambung Lidah Rakyat, makna Putera Sang Fajar itu berkaitan dengan peristiwa kelahirannya. Beliau lahir pada saat matahari terbit, tepat di  awal abad 20 yang penuh cerita ini yaitu tahun 1901. Karena di balik nama selalu ada makna, maka julukan Putra Sang Fajar kepada Soekarno tersirat harapan orang tua kepada dirinya yang dikemudian hari harus menjadi orang sukses, orang terpandang, dan orang yang memilki status sosial yang tinggi seperti analogi  matahari.[10] Inilah contoh bahwa makna sebuah nama itu terbentuk dari bagaimana nama itu didapatkan sehingga nama memilki makna tertentu.
Namun oleh proses globalisasi, bola bumi (globe) kita menjadi kecil, jarak mendekat dan hubungan dipermudah dan dipererat. Sekarang ini (bila tersedia uang), dengan berbagai alat transportasi kita dapat pergi mengunjungi dan berpindah dari satu ujung bumi ke ujung bumi yang lain dengan cepat dan nyaman. Oleh berbagai alat media massa, radio, televisi, surat kabar, majalah, peristiwa yang terjadi di satu sudut dunia dengan segera dapat diketahui oleh orang-orang di berbagai sudut dunia yang lain. Pemikiran dan penemuan ilmu teknologi tersebar ke seluruh dunia dan berbagai ideologi entah secara jelas atau tersamar, masuk dan beroperasi di setiap ruang di atas bumi.[11]
Dunia kini semacam suatu desa global (global-village), tidak ada jarak dan tak ada pembatas. Globalisasi dalam bidang kebudayaan juga sangat terasa, tergantung kebudayaan mana yang lebih kuat pengaruhnya, kebudaya itulah yang akan diikuti oleh seluruh penghuni desa global (global-village) ini. Dari fakta yang ada umumnya Kebudayaan Barat lebih kuat pengaruhnya bagi dunia, masuk dan menggerus kebudayaan-kebudayaan lokal. Orang-orang di desa-desapun jika ingin eksis, maka harus ikut tren, mode terbaru, merubah gaya hidup (life style) yang datang dari Barat. Fenomena ini disebut “Westernisasi” (West = Barat. Western= Orang Barat), membaratkan budaya lokal.[12]
Westernisasi mempengaruhi kebudayaan lokal, merubah cara pandang tentang makna kehidupan, konsekwensinya tampak dalam gaya hidup yang serba moderen.[13]Unsur primordial dari individu tertantang oleh tawaran-tawaran kebudayaan Barat.Primordialisme[14] agama dan budaya diwesternisasi. Salah satu bentuk primordial dari individu ialah nama diri. Nama diri adalah ekspresi primordial bahwa dia berasal dari kebudayaan tertentu dan beragama tertentu. Seharusnya unsur primordialis ini tetap terpelihara sebab tidak dapat dipungkiri seseorang terlahir dalam kebudayaan dan kepercayaan tertentu. Akhir-akhir ini juga unsur primordial dimodifikasi dan menjadi arti yang negatif. Namun, yang berbahaya adalah ketika orang mengidentifikasikan dirinya dengan unsur primordial, tetapi penyadaran akan ikatan primordial itu sangat disarankan, menandakan bahwa seseorang menyadari Ia beragama apa dan berasal dari kebudayaan mana.[15]
Problem weternisasi nama muncul ketika banyak orang tua yang tidak memahami apa arti sebuah nama, sehingga dalam pemberian nama kepada anaknya gagal merefleksikan makna terdalam dari nama tersebut tetapi tergantung penuh pada selera yang bersangkutan. Nama yang diberi misalnya diambil dari nama bintang film atau pesepak bola dunia bahkan nama artis papan atas idola orang tua. Hal ini membawa dampak di kemudian hari, ketika anak bertumbuh tidak sesuai namanya maka ia lalu tidak menghargai lagi nama yang diberikan oleh orang tuanya, anak tidak bisa bertumbuh seperti bintang film atau pesepak bola atau artis idola orang tua, sehingga sebebasnya anak-anak menyamarkan nama mereka demi penyembunyian identitas, tidak mampu menjadi apa yang diharapkan, tidak menghidupi spirit namanya.
Problem di atas juga akhir-akhir ini terjadi pada masyarakat Maronggela, suatu kampung di Kabupaten Ngada. Pengabaian terhadap makna sebuah nama di masyarakat Maronggela berdampak pada relativisme nilai. Anak-anak menjadi tidak hormat lagi kepada orang tua padahal dari namanya saja dia adalah anak-anak, beberapa kepala suku serta orang-orang yang mempunyai wibawa dalam masyarakat menjadi bingung dengan perannya, padahal nama itu jelas mempertegas peran yang harus dijalani. Kasus lain ketika anak tidak bertumbuh sesuai nama yang diberikan. Sebab hidup tidak sesuai nama akan terjadi kontradiksi, ketidakharmonisan.[16]
Sebagai bentuk perihatin penulis terhadap masalah westernisasi nama pada kebudayaan Maronggela maka penulis berusaha untuk meneliti secara mendalam ritual pemberian nama serta menemukan makna filosofis dari nama. Asumsi penulis, orang Maronggela seperti orang dari kebudayan-kebudayaan lokal lainya meyakini bahwa nama mengandung arti yang penting. Banyak suku mempertahankan sebagian tradisi dengan salah satunya melalui nama-nama yang diberikan pada anggota keluarga, bahkan pemberian nama selalu disertai dengan kegiatan ritual baik bersifat agamis maupun bersifat kultural. Tujuannya adalah untuk keselamatan jiwa si pemilik nama. Tidak jarang pula ketika nama yang diberikan kepada seseorang tidak cocok, nama itu membawa malapetaka, misalnya pemilik nama sakit-sakitan. Tidak hanya dalam konteks budaya nama memilki arti yang penting. Hubungan sang pencipta dengan manusia  dan sebaliknya terjadi dengan nama sebagaimana dialami oleh Musa, Yahweh menyebut diri-Nya sebagai AKU adalah AKU. (Keluaran 3 : 14).
Bertolak dari hasil pengamatan penulis, di Maronggela masih dipraktekkan ritual pemberian nama kepada bayi yang baru lahir. Ritual itu disebut Pi’i Pato’ (pemberian nama). Makna nama bagi masyarakat Maronggela justeru dibentuk pertama, dari bagaimana mereka menjalani Pi’i Pato’, yakni bahan-bahannya, orang-orang yang melakukan upacara tersebut serta doa-doa dalam yang diucapkan. Kedua, dari menafsir kata-kata atau analisis kata sebab setiap nama pasti memiliki arti tertentu. Nama itu menggambarkan seseorang yang berwatak tertentu. Kata bagaimana yang harus ditekan di sini, itu artinya metode penentuan sebuah nama bagi Masyarakat Maronggela sangat penting. Ada persyaratan-persyaratan tertentu yang harus digenapi dan tidak boleh dilanggar. Sebab jika dilanggar maka akan mendapatkan konsekwensi yang tidak diinginkan, seperti sakit-sakitan dan bahkan kematian.[17]
Masyarakat dari kebudayaan Maronggela sebenarnya memiliki filsafat hidup/pandangan hidup (way of life) sebagai pegangan dan norma tingkah laku. Berkaitan dengan nama, masyarakat kebudayaan Maronggela juga mayakini bahwa nama itu berdimensi masa lalu dan masa depan. Masa lalu berarti nama memang diambil dari nama kakek atau nenek sang bayi sebagai kenangan terhadap mereka, dan dimensi masa depan berarti ada harapan agar sang bayi bertumbuh sesuai nama yang diberikan kepadanya. Ketika bertanya “apalah arti sebuah nama” namun nama mempunyai makna terhadap setiap pribadi. Setiap orang memiliki nama. Nama merupakan perwujutan, pengejawantahan sekaligus menjadi identitas pribadi seseorang. Seseorang dipanggil dengan namanya, menyebut nama tidak saja hanya mengeluarkan bunyi melalui huruf-huruf yang tersusun, melainkan mengandung makna pengakuan terhadap eksistensi pemilik nama. Pengakuan ini bersifat utuh, artinya menyebut nama seseorang dengan baik adalah mengakui eksistensi orang bersangkutan, sebaliknya melecehkan nama seseorang sama dengan melecehkan pribadi pemilik nama. [18]
Dari problem di atas penulis dalam penelitian ini ingin mengulas tuntas tentang filsafat nama yang tersirat di balik tradisi Pi’i Pato’. Pada hakekatnya nama tidak asal-asalan saja tetapi adalah suatu tanda pribadi, suatu pengenal yang membedakan dirinya dari yang lain. Suatu keunikkan yang untuk orang lain tidak ada. Nama itu penting. Fokus penelitian penulis adalah di kampung Maronggela, karena pada prinsipnya orang Maronggela masih sangat menjunjung tinggi filsafat nama. Arti sebuah nama sangat penting bagi orang Maronggela, di mana nama seorang anak yang baru lahir diberi sesuai nama orang dari dalam anggota suku tersebut dan yang lazimnya nama itu adalah turunan dari nama kakek atau nenek si bayi.
Peneliti melalui tulisan ini akan memepertanggungjawabkan bagaimana praktik pemberian nama pada kebudayaan Maronggela di satu sisi, yaitu mulai dari mekanismenya sampai pada struktur acara dan di sisi lain juga akan dipaparkan bagaimana nilai dan makna serta filsafat nama, sehingga sebagai judul umum penelitian ini penulis merampungnya menjadi FILSAFAT NAMA MENURUT PI’I PATO’ (PEMBERIAN NAMA) PADA KEBUDAYAAN MARONGGELA, KECAMATAN RIUNG BARAT, KABUPATEN NGADA, NUSA TENGGARA TIMUR.
1.2  Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang di atas maka beberapa rumusan masalah yang terungkap dalam bentuk pertanyaan berikut menjadi penuntun dalam merangakaikan tulisan ini. Adapun hal-hal yang dipermasalahkan ialah :
1)      Siapa itu Orang Maronggela ?
2)      Bagaimana praktik ritual Pii Pato(pemberian nama)?
3)      Apa  makna filosofis dari nama dalam ritual Pi’i Pato’ pada masyarakat Maronggela?
1.3  Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah dan latar belakang yang telah dibahas di atas maka tulisan ini dibuat dengan tujuannya ialah sebagai berikut:
1)  Mengetahui siapa itu orang Maronggela.
2)  Mengetahui sedetail mungkin ritual Pi’i Pato’ pada masyarakat Maronggela.
3)  Mengetahui filsafat  nama menurut Pi’i Pato’ pada  masyarakat Maronggela.
1.4  Manfaat Penelitian
1)      Sebagai sumbangan bagi Universitas Katolik Widya Mandira Kupang pada umumnya dan Fakultas Filsafat pada khususnya dalam konteks mengenal budaya asli orang Maronggela teristimewa ritual Pi’i Pato’, sekaligus menggugah hati para mahasiswa untuk menggali budaya yang terdapat di daerahnya masing-masing dan menelaahnya menurut disiplin ilmu yang didapatkannya.
2)      Bagi para calon imam sehingga boleh mendapatkan sekedar inspirasi dari penelitian ini, demi persiapan diri menjadi pemimpin iman yang mengenal keunikan dan  latar belakang  umat teristimewa aspek bahasa karena itu yang menentukan siapa mereka, tetapi juga praktek-prektek budaya sehingga tidak kaku dalam pengajaran iman.
3)      Sebagai sumbangan bagi orang Maronggela, agar mereka semakin cinta akan budaya daerahnya yang ternyata mengandung berbagai makna dan nilai, baik nilai religius maupun nilai sosialdan juga sebagai simbol interaksi baik yang vertikal, dengan yang Transenden maupun yang horizontal, dengan sesama manusia.
4)      Dapat membantu peneliti sendiri untuk semakin mengenal warisan budaya masyarakat Maronggela serta melatih diri untuk merefleksi fenomen-fenomen kemasyarakatan secara ilmiah.
1.5  Metode Penelitian
Penulis memulai tulisan ini dengan menggunakan metode wawancara. Wawancara adalah teknik mengambil data dengan proses tanya jawab antara penulis dan informan untuk mendapatkan data secara lisan. Penulis berusaha mencari, mendatangi dan selanjutnya mewawancarai dan berdiskusi dengan para informan yang diyakini memiliki pengetahuan yang memadai tentang adat Maronggela.
1.6  Sistematika Penulisan
            Penulis berusaha merampung tulisan ini kedalam lima bab. Lima bab ini adalah komposisi dari masing-masing bab yang otonom. Setiap bab akan dibahas secara perinci pokok persoalanya dan proporsional dengan perinciannya sebagai berikut Bab I diberi judul Pendahuluan, pada bagian ini penulis menguraikan problem empiris yang menjadi latar belakang penelitian, tujuan dan kegunaan penulisan yang akan dikembangkan secara serius pada bab-bab selanjutnya.
          Selanjutnya  pada Bab II akan diuraikan secara terperinci siapa itu Orang Maronggela, mulai dari faktor-faktor yang membentuk kebudayaan tetapi juga aspek kebudayaan, maka beberapa dari sembilan unsur kebudayaan akan mendapat porsi pada bab ini. Maronggela adalah nama tempat sasaran penelitian bertempat di Desa Wolomeze, Kecamatan Riung Barat, Kabupaten Ngada-NTT dari aspek bahasa, struktur sosial, religi, perkawinan dan yang paling utama ialah unsur yang berkaitan dengan tema garapan penulis, sebagai ulasan tentang aspek yang diteliti yakni Pi’i Pato’ itu sendiri.
          Bab III akan diuraikan sedetail mungkin upacara Pi’i Pato’, mulai dari bahan-bahan yang harus dipersiapkan serta alasan persiapan bahan-bahan tersebut, kapan dilaksanakan, siapa yang melaksankan, persyaratannya apa, dan hewan korbannya apa, serta konsekwensi jika salah melaksanakan. Uraian akan sangat panjang, serta sedetail mungkin mulai dari tahap persiapan pelaksananaan hingga tahap akhir ritual Pi’i Pato’ tersebut, kita akan mengetahui betapa pentingnya dan betapa berbudayanya orang dari suku Maronggela.
          Bab IV adalah bagian yang paling inti karena pada bab ini penulis akan membela judul skripsi, tentang filsafat  namamenurut Pi’i Pato’ inilah inti hasil penelitian yang menjawab pertanyaan dasar mengapa Orang Maronggela seharusnya menghargai namanya, sebab  nama mengandung nilai filosofis. Nilai filosofis tersebut atas hasil refleksi tentang nama secara spesisfik tetapi juga mekanisme pemberian nama yang ternyata mengandung banyak nilai dan makna. Analisis nama dan analisis mekanisme. Pada bab ini akan dibahas adalah apa itu filsafat, apa itu nama, apa itu filsafat nama, serta berbagai penjelasan lainnya tentang apa itu Pi’i Pato’, perbedaannya dengan nampo’ ngalit penulis mempertanggunjawabkan secara rational agar tidak salah paham tentang Pi’i Pato’ itu sendiri, bawasannya Pi’i Pato’ bukan sebagai persona tetapi suatu kegiatan. Dibutuhkan kehati-hatian penulis agar tidak salah menjelaskan mengapa sesuatu yang adalah kegiatan bisa memberi pandangan filosofis.
          Tulisan ini akan ditutup dengan Bab V tentang usul saran serta catatan kritis penulis akan hasil penelitiannya, sebagai suatu rangkuman umum. Catatan kritis sebagai pengakuan realistis tentang hasil penelitian dan tulisan, sedangkan usul saran adalah harapan penulis bagi masyarakat Maronggela dan siapa saja yang membaca tulisan ini.

BAB II
GAMBARAN UMUM MARONGGELA
2.1 Asal-Usul Orang Maronggela
2.1.1 Maronggela Secara Etimologis
Upacara pemberian nama yang disebut Pi’i Pato’ terjadi di kampung Maronggela, maka perlulah untuk mengetahui gambaran umum Maronggela sehingga bisa memahami apa itu Pi’i Pato’. Gambaran umum Maronggela meliputi beberapa unsur dan faktor yang menenun suatu kebudayaan. Faktor kebudayaan berarti menyangkut hal-hal yang mempengaruhi seseorang berbudaya tertentu, alasan-alasan orang atau kelompok tertentu mau berbudaya, atau lebih tepat menjawabi pertanyaan mengapa orang berbudaya. Berbudaya artinya membentuk suatu kebudayaan yang luas dalam suatu kampung.  Faktor kebudayaan adalah pemicu orang berbudaya. Faktor-faktor kebudayaan sesuai defenisi Bakker adalah “segala apa yang menggerakan manusia untuk menghasilkan kebudayaan.” Faktor kebudayaan ini ada yang bersifat pengaruh, bersifat syarat, ataupun hanya melenyapkan penghambat untuk menciptakan kebudayaan. Faktor itu bukanlah sebab, manusialah menyebabkan kebudayaan, dia yang menciptakan nilai dari bahan mentah alam secara bebas.[19]
Secara etimologis kata Maronggela adalah gabungan dari kata Maro dan Nggela. Orang Maronggela mengartikan kata Maro sebagai tempat istirahat yang bersifat sementara dan strategis, biasanya di bawah suatu pohon besar atau di dalam gua. Tempat istirahat yang disebut Maro ini disinggahi ketika warga suku sedang melakukan upacara  adat berburu. Dalam upacara tersebut, pemburu harus tidur di luar kampung sampai lima hari sesuai dengan ketentuan adat (mawa), tempat pemburu beristirahat itulah yang disebut Maro. Sedangkan Nggela adalah nama seorang tokoh yang sering singgah di tempat bernama Maro itu. Maronggela secara harafiah artinya tempat istirahat Nggela.[20] Saat ini Maronggela sudah menjadi satu perkampungan dampak dari transmigrasi lokal yang sebelumnya bertempat di kampung lama Warukia. Alasan utama transmigrasi lokal yang dilakukan antara lain; kesulitan air, bahan pangan yang sulit didapatkan, dan juga jauhnya jarak dari pusat kabupaten. Penduduk Maronggela yang sekarang adalah penduduk Warukia transmigrasi, mereka berasal dari suku Warukia, di mana Suku Warukia itu sendiri adalah gabungan dari Suku Retas dan Suku Poso’ yang membentuk satu suku besar disebut Warukia. Dari fakta ini maka penulis menyatakan bahwa berbicara tentang Maronggela secara kebudayaan sama dengan berbicara tentang Warukia.[21]
2.1.2 Asal-Usul Maronggela
Warukia adalah salah satu sub suku dari etnis Riung yang berdasarkan penelitian  dipakai Pertama dari penelitian Antropolog Biljmer  mengatakan bahwa “suku yang berada di Pulau Flores, yaitu di Kabupaten Manggarai dan Riung di Kabupaten Ngada memilliki ciri-ciri fisik yang menunjukan bahwa mereka lebih dekat ke ciri-ciri suku Deutro Melayu daripada suku-suku lain di Flores yang lebih dekat ke ciri suku Proto Melayu yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia.[22]
Pendapat di atas didukung oleh Paul Arndt, SVD. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa “hanya orang Riung, yang terletak di sebelah  Utara dari Ngadha dan Nagekeo, sepertinya bagian dari Manggarai. Kemiripan Riung dan Manggarai ditunjukan oleh bentuk perkampungan yang terdiri dari rumah-rumah berbentuk bulat dengan atap berbentuk kerucut, dan yang lain lagi rumah bersudut siku-siku. Bentuk rumah dan atap seperti itu hanya kita jumpai di Manggarai. Di beberapa kampung dapat dijumpai  kedua  bentuk  rumah tersebut, sedangkan di kampung Warukia (sekarang Maronggela) dapat dijumpai tiga bentuk rumah.”[23] Selain kemiripan bentuk rumah, terdapat juga kesamaan dalam tarian Caci atau Larik  dan juga beberapa suku kata bahasa seperti ungkapan untuk menyebut Yang Ilahi sama-sama menyapanya Mori Kraeng. Hal-hal inilah yang memperkuat tesis bahwa Manggarai dan Riung berciri Deutro Melayu. Maronggela dalam posisi ini adalah bagian dari Etnis Riung.
Kedua dari cerita rakyat yang berkembang di daerah tersebut, dikisahkan bahwa Orang Riung berasal dari pulau Palue. Orang–orang Palue yang dahulu sangat gemar  berburu.  Mereka berburu ke berbagai daerah di sepanjang Nusantara ini di mana mereka bisa mendapatkan hasil buruan yang banyak demi kelangsungan hidup mereka. Suatu ketika mereka sampai ke tempat yang disebut Wolomeze.[24] Persediaan hewan buruan banyak, mereka memutuskan untuk menetap, membentuk perkampungan sebab mereka yakin bahwa kelangsungan hidup mereka terjamin. Dari Wolomeze kemudian pecah ke dua daerah baru. Daerah pertama, bermula dari Wolomeze menyebar ke Namut, ke Denatana, ke Wangka dan sampai di Lengkosambi. Daerah kedua, bermula dari Wolomeze menyebar ke Retas, dari Retas ini menyebar lagi ke Warukia, sampai Wate dan berakhir di Mbarungkeli. Kampung-kampung ini  kemudian membentuk suatu etnis yaitu etnis Riung. Saat ini etnis Riung terbagi dalam tiga kecamatan yaitu Riung, Riung Barat dan Wolomeze.[25] Maronggela dalam posisi ini adalah Warukia yang lama.
2.2 Letak Geografis, Iklim dan Jumlah Penduduk
2.2.1 Letak Geografis
Maronggela adalah salah satu kampung yang didiami oleh penduduk dari Suku Warukia, terletak di Desa Wolomeze dan menjadi pusat Ibu Kota Kecamatan Riung Barat, Kabupaten Ngada- NTT. Batas-batasnya, Timur berbatasan langsung dengan Desa Ngara, Utara berbatasan dengan Desa Ria, Selatan berbatasan dengan Desa Wolomese 2 (Namut) dan Barat berbatasan dengan Desa Wolomoze 1 (Nampe). Kampung Maronggela terbentang banyak bukit dan lembah serta padang dan hutan. Perbukitan tersebut hanyalah padang rumput tempat pemeliharaan hewan. Hewan peliharaan ini diikat dan akan dilepas (dibiarkan tidak terikat) pasa musim-musim kemarau karena saat itu semua sawah dan ladang sudah dipanen. Selain itu, bagian lembah digunakan masyarakat Maronggela untuk bercocok tanam, atau sawah musiman, artinya hanya dikelolah pada musim hujan.[26] Keadaan geografis yang menantang ini membentuk pola pikir orang Maronggela yang cendrung kritis dan cerdas.
Terdapat sebuah pasar lokal yakni Pasar Manis Maronggela sebagai salah satu pasar Mingguan di Kecamatan Riung Barat, sebuah Gereja Katolik sebagai pusat Paroki Maria Assumpta Maronggela dengan wilayah pelayanannya seluas Kecamatan Riung Barat, terdapat satu SMA Negeri, satu SMP Swasta dan satu SD serta satu TKK. Di kampung Maronggela juga berdiri Biara Karmel OCD Putra Indonesia dan Biara Susteran Sang Timur (PIJ).
2.2.2 Iklim
Seperti daerah-daerah lain di Riung Barat, Maronggela juga mengenal dua musim dalam setahun yaitu  musim kemarau dari bulan Mei sampai dengan Oktober, dan  musim hujan dari bulan November sampai April.  Dari hasil penelitian di Riung secara umum, suhu rata-rata di daerah pegunungan (termasuk Maronggela) pada musim hujan berkisar sekitar  antara 20 ͦC  sampai 290C, dan pada musim panas antara 28 ͦC sampai 32 ͦ C. Sedangkan di daerah pantai, suhu udara pada musim hujan rata-rata  260C sampai  30 ͦC dan  pada musim kemarau rata-rata 29 ͦC sampai 34 ͦC.[27]
Pada musim kemarau (lezo’ meze’), biasanya masyarakat menghabiskannya untuk membuka lahan baru sehingga siap kerja di musim hujan.  Bentangan satu musim itu panjang, maka selain mempersiapkan lahan baru, pada musim kemarau juga dihabiskan untuk urusan-urusan adat kebudayaan, seperti berburu adat (podo’ ka’o), urusan perkawinan (wina wai rana laki), sebab urusan-urusan tersebut sulit dilakukan pada musim hujan (manga basa’ awa’ mai nuzan lonto mai).[28]
2.2.3 Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk berdasarkan data dari kantor Desa Wolomeze per 2019. Jumlah penduduk secara umum 917 jiwa yang terdiri dari laki-laki 483 jiwa, perempuan 434 jiwa. Dilihat dari jumlah berdasarkan agama maka penduduk yang bergama Katolik laki-laki 481 jiwa, perempuan 426 jiwa. Islam laki-laki 2 jiwa, perempuan 8 jiwa. Protestan laki-laki 1 jiwa.[29]
Jumlah penduduk ini adalah keseluruhan warga Desa Wolomeze yang menempati kampung Maronggela. Semua penduduk asli di kampung Maronggela berasal dari suku Warukia seperti yang sudah diterangkan di atas dan saat ini kampung Maronggela dibagi ke dalam beberapa Dusun/RW yang membentuk satu Desa.
2.3 Kebudayaan Maronggela
Kebudayaan memperlihatkan seluruh kepribadian dan karakter seorang manusia, karena itu kebudayaan dapat dilihat sebagai jendela yang sudah dibuka untuk memahami misteri manusia. Kebudayaan sesuai dengan arti katanya ialah hasil cipta dan tempaan manusia (otak dan budi), dan karena itu sesungguhnya manusia lebih dilihat sebagai mahluk kultural ketimbang mahluk natural atau alamiah. Sebagai mahluk kultural, kita menemukan dua arti utama yaitu: a) manusia sebagai hasil produk budaya, b) manusia sebagai penerima pertama dan akibat atau hasil terbesar dari kebudayaan.[30]
Kebudayaan berasal dari kata bahasa Sansekerta yakni buddhayah, bentuk jamak dari buddhi yang berarti akal atau budi. Kebudayaan lalu diartikan sebagai hasil budi daya manusia yang berkaitan erat dengan karya akal. Di sini ada distingsi antara kebudayaan dan budaya, budaya diartikan sebagai perkembangan kata majemuk budi-daya yang berarti daya atau kekuatan budi yang terungkap dalam cipta rasa dan karsa. Masyarakat Maronggela  menghasilkan kebudayaan, sedangkan kebudayaan itu menentukan corak masyarakat. Jadi antara masyarakat dan kebudayaan merupakan suatu kesatuan yang memiliki hubungan yang sangat erat, tidak mungkin keduanya dipisahkan. Ada manusia (dalam arti luas, masyarakat), maka ada kebudayaan, tidak akan ada kebudayaan kalau tidak ada pendukungnya, yaitu manusia dalam arti yang lebih luas adalah masyarakat, jadi berikut beberapa unsur kebudayaan yang membentuk masyarakt Maronggela:
3.3.1 Bahasa                                                                                                                                      
Sistem bahasa merupakan produk manusia sebagai mahluk berbahasa (homo loguens). Pada umumnya bahasa dimulai dengan tanda atau kode, kemudian disempurnakan lewat bahasa lisan atau tulisan. Semua ini adalah simbol-simbol. Oleh sebab itu Erns Casirer menyebut manusia sebagai homo symbolicum. Bahwa bahasa mencerminkan konseptualisasi manusia dan penafsiran manusia terhadap dunia. Dari bahasa yang dipakai oleh suatu masyarakat dapat diketahui bagaimana masyarakat tersebut memandang realitas dunia. Bahasa ini kemudian berkembang menjadi semakin komunikatif dengan menemukan sekian banyak kosa kata baru dalam pengembangan bahasa itu sendiri.[31]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahasa diartikan  sebagai “suatu sistem lambang  bunyi  yang abitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Bahasa Indonesia adalah gabungan dari berbagai bahasa daerah di seantero Nusantara ini, selain berasal dari bahasa Melayu dan bahasa Sansekerta. Definisi lain dari bahasa adalah sebagai sebuah sistem komunikasi yang membuat manusia dapat bekerja sama. Defenisi ini menekankan fungsi sosial dari bahasa, dan fakta bahwa manusia menggunakannya untuk mengekspresikan dirinya sendiri, dan untuk memanipulasi obyek dalam lingkungannya.[32]
Ada dua bahasa yang digunakan dalam keseharian hidup orang Maronggela. Bahasa tersebut adalah bahasa Indonesia dan bahasa Maronggela sendiri. Bahasa Indonesia dipakai untuk kepentingan komunikasi dengan orang dari luar suku atau etnis, juga dipakai pada saat-saat resmi. Sedangkan bahasa daerah Maronggela digunakan bagi sesama anggota suku atau etnis, dalam komunikasi harian mereka maupun dalam ritus keagamaan serta upacara adat. Bahasa Maronggela berfungsi sebagai alat ekspresi seni (pantun, peribahasa), sebagai bahasa adat dan sebagai  bahasa doa.
Bahasa Maronggela dengan dialeknya itu, selain digunakan sebagia bahasa pergaulan, juga sebagai simbol berupa pantun atau peribahasa, ada juga dalam bentuk kata-kata bijak tertentu berupa  puisi  yang sarat makna dan hanya digunakan dalam seremonial adat atau ritus keagamaan. Banyak puisi indah yang bermakna dalam, adalah rangakian kata-kata bahasa daerah kuno, yang hampir punah termakan usia, sebab oleh karena percampuran budaya dan pengaruh eksternal mempengaruhi juga perubahan bahasa, dan ketidakmengertian akan arti dari kata yang diucapkan mengakibatkan banyak generasi muda yang lupa akan bahasa daerah Maronggela. Belum banyak kata-kata yang dibuat dalam tulisan, orang Maronggela rata-rata masih menggunakan bahasa lisan yang diwarisi turun temurun.[33]Berikut beberapa-beberapa  contoh pantun dan peribahasa dalam bahasa Maronggela:
1.      Aku zaak ndulu watu tudu, aku gai watu tangi, secara harafiah artinya saya tidak mau mangikuti atau melewati batu yang membuat saya terantuk, melainkan menginginkan batu (tangga) yang dapat mengangkat saya ke tempat yang lebih tinggi. Dalam arti peribahasanya ialah tidak mau mendengar (mengikuti) hasutan orang, melainkan menginginkan nasihat atau petuah  yang berguna.[34]
2.      Wena awa kempo’ kurun sake kaer pande lawe, tuke eta nelo nunuk ketok kako nago naros, artinya setia dan bertanggung jawab dalam hal kecil merupakan modal untuk dapat diserahi tanggung jawab yang lebih besar.[35]
3.      Diren le mai, kek rawu rek, artinya fajar harapan telah menyingsing, tinggalkan kekelaman masa silam.
2.3.2 Sistem Religi    
Sistem religi dan juga upacara keagamaan merupakan hasil usaha manusia sebagai mahluk treligi (homo religious). Kesadaran akan adanya sesuatu yang melampauinya, terdapat kekuatan luhur yang kepadanya dia merasa bergantung. Ini juga yang mendorong manusia untuk menyembah dan dari sini lahirlah kepercayaan yang kemudian berkembang menjadi agama. Sistem religi dan semua ritus keagamaan merupakan perwujutan atau ungkapan bagaimana manusia mampu mengundang yang ilahi untuk dapat menjawabi semua kebutuhannya.[36] Tanggapan manusia terhadap wahyu ilahi diungkapkan secara manusiawi baik batin (psikologis, ethis) maupun lahir (simbol-simbol, praktek). Ungkapan-ungkapan itu mengkonstitusikan lingkungan sakral.[37]
Sistem religi menjadi unsur yang sangat penting dalam kehidupan manusia, termasuk orang Maronggela. Banyak persoalan manusia yang tidak dapat dipahami dengan menggunakan akal sehat semata, dalam realitas juga terdapat hal-hal gaib, semua termasuk dalam kategori unsur religi. Unsur religi mengatur hidup antara manusia dengan Sang Pencipta/Unsur Ilahi. Sebelum penyebaran agama-agama samawi sampai ke Warukia/Maronggela, penduduk asli sudah mempunyai sistem kepercayaan tersendiri. Warga suku Warukia/Maronggela percaya kepada Mori Kraeng, atau Mbo’ Muri, sebagai Tuhan yang melampaui manusia, kepadanya segala pujian permohonan diarahkan. Dalam setiap doa adat, selalu diarahkan ke Mori Kraeng atau Mbo Muri ini.[38]
2.3.3 Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan merupakan produk manusia sebagai homo sapiens. Kita dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan pemikiran sendiri tetapi juga pemikiran orang lain. Pengetahuan itu kemudian menyebar luas melalui komunikasi antarmanusia. Penyebaran menjadi lebih luas kalau hasil pemikiran itu ditulis atau dibukukan agar dapat dibaca dan diteruskan dari generasi ke generasi. Setiap manusia tidak akan bisa hidup tanpa adanya pengetahuan, karena semua yang ada di sekitarnya mau itu benda, sifat keadaan, atau hal kecil apapun yang diketahui dan juga dipahami lalu diterima oleh manusia menggunakan panca indra itu merupakan pengetahuan.[39]
Sistem pengetahuan sendiri memiliki arti suatu unsur kebudayaan yang mengatur hal yang dapat membantu manusia untuk lebih berkembang dengan apa yang ada. Dengan adanya pengetahuan, maka manusia akan menjadi lebih maju dan berinovasi. Dengan adanya sistem pengetahuan maka dapat membuktikan bahwa manusia merupakan homo sapiens.
Orang Maronggela juga sebagai homo sapiens tentu memiki sistem pengetahuan, yang  berfungsi untuk memenuhi rasa ingin tahu mereka terhadap suatu ilmu. Manusia dapat memenuhi kebutuhan hidup melalui sistem pengetahuan. Dengan adanya rasa ingin tahu maka manusia akan melakukan penelitian dari mulai penelitian sederhana bahkan sampai penelitian yang kompleks. Sistem pengetahuan itu dibedakan menjadi lima yaitu:
2.3.3.1  Pengetahuan Tentang Alam
Pengetahuan tentang alam itu mencakup pengetahuan astronomi, musim, dan juga gejala alam. Pengetahuan tentang alam diperoleh melalui kegiatan sehari-hari berburu, dan bertani. Melalui dinamika kegiatan harian tersebut orang Maronggela lalu memetahkan atau membentuk kalender tahunan sesuai perubahana alam, mereka tahu kapan harus menanam dan kapan harus panen, begitupun dalam hal berburu kapan waktu yang tepat untuk melakukannya. Pada musim hujan orang Maronggela biasa menghabiskan waktunya untuk bekerja sawah dan ladang (ghoe uma temok) sedangkan musim kemarau mereka akan menghabiskan waktunya untuk membuka ladang baru (sau’ ume weru) dan berburu (podo’ ka’o).
2.3.3.2  Pengetahuan Tentang Tumbuhan
Pengetahuan tentang tumbuhan ini mencakup pengetahuan dasar seperti bercocok tanam. Hampir di setiap tempat semua masyarakatnya mempunyai pengetahuan dasar mengenai tumbuhan. Misalnya tumbuhan apa yang dapat dimakan oleh manusia, tumbuhan untuk binatang ternak, tumbuhan untuk obat alami. Begitupun orang Maronggela mengetahui semua jenis tumbuhan yang berkembang di daerah tersebut serta khasiat dan manfaatnya. Ada beberapa tumbuhan yang diharamkan, ada yang tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi dan banyak yang lainnya bisa diolah oleh manusia.
Tumbuhan-tumbuhan yang dibudidaya oleh orang Maronggela seperti padi, kopi, kemiri, kakao/coklat, jagung dan berbagai umbi-umbian sebagai bahan makanan dan juga untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya. Tanaman ini ditanam dan dirawat sedemikian di kebun-kebun atau sawah-sawah orang Maronggela.
2.3.3.3  Pengetahuan Tentang Binatang
Pengetahuan tentang binatang mencakup mata pencaharian berburu. Orang Maronggela hidup di daerah perbukitan dan lembah, jadi banyak dikelilingin binatang-binatang baik itu peliharaan maupun yang liar. Maka dari sana mereka tahu secara baik karakteristik suatu binatang, apa kelemahan dan kelebihannya serta bagaimana menaklukkan bintang tersebut.
Binatan peliharaan orang Maronggela ialah kuda, kerbau, sapi, kambing, babi dan ayam. Semua binatang tersebut dipelihara untuk memenuhi kebutuhan orang Maronggela. Adapun binatang-binatang liar  seperti babi hutan, rusa, musang, landak, monyet dan kelelawar sebagai binatang buruan orang Maronggela.
2.3.3.4  Pengetahuan Tentang Tubuh Manusia
Pengetahuan tentang tubuh manusia ini biasa digunakan untuk mengobati orang yang sakit. Contohnya mengetahui ciri-ciri tubuh manusia, letak, dan susunan uratnya untuk mengobati orang sakit pada masyarakat tradisional, di Maronggela ada yang berperan sebagai ata mbko sando dia diyakini memiliki kemampuan supranatural yang bisa menerawang dan mengetahui detail tubuh manusia, sehingga jika seseorang mengalami sakit badan akan sangat mudah diobatinya.
2.3.3.5  Pengetahuan Tentang Sifat Dan Tingkah Laku Sesama Manusia
Pengetahun ini mencakup bagaimana manusia dalam bertingkah laku, adat-istiadat, sistem norma yang berlaku, hukum adat, dsb.
2.3.3.6  Pengetahuan Tentang Ruang Dan Waktu
Pengetahuan tentang ruang dan waktu digunakan untuk menghitung, mengukur atau menentukan penanggalan. Dor akan tahu kapan waktunya untuk melakuakan upacara-upacara adat seperti Caci/Larik, rame, ghan weton, podo’ pentong, waktu-waktu tersebut sudah disepakati bersama dalam suku berdasarkan analisa mereka sesuai dengan alam lingkungan.
2.3.4 Struktur Sosial
Kesosialan sebagai sifat, unsur, alat demikian erat dengan kebudayaan, sehingga hanya dapat dibedakan secara konseptual saja. Ini berlaku baik dalam pandangan statis maupun dinamis. Secara statis kesosialan meliputi fungsi dalam institusi-institusi asasi sebagai keluarga monogam, masyarakat adil dan makmur, desa dan kota, bangsa dan negara. Manusia yang hidup berdasarkan daya kodrat yang harus diperkembangkan menjadi pembawa nilai terhadap orang lain. Setiap golongan sosial mencapai ikatan batin dalam menghayati nilai-nilai yang mewujudkan sebuah golongan sosial.[40]
Dalam tulisan Kondrad Kebung struktur sosial didefenisikan sebagai sistem organisasi kemasyarakatan yang baginya merupakan produk manusia sebagai homo socius. Manusia menyadari keterbatasannya dan untuk dapat memperoleh tujuan yang lebih luas dia perlu bekerja sama dengan orang lain demi peningkatan kesejahteraan hidupnya. Sistem gotong royong contoh yang sangat unik, dalam konteks Indonesia yang umum [41]
Struktur sosial yang dimaksud ialah realitas kehidupan orang Maronggela. Secara system oraganisasinya, kekuasaan tertinggi ialah Ulu  Golo (kepala suku, pemimpin tertinggi di kampung Maronggela), yang menempati tingkat kedua ialah Ga’en Wongko’  (pemuka masyarakat), satu tingkat di bawahnya ialah yang disebut Gelarang  (wakil dari Ulu Golo)[42]. Adapun juru bicara dalam kampung Maronggela itu disebut Pabisara. Satu tingkat di bawah Pabisara disapa sebagai Dor (jabatan ini biasa dipegang oleh orang yang mengetahaui masalah pertanahan dan  memahami adat serta budaya dalam suku. Dor  juga yang bertugas untuk mengatur jadwal tahunan di kampung Maronggela, misalnya kapan Ghan Weton[43], kapan Larik dan berbagai acara adat lainnya.[44]
Ada pemegang kekuasaan di bawah tingkatan Dor yaitu Berambang, arti harafiahnya ialah dada. Dialah selaku badan keamanan kampung.Kemudian ada tingkat berikut ialah tangan onar. Dia bertugas sebagai ahli nujum, meramal tentang musim dengan melihat tanda-tanda bintang atau bulan. Ada petugas kesehatan dalam suku Maronggela itu disebut sandi wne’- rbo. Tugasnya seperti dokter bisa mendeteksi atau menganalisis sakit-sakit yang diderita oleh aggota suku. Dalam kegiatan kerja ada yang menjadi pembaginya dan juga pengamat serta vasilitator pekerjaan itu yang dinamakan Punggawa. Dia tugasnya sebanding dengan ketua sub dalam proyek-proyek. Punggawa dipilih bukan berdasarkan suatu musyawarah suku namun langsung ditentukan oleh kepala suku. Selain Punggawa yang dipilih  langsung oleh Ulu Golo ada juga badan pengaman kampung yang lain yang disebut Ngawas Ata. Tugasnya sebagai suatu agen rahasia yang memata-matai musuh dari luar etnis, jika akan ada perang antara suku. Tingkatan yang paling bawah dalam etnis Maronggela disebut Woe Golo/Woe Wongko. Mereka adalah rakyat jelata, para pendatang dari luar etnis juga masuk dalam golongan ini.[45]
3.3.5 Perkawinan
Orang Maronggela mengenal sistem perkawinan patrilinear, artinya hak dalam perkawinan diatur menurut garis keturunan bapa. Seluruh tata cara perkawinan orang Maronggela dan Riung pada umunya dirakitkan dalam Wina Wai Rana Laki. Dalam urusan adat perkawinan, biasanya kaum perempuan harus dihormati daripada kaum laki-laki. Nama pasangan perempuan harus disebut terlebih dahulu daripada nama pasangan laki-laki. Seorang laki-laki yang hendak melamar seorang perempuan, dia harus datang ke perempuan yang dicintainya bertemu langsung dengan kedua orang tau perempuan sebagai simbol penghormatan terhadap kaum wanita.[46]Wina wai rana laki ini menjiwai hampir seluruh tata hubungan kekerabatan orang Riung (Maronggela). Tipe dan pola pergaulan antar anggota masyarakat dan antara keluarga selalu mengacu pada hubungan berdasarkan Wina Wai Rana Laki. Kedewasaan seseorang secara sosial ditentukan sejauh mana orang atau keluarga tersebut menjalankan atau mengikuti prosedur perkawinan sebagaimana ditentukan oleh peraturan Wina Wai Rana Laki.[47]
Beberapa tahap prosedural perkawinan Wina Wai Rana Laki yaitu:
3.3.5.1 Tawa  Aza Lalan, Daler Ale Wae’
Arti harafiahnya adalah “tertawa di jalan ketika saling bertemu dan di tempat sumber air ketika sedang mengambil air atau mandi atau apa saja.” Pemuda dan pemudi saling mengenal dan menjalin hubungan, pemuda lalu melaporkan kepada orang tuanya, orang tua kemudian akan mencari seorang lain seagai lawe zarum/awa lalan, pergi ke rumah pemudi untuk melamarnya. Dalam waktu tiga hari pemuda  akan mendapakan jawaban setuju atau tidak dari pihak perempuan.[48]
3.3.5.2 Reze Bewe’ Ngai Lezo’n
Arti harafiahnya ialah merencanakan hari-malamnya. Pada tahap ini lawe zarum/awa lalan (jembatan) dan orang tua wanita merencanakan untuk tahap selanjutnya.
3.3.5.3 Timbi Keba Ta’an Warat
Arti harafiahnya ialah “penahan angin, tutup badai.” Jika si gadis serta orang tuanya menyetujui lamaran maka pada tahap ini lawe zarum/awa lalan datang bersama keluarga laki-laki ke rumah keluarga wanita dan membuat lamaran secara resmi. Keluarga wanita mulai saat itu akan disebut mbaru kapo’ dan keluarga laki-laki disebut  uma nozong. Bahan pembicaraan pada pertemuan ini adalah bete ketak go sot lezon ngai bewen oleh para gaen. Pada kesempatan inilah orang tua laki-laki harus membawa 4 buah kelapa, 2 ekor ayam, sebilah parang, serta seberkah sirih pinang. Pihak/orang tua wanita akan membawa balasannya dengan beras 1 pedo/doke, gelas 1 pasang (ponto’).
3.3.5.4 Para Gaen/Sot Gaen
Pada tahap ini pihak mbaru kapo’ (keluarga wanita) dan uma nozong bersama tua-tua adat merestui dan meresmikan perjodohan, serta merencanakan tahap berikutnya. Binatang yang harus dibawa pada kesempatan ini adalah ayam, kelapa, sirih pinang, seekor kambing, seekor kuda. Dengan dijalankan tahap ini maka kedua keluarga menjadi weta nara weru (saudara-saudari baru), pada tahap ini ditentukan jumlah pola dadang[49] keseluruhan.
Wina wai rana laki tidak pernah selesai, hal tersebut akan terus berlangsung sepanjang kehidupan pasangan suami isteri itu. Dalam setiap kesempatan upacara adat akan selalu ada wina wai rana laki, pihak laki-laki akan membawa barang-barang sesuai dengan jalurnya (apa yang seharusnya dia bawa) dan pihak perempuan juga akan membalas dengan barang-barang yang menjadi keharusannya. Untuk upacara Pi’i Pato’ nantinya sangat jelas di mana kedua belah pihak (kelaurga besar dari ibu dan dari ayah si bayi) hadir dengan masing-masing membawa sesuai ketentuan.
BAB III
UPACARA PI’I PATO’ PADA KEBUDAYAAN MARONGGELA
3.1 Arti Dan Makna Pi’i Pato’
3.1.1 Arti Pii Pato’
Secara etimologis Pi’i Pato’ terdiri dari dua kata, yakni Pi’i dan Pato’. Pi’i artinya nama namun nama yang dimaksud hanya dalam pengertian Pi’i Pato’ dan Pato’ artinya pemberian (nama). Kedua kata tersebut merupkan padanan mempertegas makna. Pi’i Pato’ secara harafiah berarti pemberian nama.[50] Namun arti Pi’i Pato’ lebih luas dari sekedar pemberian nama, yaitu suatu upacara atau ritus inisiasi yang melingkupi banyak hal seperti waktu, tempat, bahan serta persiapan-persiapan menjelang upacara tersebut. Pi’i Pato’ adalah suatu rangakaian upacara pemberian nama kepada seorang warga suku yang belum bernama. Umumnya kepada bayi yang baru lahir sebab mereka terlahir belum bernama. Upacara ini terjadi lima hari setelah bayi dilahirkan, dengan puncak upacara ialah pemberian nama.[51]
Beberapa istilah lain yang berkaitan dengan Pi’i Pato’ yaitu;  pertama, Pintu Pazir Pii Pato’ adalah suatu rangkaian doa adat, dilakukan pada saat upacara tersebut untuk memohon penyertaan Yang Ilahi dan leluhur terhadap bayi baru (anak wara). Kedua, Nampo’ ngalit dari kata nampo’  artinya tindakan pemberian nama dengan pinang muda terbelah dua sebagai sarananya dan ngalit artinya nama. Istilah ini lebih spesifik menyebut tata cara dimana seorang tua adat/yang dipercayakan untuk pemberian nama melakukan tindakannya. Ketiga, Bot ngalitn, artinya nama yang ditawarkan itu cocok.

3.1.2 Makna Pi’i Pato’
Upacara Pi’i Pato’ adalah warisan leluhur yang sangat bermakna dan sarat nilai filosofisnya bagi masyarakat Maronggela. Melalui upacara pemberian nama ini tampak makna bahwa nama sangat berharga bagi masyarakat Maronggela, untuk mendapatkannya harus melalui ritual. Nama itu begitu diluhurkan dan sakral sebab dalam melakukan ritual Pi’i Pato’ leluhur, diikutsertakan, harus menyebutkan doa-doa adat, memenuhi persyaratan-persyaratan seperti hewan kurban dan lainya.
Di dalam upacara Pi’i Pato’ juga tersirat nilai sosiologis dimana dalam upacara dibutuhkan keterlibatan om tanta (Paman dan Bibi dari anak bayi terbut), ka’e aze’ (keluarga dari orang tua bayi), woe wongko’ (warga suku). Saat itulah nilai kekeluargaan, sosialitas dibangun. Kehadiran semua warga suku membuktikan bahwa ada nilai sosialnya. Nama adalah hak bagi sang bayi sebagai penegasan bahwa dia memang berasal dari suku Maronggela. Setiap anak yang terlahir dari orang tua berbudaya Maronggela diberi nama keluarga suku Maronggela.[52]
Koentjaraningrat melalui penelitiannya tentang tradisi pemberian nama  Orang Batak Toba menyimpulkan bahwa bagi mereka nama harus diambil dari nama nenek moyang yang mempunyai keunggulan dan sifat kepahlawanan, atau nama-nama tumbuhan dan tempat yang berarti sangat baik, bisa mengangkat derajat si pemakai nama ke derajat yang lebih tinggi, menjadi pembesar, orang terkenal, orang kaya dan orang mempunyai banyak anak. Nama itu memilki arti yang menentukan nasib si pemiliknya di hari depan. Demikian menurut keyakinan dan pengalaman orang-orang tua sering nama itu sesuai sekali dengan pemiliknya, dengan melihat kehidupan sehari—hari atau sifat dirinya.[53]
Ritual serta makna suatu nama bagi masyarakat Toba ini sebagian besar sama dengan tradisi Maronggela. Adapun ritualnya terjadi lima hari setelah kelahiran (mawa lima). Setelah kematian nanti, kenduri (buin bobok) akan dilakukan pada hari ke lima juga. Maka angka lima mengandung nilai tertentu bagi masyarakat suku Maronggela. Angka yang sakral, awal dan akhir selalu dalam hitungan ke lima. Eksistensi[54] Pi’i Pato’ sebagai pertanggungjawaban penulis terhadap judul akan diulas kemudian.
3.2 Pi’i Pato’ Dalam Hubungannya Dengan Wina Wai Rana Laki
3.2.1 Wina Wai Rana Laki
            Wina wai rana laki padanan kata ini berarti urusan adat perkawinan. Sedangkan kata wina berarti wanita, wai istilah kuno yang tidak diketahui maknanya, rana artinya laki-laki dan laki berarti kaya, adalah urusan adat perkawinan. Dalam urusan adat perkawinan kaum perempuan harus dihormati daripada kaum laki-laki. Nama pasangan perempuan harus disebut terlebih dahulu dari pada pasangan laki-laki. Seorang laki-laki yang hendak melamar perempuan dia harus datang ke rumah perempuan yang dicintainya bertemu orang tua perempuan, sebagai simbol penghormatan terhadap kaum wanita.
Jadi wina wai rana laki tetap dilaksanakan walaupun semua urusan adat perkawinan sudah selesai. Hal ini menunjukkan bahwa ikatan kekeluargaan tidakakan pernah putus dengan berakhirnya urusan adat. Belis sesuai jalurnya tetap terjadi (kudi lalan), di mana pihak perempaun sebagai anak wina dan pihak laki-laki sebagai anak rana.
3.2.2 Hubungan Wina Wai Rana Laki Dan Pi’i Pato’
            Pada saat upacara Pi’i Pato’ di mana seorang anggota suku baru lahir dan akan diberi nama sesuai kebudayaan, anak itu bukan semata hanya milik dari kedua orang tua kandungnya, namun kelahiran baru menjadi suatu hal yang membanggakan terhadap keluarga besar yaitu dari pihak bapak dan dari pihak ibu. Sebab anak adalah anugerah, penerus suku dan kebanggaan keluarga besar, maka upacara Pi’i Pato’ bukan saja hanya tanggung jawab orang tua kandung namun menjadi tanggung jawab bersama. Anak sulung dalam keluarga biasanya disebut anak  Om[55] (Saudara laki-laki dari pihak ibu), karena ia disebut anak Om maka tetap keseluruhan urusan adat anak sulung ini menjadi tanggung jawab dari pihak Om.
Wina wai rana laki, terlaksana juga pada upacara Pi’i Pato’, di mana ketika anak wina (keluarga darai pihak ibu) dan anak rana (keluarga dari pihak ayah) datang dan berjumpa selalu dengan barang bawaan sesuai jalurnya atau ketentuan yang harus dibawa berdasarkan peraturan adat. Anak rana akan membawa kelapa ayam, sirih pinang, jika berkenan juga akan membawa kambing, kuda sedangkan balasan dari anak wina adalah beras, babi, kain. Sistem ini bisa disebut tukar menukar barang tetapi semua sesuai jalurnya atau hukum adat perkawinan. Dengan adanya upacara Pi’i Pato’ di mana anak yang adalah individu berharga bagi suku tersebut akan dinamai maka anak tersebut bukan semata hanya menjadi tanggung jawab orang tua kandungya sendiri namun semua keluarga besar baik dari pihak ibu maupun dari pihak bapak, mereka akan berkumpul pada upacara tersbut (mboro pas genak gokat)¸dan terjadilah tukar menukar barang. Dengan itu sebenarnya ikatan persaudaraan tidak akan pernah terhapus.
3.3 Upacara Pi’i Pato’
3.3.1 Bahan-Bahan
Pi’i Pato’ adalah suatu rangakain upacara pemberian nama (nampo’ ngalit), dalam suku Warukia. Puncak dari Pi’i Pato’ ialah nampo’ ngalit, maka Pi’i Pato’itu merangkum beberapa hal sebagai suatu kesatuan kegiatan yaitu dari bahan-bahan, waktu dan tempat pelaksanaan, orang yang melaksanakannya, serta konsekwensi-konsekwesi.
Secara keseluruhan upacara Pi’i Pato’ dimulai sejak kelahiran bayi. Pada hari pertama banyak tetangga datang mengunjungi bayi yang baru lahir (paro rokong). Ayah atau keluarga si bayi tentu saat itu sedang jaga bersama, selain menemani ibu yang akan melahirkan tetapi menantikan manusia baru. Kelahiran selalu menjadi momen yang indah bagi suku Maronggela, di sana tidak ada pembedaan perlakuan, jenis kelamin apa saja anak yang baru lahir itu selalu membawa kegembiraan tertentu. Kegembiraan atas kehadiran baru ini dialami semua warga kampung bukan hanya keluarga inti, maka saat paro rokong, sebagai ekspresi kegembiraan warga suku akan datang dengan membawa berbagai barang kebutuhan, seperti sembako, gula, rokok, makanan dan lain sebagainya. Pihak keluarga inti terisitimewa ayah kandung harus memperhatikan dan mengingat semua orang yang datang paro rokong, sebab nanti mereka semua harus akan diundang kembali (nakang) untuk hadir pada upacara Pi’i Pato’.[56]
Upacara Pi’i Pato’ terlaksana pada hari kelima setelah kelahiran, dengan beberapa alasan antara lain, dari sisi medis-kesehatan. Pada hari kelima ibu yang baru melahirkan sudah bisa bergerak secara leluasa, si bayi pula sudah dapat digendong hingga jauh dari rumah. Alasan berikut adalah alasan persiapan sebab upacara Pi’i Pato’ adalah pesta maka persiapan itu penting. Hal-hal yang dipersiapkan menyongsong Pi’i Pato’ adalah nama untuk si bayi baru dan juga bahan-bahan. Adapun bahan-bahan yang harus dipersiapkan yaitu:
3.3.1.1 Pinang Mudah (Wne’) Beserta Sirih (Rebo)
Sirih-pinang dalam bahasa Maronggela disebut wne’ rebo. Sirih dan piang ini sebagai bahan kte’ bagi orang Maronggela yaitu makan/memamah sirih dan pinang dengan dicampuri sedikit kapur hingga air liur berwarna merah. Terkadang kebaikan seseorang diukur dari seberapa sering ia mengundang orang lain untuk kte’ bersamanya. Kte’ sudah menjadi hal yang lumrah dan adalah kebiasaan orang Maronggela pada khususnya, bahkan kebutuhan akan kte’  jauh lebih besar daripada akan makanan. Menurut pengakuan orang yang sering kte’, mereka tidak akan pernah semangat jika belum kte’, jadi wne’ rebo (sirih dan pinang) mengandung zat adiktif. Budaya kte’ menjadi sangat berkembang, tidak tercabut lagi dari kebudayaan Maronggela.
Sirih pinang (wne’ rebo) diklasifikasi lagi. Pertama pinang[57] (wne’) terdiri dari pinang mudah (wne’ nguza) dan pinang tua (wne’ tu’a). Pinang muda (wne’ nguza) masih segar kehijauan dan belum dibelah, hanya akan dibelah nanti pada saat hendak melakukan kte’. Adapun ritualnya yakni buah pinang dibelah menggunakan pisau/parang atau dikupas dengan menggunakan gigi. Kemudian, isi buah ini dikunyah hingga hancur bersama dengan sirih. Pinang tua (wne’ tu’a)  yaitu pinang yang sudah dibelah dan dikeluarkan isinya lalu dijemur isinya agar bisa disimpan untuk masa yang panjang. Kedua sirih (rebo)[58], yakni sirih buah (rebo wua’) dan sirih daun (rebo lebo’). Sirih buah maupun daunnya sama-sama akan dicampuri dengan pinang demi kegiatan kte’.
Kegiatan kte’ dilakukan dengan cara pinang  dikupas dengan gigi kemudian, isi buah pinang dikunyah hingga hancur, umumnya buah pinang yang baik akan menghasilkan cairan kental saat dikunyah, sedangkan yang kurang baik akan menghasilkan cairan yang lebih cair. Setelah itu, batang sirih dicelupkan pada bubuk kapur dan dikunyah bersama dengan pinang. Hasil dari kombinasi ini adalah cairan kental berwarna merah yang biasanya diludahkan ke tanah oleh para pengunyah pinang. Konon, hasil sisa kunyahan pinang ini dapat menyuburkan tanah atau tanaman karena masih tergolong sampah organik. Setiap orang atau tetangga yang datang bertamu selalu disuguhi sirih pinang sebelum disuguhi minuman atau makanan lainnya, dan dalam semua upacara adat bahkan kehidupan harian kegiatan kte’ ini tidak pernah dilupakan bagi orang Maronggela.
Pinang yang digunakan dalam upacara Pi’i Pato’ yaitu untuk nampo’ ngalit selalu  pinang muda (wne’ nguza) yang masih segar dipetik dari pohon yang tinggi. Cara memetik buah pinang yang seharusnya, pinang dipanjat tanpa menyentuh akarnya sebab apabila akar pinang disentuh maka orang yang melakukaan kte’ menjadi mabuk, hal ini yang tidak pernah diinginkan terjadi apalagi pada upacara Pi’i Pato’.  Buah pinang tetap utuh dalam satu rumpun dan tidak boleh terlepas dari tangan si pemetik hingga ia kembali ke tanah. Simbol persatuan, penerimaan baik terhadap tamu. Anak yang baru lahir adalah tamu baru yang datang ke suku dan akan menjadi anggota suku Maronggela. Sebagai tamu Ia akan disambut dengan  kte’ mbako semo gepok  (makan/mamah sirih pinang dan rokok) sebagai bentuk kebaikan hati pemilik rumah atau anggota suku. Jika yang disuguhkan adalah pinang muda dan sirih buah (wne’ nguza ngai rebo wua’) itu melambangkan penghargaan terhadap tamu.[59]
Pinang (wne’) untuk upacara Pi’i Pato’ harus wne’ nguza (pinang muda) yang segar kehijauan, dipetik dari pohon yang sangat tinggi dengan larangan menginjak akar pohonya sebab bisa membuat mabuk bagi yang akan kte’  dan harus dibawa sampai ke darat dalam keadaan utuh serumpun. Makna dalam kaitannya dengan Pi’i Pato’ yaitu anak harus memiliki cita-cita yang tinggi, kehadirannya mempersatukan keluarga dan anggota suku tidak membuat orang menjadi kecewa akan tingkah lakunya nanti.[60]
3.3.1.2 Beras (Dea’ Kewus)
Perayaan yang lazim bagi orang Maronggela jika disertai dengan makan bersama, bahkan tiada perayaan tanpa makan bersama. Beras menjadi sangat dibutuhkan, bukan hanya untuk makan bersama semua yang hadir (woe wongko’), tapi beras yang sudah menjadi nasi (baku) adalah makanan yang seharusnya dalam upacara besar seperti penyambutan tamu dan kegiatan lainnya. Orang Maronggela juga biasa makan jagung dan ubi, tetapi dalam upacara Pi’i Pato’ harus makan nasi sebagai penghargaan terhadap si bayi yang baru lahir.
Beras (dea’) juga sebagai bahan makanan untuk warga kampung, dea’ akan dimasak hingga matang lalu disajikan usai nampo’ ngalit, sebab nampo’ ngalit adalah suatu perayaan. Berbicara tentang perayaan artinya ada orang yang merayakannya dan itu banyak, ada materi perlengkapan perayaan. Pi’i pato’ adalah suatu perayaan suka cita atas kelahiran baru, di mana anak wara diterima sebagai anggota suku resmi. Alasan kegembiraan yakni, anak wara akan menjadi penjamin kelangsungan suku, penerus budaya dll. Penerimaannya ke dalam suku menjadi suatu perayaan yang besar dengan makan bersama sebagai puncak perayaan, maka dea’ menjadi sangat dibutuhkan.[61]
3.3.1.3 Ayam (Manuk)
Dalam setiap upacara adat orang Maronggela selalu  disediakan manuk. Melalui manuk, pelaku acara akan melakukan ritual ngampong manuk atau pintu pazir, sebab manuk diyakini bisa menyampaikannya atau sebagai penghubung antara manusia dan Yang Ilahi.  Ngampong manuk artinya berdoa kepada Yang Ilahi dengan ayam sebagai sarana penghubungnya. Manuk diyakini sebagai ata mbko sando (yang memiliki kemampuan mengetahui lebih dari pada manusia), manuk mengetahui kapan pagi dan kapan malam sehingga waktu pagi dia akan berkokok membangunkan manusia dan mulailah manuk turun dari peraduanya untuk mencari makanan. Soreh tiba manuk akan kembali ke dahan pohon tempat istirahatnya (lezo’ le’ mai ko bur kau wau awa tana, lezo’ ale’ ko serot kau tuke ita nelo nunuk). Isi doa yang didoakan alam ngampong manuk itu macam-macam sesuai konteks kegiatan yang akan dilaksanakan. Bukti bahwa Yang Ilahi merestui dan memberkati kegiatan itu dengan melihatnya melalui lidah ayam yang dicabut usai doa, jika lidahnya lurus berarti Yang Ilahi atau Mbo’ Muri merestui doa dan harapan pemohon.[62]
Saat kegiatan Pi’i Pato’, (manuk) dibutuhkan, lalu didoakan pintu pazir. Manuk  lalu dibelah paruhnya menggunakan pisau, lidahnya dicabut, ata ga’e akan menganalisa lidah manuk tersebut untuk mengataui pesan dari leluhur (sia mbo’ nusi).  Darah manuk akan dioles ke anak bersangkutan sebagai penyucian dan pembersian dari berbagai hal jahat yang menempel pada dirinya, anak tidak akan sakit (pae’ miki sumpot, pae’ laza ringgang). Ngampong manuk dibalut dalam mata acaranya yang disebut ­gha’o kanggong, yakni upacara penerimaan dan penyucian suatu barang atau orang yang akan menjadi bagian dari suku. Anak wara harus digha’o kanggong agar dia disucikan dan diterima menjadi bagian dari suku, tindakan penyucian itu membutuhkan darah ayam.
3.3.1.4 Babi (Wawi)
Babi (wawi) dalam hal ini akan dikorbankan demi menjamu semua warga kampung (woe wongko’) yang datang untuk bergembira bersama mbolok ko tawa daler ne’e anak wara, jadi babi hanya dibutuhkan untuk bahan makanan. Wawi akan dibunuh (tunu wawi) pagi hari usai nampo’ ngalit ketika nama sudah disetujui (bot taun) barulah babi boleh dibunuh (tunu wawi, mble mbe’, pok manuk).
Dalam kaitan dengan wina wai rana laki, keluarga pihak perempuan (anak wina) akan menyiapkan babi dan beserta kain adat (lipa wawi), yang akan diberikan kepada pihak laki-laki (anak rana), dibawa pada saat upacara sesuai jalur adatnya akan dibalas oleh pihak laki-laki dengan hewan kuda dan kerbau. Tukar menukar barang (hewan) ini sesuai dengan jalur adat, tidak untuk mencari keuntungan, tetapi keuntungan yang terbesar ialah ikatan kekeluargaan semakin kuat. Bahkan hubungan karena ikatan perkawinan ini justeru dianggap sebagai hubungan darah.
3.3.1.5 Nyiru ( Dining)
Nyiru (dining) adalah suatu wadah yang digunakan aggota suku untuk membersihkan beras (dea’) sebelum dimasak.  Nyiru/tampa terbuat dari anyaman belahan batang pohon bambu yang dibelah, berbentuk bundar seperti piring berdiameter antara 65-80 cm. Alat ini biasa digunakan untuk menampi/membersihkan beras dari kotoran-kotoran sebelum dicuci dan dimasak dengan cara diayak secara manual, kemudian kotoran akan otomatis tersisih.
Nyiru memiliki kegunaan, sebagai tempat jemur kopi, dan pada upacara nampo’ ngalit digunakan sebagai tempat dimana diatasnya pinang dan sirih  (wne’ rbo) ditaruh. Wne’ nguza lalu dibelah dua dan akan dibuat ritual dengan memutarkan (weor wne’) yang ada dalam genggaman tua adat selama lima kali di atas kepala anak wara sambil berucap sa… zua… telu… pat… eee….. lima. Pinang mudah tersebut dibuang ke atas dan jatuh ke nyiru. Lihatlah hasil, jika sisi yang satu terbuka dan sisi lainya tertelungkup (nggelak sa pugu sa) berbarti nama yang ditawarkan itu sah (bot i), tetapi jika kedua sisih sama-sama terbuka atau tertelungkup (para nggelak para pugu) menandakan leluhur tidak menyetujui nama yang ditawarkan.
3.3.2 Pelaksana Upacara Pi’i Pato’
3.3.2.1 Bayi Yang Baru Lahir (Anak Wara)
Ritual Pi’i Pato’ tidak akan bisa berjalan tanpa orang yang melaksanakannya. Tentu melibatkan banyak orang di dalamnya. Alasan adanya ritual justeru karena kelahiran sang bayi. Sang bayi atau pendatang baru di suku Maronggela terlahir belum bernama, dia harus diberi nama agar diterima dalam komunitas suku. Nama melambangkan siapa dirinya. Alasan adanya upacara Pi’i Pato’ adalah seorang bayi yang baru lahir tanpa nama, jika bayi tersebut sudah meninggal sebelum diberi nama dia tetap tidak diberi nama.
Sebelum anak tersebut mendapatkan nama biasanya ia akan dipanggil secara halus, Nonong untuk anak laki-laki dan Otang untuk anak perempuan. Panggilan ini sangat akrab di Maronggela, semua anak perempun yang baru lahir akan selalu dipanggil Otang /Totang atau Doda, bahkan sapaan ini terus dipakai hingga anak tersebut menjadi dewasa. Maka perlulah upacara Pi’i Pato’ supaya anak bayi mandapatkan namanya sendiri yang membedakan dari nama orang lain, sebab jika tetap tidak bernama maka kemungkinan besar semua akan dipanggil dengan sapaan Otang. Alasan utama Pi’i Pato’ adalah anak bayi yang belum bernama, maka pelaksanaan Pi’i Pato’ terjadi karena ada anak wara.
3.3.2.2 Orang Tua Bayi (Nde Ma’n)
Orang tua (nden nee ma’n) si anak wajib hadir, mereka akan menawarkan nama yang tepat bagi anaknya pada saat upacara nanti. Tentu warga suku Maronggela tahu siapa nama yang cocok kepada sang bayi (anak wara) tersebut tetapi itu harus didatangkan dari mulut orang tua sang bayi baru (anak wara). Nama yang ditawarkan pertama-tama harus dari garis keturunan bapak mengingat Maronggela menganut sistem perkawinan patrilinear, ini berarti nama diambil dari nama orang tua dari bapaknya si anak wara. Jika anak itu berjenis kelami laki-laki maka diberi nama sesuai dengan nama kakek dari garis bapak dan jika perempuan juga demikian sesuai nama nenek dari pihak bapak.
Hal ini menghindari kecemasan modern yaitu nama diberi sesuai selera orang tua  (westernisasi nama). Di Maronggela tidak bisa terjadi hal yang dicemaskan ini sebab pemberian nama memang sesuai mekanisme yang sudah dihidupi oleh orang-orang suku Maronggela sejak sekian lama. Nde ngai ma’n harus hadir dalam upacara tersebut, maka upacara Pi’i Pato’ yang ideal terjadi di rumah dan dihadiri kedua orang tua anak wara.
3.3.2.3 Tua Adat (Ata Ga’e)
Ritual dibuat oleh kepala suku, atau oleh kakek dari si anak atau bisa juga oleh yang dituakan dalam keluarga, sebab mereka punya otoritas yang memadai dan mengetahui secara baik mekanismenya. Nampo’ ngalit sebisa mungkin dilakukan oleh kepala suku, namun tidak menjadi masalah juga diakukan oleh siapa saja tetua yang hadir pada upacara tersebut, tentu itu lelaki dewasa, bukan perempuan.
Hampir setiap upacara adat dan Pi’i Pato’ salah satunya selalu dibuat oleh lelaki dewasa atau yang biasa disebut ata ga’e,  karena mereka lebih mengetahui adat secara baik dibandingkan dengan orang lain. Mereka adalah praktisi budaya dan mengingat Maronggela memiliki sistem perkawinan patrilinear maka hak memang selalu diberikan kepada laki-laki. Hak atas upacara serta hak atas suku dibawa otoritas laki-laki.
3.3.2.4 Warga Kampung (Woe Wongko’)
Anak wara yang datang dan akan menjadi anggota suku Maronggela maka yang menyambutnya adalah warga kampung secara keseluruhan. Aspek sosialitas terdapat di tempat ini, anak akan menjadi anggota kehidupan sosial warga kampung, sebagai wujud solidaritas dan rasa bahwa pendatang baru akan menjadi anggota resmi kampung Maronggela maka semua diwajibkan menyambutnya, dengan kehadiran saat upacara itulah yang membuktikan bahwa mereka bergembira.
Warga suku (woe wongko’) tentu tidak datang dengan sendirinya, namun sudah terlebih dahulu diberi tahu oleh keluarga si bayi (lazi nakang). Woe wongko’ yang harus diutamakan datang ialah mereka yang datang mengunjungi ibu dan bayi serta keluarga pada hari pertama kelahiran (lazi paro rokong pas kapu), alasan woe wongko’  harus hadir pada saat upacara supaya tidak terjadi permusuhan atau perselisihan antara keluarga (pae rani rinting). Warga kampung (woe wongko’) yang hadir hanyalah mereka yang sudah diundang (lazi nakang) secara resmi artinya keluarga si bayi telah memberitahukannya kepada yang diundang.
3.3.3 Waktu Dan Tempat
3.3.3.1 Waktu
Pelaksanaan Pi’i Pato’ terjadi pada hari kelima setelah bayi dilahirkan. Anggota suku Warukia/Maronggela menyebutnya sebagai mawa lima.[63] Suku lain sekitar suku Maronggela melaksanakan ritual Pi’i Pato’ pada hari ketiga atau ketujuh (mawa telu atau mawa pitu’).  Pemberian nama disebut juga nampo’ ngalit terjadi pada hari kelima  (genak mawa/gokat lima) setelah bayi dilahirkan karena beberapa alasan berikut, hari kelima bagi suku Warukia adalah hari yang suci, dan hari keberuntungan serta hari baik. Apa saja yang dilakukan pada hari kelima itulah yang baik dan benar. Namun adapun alasan lain mengapa harus hari kelima bayi sudah siap bisa digendong bahkan sampai keluar rumah, pertimbangan ini demi kesehatan ibu dan anak. Namun pada prinsipnya ritual harus terjadi pada hari kelima agar tidak membawa dampak buruk kepada sang bayi (pae’ miki sumpot, laza ringgang).  Jika nampo’ ngalit dilakukan pada hari ketiga (gokat telu), itu mengakibatkan hari yang tidak tepat sesuai kesepakatan (salang mawa), hal ini juga akan megakibatkan anak sakit-sakitan.[64]
Mawa adalah hak suku atau dimana mawa menetukan hari yang tepat untuk suatu kegiatan tertentu. Hari kelima diyakini sebagai hari pembebasan, bermula dari kisah ketika suku Warukia dijajah oleh Belanda. Semua anggota suku ditawan dan direncanakan akan dibunuh. Karena satu dan lain hal, tentara Belanda mengalami musibah, peluru habis dan juga karena kebaikan hatinya maka mereka membebaskan tawanan pada hari kelima. Semua masyarakat suku Warukia dibebaskan dari siksaan tentara Belanda pada hari kelima, hari kelima diyakini sebagai hari pembebasan. Bayi semasa dalam rahim ibunya adalah bayi yang masi tertawan, belum bebas dan hanya akan bebas ketika peristiwa kelahiran. Peristiwa kelahiran diyakini sebagai hari bebasnya bayi dari kandungan ibunya. Peristiwa inilah yang harus dirayakan dengan memberinya nama. Upacara itu terjadi pada hari kelima.[65]
3.3.3.2 Tempat
Tempat untuk mengadakan nampo’ ngalit adalah di rumah orang tua si bayi. Rumah adalah tanda suku, penerimaan bayi baru ke dalam rumah juga sebagai simbolisasi sahnya sang bayi menjadi anggota suku resmi. Upacara nampo’ ngalit akan diikuti semua warga kampung yang datang mengunjungi keluarga saat bayi akan, sedang dan baru dilahirkan (sia ta paro rokong loneng kapu. Mereka itu ialah, para dukun ( ata sandi wne’ rebo) yang membantu pada saat proses kelahiran, keluarga yang jaga malam saat sebelum dan sementara juga setelah ibu melahirkan, tetanggga dan segenap anggota suku diharapkan hadir. Rumah juga adalah tempat berlindung, maka nampo’ ngalit  harus dilakukan di rumah orang tua pribadi.
Mengapa semua yang disebutkan diatas harus hadir pada saat upacara nampo’ ngalit?Mereka harus diundang dan hadir agar tidak menimbulkan cibiran, ejekan dan fitnahan dari pihak mereka (dok rani rinting), apalagi orang-orang inilah yang datang membantu dan mengunjungi ibu saat kelahiran.
3.3.4 Upacara Pi’i Pato’                               
3.3.4.1 Persiapan
            Setiap kegiatan upacara kebudayaan selalu butuh persiapan, macam-macam persiapan mulai dari persiapan batin orang yang akan mengikuti upacara sampai pada persiapan bahan-bahan sebagai persyaratan yang harus dilengakpi dalam upacara tersebut. Persiapan untuk malakukan ritual Pi’i Pato’ atau nampo’ ngalit sudah dilakukan sebelum bayi dilahirkan. Calon orang tua bayi baru tersebut biasanya menghitung kapan bayi akan dilahirkan, saat itulah mulai dipkirkan nama yang cocok kelak bagi sang bayi jika laki-laki atau jika perempuan. Saat ini juga mulai dipersiapkan hewan misalnya babi atau ayam yang akan menjadi lauk pauk pada upacara makan bersama ketika ritual berlangsung.
Ketika bayi dilahirkan, proses persalinan di Maronggela selalu dibantu oleh dukun bersalin. Tentu akan banyak orang yang datang mengunjungi si ibu dan ingin melihat bayi baru tersebut. Ketika mereka mendengarkan bahwa bayi sudah dilahirkan. Banyak tetangga, serta keluarga dan anggota kampung pada umumnya akan datang (paro rokong) bergembira bersama keluarga si bayi yang baru lahir.  Keluarga harus mengenal siapa-siapa saja yang datang paro rokong saat bayi baru dilahirkan, sebab nanti saat genak gokat ketika bayi akan diberi nama (nampo’ ngalit) orang-orang yang paro rokong itu harus diundang oleh keluarga.           
3.3.4.2 Pelaksanaan
Pelaksanaan Pi’i Pato’ terjadi pada pagi hari diawali dengan sepatah kata dua (sepata’ zua) dari orang tua. Ketika mata hari belum terbit ibu kandungnya telah bangun dan mandi segar di air pancur, sebagai bentuk pembersihan dan pemurnian. Ketika ibu usai mandi Ia akan memapah anaknya. Anak lalu diserahkan kepada orang lain yang akan memapahnya keluar rumah, jika anak wara itu perempuan maka seorang laki-laki dewasa yang akan memapahnya begitupun sebaliknya. Di depan pintu rumah utama si pemapah anak melakukan ritual dengan maju kaki kanan selangkah menuju pintu rumah lalu mundur kembali dan maju kaki kiri selangkah  lalu mundur lagi, dilakukan berulang dengan kaki bergantian sampai lima kali. Setelah itu langsung tawa daler (semua yang berada dalam rumah tertawa gembira menyambut anak tersebut).
Anak tersebut diterima oleh seorang perempuan dewasa yang berada dalam rumah dan siap untuk nampo’ ngalit. Alasan sederhana bahwa anak wara  ini selama ia belum diberi nama secara adat, ia bukanlah anggota suku yang resmi. Penerimaan anak wara melalui pintu depan melambangkan penerimaannya kedalam suku dan resmi menjadi anggota suku.
Semua yang hadir upacara tersebut duduk berbentuk lingkaran sesuai dengan kondisi rumah sembil bersilah, ata ga’e sebagai orang yang akan melaksanakan weor atau nampo’ ngalit. Ata ga’e ini mengambil posisi duduk di tengah lingkaran dan di antara ata ga’e dan wanita/lelaki yang memapah anak tersebut diletakkan sebuah nyiru yang telah disiapakan dengan seberkah sirih pinang. Pinang mudah yang dibelah dua juga sudah dipersiapkan dan diletakan agak terpisah dari sirih pinang lainnya dalam nyiru tersebut. Setelah anak wara sudah dalam gendongan orang dalam rumah mulailah Pintu Pazir.
3.3.4.2.1 Pintu Pazir Pi’i Pato’
            Pintu Pazir secara nominal terdiri dari dua kata yaitu Pintu yang artinya perkataan atau sabda yang mengandung atau mengungkapkan harapan, dan Pazir artinya keselamatan atau kebahagiaan. Jadi Pintu Pazir merupakan perkataan yang menyelamatkan atau sabda yang membahagiakan, yang merupakan kata-kata keramat leluhur dalam berntuk doa sebagai ekspresi pikiran dan hati mengenai Mori (Tuhan) atas perannya dalam kehidupan manusia, dan diwarisi secara turun-temurun. Sedangkan  Pi’i Pato’ adalah ritus pemberian nama.
Pintu Pazir Pi’i Pato’ adalah jenis Pintu Pazir yang didoakan pada saat sebelum upacara nampo’ ngalit dilaksanakan. Tujuannya ialah memita Mori Kraeng untuk merestui nama sang bayi dan memohon kepadanya agar anak itu, memperoleh umur yang panjang, sehat lahir batin, memperoleh kemurahan hidup dan kelak menjadi manusia yang baik dan berguna bagi keluarga dan sukunya.
3.3.4.2.1.1 Syair Pintu Pazir Pi’i Pato'
O Mori Kraeng
Raza Meze’
Mori ata nai lawe’
Mori ata di’a
Kau ata mbolok kami
Mori pae’ sengkar mbear kami.
Kami paro elang
Kami paing sombang lone Kau
Kami paing kempe’ panggang anak kendo’
Kempe’ puti mbore angin sat             
Raza ata nai moghas
Raza ata nai lawe’
Zaga anak kendo’
Ziu nggia lawe’ weki di’a ngalit
Lezong kendo kami pi’i pato’
Kami ko ziu’ ngalit ziu anak kendo’
Lezo’ lima taun kia manga lonto tana’
Kia zari le Nggau
Kau bot ngalit anak kendo’
Lengkang muzin awan za’a laza teto’
Muzin awan more’ lawe’
Zari ata laki mosa
Ndirung tikus logo welong
Sa’, zua, telu, pat, e…..lima.
Mori ata ndong kia
Sanggeng-sanggeng pinga lenggau
Moria ata pae’ rani rintong
Mori ata nai mbalung
Zaga weki ngalit nggia
Neang wenang lezong kendo’
Saing wi muzi awa’n
3.3.4.2.1.2 Syair Terjemahan
O Mori Kraeng
Raja yang Agung
Engkaulah yang baik
Engkaulah yang bijaksana
Engkaulah yang mempersatukan kami
Tuhan tida mencerai beraikan kami.
            Kami persembahkan kepada-Mu
            Kami mohon ampun pada-Mu
            Kami memohon perlindungan bagi anak ini
            Dari segala nafsu setan
            Raja Mahacinta
            Raja Mahamurah
            Jagalah anak kami
            Berilah dia keselamatan lahir batin
Hari ini kami rayakan (pesta pemberian nama)
Kami memberi nama bagi anak ini
Sudah lima hari dia berada di atas dunia ini
Engkaulah yang menciptakannya
Restuilah nama anak ini
Agar di kemudian hari dia bebas dari segala derita
Hidupnya sejahtera
Menjadi orang yang berguna
Berumur panjang
Satu, dua, tiga, empat, e….. lima.
            Tuhanlah yang menguasai dia
            Segala sesuatu adalah kehenda-Mu
            Tuhan itu Mahamurah
            Tuhan itu lemah lembut
            Sertaiah Dia
Dan sepanjang hidupnya.[66]   
3.3.4.2.2 Nampo’ Ngalit
Nampo’ ngalit adalah puncak ritual atau upacara yang disebut Pi’i Pato’. Ngalit disarankan tidak ambil dari nama tokoh yang masih hidup, alasanya ketika seseorang memanggil nama dengan tidak hormat bisa terjadi kesalahpahaman, antara si pemilik nama yang sesungguhnya (kakek kepada siapa cucunya mengambil nama tersebut), padahal bukan dirinyalah yang dimaksud tetapi cucunya. Pada kebudayaan suku Warukia di Maronggela, tidak pernah anak diberi nama sesuai nama bapak atau ibu kandungnya, sebab mereka masih hidup dan nama tidak seharusnya diambil dari nama tokoh yang masih hidup sekalipun nama itu diambil dari tokoh yang masih hidup maka nama itu harus diberi secara halus (igu ele) dengan tujuan tiadak terjadi kesalapahaman dari si pemilik nama sebab dalam tradisi orang Maronggela sangat menjunjung tinggi nama seseorang. Nampo’ ngalit, ketika orang tuanya ingin pesiar ke keluarga atau ke kampung tetangganya, maka orang tuanya harus melakukan lampan terlebih dahulu,biasanya lampan ini dibuat disebuah kali atau di watu nambe, lamapan ini bertujuan supaya nenek moyang dari anak wara itu bisa menjaganya dari roh-roh jahat agar anak itu terhindar dari segala macam sakit.
3.3.4.2.3  Penyucian (Ghao Kanggong)
            Kata ghao kanggong arti harafiahnya adalah merangkul, yaitu suatu upacara penyucian barang-barang baru atau orang baru yang akan menjadi milik seorang anggota suku. Bayi adalah anggota baru dalam keluarga dan suku maka perlulah untuk ghao kanggong, sebagai bentuk penyucian dirinya, sehingga segala sesuatu yang melekat pada diri anak tersebut (puti pezuk) dibersihkan dan dimurnikan.
            Ghao kanggong lagi-lagi dilakukan oleh ata ga’e, dengan mengorbankan satu ekor ayam. Di depan anak bayi (anak wara) ata ga’e akan mengucapkan doa adat minta semua roh-roh untuk menerima kehadiran anak tersebut, lalu ayam akan dipotong paruhnya menggunakan sebilah pisau, lidah ayam dikeluarkan. Melalui lidah ayam tersebutlah orang Maronggela akan tahu apakah anak terbut akan memilki nasib yang baik atau tidak. Jika lidah ayam bercabang seperti biasanya dan lurus, itu tanda baik. Tetapi jika bengkok itu tanda tidak baik yang menimbulkan berbagai tafsiran.
            Darah ayam akan dioleskan pada dahi anak wara, dan kemudian ayam yang telah mati dibakar untuk makan berasama nantinya. Ghao kanggong ini lebih pada penyucian personal bayi tersebut, sedangkan semua woe wongko yang hadir akan disucikan juga dengan oles air yang sudah dicelupi dengan batu asah (wae sagi). Tahap ini terjadi kemudian.
3.3.4.2.4  Bunuh Babi dan Kambing (Tunu wawi, mble mbe’)
            Beberapa hewan korban seperti babi dan kambing akan dibunuh usai ghao kanggong. Sebagai ekspresi rasa terima kasih kepada leluhur dan kepada semua warga suku karena bayi tersebut sudah sah dan memiliki nama baru yang disematkan padanya maka perlulah dirayakan, perayaan tersebut ditandai dengan makan sehingga hewan korban sangat dibuthkan, upacara bunuh babi dan kambing terjadi usai ghao kanggong dengan alasan bahwa anak sudah disucikan.


3.3.4.2.5 Barak Wae’ Sagi’
            Air yang ditaruh dalam satu wadah yaitu mangkuk yang dicelupi batu asa, air tersebut nanti akan diedar keliling, setiap orang yang hadir dalam upaca Pi’i Pato’ wajib mengoleskan matanya dengan air yang direndami batu asa tersebut. Air adalah sarana untuk membersihkan dalam hal ini air digunakan agar mata menjadi melek kembali, sebab pada saat kelahiran si dukun beranak telah melihat hal privat dari ibu tersebut dan itu menjadikan matanya gelap, susah melihat yang terang, maka perlulah pembersihan dari rabunnya itu supaya mata kembali terang. Bukan hanya dukun beranak tetapi semua yang hadir wajib mengoleskan air tersebut.
Batu asa (sagi’) adalah suatu alat gurinda manual yang digunakan untuk mempertajam kembali parang, sabit dan pisau yang sudah tumpul. Mata yang telah melihat hal-hal terlarang akan menjadi tumpul ketajaman penglihatannya maka perlulah untuk diasah ditajamkan kembali. Alat yang digunakan untuk menajamkan sesuatu yang sudah tumpul itu adalah batu asa. Maka batu asa menjadi sarana direndam bersama dengan air untuk menajamkan penerangan dari mata semua anggoa suku.
Akhir-akhir ini setelah agama Katolik masuk ke kebudayaan Maronggela, untuk Pi’i Pato’ anak wina (pemberian nama kepada bayi perempuan), batu asa (sagi’) diganti dengan kontas/gelang. Di sini terdapat pergeseran makna filosofis. Wae sagi’ hanya jika upacara Pi’i Pato’ anak rana. Alasan utamanya ialah sagi’ (batu asa) sebagai sarana penajam alat-alat kerja yakni parang, sabit, tombak, tofa, pisau yang biasa digunakan oleh kaum laki-laki untuk bekerja. Si anak tentu akan bertumbuh besar dan menjadi tulang punggung keluarga dan suku, maka sagi’ sebagai saran penajam tersebut menandakan supaya anak menjadi orang yang rajin bekerja, berusaha atas karya sendiri seperti yang didoakan dalam pintu pazir (lengkang muzi awan, zari ata laki mosa). Kontas atau gelang untuk upacara Pi’i Pato’ anak wina. Gelang (ponto’) biasa dipakai dalam pergelangan tangang perempuan untuk mempercantik diri, di kemudian hari kehadirannyadiharapkan tetap menyukakan orang lain teristimewa suami dan anak-anak.[67]
3.3.4.2.6 Makan Bersama (Ghan Inung, Semo Gepok /Kte Mbako)
            Arti harafiah dari kata-kata di atas ghan inung (makan dan minum), dan semo gepok/ kte’ mbako ialah rokok dan mamah sirih pinang, hal ini sangat lumrah di masyarakat Maronggela. Upacara hanya benar-benar dikatakan sebagai suatu perayaan jika ada acara makan bersama (ghan inung), tidak hanya makan bersama namun disempurnakan dengan acara kte’ serta rokok. Sebelum mengenal rokok pabrikan yang sekarang, masyarakat Maronggela biasanya menggunakan daun lontar yang ditipiskan sebelumnya, lalu tembakau dibungkus dengan daun lontar tersebut (ta’al).
            Suatu rangkaian upacara Pi’i Pato’ diakhiri dengan minum kopi bersama (wae bisik) dan kte’ semo, usai rangkaian acara tersebut barulah masing-masing kembali ke rumahnya.
3.3.4.2.7 Pembubaran (Siba’ Kear)
            Pembubaran terjadi pada soreh hari setelah semua selesai, masing-masing anggota keluarga akan kembali ke rumah masing-masing. Khusus untuk keluarga-keluarga dari pihak bapak dan ibu bayi sebagai wina wai rana laki, akan membawa pulang barang-barang bawaan. Mereka akan mendapatkan barang balasan sesuai jalur hukum adat perkawinan. Anak rana jika dia membawa kerbau atau kuda maka akan mendapatkan balasan babi dan kain adat. Sedangkan sebaliknya anak wina yang membawa babi dan kain adat (lipa wawi) akan mendapatkan kerbau. Anak rana adalah semua keluarga dari pihak suami (ayah dari bayi) sedangkan anak wina adalah semua keluarga dari pihak isteri (ibu dari si bayi).
            Untuk woe wongko’ lainya yang bukan dalam wina wai rana laki, mereka juga akan mendapatkan barang bawaan seperti beras atau daging sisa pada acara Pi’i Pato’tersebut. Pada prinsipnya upacara ini adalah perayaan kekeluargaan, semakin terjalin erat hubungan kekeluargaan dan tali persaudaraan juga semakin hari bertambah kuat. Sedangkan  barang-barang tersebut hanyalah sarana persaudaraan, sebenarnya dalam wina wai rana laki, jika dipikirkan secara ekonomis anak rana akan megalami kerugian besar sebab hewan balasan tidak seimbang dengan hewan bawaannya, dia membawa seekor kerbau hanya akan dibalas dengan seekor babi. Tetapi bukan pada nilai ekonomisnya, pertukaran dalam wina wai rana laki lebih pada filosofi orang Maronggela.
3.3.4.3 Gokat Lima Wali Ma Uma
            Lima hari setelah Pi’i Pato’, ibu dan anaknya sudah boleh jalan-jalan ke luar rumah.Namun hal ini bisa terjadi jika sudah melewati satu persyaratan yang disebut ma uma (pergi ke kebun), upacara ini ditandai dengan ibu sambil menggendong anaknya harus pergi ke kebun dan membuat satu perapian untuk masak-memasak. Usai pembuatan semacam tungku api yang disusuni tiga batu berkeliling dan kayu kering siap bakar lalu ibu tersebut mengucapkan doa adat yang menandakan bahwa seorang bayi baru anggota keluarga telah hadir dan biarkanlah dia boleh mengenal lingkungan serta kebun dan semua keadaan sekitar.
Saat ini ma uma tida wajib dilakukan, tetapi tetap hanya sebagai formalitas dimana seorang ibu hanya akan pergi ke belakang rumah tempat tinggal mereka dan membuat perapian di situ sambil megucapkan kata-kata doa yang diharuskan.Setelah upacara ini dilakukan bolehlah bayi dibawa ke mana-mana sebab semua warga kampung dan leluhur menerimanya.Upacara yang sama di kampung lain disebut langon lampan, dimana setelah Pii Pato ayah dan ibu dari anak wara membawa anak itu ke tetangga atau ke keluarga mereka, namun sebelum dibawa anak itu harus dilampan terlebih dahulu. Dalam lampan sarana yang harus digunakan adalah lebo’ kazu ta’a, disertai denga doa yang menarik adalah “sa….zua…..telu….pat…… e… lima, ene ma’ mbong miu tengas taung zari kami paing lawe’ wi nai di’a wi ngalit tu lima. Lalu ayah dari anak meludahi lebo kazu ta’a tersebut dan dibuang di kali atau disimpan di watu nambe. Lampan ini brertujuan menyatakan kepada leluhur bahwa anak baru telah hadir dalam suku dan minta perlindungan dari nenek moyang untuk menjaga dan membimbing cara hidup sesuai nama yang diberikan (ngalit ta botn).
3.3.4.4 Konsekwensi Baik dan Buruk
            Setiap perbuatan selalu ada konsekwensi, ada sebab tentu ada akibat. Sebab dalam hal ini adalah upacara Pi’i Pato’, akibatnya ialah bagaiamana fakta kehidupan orang yang baru dinamai. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa jika upacaranya dilaksanakan dengan baik seperti semestinya maka konsekwensinya pasti baik, namun jika tidak sesuai dengan apa yang semestinya maka bisa berakibat fatal. Yang semestinya ialah yang sesuai dengan hukum adat pemberian nama, mulai dari bahan-bahan, orang-orang yang melakukan upacara tersebut waktu dan tempat, doa-doa adat serta mekanismenya dan pilihan nama. Melanggar hukum adat Pi’i Pato’ ini bisa berakibat buruk bagi sang bayi.
Dalam Pii Pato’ harus dilaksanakan pada hari kelima, sebab hari kelima adalah mawa yaitu identitas suku, diyakini sebagai hari pembebasan, hari terberkati suci dan apa yang dilakukan pada hari kelima (mawa lima) selalu dalam perlindungan yang ilahi. Orang Maronggela yakin bahwa anak akan dibebaskan dari sakit dan derita serta berbagai penyakit jika upacara Pi’i Pato’ dilakukan pada hari ini, lengkang pae’ miki sumpot.
BAB IV
FILSAFAT NAMA MENURUT PI’I PATO’
PADA KEBUDAYAAN MARONGGELA
KECAMATAN RIUNG BARAT, KABUPATEN NGADA, NUSA TENGGARA TIMUR
4.1 Filsafat
            Filsafat secara etimologis berasal dari bahasa Yunani philosophia (cinta akan kebijaksanaan), dari kata philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan, kebijaksanaan itu adalah sesuatu yang menjadi ideal manusia, bukan milik manusia. Lebih dari itu filsafat didefinisikan sebagai upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas. Upaya untuk melukiskan hakekat realitas akhir dan dasar serta nyata. Bahkan filsafat didefinisikan sebagai suatu disiplin ilmu yang membantu anda melihat apa yang anda katakana dan mengatakan apa yang dilihatnya.[68]
Filsafat sebagai sebuah pencarian, mau menunjukan bahwa manusia tidak pernah secara sempurna memilki pengetahuan yang menyeluruh tentang segala sesuatu yang dimaksudkan kebijaksanaan, namun terus menerus mengejarnya, manusia menggunakan rationya mencari dasar-dasar terakhir segala sesuatu teristimewa tentang asal, eksistensi dan tujuan hidupnya. Melalui filsafat orang berupaya secara spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematis serta lengkap tentang seluruh realitas.[69]
Setelah agama-agama wahyu masuk ke dunia Barat, sebagian dari pertanyaan filosofis dijawab oleh agama wahyu seperti asal-usul manusia, tujuan hidup manusia, bagaimana proses terjadinya alam semesta, serta berbagai nilai ultim pencarian manusia bisa dijawab oleh pemikiran-pemikiran agama wahyu. Filsafat fokus pada olah pikir yang kritis rational. Sedangkan Filsafat Timur tetap menjaga perannya, sebagai pandangan hidup (way of life). Hal ini terbukti bahwa dalam Filsafat Timur tidak terdapat kritik, di mana pemikiran sebelumnya dikritik oleh pemikiran saat ini dan  konsep yang kita terima saat ini akan dikritik oleh pemikiran yang akan datang seperti dalam tradisi Barat pada umumnya. Filsafat Timur menjawabi secara analogis berbagai persoalan.
Filsafat dalam tulisan ini lebih menonjol ke Filsafat Timur, bagaimana cara pandang orang tentang hidup serta realitas yang dialami. Cara pandang itu telah menjadi warisan yang dihidupi secara turun-temurun dan menjadi pedoman tingkah laku serta pemahaman atas sesuatu hal tertentu.  Filsafat Timur bukan suatu pemikiran sistematis hasil analisis rational, namun lebih pada pandangan akan suatu hal secara logis serta memiliki nilai yang mendalam, nilai inilah diterima serta dihidupi. Filsafat Timur juga memilki sifat amat religius, kosmis, mitis-magis, etis dan moral.[70] Dalam filsafat Timurlah kita akan mengerti tentang filsafat kehidupan, cara atau pandangan hidup. Ini bertujuan mengatur segalanya secara praktis, termasuk etika yang mengatur tingkah laku praktis itulah filsafat kehidupan. Ukuran untuk mengetahui seorang filsuf dalam tradisi Filsafat Timur adalah bagaiaman cara hidupnya, bukan apa yang dia pikirkan atau dia ketahui melainkan bagaiaman dia hidup. Sebab cara hidup adalah aplikasi dari pikiran, cara hidup seperti para filsuf berarti dia adalah filsuf.
4.1.1 Filsafat Sebagai Karya Reflektif
Hidup yang tidak direfleksikan (diperiksa) tidaklah layak dijalani. Begitu kata Sokrates, pemikir asal Yunani, lebih dari dua ribu tahun yang lalu. Hidup yang tidak direfleksikan berarti hidup seperti robot yang otomatis dan tanpa makna. Refleksi, dalam arti sesungguhnya adalah belajar dari apa yang sudah dilalui sebelumnya. Refleksi berasal dari bahasa Latin reflectere dan reflexio yang berarti membungkuk ke belakang. Dalam arti sekarang, refleksi berarti tindak berpikir untuk melihat apa yang sudah dialami sebelumnya, supaya orang lalu bisa belajar dari pengalaman tersebut, dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Refleksi, dalam arti ini, adalah sebuah proses belajar yang berlangsung terus menerus. Orang menimba nilai-nilai kehidupan tidak dari buku dan omongan orang lain, tetapi langsung dari apa yang dia alami dalam hidupnya.[71] Dengan bersikap reflektif, orang akan semakin bijak dalam hidupnya. Ia bisa belajar terus menerus dari apa yang sudah dialaminya. Ia lalu bisa membagikan hal tersebut kepada orang lain yang membutuhkan.
Filsafat adalah hasil refleksi manusia tentang berbagai realitas yang dihadapinya. Lebih dari itu filsafat juga adalah suatu kegiatan refleksi di mana orang terus mencari dan berusaha menemukan jawaban-jawaban akhir atas pertanyaan mengapa. Mengapa orang Maronggela harus menjalani Pi’i Pato’ (upacara pemberian nama), apakah nama itu begitu penting bagi masyarakat Maronggela? Sebab sebagai binatang berakal budi manusia tidak akan mengkhianati kodratnya. Berpikir tidak hanya bagi orang yang mengenyam pendidikan secara formal, tetapi bagi siapa saja, para tua-tua adat juga dapat berfilsafat serta menemukan alasan-alasan mendalam dari segala realita secara logis. Mereka bahkan menemukan alasan-alasan filosofis yang mendalam serta menjadi landasan bagi mereka menjawabi pertanyaan mengapa sesuatu harus dilakukan dan bukan tidak, mengapa sesuatu harus ada dan bukan tiada, bagaimana ia berada? Jawaban-jawaban sangat logis dan analogis.
            Filsafat sebagai karya reflektif pada tulisan ini ialah suatu kegiatan dan suatu hasil pemikiran atas pertanyaan-pertanyaan mengapa sesuatu harus dilakukan dan bukan tidak. Dalam kaitannya dengan nama, para tua adat sudah memiliki filsafat atau pandangan tertentu hasil refeleksi mereka tentang apa arti sebuah nama, sehingga nama itu memang benar dihargai. Apa alasan orang Maronggela melakukan upacara pemberian nama, apa hewan korbannya, bagaimana doa yang harus diucapkan, serta siapa-siapa yang terlibat dalam upacara tersebut? Jawaban-jawaban atas pertanyaan di atas itulah yang disebut hasil refleksi para tua adat.
4.1.2 Filsafat Sebagai Suatu Kebijaksanaan Hidup
Filsafat sebagai suatu kebijaksanaan hidup. Kebijaksanaan dari bahasa Latin sapientia, mempunyai hubungan dengan “pengertian”, dalam bahasa Yunani Sophia, yang pada awalnya seni praktis. Maka filsafat sebagai kebijaksanaan hidup dimengerti sebagai persepsi yang tepat terhadap tujuan yang paling baik dalam hidup, cara yang paling baik untuk mencapai tujuan tersebut, dan kepandaian praktis untuk menerapkan secara berhasil cara tersebut. Kebijaksanaan bukan pengetahuan pada umumnya, melainkan pengetahuan tentang yang hakiki dalam hidup manusia, tentang prinsip pokok dan tujuan terakhir, dari eksitensi yang terbatas. Jadi kebijaksanaan merupakan permenungan (kontemplasi) dan putusan tentang hal-hal duniawi dalam terang kekekalan.[72]
Manusia membutuhkan suatu tuntunan hidup, pemberi arah (sense of direction), kebijaksanaan memberikan kita arah, keutuhan dalam membantu kita memilih secara akurat dan menolak secara cermat, serta memberi arti terhadap eksistensi manusia.[73] Kebijaksanaan dalam Filsafat Timur  dengan penekanan utama lebih pada karya intuitif dan perasaan (mempertemukan akal budi dengan intuisi, inteligensia dengan perasaan) juga penekanan lebih pada hidup batiniah, spiritual dan mistis. Kebijaksanaan dalam pandangan Filsafat Timur adalah harmoni dengan kosmos bukan pada penyebaran pengetahuan dan informasi atau kegiatan intelek. Itulah makna terdalam dari Filsafat Timur.
Suatu pandangan hidup tentang suatu hal atau pegangan hidup serta cita-cita yang harus digapai dalam hidup karena hal tersebut memiliki makna terdalam. Sebab orang hanya akan melakukan suatu hal secara tau dan mau karena hal tersebut itu bermakna. Makna adalah suatu kualitas yang terdapat dari barang atau hal tertentu. Filsafat mampu menemukan makna terdalam dari realitas tertentu. Dalam Pi’i Pato’ (ritual pemberian nama), terdapat makna serta nilai yang tersirat secara implicit. Makna tersebut itulah hasil olah budi dan itulah filsafat. Segala warisan budaya termasuk ritual Pi’i Pato’ selalu memiliki makna terdalam, selalu memiliki filsafat tersendiri. Pemberian nama mengapa harus tetap dilestarikan di Maronggela, karena memilki makna terdalam. Makna terdalam itulah ekspresi filsafat.
4.2 Nama
Nama dalam bahasa Latin disebut nomen[74], dan dalam bahasa Inggris disebut name. Dalam logika nama adalah suatu ungkapan yang menunjukkan sebuah objek dalam arti luas, sebagai segala sesuatu yang dapat kita sebut dan bukan hanya sebagai suatu obyek material.
Semantik logis umumnya menggeluti apa yang disebut segitiga semantic a) nama; b) obyek yang ditunjukan oleh nama (denotat atau designatum); c) arti nama.[75] Segala sesuatu yang ada dalam realitas ini mempunyai nama masing-masing. Sejak kisah penciptaan, Allah menamai manusia pertama dengan sebutan Adam yang artinya berasal dari tanah. Adam, manusia pertama itu diperintahkan untuk menamai semua ciptaan lain, termasuk isterinya Eva. (Kejadian,  2:19).
Pertanyaan akan muncul tentang apa itu nama? Sesuai penjelasan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) nama adalah pertama, (kata menyatakan) panggilan atau sebutan orang (barang, tempat, dan sebagainya), -nya Bezy; - daging (-tubuh), nama yang sebenarnya, yaitu yang diberikan oleh orang tuanya sejak lahir, -kecil, a. nama ketika masih kecil, b. nama depan (jika menurut cara Barat);  ­-pedengan (- samara), nama untuk menyembunyikan nama  yang sebenarnya;  atas -, (melakukan sesuatu), menjadi wakil atau karena perintah; dengan -, memakai nama; dengan menyebut nama; balik -, mengganti nama pada surat yang menyatakan hak milik; ­menjual -, memakai nama orang lain (untuk mendapat sesuatu); kedua, gelar; sebutan: dikurniai – adipati, diberi gelar adipati; ­-nya saja jadi pegawai tinggi, hanya sebutannya saja pegawai tinggi;  kalau begitu, celaka juga  -nya, kalau begitu, patut disebut “celaka” juga; rumahnya tentu rancak,  -nya ia orang kaya, karena ia orang kaya; ketiga, kebaikan, (keunggulan); kemasyhuran; kehormatan; marwah: beroleh (mendapat) -, termasyur, terkenal: mengambil -, a. mencari muka; b. memakai nama; mencari -, berusaha (bermaksud) supaya termashyur (dipuji orang); menodai – orang tuanya, mengurangkan kehormatan orang tuanya; telah rusak –nya, telah hilang kebaikkannya (kehormatannya); menjaga -, baiknya, menjaga kehormatannya.[76]
Nama itu sebagai ekspresi dari unsur primordial seseorang. Unsur primordial yaitu unsur yang melekat pada seseorang sejak lahinya. Sesorang yang terlahir dari keluarga Maronggela, tidak bisa menyangkal bahwa dirinya orang Maronggela sebab bapaknya berasal dari Maronggela, atau dia beragama Katolik sebab sudah dipermandikan secara Katolik. Nama dalam tulisan ini terbagi menjadi beberapa yaitu:
4.2.1 Nama Religius
            Nama religius ialah nama yang diberikan oleh agama kepada pribadi tertentu. Dari nama religiusnya kita bisa mengetahui seseorang beragama apa, sebab religiositas juga adalah unsur primodial yang tidak bisa ditolak. Misalnya nama Paulus atau Petrus pasti orang tersebut beragama Kristen, dibedakan dari nama  Muhamad atau Ibrahim tentu langsung diketahui bahwa orang itu beragama Islam.  Nama-nama ini diambil dari nama tokoh orang kudus tertentu dalam agama tersebut, hal ini nyata dalam Kristianitas dimana nama baptis selalu diambil dari nama orang kudus pilihan, dengan harapan bahwa sang anak akan bertumbuh dan menghidupi spiritualitas  namanya.[77]
Dalam tradisi Katolik ada yang namanya sakramen permandian/pembaptisan. Semua yang akan menjadi anggota Gereja harus mengikuti ritual pembaptisan ini, pada prinsip pertama pembaptisan adalah sakramen inisiasi Kristen untuk menandakan seseorang menjadi Kristen bergabung dengan Gereja. Pemberian nama terjadi bersamaan dengan sakramen pembaptisan. Imam akan menyebut nama yang resmi bagi si bayi sesuai tawaran orang tuanya. Nama itulah yang disebut nama religius dan akan menjadi nama resmi bagi si bayi.[78]
4.2.2 Nama Marga
            Nama marga atau fam ialah nama yang menandakan bahwa seseorang  berasal dari suku tertentu. Orang lain dapat mengenal siapa saya jika mendengar apa nama fam saya, dan langsung mengasosiasikan dari suku mana serta dari keturunan yang mana. Biasanya cara mendapatkannya melalui berbagai ritual adat. Dalam konteks ini nama berfungsi sebagai identitas marga/keluarga seseorang.
Melalui ritual pemberian nama atau Pi’i Pato’ inilah seorang bayi akan mendapatkan nama marganya atau fam. Nama marga ini sangat penting sebagai pengenal siapa orang tersebut. Pi’i Pato’ sebagai sarana bagi orang Maronggela untuk memastikan siapa nama yang cocok bagi seorang bayi yang baru lahir. Ritual ini bahkan membutuhkan partisipasi dari masyarakat adat, dibutuhkan binatang korban, babi dan ayam sehingga nama menjadi sangat sakral. Sebab kelangsungan suatu marga terjaga atau relasi antara anak cucu dan nenek moyangnya tidak akan pernah berakhir karena nama fam diwariskan turun-temurun.
4.3 Teori Nama
4.3.1 Nama Dalam Filsafat Cina
Satu dari kunci untuk mengelola kebajikan dasar manusia yang ditekankan oleh Konghucu adalah pemakaian yang benar kata-kata (cheng-min) yang biasanya merujuk pada “pembetulan nama”. Pemakaian yang benar berarti kata harus sesaui dengan realitas yang dinamai. Meskipun pemakaian yang benar kata-kata dapat dikenakan kepada semua pemakaian bahasa, tetapi dalam konghucuisme pemakain yang benar pertama-tama dikenakan pada tindakan-tindakan dan hubungan manusia. Jadi ketika Pemimpin Agung Ching bertanya kepada Konghucu tentang pemeritahan, Konghucu menjawab, “Biarkanlah penguasa adalah seorang penguasa, bawahan seorang bawahan, ayah seorang ayah, putera seorang putera”. Hal ini berarti penguasa harus memerintah secara benar, yaitu tindakannya harus sesuai dengan tujuan tindakan yang mencerminkan makna kata penguasa. Demikian pula, hal itu serupa dengan menjadi seorang ayah secara benar. Ayah harus membangun relasi denga putera-puterinya dengan cara-cara ideal yang sesungguhnya merupakan bagian dari makna kata ayah.
Jadi membetulkan nama berarti bukan memilih kata-kata yang tepat untuk melukiskan sesuatu, tetapi menyesuaikan karakter dan tindakan seseorang dengan cita-cita normativ yang terkandung dalam nama-nama relasi fundamental manusia. Bagi seorang putra yang harus menjadi seorang putra secara benar, hubungannya dengan orang tua harus memenuhi cita-cita hsiao. Bagi seorang sahabat yang menjadi seorang sahabat secara benar, harus relasinya memenuhi ideal kesetiaan. Jadi, ketika nama dibetulkan, semua hubungan manusia akan sejalan dengan ideal yang terkandung dalam nama itu. Inilah sebabnya mengapa masyarakat akan harmonis dan rakyat akan bahagia menurut Konghucuisme, ketika nama-nama dibetulkan.[79]
4.3.2 Nama Dalam Tradisi Kristen
Dalam tradisi Kristen nama itu sangat berarti, sebab diambil dari nama orang-orang kudus, yaitu para leluhur yang telah meninggal dunia namun semasa hidupnya telah menunjukkan kualitas hidup yang patut dicontohi, dekat kepada Tuhan. Kedekatan kepada Tuhan dibuktikan dalam kata-kata dan perbuatan mereka. Oleh karena itulah mereka pantas disebut Suci atau Kudus dan layak ditiru perbuatannya. Dengan mengambil nama orang-orang kudus melalui upacara permandian maka anak yang akan menjadi dewasa itu diharapkan untuk hidup seturut teladan para kudus tersebut.
Kristianitas juga meyakini bahwa kematian itu tidak pernah memisahkan manusia, sebab itu hanyalah pintu masuk menuju ke kehidupan yang defenitif. Mereka yang sudah mati sebenarnya tetap hidup walau di dunia yang berbeda, fakta bahwa mereka yang sudah mati secara fisik itu masih tetap hidup,  relasi timbal balik tetap terjalin, arwah diyakini sebagai roh yang menjaga manusia peziarah ini, nama seseorang diambil dari nama orang kudus dengan harapan besar orang kudus itu menjaganya.
4.3.3 Nama Pada Kebudayaan Maronggela
Orang Maronggela juga sangat menghargai nama dan berusaha hidup sesuai nama. Nama itu penting sebagai gambaran siapa diri seseorang dan apa statusnya dalam suku Maronggela. Selain menggambarkan siapa dan apa status seseorang dalam suku, Nama bagi orang  Maronggela juga bermakna sosial. Makna sosial nama tersirat dari dua dimensi nama, yakni dimensi masa lalu dan dimensi masa depan. Nama memiliki dimensi masa lalu artinya nama mengenangkan sesuatu atau seseorang dari masa lalu. Dari sinilah maka dalam Pi’i Pato’, orang Maronggela selalu memberi nama anak mereka dengan menggunakan nama orang tua mereka. Tidak dapat dipungkiri bahwa ini juga akan mempengaruhi bahasa harian orang Maronggela, anak laki-laki akan dipanggil Ema’ (artinya: bapak), dan anak perempuan dipanggil Nde’ (artinya: ibu).[80] Nama berdimensi masa depan menandakan harapan bahwa anak akan hidup sesuai pribadi atau tokoh yang kepada siapa  namanya diambil. Kakek atau nenek yang kepada siapa namanya diambil adalah orang-orang dengan kepribadian yang baik dan selalu diceritakan sebagai orang yang hebat di masa lalu.
Nama begitu berharga bagi Orang Maronggela, maka nama itu sangat dihargai, seperti tradisi orang Ngada sesuai ulasan Paul Arndt, SVD bahwa menfitnah seseorang atau merusak nama baik seseorang adalah suatu perbuatan yang rendah. Jika terjadi pemfinahan maka melalui doa-doa diharapakan agar para leluhur menghukum orang-orang tersebut agar bibir mereka yang beracun dirobek dan lidah mereka yang tajam dibelah.[81]Dalam tradisi Maronggela, jika seseorang kedapatan memfitnah nama maka pemfitnah tersebut akan dikenai sangsi dengan membayar denda sebagai pemulihan nama baik orang yang tercemar namanya. Bayaran itu biasanya dalam bentuk hewan.
Dalam memperoleh nama orang Maronggela harus melewati ritual inisiasi yang disebut Pi’i Pato’. Setelah Pi’i Pato’ maka nama itu secara defenitif melekat pada sang bayi sampai akhir hayatnya. Ada pengecualian yang memungkinkan nama bisa diganti yaitu jika Si Bayi selalu menangis dan bahkan sakit usai pemberian nama. Hal ini menandakan bahwa Nama yang baru diberikan kepada Si Bayi tidak cocok untuk menjadi namanya. Namanya lalu akan diganti degan nama baru yang sesuai. Bukti bahwa nama yang baru tersebut sesui jika Si Bayi tidak menangis lagi atau sembuh dari sakitnya.
4.4 Filsafat Nama
Filsafat nama dalam hal ini berarti suatu pandangan hidup, atau pemikiran reflektif dan logis tentang makna nama, apa itu nama, mengapa harus ada nama. Pentingnya suatu nama, terlebih lagi ditinjau dari ritual pemberian nama yang khas. Baik nama untuk Yang Ilahi, nama untuk menyebut hal-hal yang terdapat pada kosmos ini serta nama bagi pribadi-pribadi tertentu. Pandangan tentang nama itu adalah keyakinan atas makna nama, pertama-tama bukan soal arti etimologis dari nama tetapi dari cara mendapatkannya. Dengan mengobservasi serta menganalisis ritual pemberian nama dalam budaya Maronggela, penulis menemukan makna dari nama seseorang bagi pribadinya juga tentu bagi lingkungan budaya di mana dia hidup. Sebab nama itu unik bukan hanya sebagai tanda pengenal, tetapi nama adalah lambang pribadi, totalitas atau karakteristik dari orang bersangkutan sesuai dengan namanya. Misalnya nama Watu (Batu), dia akan menjadi pribadi yang mencontohi sifat-sifat batu, keras dalam pendirian, tahan banting, kuat walau diterpa bencana (ngeru kudi watu, zrek lonto nian tadukn sait wi muzi awan). Itu makna dari nama Watu.
Nama tentu tidak sembarang diberikan kepada seseorang, beberapa kebudayaan sangat menjunjung tinggi ritual pemberian nama, bahkan sebagai salah satu ritual inisiasi wajib. Inisiasi yaitu peralihan dari bayi yang terlahir tanpa nama lalu diberikan nama tertentu sehingga diterima dalam lingkungan budaya dimana dia hidup. Berbagai bentuk nama yang diberikan sesuai kekhasan budaya masing-masing. Dalam konteks Maronggela makna filsafat nama menurut Pi’i Pato’ berarti pandangan hidup/filosofi orang Maronggela tentang nama dilihat dari cara mendapatkannya yang disebut Pi’i Pato’. Pertanggunjawaban secara rational tentang apa itu nama menurut Pi’i Pato’ dalam kebudayaan Maronggela oleh penulis itu jugalah adalah filsafat. Filsafat tidak semata adalah suatu pemikiran yang sudah ada dan dipelajari, namun ketika seseorang berani berargumen secara rational dan mendasar, itu filsafat. Dari semuanya secara sederhana filsafat nama menurut Pi’i Pato’ dalam tulisan ini adalah pertama, bagaimana pandangan orang Maronggela tentang nama ditinjau dari cara mendapatkannya. Kedua, argumentasi penulis tentang filsafat nama yang diuraikan secara sistematis termasuk filsafat juga.

4.5 Makna Di Balik Nama-Nama Orang Maronggela
4.5.1 Nama Pogol
            Pogol artinya batu cadas yang keras dan kuat. Massanya berat, dan ukurannya besar sehingga tidak mudah goyah dan rapuh. Watu Pogol sama dengan Watu Loko’, yaitu batu yang digunakan untuk memecahkan batu lain. Namun perbedaannya ialah batu Pogol ukurannya lebih besar dan terdapat di tanah kering, sedangkan batu Loko’ ukurannya lebih kecil dan terdapat di sungai. Batu Pogol ini dalam tradisi orang Maronggela digunakan untuk bermacam-macam kebutuhan, selain sebagai sarana untuk memecahkan batu yang lain juga untuk bahan dasar pembangunan rumah, sebab di atas batu yang kuat terbangunlah rumah yang kokoh.
Seseorang bernama Pogol harus hidup seturut nama, keras dalam pendirian kuat dalam cita-cita, (kiu wake’ maki’, lako pae’ suli’ muzi), seperti Pogol yang digunakan untuk memecahkan batu lainnya, pribadi tersebut harus menjadi seorang yang mampu melawan dan superior terhadap yang lain apalagi pribadi yang berkarakter jahat (ngeru’ kudi watu pogol, pae’ rias ata ta takul rmpe’), namun lebih daripada itu pribadi tersebut harus sadar bahwa dia hanyalah alat dan ada orang lain yang mempergunakannya untuk melawan yang lalim, dia hanyalah alat Yang Ilahi melawan kelaliman dan kejahatan (kali’ Pogol noto’ watu sia wura bapu’). Filosofi Pogol, harus dihidupi oleh orang yang bernama Pogol tersebut. Dari sini dapat dibuktikan bahwa nama itu menggambarkan karakter seseorang. Tentu pemberian nama Pogol tetap melalui mekanisme Pi’i Pato’, dengan berbagai filosofinya tetapi nama Pogol itu sendiri memiliki makna yang menggambarkan karakter seseorang, (kudi ngalitn).
Arti kata Pogol memberikan makna sebagai gambaran karakter seorang bernama Pogol. Hal ini mempengaruhi keseharian hidupnya, segala tingkah lakunya akan dihubungkan dengan nama. Ketika ia teguh dalam pendirian orang lain akan mengatakan na kudi ngalitn, itu memang seperti namanya. Ini dalam arti yang posotif seharusnya dihidupi. Ada  arti negative dari Pogol yakni ketika ia menjadi sangat keras kepala dan selalu ingin menang sendiri, orang lain akan mengatakan juga na kudi ngalitn, itu  memang seperti namanya.
4.5.2 Nama Buzan
            Pada contoh nama sebelumnya diperlihatkan bagaimana nama tersebut menggambarkan karakter seseorang, nama yang berikut ini sebagai contoh bahwa nama itu sebagai harapan akan masa depan. Dalam denah genealogi di bawah ini diperlihatkan bagaimana seseorang bernama Buzan yang melalui upacara Pi’i Pato’ mendapatkan nama dari Buzan kakek kandungnya dengan harapan ia harus seperti Buzan kakeknya.
            Denah Genealogi Buzan
Oval: P. IsaRectangle: Rounded Corners: Pius Buzan


Oval: 3.BogoOval: 2.RawiOval: 1.Mendo           
 


                                                                                                             

Rectangle: Rounded Corners: 1.K.Y.Bezy
 



            Penjelasan denah genealogi Buzan yang memperlihatkan bahwa nama tersebut mengandung harapan akan masa depan;
            Dari gambar denah di atas terlihat bahwa nama Ernestus Sccotus Buzan diambil dari nama kakeknya Pius Buzan. Pius Buzan memiliki 2 isteri yaitu a) Agnes Mendo dan b) Petronela Isa. Bersama isteri pertama Agnes Mendo lahirlah anak-anak yaitu a) Viktus Ganu, b) Siprianus Mulu, c) Yuliana Zeong, d) Wilhelmus Ngao, e) Maria Ekang. Sedangkan dari isteri kedua Petronela Isa lahirlah a) A. Mendo, b) I. Rawi, c) A. Bogo dan d) A. Laos. Anak pertama dari isteri pertama Bapak Pius Buzan adalahViktus Ganu, beliau lalu menikah dengan Hyacinta M. Fatima dan melahirkan a) Krisantus Yustus Bezy, b) Ernestus Sccotus Buzan dan c)Yutta Asunnta Nderu.
Nama Buzan pada keturunan ini tidak memiliki arti kata yang eksplisit, sebab nama bagi orang Maronggela bukan pertama-tama diambil dari nama-nama alam seperti nama binatang atau benda-benda lainya, tetapi diambil dari nama leluhurnya, jikapun ada nama leluhur yang kebetulan bernama binatang atau benda tertentu, bukan karena namanya diambil dari nama binatang itu. Sebab nama itu khas hanya untuk manusia, bukan tiruan dari nama-nama yang sudah ada. Nama Buzan pada denah ini diambil dari nama kakek kandungnya, ayah dari ayahnya, Buzan kecil akan dipanggil ma’ (bapak) oleh orang tuanya sebab itu nama diambil dari nama bapak mereka, dengan harapan bahwa Buzan kecil menjadi seperti Buzan kakeknya dalam berbagai prestasi dan bidang lainnya.
4.5.3 Nama Tanggo’
             Dalam bahasa Maronggela, Tanggo’ adalah nama tanaman sirih, salah satu jenis dari sirih yang biasa digunakan oleh orang Maronggela untuk kte’ (memamah/makan sirih dan pinang yang dicampuri kapur). Sirih jenis ini biasa disebut rebo tanggo’. Sirih jenis rebo tanggo’ ini tidak berbuah tetapi memiliki ukuran daun yang lebar sehingga yang digunakan untuk kte’ adalah daunnya.
Dalam hal ini nama  Tanggo’ diambil dari nama sirih daun (rebo tango’), pertama-tama bukan karena memiliki cerita tersendiri seperti pada kebudayaan-kebudayaan lain, namun nama Tanggo’ karena leluhur memang bernama Tanggo’ dan kebetulan saja nama itu persis nama salah satu jenis sirih. Sebab dalam kebudayaan Maronggela terdapat juga banyak nama-nama lain yang bukan diambil dari nama salah satu benda kosmis tertentu sehingga tidak memiliki arti harafiah dan cerita.[82]Namun dari itu penulis dapat menemukan makna filosofi dari nama Tanggo’ tersebut bahwa seperti rebo tanggo’ yang tumbuh subur berdaun lebar dan dijadikan bahan kte’, pribadi bernama Tanggo’ juga diharapkan agar hidup sesuai namanya, berani memberi diri, bukan melalui buahnya tetapi daun tersebut yang dimamah/makan, pribadi Tanggo’ memberi totalitas dirinya paling utama bukan apa yang dia lakukan (ziu’ weki go bantu ata, kudi rebo tango’ ta ziu’ lebo’n ko kte’).  Seperti rebo tanggo’ berani tumbuh segar dan kuat serta subur dalam keadaan apapun.
Dari denah genealogi nama Tanggo’ di atas terlihat makna sosial dari nama, yaitu memberi. Memberi dalam hal ini pasti ada hubungannya dengan orang lain, meberi diri kepada orang lain, memberi tenaga dan juga memberi pikiran serta totalitas diri, seperti rebo tanggo’. Filosofi tanggo’  bermakna sosial, nama Tanggo’ bermakna sosial memberi diri.


4.5.4 Nama Nderu
            Dalam denah genealogi berikut akan diperlihatkan dari mana nama Nderu diambil dan apa makna di balik nama tersebut. Nama juga sebagai harapan akan masa depan, yaitu harapan dari orang tua sang bayi agar anaknya Nderu menjadi seperti Nderu ibu orang tuanya.                              
             Denah Genealogi Nderu:



           
Rectangle: Rounded Corners: 3.Y.A.NDERU
 



            Penjelasan denah genealogi Nderu ialah sebagai berikut:
1.      Tanda panah horizontal “menikah dengan”, sedangkan tanda panah vertical “melahirkan”.
2.      Kotak berbentuk bulat untuk laki-laki dan berbentuk balok untuk perempuan.
3.      Genealogi Nderu. Paulus Zinda beristeri dua orang. a) Benedikta Nderu dan b) Agnes Ghae. Dari pernikahan pertama bersama Benedikta Nderu melahirkan 12 orang anak yakni 1)Yohanes Don Bosco Woza, 2) T.N. Nderu, 3) K.Siena, 4) H.M.Fatima, 5) Dominikus Savio, 6) M.Tima, 7)….. hingga 12 orang bersaudara. Setelah Benedikta Nderu meninggal, Paulus Zinda menikah lagi dengan Agnes Ghae dan melahirka 2 orang anak yaitu 1) V. Sunding dan 2) M.Nderu.
Dari pernikahan pertama melahirkan 12 orang anak dan anak keempat bernama Hycinta M. Fatima yang kemudian menikah dengan Viktus Ganu, lalu melahirkan Krisantus Yustus Bezy, Ernestus Schotus Buzan dan Yutta Assunta Nderu. Jadi nama Nderu diambil dari nama nenek menurut garis keturunan ibu.

            Seperti yang sudah dijelaskan pada halaman di atas, bahwa  sistem perkawinan di Maronggela ialah patrilinear yakni menurut garis keturunan bapak, dimana yang memegang hak adalah laki-laki. Kepala keluarga ialah seorang bapak, sebab yang harus menjaga rumah dan kampung suku adalah seorang laki-laki dan perempuan yang meninggalkan orang tuanya dan hidup bersama suaminya. Maka seharusnya nama diambil dari keturunan bapak, jikapun itu adalah berjenis kelamin perempuan. Nama diambil sesuai garis keturuna ayah artinya ayah dari ayahnya, atau ibu dari ayahnya.
            Pertanyaannya mengapa nama Nderu  justeru diambil dari nama ibu dari ibunya (menurut garis keturunan ibu), mungkinkah itu melanggar hukum adat? Semata-mata tidak, nama itu bisa diambil dari nama menurut garis keturuna ibu jika 1) Nama yang ditawarkan dari pihak bapak tidak cocok (pae’ bot), tidak cocok itu ditunjukan oleh pinang muda tersebut maka barulah nama itu diganti dari pihak ibu. 2) Jika ada kesepakatan awal, misalnya anak tersebut adalah anak ketiga atau kedua dalam keluarga, dan kakak-kakaknya sudah dinamai berdasarkan garis keturunan ayah maka bolehlah Ia diberi nama menurut keturunan ibu.[83]
            Nderu adalah sesorang yang sangat rajin bekerja, baik dalam tingkah laku serta tekun dalam doa. Menurut kesaksian Nderu juga adalah sosok yang tabah dalam mengatasi segala masalah, tidak banyak bicara tetapi lebih pada berbuat (pae’ ngampong dadi’), tanggung jawab terhadap tugas-tugas yang dipercayakan teristimewa dengan anak-anak yang dilahirkannya. Nderu kemudian diharapkan mencontohi Nderu neneknya, (more’ lawe’ kudi ne’n). Pribadi Nderu yang sekarang akan selalu dibandingkan dengan Nderu yang terdahulu, jika Nderu yang sekarang tidak menghidupi kualitas-kualitas hidup Nderu yang terdahulu maka orang sekitar atau bahkan orang tua kandungnya akan mengungkapkan kata-kata pae’ kudi ne’n (tidak seperti neneknya). Orang Maronggela sangat menjunjung tinggi nama, jadi nama Nderu yang sekarang seolah jiplakan dari Nderu terdahulu, hidupnyapun seolah atas nama Nderu terdahulu.
4.5.5 Nama Lawa
            Denah  genealogi nama Lawa berikut masih memperlihatkan dan menegaskan bahwa nama bagi orang Maronggela benar diambil dari nama leluhur sebagai kenangan dan harapan. Di sisi lain nama juga sebagai gambaran karakter seorang pribadi tertentu dan memiliki makna sosial memberi serta berbagai makna nama lainnya. Nama Lawa kali ini bermakna religius-mistis sebab di sana diperlihatkan bagaimana bisa seseorang bernama Lawa, apa arti kata Lawa dan apa maknanya bagi semua keturunan Lawa.


Denah Genealogi  Lawa:
Rectangle: Rounded Corners: TAWAOval: LAWA
           
 


Rectangle: Rounded Corners: M.KALOOval: 3.T. KABEOval: 1. D. NONO                 
           

 









            Denah genealogi nama Lawa diterangkan sebagai berikut;
1.      Bentuk gambar yang menerangkan laki-laki adalah lingkaran, sendangkan untuk perempuan dalam kotak persegi.
2.      Penomoran sebagai keterangan urutan kelahiran dalam keluarga, satu berarti anak pertama begitupun selanjutnya.
3.      Panah artinya “menikah dengan”.
4.      Genealogi Lawa dalam penulisan ini berarti garis keturunan Lawa, mau memperlihatkan bahwa nama Lawa itu benar diambil dari nama kakek berdasarkan keturanan ayah. Lawa menikah dengan Tawa, dan melahirkan 1)Nono, 2) Turang, 3) Kabe. Nono anak pertama lalu menikah dengan Kalo yang melahirkan 1) Tende dan 2) Imbo. Tende menikah dengan Tango dan melahirkan  1) Tara, 2) Ndawang, 3) Nono, 4) Landang.
            Nama Lawa sebagai suatu nama yang banyak dipakai di kebudayaan Maronggela. Secara etimologis Lawa artinya besi yang sudah dipanaskan dengan api. Asal usul nama Lawa, dikisahkan bahwa ibunya saat sedang mengandung dirinya pernah dipukuli oleh orang dari kampung Manggarai dengan menggunakan besi panas. Ketika ibunya kena pukulan maka sakitlah ia sampai ketika tiba waktunya Lawa akan dilahirkan. Namun  pada saat seharusnya terjadi proses kelahiran bayi Lawa tidak dapat keluar dari rahim ibunya. Ayah dari Lawa ini pergi mencari seorang dukun bersalin. Dukun itu datang lalu berdoa, doanya sebagai berikut: “rinding weki besi keling, minyak tana tara zari atan peneng nawan Allah Mori Kraen besi mila.” Usai doa didaraskan barulah proses persalinan terjadi dengan lancar.[84]
Bermula dari peristiwa itu maka semua keturunan Lawa wajib mendaraskan doa tersebut. Doa ini lalu bermakna luas, tujuannya untuk menjaga diri karena mereka percaya bahwa Lawa tidak keluar dari rahim ibunya diakibatkan oleh “kunci” (penutupan rahim) oleh seseorang. Doa ini bisa menjaga diri dan doa ini diucapkan oleh keturunan Lawa pada saat bepergian. Arti dari doa ini adalah rinding weki artinya menjaga diri, besi itu karena ibu dari Lawa dipukul pakai besi, keling artinya burung nuri. Karena ketika burung nuri makan jagung kulitnya tidak terkupas namun isinya habis. Minyak tana; artinya manusia diciptakan pada saat nguza watu lalak tana (ketika zaman batu mudah dan tanah lembek) diciptakan dengan tanah yang  lembek dan batu yang lembek juga, peneng nawan artinya menutup ilmu pengunci (ilmu orang yang menutup rahim), Ala Mori Kraeng artinya Allah Yang Maha Esa, besimila artinya semoga amin.[85]
Melihat denah tentu kita akan bertanya dimanakah Lawa? Sebenarnya S. Tara itu diambil dari nama Lawa. Ketika Tara lahir dan diberi nama sesuai dengan ritual Pi’i Pato’ saat itu kakeknya masih hidup, sebagai pengandaian bahwa ketika pribadi yang diambil namanya  ternyata masih hidup maka si bayi yang akan diberi nama harus diganti sebutan tapi dengan maksud yang sama (olo elen), maka Lawa akan dipanggil Tara. Nama memang sangat sakral sehingga orang Maronggela sangat hati-hati menyebutnya apalagi menghinanya.
Nama Lawa kemudian berubah menjadi Tara, tetap dengan makna yang sama. Orang Maronggela akan mengetahui bahwa Tara itu adalah Lawa. Pribadi Tara akan dipanggil dengan sebutan Lawa, ketika si Lawa  terdahulu sudah meninggal (ome mata taung), sebab pada prinsipnya nama itu adalah sakral,  spirit seseorang tidak sembarang disebut dan harus dihormati. Nama adalah gambaran pribadi seseorang dan bahkan nama adalah orang tersebut.  Nama Lawa berdimensi religius-mistis sebab ada legenda/mitos yang berkembang tentang asal-usul nama tersebut.
4.6 Point-Point  Filsafat Nama Menurut Pi’i Pato’ Pada Kebudayaan Maronggela
4.6.1 Nama Sebagai Kenangan Akan Leluhur
Leluhur atau biasa juga disebut sebagai nenek moyang adalah nama yang disandangkan bagi orang tua, kakek, nenek dan garis di atas mereka yang lebih jauh. Merekalah yang mewariskan kehidupan dan kebudayaan kepada generasi berikut. Leluhur selalu diagungkan oleh karena berbagai cetusan serta penemuan yang mereka perbuat.
Warga suku Maronggela juga sangat menghormati leluhur, baik itu yang sudah meninggal begitu lama ataupun orang-tua, kakek nenek yang barusan meninggal, suatu keyakinan orang Maronggela bahwa relasi tidak pernah berakhir dengan peristiwa kematian. Dalam setiap kesempatan upacara adat warga selalu memberi sesajian kepada leluhur sebagai bukti ikatan kekeluargaan. Persaudaraan tidak pernah hilang karena alasan kematian sekalipun.  Sebab kematian bagi orang Maronggela tidak berarti dia tidak ada lagi seperti ungkapan Epikurus,[86] tetapi kematian  hanyalah peralihan ke alam lain (sia mbo’ nusi loke zoe’ dia nini’ kita, dia zaga kita, pae’ pedo’ kita). Banyak orang berpikir bahwa para leluhur yang telah mati pindah dari dunia ini ke alam yang tidak kelihatan, dari dunia manusia ke alam roh. Orang-orang yakin bahwa para leluhur ini, atau arwah mereka, akan menjaga keselamatan dan kemakmuran keluarganya di bumi. Bagi mereka, arwah leluhur adalah teman yang kuat, sanggup mendatangkan panen yang baik, menjaga kesejahteraan, dan memberikan perlindungan. Jika diabaikan atau dibuat tersinggung, mereka akan mendatangkan malapetaka, yakni penyakit, kemiskinan, dan kesengsaraan.
Orang-orang yang masih hidup menjalankan tradisi dan ritual untuk menjaga hubungan baik dengan arwah para leluhur. Kebiasaan ini khususnya terlihat dalam tradisi pemakaman dan penguburan, seperti menunggu jenazah semalam suntuk dan penguburan kedua. Penyembahan leluhur juga ditunjukkan melalui cara-cara lain. Contohnya, setelah selesai memasak, beberapa orang menyisakan makanan di panci agar para leluhur punya sesuatu untuk dimakan. Ada juga yang percaya bahwa orang memiliki jiwa yang tidak bisa mati, yang tetap hidup setelah tubuh mati. Jika seseorang berbuat baik semasa hidup, konon jiwanya akan ke surga, tetapi jika ia jahat, jiwanya akan dihukum ke neraka. Semua kepercayaan ini didasarkan atas gagasan bahwa jiwa, atau roh, tetap hidup setelah tubuh mati.
Nama sebagai kenangan akan leluhur. Orang Maronggela meyakini bahwa nama itu harus diambil dari nama leluhur demi mengenang mereka, kenangan bukan hanya karena mereka adalah leluhur, lebih daripada itu bahwa leluhur atau nenek moyang selalu diagungkan karena kehebatan-kehebatan mereka, kecerdasan, atau wibawa serta tokoh yang dihormati dan disegani. Orang Maronggela selalu membanggakan berbagai kehebatan leluhur mereka. Dari beberapa contoh nama di atas terlihat bawa nama Buzan itu adalah kenangan akan leluhur yang memang bernama Buzan. Pribadi Buzan yang sebagai representasi leluhurnya sehingga setiap kali memanggil nama Buzan yang sekarang orang akan selalu ingat akan Buzan terdahulu, (nuuk sia mbo’ nusi).[87]
Kenangan akan leluhur diformat dalam suatu upacara Pi’i Pato’, leluhur siapa yang harus dikenang disetujui oleh leluhur tersebut dengan melihat tanda pada pinang.  Filsafat nama menurut Pi’i Pato’ sebagai kenangan akan leluhur berarti melalui ritual tersebut orang tua si bayi akan mengetahui siapa leluhur yang akan dikenang melalui nama anak mereka. Nama Buzan adalah kenangan akan leluhur Buzan. Ketika kita mengamati tradisi pemberian nama dalam Kekristenan tentu ada hubungannya dengan tradisi yang berkembang di Maronggela. Orang Kristen selalu menama anaknya berdasarkan nama santo-santa. Orang-orang kudus ini akan menjadi pelindung bagi anak tersebut tetapi juga penamaan tersebut adalah kenangan akan santo-santa terdahulu, akan kualitas hidup mereka. Kenangan bukan sekedar kenangan biasa tetapi kenangan disertai tuntutan agar pribadi kemudian hidup seturut namanya.
4.6.2 Nama Sebagai Harapan Akan Masa Depan
Manusia memang mahluk yang berharap. Hidupnya didorong oleh harapan. Orang bisa bangun tidur, dan kemudian siap beraktivitas, juga karena punya harapan akan hidup yang lebih baik. Ketika kesulitan menerpa, harapan pula yang mampu menyelamatkan manusia. Yang diperlukan disini adalah kejernihan di dalam memahami harapan. Darimana datangnya harapan? Apa inti dari harapan? Bagaimana mengelola harapan, supaya ia bisa menjadi daya dorong kehidupan, dan bukan sumber kekecewaan? Hakikat pemberian nama kepada bayi sebagai sebuah harapan agar bayi tersebut selamat, mendapat kebahagiaan, atau kemuliaan dan menjadi orang baik. Nama yang diberikan kepada si bayi dimaksudkan sebagai doa permohonan kepada Yang Ilahi untuk kepentingan si bayi pula. Selanjutnya diungkapkan, bahwa nama-nama tersebut biasanya merupakan nama yang antara lain menunjukkan, kebijaksanaan, dan kepandaian. Melalui nama yang diberikan, orang tua mengharapkan agar anaknya kelak  menjadi orang yang sesuai dengan makna yang terkandung dalam nama atau sebaik orang yang memiliki nama tersebut.[88]
Harapan juga sama. Ia adalah bentukan lingkungan sosial kita. Orang yang lahir di keluarga pedagang cenderung berharap menjadi pedagang besar. Orang yang lahir di keluarga akademisi pun cenderung berharap menjadi seorang pemikir besar. Harapan, pendek kata, adalah hasil dari programming social. Jika orang tak menyadari ini, dan mengira harapan yang ia punya adalah harapannya sendiri, maka ia akan terjebak dalam ilusi. Ia mengira dirinya bebas, padahal tetap terpenjara di dalam dunia sosial. Ia hidup seperti robot, tunduk pada pengakuan dan penolakan dari dunia sosial. Hidup seperti ini amat rentan pada kekecewaan, patah hati, stress, depresi dan konflik.
Harapan berasal dari kata harap yang berarti keinginan supaya sesuatu terjadi, sehingga harapan berarti sesuatu yang diinginkan dapat terjadi. Dengan demikian harapan menyangkut masa depan. Setiap manusia mempunyai harapan. Manusia yang tanpa harapan, berarti manusia itu mati dalam hidup. Orang yang akan meninggal sekalipun mempunyai harapan, biasanya berupa pesan-pesan kepada ahli warisnya. Harapan tersebut tergantung pada pengetahuan, pengalaman, lingkungan hidup, dan kemampuan masing-masing. Berhasil atau tidaknya suatu harapan tergantung pada usaha orang yang mempunyai harapan. Harapan harus berdasarkan kepercayaan, baik kepercayaan pada diri sendiri, maupun kepercayaan kepada Yang Ilahi.[89]
Adapun nama sebagai harapan itu pertama-tama terlihat dari bunyi syair Pintu Pazir Pi’i Pato’ dan kedua dari nama tersebut. Pertama dari bunyi syair Pintu Pazir Pi’i Pato’ adalah sebagai berikut : Raza ata nai moghas Raza ata nai lawe’,  Zaga anak kendo’,  Ziu nggia lawe’ weki di’a ngalit,  Lengkang muzin awan za’a laza teto’,  Muzin awan more’ lawe’,  Zari ata laki mosa,  Ndirung tikus logo welong,  Zaga weki ngalit nggia  Neang wenang lezong kendo’ Saing wi muzi awa’n. (artinya: Raja yang baik hati dan lemah lembut jagalah anak ini, berilah dia kesehatan dan nama baik, sehingga di kemudian hari dia tidak tertimpa sakit derita, punya kehidupan yang baik, menjadi orang yang kaya raya  atau berkecukupan, kami juga mohon jagalah dia sejak hari ini hingga selamanya). Dengan upacara pemberian nama Pi’i Pato’ diharapkan bahwa anak tersebut menjadi seperti yang didoakan terisitimewa menjadi orang yang sehat dan punya nama baik di kemudian hari (weki di’a ngalit lawe’).
Kedua, nama sebagai harapan itu dilihat dari pilihan nama anak tersebut. Mengapa harus diberi sesuai nama dari kelaurganya yaitu kakek atau nenek anak tersebut, hal ini mengandung harapan bahwa si bayi harus bertumbuh menjadi seperti tokoh ideal (ideal type) yakni kakek atau neneknya. Mereka dikatakan tokoh ideal sebab orang-orang tersebut sangat berjasa bagi kelaurga dan selalu diceritakan sebagai tokoh-tokoh yang hebat dan pencetus budaya dalam suku. Maksud pemberian nama agar bayi (anak wara) melanjutkan popularitas, kualitas-kualitas hidup orang yang diambil namanya.
Dari contoh nama di atas terlihat nama Nderu sebagai harapan agar Nderu yang kemudian mencontohi Nderu yang terdahulu. Selain sebagai harapan agar anak itu kemudian menjadi orang yang kaya raya, sehat serta dijauhkan dari segala beban kehidupan seperti yang didoakan dalam Pintu Pazir, tetapi nama Nderu sebagai harapan agar segala kualitas hidup Nderu terulang atau dihidupkan lagi oleh Nderu yang sekarang, segala hal yang baik dan benar tidak habis dimakan usia, tidak lenyap oleh karena kematian, kualitas atau ideal-ideal hidup itu tetap terpelihara dan diharapkan agar dikembangkan oleh Nderu yang sekarang. Semua itu selalui dalam persetujuan leluhur dan Yang Ilahi (Mori Kraeng) melalui upacara Pi’i Pato’. Filsafat nama menurut Pi’i Pato’ sebagai harapan tersirat dalam syair Pintu Pazir di atas dan cerita tentang leluhur terdahulu,  kualitas hidup mereka diharapkan hidup kembali dalam pribadi yang menghidupi namanya.
4.6. 3 Nama Sebagi Perestuan Yang Ilahi Dan Leluhur
Manusia sebagai mahluk beragama (homo religious) tetap memiliki kecendrungan kodrati untuk menciptakan hubungan dengan Wujud Tertinggi. Bentuk hubungan tersebut tertuang atau terungkap dalam doa doa tradisi berupa tuturan ritual. Doa merupakan gejala umum dalam setiap bentuk kepercayaan dan agama. Doa merupakan sesuatu yang paling esensial sehubungan dengan pandangan manusia tentang Tuhan. Konsep atau gagasan orang Maronggela tentang Wujud Tertinggi antara lain Pintu Pazir Pi’i Pato’. Tuturan ini sebagai media interaksi adikodrati dengan Yang Ilahi. Hal ini menyiratkan makna religius dari tuturan tersebut. Kesadaran dan pandangan mengenai komunikasi adikodrati itu tercermin pada diberlakukannya tuturan Pintu Pazir Pi’i Pato’ dan penuturannya bersifat sakral/suci. Hal ini merupakan pandangan  kolektif dan bersifat universal bahwa doa sudah tentu berdimensi religius.
Di samping pandangan kolektif-universal dimaksud, makna religius dalam kajian ini juga dapat diungkapkan berdasarkan bentuk lingual sebagaimana yang dimaksudkan di dalam tuturan Pintu Pazir Pi’i Pato’. Makna religius dimaksud antara lain tersirat di dalam kata Ema ‘bapak’ dan Ende ‘ibu’. Kedua kata ini mengandung makna penciptaan. Dalam agama dan kepercayaan mana pun, termasuk kepercayaan tradisi Maronggela, proses penciptaan selalu dipersepsikan dalam konteks keilahian dan keadikodratian. Sifat ilahi dan adikodrati dari konsep bapak dan ibu dalam pandangan religius selalu dikaitkan dengan kesucian hidup. Dari sudut pandang ini, kesucian hidup merupakan esensi dari pandangan religius.[90]
Berdimensi religius dalam tulisan ini berarti ngalit itu dalam proses mendapatkannya selalu ada campur tangan Yang Ilahi. Nampo’ ngalit  selalu ada restu Yang Ilahi. Ketika pinang sisi yang satu terbuka dan sisi yang lain tertutup, itu tanda persetujuan dari leluhur. Maka nama itu sangat dihargai, sehingga orang dari Maronggela tidak berani menyebut nama seseorang secara langsung, apalagi menyebut nama orang yang lebih tua. Penyebutan selalu diperhalus, bukan disamar tetapi diperhalus, misalnya nama Bogo akan disebut Mbos, atau Laos akan disapa Dao. Ini bukti penghargaan terhadap nama dilihat dari sakralitasnya.[91]      
Analisis tentang dimensi religius dalam nama orang Maronggela terdapat dari Pintu Pazir Pi’i Pato’ terdapat kata-kata yang berbunyi “Lezong kendo kami Pi’i Pato’, ’Kami ko ziu’ ngalit ziu anak kendo’,  Lezo’ lima taun kia manga lonto tana’, Kia zari le Nggau, Kau bot ngalit anak kendo’.” (artinya: hari ini kami melakuak upacara Pi’i Pato’, kami akan memberikan nama baru bagi anak ini, sebab sudah lima hari dia berada bersama kami tanpa nama, dia adalah ciptaanMu dan Engkaulah yang akan menyetujui namannya). Nama menurut Pi’i Pato’ berdimensi religius sebab nama diyakini sebagai pemberian Mori Kraeng, manusia yang menawarkan tetapi Mori Kraeng yang menyetujui dan tanda persetujuan Mori Kraeng atas nama anak tersebut itu bisa dilihat melalui petunjuk pinang.[92]
Sebagai persetujuan Mori Kraeng dan Mbo’ Nusia nama seharusnya tidak sembarang disebutkan, maka orang Maronggela selalu memperhalus nama seseorang Lawa akan dipanggil Tara, nama itu sakral karena dalam mendapatkannya orang Maronggela harus melakukan upacara doa bersama mengorbankan ayam sebagai hewan korban dan menghadirkan banyak orang perestu doa tersebut. Filsafat nama menurut Pi’i Pato’ sebagai perestuan Mori Kraeng ngai Mbo’ Nusi, terlihat dari syair-syair Pintu Pazir di atas dan mekanisme Pi’i Pato’ itu sendiri.
4.6.4 Nama Sebagai Tanda Sosial
Dimensi religius kehidupan orang Riung dalam tuturan Pintu Pazir Pi’i Pato’ terefleksi juga di dalam pandangan-pandangan sosiologis. Perilaku religius yang merupakan inti dari kepercayaan tradisi tidak semata-mata bersifat adikodrati, tetapi dapat pula dimaknai berdasarkan keharmonisan hubungan antarmanusia. Jika tuturan Pitu Pazir Pi’i Pato’ diletakkan dan bingkai religiusitas, maka hal itu tidak berarti bahwa hubungan vertikal antara manusia dengan Sang Pencipta itu mengabaikan ataupun mengingkari hubungan antarmanusia. Tuturan Pintu Pazir Pi’i  Pato’ juga mengandung harapan akan adanya keharmonisan hubungan antarmanusia. Hal ini dapat dicermati melalui larik-larik tuturan Pintu Pazir Pi’i Pato’ berikut ini Landing  anak le songang boang,  Koe mata rembo[93] (artinya: Kalau nanti anak ini sombong dan jahat, dia akan mati binasa). Ajektiv sombong dan jahat merupakan kata kunci dari dimensi sosial tuturan Pintu Pazir Pi’i Pato’. Kata sombong dan jahat merupakan bentuk pengingkaran terhadap kebersamaan dan saling menghargai yang merupakan inti dari relasi sosial antarindividu. Menurut pandangan orang Maronggela sebagaimana pula pandangan manusia sebagai makluk sosial pada umumnya, orang sombong dan orang jahat menempatkan orang lain sebagai orang luar (out group). Karakter semacam ini akan menciptakan individualisme dan egoisme, sifat yang tidak berterima dalam komunitas manapun.  Adapun dua nilai sosial dari sebuah nama yaitu :
4.6.4.1 Nilai Pencitraan
Nama merupakan konsep esensial yang berhubungan dengan identitas. Dari konsep ini muncul istilah penamaan dan nama baik. Nama diberikan berdasarkan asal-usul dan pencitraan terhadap nama dimaksud. Oleh karena itu, orang yang menggunakan nama/mewarisi nama berkewajiban moral untuk tetap menjaga nama tersebut agar tidak tercela. Dalam budaya Maronggela, hal nama baik terarah pada pepatah berikut Weki lawe’ ngalit   di’a (artinya: Badan sehat dan nama baik).
Sehubungan dengan itu, orang Maronggela berkewajiban moral untuk hidup taat norma sosial budaya agar peribahasa “Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama” dapat tewujud. Nama itu harus bebas dari citra buruk (stereotip) sehingga layak untuk diwariskan ke generasi berikutnya.
4.6.4.2 Nilai Ekonomis
Salah satu ukuran hidup baik ialah kekayaan material. Untuk memperoleh kekayaan dimaksud diperlukan usaha. Setiap usaha/kerja untuk mendapatkan hasil senantiasa diletakkan di atas dasar keluhuran akhlak dan kemurnian budi. Nilai ekonomis yang tersirat di balik makna sosiologis tutur Pintu Pazir Pi’i Pato’ tersurat  pada larik berikut ini “lengkang muzi awan zari ata laki mosa”, semua karya dan usahanya berhasil. Nilai tersebut menuntun orang Maronggela untuk menjadi individu pekerja keras dengan selalu mengedepankan cara-cara yang bermartabat. Pandangan mengenai dihalalkannya cara untuk memperoleh hasil yang menguntungkan merupakan hal yang ditabukan dengan masyarakat Maronggela.
Filsafat nama menurut Pi’i Pato’ sebagai tanda sosial dilihat dari nama itu sendiri, orang Maronggela tidak mengena fam secara eksplisit tetapi tetap nama memang menunjukan bahwa anak tersebut berasal dari keluarga yang bersangkutan. Sebagai tanda sosial selain tersirat dalam Pintu Pazir di atas namun dari fakta upacara Pi’i Pato’  tersebut dimana menghadirkan banyak orang (woe wongko’) itu menandakan sosialitas dari nama, nama memiliki pengaruh untuk orang banyak sebab mendengar namanya yang dihadirkan adalah pribadi dengan nama tersebut. Nama Lawa contohnya orang akan mengafirmasi bahwa Lawa memang cocok untuk nama bayi bersangkutan sebab memang Lawa terdahulu adalah leluhurnya. Lawa sebagai tanda sosial.

4.6.5 Nama Sebagai Gambaran Karakter Seseorang
            Karakter atau sifat dasar adalah kualitas hidup yang melekat pada diri seseorang sejak lahir, karakter tidak bisa dirubah seketika, misalnya seorang pemarah berarti karakternya pemarah. Karakter yang ideal adalah karakter yang baik, membangun dan bermanfaat untuk kehidupan sosial, semua orang Maronggela menginginkan agar berkarakter baik bagi anak-anaknya.
            Filsafat nama menurut Pi’i Pato’ sebagai gambaran karakter diartikan bahwa nama tersebut secara etimologis berarti nama suatu tanaman atau binatang tertentu dengan kualitas-kualitasnya. Pribadi bersangkutan akan hidup sesuai karakter namanya, misalnya nama Pogol berkarakter keras, kuat dalam pendirian, tidak mudah goyah dan membarkan diri dikendalikan oleh orang lain jika itu demi kebaikan bersama. Nama Tango’ berkarakter tulus dalam pemberian diri, mengembangan diri sebesar-besarnya dan memberi totalitas diri untuk kepentingan orang lain yang bersifat membangun.
            Hidup seturut nama akan tercipta keharmonisan sesuai pandangan filsafat Cina. Orang Maronggela dengan diberi nama sesuai nama-nama tersebut maka diharapkan agar menghidupi namanya, mengplikasikan karakter dari namanya tentu dalam hal ini ialah karakter yang baik (more’ kudi ngalit, lengkang more’lawe’).
4.7 Refleksi Filosofis
Beberapa point dasar yang ditemukan dari upacara Pi’i Pato’ memberikan sumbangan berupa pandangan filsafat. Filsafat yang dimaksud adalah pandangan hidup atau cara pandang orang tentang segala sesuatu termasuk tentang cara pandang orang Maronggela menyangkut upacara Pi’i Pato’. Ada beberapa nilai filosofis dari nama yaitu nama mengenang masa lalu, juga sebagai harapan, berdimensi religius dan berdimensi sosial. Semua didapatkan dari analisis tentang Pintu Pazir sebab doa tersebut seagai bagian dari Pi’i Pato’ yaitu Pitu Pazir Pi’i Pato’. Namun yang lebih utama dari upacara tersebut memberikan berbagai macam makna filosofis yang mendalam yang dapat direfleksikan sehingga sebagai hal penting mendukung bahwa nama itu berharga, nama itu harus dihormati. Nilai filosofis inilah yang menjadi pegangan bagi orang Maronggela tentunya menjaga tradisi sebagai warisan leluhur ini secara baik.
            Sebagai kenangan akan leluhur karena nama bagi orang Maronggela harus diambil dari nama kakek atau nenek si bayi yang akan diberi nama tersebut,  prioritasnya adalah keluarga dari pihak ayah. Leluhur manjadi tokoh ideal (ideal type), dimana mereka selalu diceritakan memiliki kehebatan-kehabatan dan cetusan-cetusan budaya yang inspiratif. Kenangan terhadap mereka diwujudnyatakan dengan menamai bayi seperti nama mereka. Namun juga penamaan menurut nama mereka sebagai tuntutan sosial agar ikatan kekeluargaan tidak akan pernah hilang. Warisan leluhur yang melekat langsung terhadap generasi kemudian adalah nama.
            Nama sebagai harapan artinya bayi yang akan bertumbuh menjadi besar harus memiliki tokoh panutan, pemberian nama berdasarkan nama kakek atau nenek yang bersangkutan diharapkan ia bertumubuh seperti tokoh tersebut. Dalam kebudayaan Maronggela leluhur adalah orang yang hebat, maka anak tersebut diharapkan menjadi orang yang hebat. Kehebatan itu macam-macam sesuai dengan apa kehebatan leluhurnya.




BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
            Nama adalah tanda, pengenal dan penegas identitas menjawabi pertanyaan siapa.   Nama juga sebagai ekspresi unsur primordial dari mana asal seseorang dan apa agamanya, semua bisa diketahui hanya melalui nama.  Selain sebagai penanda nama adalah pembeda bahwa seorang tertentu bukan yang lain, bahkan melampaui semuanya nama justeru dipersonalisasi sehingga menghina nama seseorang yang terhina justeru pribadi bersangkutan dan memuji nama seseorang yang merasa senang adalah pribadi orang tersebut. Sesuai ungkapan Abraham Masslow bahwa pada dasarnya manusia ingin dipuji dan ingin nama baiknya dikenang sehingga tidak heran kalau banyak orang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk mencari gelar, popularitas demi nama baik.
            Kebutuhan akan nama baik itu menjadikan banyak orang memilah-milah nama apa yang cocok bagi bayi mereka, bisa saja dari nama tokoh-tokoh dunia yang terkenal dengan harapan bahwa anak mereka kelak menjadi seperti tokoh tersebut. Tetapi jika kita melihat fakta sebenarnya pemberian nama kepada seseorang itu sudah diatur berdasarkan hukum agama maupun hukum adat, karena nama adalah ekspresi primordial agama dan kebudayaan sehingga pemberian nama memang diatur berdasarkan agama dan kebudayaan masing-masing. Nama yang diberikan agama adalah nama religius dan nama yang diberikan suku adalah nama marga (fam). Tradisi pemberian nama religius biasanya terjadi di tempat-tempat ibadat contoh saja dalam agama Katolik, nama bayi akan disahkan bersamaan dengan upacara permandian. Sedangkan dalam berbagai kebudayaan tradisi pemberian nama sangat unik mengorbankan hewan dan pilihan nama juga diatur berdasarkan hukum adat tertentu.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan berbagai metode serta analisis data ditemukan keunikan tradisi pemberian nama pada masyarakat Maronggela yang disebut Pi’i Pato’. Lebih jauh dari itu ternyata tradisi pemberian nama tersirat banyak nilai filosofisnya, sehingga nama memang perlu dihargai. Nama itulah yang dihidupi dan diteruskan ke generasi-generasi mendatang. Makna filosofis nama bagi orang Maronggela didapatkan dari bagaimana melakukan upacara pemberian nama dan apa arti nama tersebut. Ada beberapa makna filosofis yang penulis sebut sebagai filsafat nama yaitu: nama sebagai kenangan akan leluhur, nama sebagai harapan, nama sebagai tanda sosial, nama sebagai gambaran karakter seseorang dan nama sebagai  perestuan Yang Ilahi.
Pertama, nama sebagai kenangan akan leluhur (lengkang pae kimu sia mbo nusi). Dalam tradisi orang Maronggela nama yang diberikan kepada bayi yang baru lahir selalu berdasarkan nama leluhur yaitu kakek atau nenek dari garis keturunan ayah bayi tersebut. Kenangan akan leluhur menandakan bahwa ikatan kekeluargaan tidak pernah selesai. Spiritualitas nama di masa lalu akan dihidupi di masa sekarang, jadi pemberian nama berdasarkan nama leluhur adalah niscaya bagi orang Maronggela,
Kedua, nama sebagai harapan akan masa depan (lengkang muzi awan zari ata ta more lawe, laki mosa, umur bantang). Harapan dalam hal ini adalah sesuatu yang positif, nama yang diberikan kepada sang bayi dengan harapan bahwa dia akan hidup sesuai namanya. Leluhur adalah tipe ideal, panutan sebab leluhur selalu diceritakan sebagai tokoh-tokoh hebat di masa lalu. Harapannya bahwa kebesaran nama leluhur dihidupi lagi saat ini, anak yang diberi nama berdasarkan nama leluhur diharapkan bisa menghidupi hal-hal spektakuler seperti yang telah leluhur lakukan di masa lalu.
Ketiga, nama sebagai bukti perestuan Yang Ilahi dan Leluhur. Sahnya suatu nama bagi orang Maronggela itu dilihat dari pinang mudah yang terbelah dua, jika satu sisih terbuka dan sisi yang lain tertelungkup berarti nama yang ditawarkan direstui oleh Yang Ilahi dan Leluhur. Orang Maronggela sangat yakin bahwa Yang ilahi memang benar-benar terlibat dalam menentukan nama. Para leluhur juga ikut merestui nama yang ditawarkan.
Keempat, nama sebagai tanda sosial. Manusia adalah mahluk sosial, nama bahkan dipersonafikasi seperti manusia real, memuji nama seseorang yang merasa senang adalah pribadi yang bersangkutan. Orang bisa melakukan suatu hal atas nama yaitu sesui perintah yang bersangkutan. Nama sama dengan manusia pemilik nama. Terdapat dua nilai dimana nama sebagai tanda sosial yaitu nilai pencitraan dituntut supaya orang Maronggela harus hidup baik (weki dia, ngalit lawe), sedangkan nilai ekonomisnya bahwa dengan nama itu anak diharapkan jadi orang yang kaya raya, semua usahanya berasih di kemudian hari.
Kelima nama sebagai gambaran karakteristik seseorang.  Sesoarang diberi nama tentu apa yang dinamakan adala sesuatu yang dapat digambarkan karaktersitiknya. Karaktesitik inilah yang harus dihidupi oleh bayi baru  tersebut. Nama Pogol sebagai contohnya, anak tersebut harus menghidupi sifat sifat batu Pogol tentu dalam hal-hal yang positif, seperti keras dalam pendirian.
Filsafat nama bagi menurut Pi’i Pato’ bagi orang Maronggela adalah pandagan hidup, atau keyakinan yang dihidupi oleh orang Maronggela. Lima point dari filsafat nama di atas menandakan bahwa ada lima point padangan tentang nama menurut orang Maronggela. Filsafat nama adalah suatu pandangan tentang nama.

5.2 Saran
            Melihat fenomena yang berkembang di kebudayaan Maronggela ada ancaman ketika orang tidak hidup sesuai nama, artinya masing-masing nama memiliki nilai filosofis sebagai pegangan bagi pribadi bersangkutan. Tidak hidup sesuai namaakan menimbulkan ketidakharmonisan. Dalam filsafat Cina, keharmonisan masyarakat justeru ketika orang hidup sesuai nama. Misalnya sebagai seorang kepala Negara, harus hidup dan melaksanakan tugas-tugas kepala Negara.
            Saran saya Pertama bagi para calon orang tua atau orang tua di Maronggela. Bahwa nama bagi orang Maronggela itu sangat penting maka usahakan agar tetaplah mempertahankan budaya pemberian nama yang unik ini sebagai wadah menemukan identitas diri, sebab dengan menjalankan upacara pemberian nama secara baik tentu akan mendapatkan filosofi nama. Filsafat nama itulah ideal yang harus dihidupi dan dikejar serta diterapkan dalam kehidupan.
            Kedua bagi para muda-mudi yang menyebut diri sebagai kaum milenial. Diakui bahwa globalisasi menggerus nilai-nilai filosofi lokal, ada westernisasi nama dimana anak-anak muda lebih suka mengganti nama mereka seperti nama-nama artis-artis atau pemain bola terkenal, saat itu sadar atau tidak sadar sebenarnya mereka sedang menolak diri sendiri. Bentuk penerimaan diri adalah dengan menggunakan nama secara semestinya.
            Ketiga bagi tua-tua adat agar tidak jemu mengajar filosofi kehidupan kepada generasi penerus supaya tidak vakum nantinya.Pengetahuan tentang kebudayaan harus diwarisi secara turun menurun. Dalam hal upacara pemberian nama, segala detailnya harus diajarkan serta mekanisme dan doa-doa adat.
DAFTAR PUSTAKA
Kitab Suci
Alkitab Deutrokanonika, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2003

Kamus Dan Ensiklopedi
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta:Balai Pustaka, 1996
Tim Revisis Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Kamus Umum Bahawa Indonesia
Jakarta: Balai Pelajar,  1996
Prent, K. dkk.,  Kamus Latin-Indonesia,  Yogyakarta: Kanisius, 1969

Buku-Buku
Adams, Cindy., Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Terj. Syamsu Hudi,
Jakarta: Yayasan Bung  Karno, 2014 edisi revisi.
Arndt, Paul., Agama Orang Ngadha; Dewa, Roh-roh, Manusia dan Dunia (vol. 1), Terj.
Paulus Sabon Nama, Maumere: Candraditya, 2005
Bakker, Anton., Antropologi Metafisik, Yogyakarta: Kanisisus, 2000
Bakker, J.W.M., Filsafat Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 1984
Bolong, Bertolomeus, dan Cyrilus Sungga S., Tuhan Dalam Pintu Pazir, Tinjauan Filosofis
Tentang Tuhan Dalam Kepercayaan Asli Orang Riung, Flores, Ende: Nusa Indah,
1999
Bolong, Bertolomeus dan Frederick Y. A. Deoka (eds), Demokrasi Pribumi, Kupang: Bonet
Pinggupir, 2014
Fernandez, Stephanus Ozias., Kebijaksanaan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu dan Kini,
Maumere: Sekolah Tinggi  Filsafat  Katolik (STFK) Ledalero, 1999
Frans Magnis Suseno, 13 Model Pendekatan Etika; Bunga Rampai Teks-Teks Etika Dari Plato
Sampai Dengan Nietzsche, Yogyakarta: Kanisius, 1998
Hendro Setiawan, Manusia Utuh, Sebuah Kajian Atas Pemikiran Abraham Maslow,
Yogyakarta:Kanisius, 2014
Hoed, Benny H., Semiotik Dan Dinamka Sosial Budaya, Depok: Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Indonesia,  2008
Jegalus, Nobertus., Filsafat Nusantara (Bahan Ajar), Kupang: Fakultas Filsafat Unwira, 2018
Kebung, Kondrad., Filsafat Berpikir Orang Timur (Indonesia, Cina Dan India),  Jakarta:
Prestasi Pustaka, 2011
Koller, John M., Filsafat Asia, Terj. Donatus Sermada Kelen, Maumere: Ledalero, 2010
Mangunhardjana, A., Isme-Isme Dalam Etika Dari A Sampai Z, Yogyakarta: Kanisius, 1997
Panda, Herman P., Sakramen dan Sakramentali dalam Gereja, Yogyakarta: Amara Books,
2012
Sihotang, Kasdin., Filsafat Manusia, Upaya Membangkitkan Humansme, Yogyakarta:
Kanisius, cetakan ke-8.2017
Solomon, Robert C, dan Kathleen M. Higgins., Sejarah Filsafat, Terj. Saut Pasaribu, pen
Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya,2000
Sujarwa., Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010

Internet
Maret 2019 pukul 15.30 WITA
https://kbbi.web.id/westernisasi, diakses pada hari Rabu 13 Maret 2019, pukul 15.00 WITA.

DAFTAR INFORMAN
1.      Nama   : Fidelis Balkom
Umur   : 46 tahun
Status  : Ata Gae, pakar budaya.
Agama : Katolik

2.      Nama   : Pertus Lengu
Umur   : 55 tahun
Status  : Dor Maronggela
Agama: Katolik

3.      Nama   : P. Bertolomeus  Bolong OCD
Umur   : 52 tahun
Status  : Pastor, pakar budaya.
Agama : Katolik

4.      Nama   : Paulus Zinda
Umur   : 86 tahun
Status  : Tua adat
Agama : Katolik

5.      Nama   : Petrus Rinting
Umur   : 82 tahun
Status  : Tua adat
Agama : Katolik

6.      Nama   : David No
Umur   : 78 tahun
Status  : Tua adat
Agama : Katolik

7.      Nama   : Viktus Ganu
Umur   : 53 tahun
Status  : Woe Wongko, mengetahuo budaya.
Agama : Katolik

8.      Nama   : Domikus Savio
Umur   : 47 tahun
Status  : Woe Wongko, mengetahui budaya.
Agama : Katolik

9.      Nama   :  Siprianus Mulu
Umur   : 48 tahun
Status  : Woe Wongko, mengetahui budaya.
Agama : Katolik

10.  Nama   : Yakobus Kuu
Umur   : 40 tahun
Status  : Woe Wongko, mengetahui budaya.
Agama : Katolik

11.  Nama   : Andreas Tende
Umur   : 77 tahun
Satatus : Ata Gae. Pakar budaya.
Agama : Katolik

12.  Nama   : Stanislaus Nuwa
Umur   : 56 tahun
Status  : Woe Wongko, mengetahui budaya.
Agama : Katolik

13.  Nama   : Feliks Regang
Umur   :26 tahun
Status  : Pegawai Desa Wolomeze
Agama : Katolik

14.  Nama   :Fransiskus Xaverius Tara
Umur   : 24 tahun
Status  : Mahasiswa
DAFTAR QUESTIONER
1.      Bagaimana asal-usul orang Maronggela?
2.      Bagaiman bahasa yang digunakan pada masyarakat Maronggelaa?
3.      Bagaiman stuktur kepemimpinan orang Maronggela?
4.      Bagaimana pandangan mereka tentang Tuhan dan cara menyembahnya?
5.      Bagaiamana penghargaan terhadap sesama pada kebudayaan Maronggela?
6.      Apa itu upacara Pi’i Pato’ (pemberian nama)?
7.      Bagaimana mekanisme upacara Pi’i Pato’?
8.      Siapa yang wajib mengikuti upacara tersebut?
9.      Kapan upacara Pi’i Pato’ dilaksanakan?
10.  Dimanakah tempat yang cocok untuk melakukan upacara Pi’i Pato’?
11.  Apa sajakah hewan korban yang dibutuhkan?
12.  Bagaimana hubungannya dengan wina wai rana laki?
13.  Apa itu wina wai rana laki?
14.  Apa itu nampo’ ngalit?
15.  Apa yang dimaksud dengan anak wina dan anak rana dalam hubungannya dengan Pi’i Pato’?
16.  Apa makna nama bagi orang Maronggela?
17.  Bagaiamankan penghargaan terhadap sebuah nama pada kebudayan Maronggela?
18.  Apa makna filosofis dari nama pada kebudayaan Maronggela?
19.  Apa makna sosial dari sebuah nama bagi orang Maronggela?
20.  Bagaimana tantangan dan harapan dari praktek Pi’i Pato’.

LAMPIRAN GAMBAR
1.      Bayi/ Anak Wara yang akan diberi nama atau Pi’i Pato’.
            Foto: Upacara Pi’i Pato’ anak Manang. Maronggela 04 – 09 - 2018
2.      Orang Tua Bayi/ Nde Ma
            Foto: Bapak Laus dan Ibu Tini Orang Tua Kandung dari anak Manang
3.      Kakek dari bayi/ ayah dari  Ibu sang bayi.
Foto: Bapak Damianus Abel ayah kandung dari  Ibu Tini (Ibu kandung anak Manang)
4.      Ata Gae te nampo’  ngalit.
            Foto: Bapak David No’ sebagai  ata ga’e yang melakuakan nampo’ ngalit, sedangkan Mama Lina yang menggendong bayi Manang, beliaulah yang menerima di dalam rumah ketika bayi Manang dipapah dari luar oleh Bapak Markus Maku yang di tengah mengenakan jaket.

CURRICULUM VITAE
NAMA DAN TTL
Nama               : Krisantus Yustus
T T L               : Maronggela, 15 Juli 1994
RIWAYAT PENDIDIKAN
SD                   : SD Katolik Warukia, Ngada (2000-2006)
SMP                : SMP Swasta Fatima Warukia, Ngada (2006-2009)
SMA               : SMA Negri 1 Riung Barat, Ngada (2009-2012)
PT                    : Universitas Katolik Widya Mandira Kupang (2015-2019)
RIWAYAT PENDIDIKAN CALON IMAM
Aspiran            : Biara Karmel St. Edith Stein Maronggela, Riung Barat, Ngada-NTT (2012-2013)
Postulan          : Biara Karmel St. Yosep, Bogenga, Bajawa, Ngada-NTT (2013-2014)
Novis               : Biara Karmel St. Yosep, Bogenga, Bajawa, Ngada-NTT (2014-2015)
Studi Filsafat   : Biara Karmel St. Juan Penfui, Kupang-NTT (2015-2019)




[1] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 183. Eksistensi (Inggris: Existence) yang berasal dari bahasa Latin “existere” artinya muncul, timbul, memiliki keberadaan aktual yang terbentuk dari dua kata “ex” (keluar) dan “sistere” (tampil, muncul). Secara harafiah eksistensi adalah segala sesuatu yang dialami.Eksistensi menekankan bahwa sesuatu itu ada.
[2] A. Mangunhardjana, Isme-Isme Dalam Etika Dari A Sampai Z, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 107-109. Individualisme berasal dari kata Latin individuus berarti ‘perorangan’, pribadi, dan bersifat perorang atau pribadi. Individualisme adalah ajaran dan doktrin yang menekankan perorangan atau pribadi. Perorangan memiliki kedudukan utama dan kepentingannya merupakan urusan yang tertinggi.
[3] Drs Sujarwa, M. Hum, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) hlm. 288-290
[4] Anton Bakker, Antropologi Metafisik, (Yogyakarta: Kanisisus, 2000), hlm. 38-39
[5] Kasdin Sihotang, Filsafat Manusia, Upaya Membangkitkan Humansme, (Yogyakarta: Kanisius, cet-8, 2017), hlm. 45
[6] Drs. Sujarwa, Op. Cit., hlm.71-74
[7] Hendro Setiawan, Manusia Utuh, Sebuah Kajian Atas Pemikiran Abraham Maslow, (Yogyakarta: Kanisius, 2014), hlm. 34
[8]Ibid, hlm.150
[9]Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Terj. Syamsu Hudi, (Jakarta: Yayasan Bung Karno, 2014 edisi revisi), hlm.21
[10]Ibid.
[11] A. Mangunhardjana, Op. Cit., hlm. 5
[12] Benny H. Hoed, Semiotik Dan Dinamka Sosial Budaya, (Depok: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia,  2008), hlm. 101
[13] Https://kbbi.web.id/westernisasi, diakses pada hari Rabu 13 Maret 2019, pukul 15.00 WITA.
[14] Noberus Jegalus, Filsafat Nusantara (Bahan Ajar), (Kupang: Fakultas Filsafat Unwira), hlm. 24-27
Primordialisme berasal dari bahasa Latin; primus yang artinya pertama dan ordiri yang artinya tenunan atau ikatan.Primordialisme adalah suatu paham atau pandagan yang memegang teguh hal-hal yang dibawah sejak kecil, baik mengenai adat-istiadat, kepeercayaan maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya.Secara negatif diartikan sebagai perasaan kesukuan yang berlebihan.
[15] Ibid.
[16] John M. Koller, Filsafat Asia, Terj. Donatus Sermada Kelen, (Maumere: Ledalero, 2010), hlm. 548-549
[17] Bertolomeus Bolong, OCD dan Drs Cyrilus Sungga S., Tuhan Dalam Pintu Pazir, Tinjauan Filosofis Tentang Tuhan Dalam Kepercayaan Asli Orang Riung, Flores), (Ende: Nusa Indah, 1999), hlm. 62
[18] Kasdin Sihotang, Op. Cit., hlm. 45
[19] J.W. M Bakker, SJ, Filsafat Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1984), hlm. 57-58
[20]Bapak Viktus Ganu, Wawancara, 25 April, 2019 pukul 10.00-11.30, tersimpan di file pribadi Krisantus Yustus. 
[21]Bpk. Pertus Lengu, Wawancara 30 Januari, 2019 oleh  Tim KKN dari Universitas Sebelas Maret Solo (UNS) Periode Januari-Februari 2018, Desa Wolomeze, Kecamatan Riung Barat, Kabupaten Ngada, NTT. Data tertulis dalam  buku kenangan yang berjudul Maronggela Miniatur Surga Di Timur Indonesia.
[22] Stephanus Ozias Fernandez, SVD, Kebijaksanaan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu dan Kini, (SekolahTinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, 1990), hlm.16
[23] Bertolomeus Bolong, Op. Cit., hlm. 20
[24] Wolomeze adalah nama suatu kampung yang berada di Kec. Riung Barat, Kab. Ngada. Kampung ini sudah ditinggalkan semenjak perpindahan penduduk tahun1980-an. Nama wolomeze sekarang menjadi nama sebuah Desa di Kec. Riung Barat dan nama sebuah Kecamatan di Kab. Ngada.
[25] P. Bertolomeus  Bolong OCD, Wawancara Senin 21-Maret-2019, pukul 10.00-12.00 pagi, tersimpan dalam jurnal harian Krisantus Yustus.
[26] Bpk. David No, Wawancara Selasa 22-Maret-2019, tersimpan dalam jurnal harian Krisantus Yustus.
[27] Bertolomeus Bolong, OCD, Op.Cit., hlm.19
[28] Bpk. Yakobus Kuu, Wawancara 11 Maret 2019, tersimpan dalam alat rekam.
[29] Data diperoleh dari Pak. Feliks Regang, Sekretaris Desa Wolomeze, melalui kiriman pesan Whatss Upp, pada 20 Januari 2019, jam 10.00 pagi. Data tersimpat di jurnal pribadi Krisantus Yustus.
[30] Prof. Dr. Kondrad Kebung, Ph. D., Filsafat Berpikir Orang Timur (Indonesia, Cina Dan India), (Jakarta:Prestasi Pustaka, 2011),  hlm. 243-245
[31] Ibid., hlm. 249
[32] Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm. 77-78
[33] Bertolomeus Bolong OCD, Op.Cit., hlm. 22
[34] Ibid., hlm. 23
[35] Ibid.
[36] Prof. Dr. Kondrad Kebung, Op.Cit., hlm. 247-248
[37] J.W. M. Bakker, Op.Cit., hlm. 48
[38] Bpk. Siprianus Mulu, Wawancara 19 Februari 2019, tersimpan di alat rekam Krisantus Yustus.
[39] Prof. Dr. Kondrad Kebung, Op.Cit., hlm. 248
[40] J.W.M. Bakker, Op.Cit., hlm. 42-43
[41] Prof. Dr. Kondrad Kebung, Op.Cit., hlm. 248
[42] Walau wakil Ulu Golo tetapi dari wibawanya tetap berada setelah Ga’en Wongko’.
[43]Ghan Weton adalah salah satu upacara di Maronggela yaitu upacara syukur panen. Weton adalah nama salah satu tumbuhan padi-padian yang menjadi bahan makanan sebelum Orang Maronggela mengenal tanaman padi. Ghan weton berarti makan weton diadakan sebelum panen raya padi.
[44] Bertolomeus Bolong dan Frederick Y. A. Deoka (eds), Demokrasi Pribumi, (Kupang: Bonet Pinggupir, 2014), hlm. 13-22
[45] Ibid.
[46] Bertolomeus Bolong, Demokrasi Pribumi, Op.Cit., hlm. 35
[47]Ibid., hlm. 30
[48]Ibid., hlm. 31
[49] Pola dadang adalah belis  berupa hewan yang harus dibawah oleh pihak laki-laki kepada keluarga perempuan.
[50] Bertolomeus Bolong OCD, Op.Cit., hlm. 62
[51] Bpk. Yakobus Kuu, Wawancara 11 Maret 2019, tersimpan dalam alat rekam.
[52]Bpk. Yakobus Kuu, Wawancara 11 Maret 2019, tersimpan dalam alat rekam.
[53] B.A Simandjuntak, Upacara Kelahiran Pada Orang Batak Toba, 49-70, dalam Koentjaraningrat editor, Ritus Peralihan Di Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1985), hlm. 63-64
[54]Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 183
[55]Om adalah sapaan pengganti kata Paman (saudara dari ibu).
[56] Bpk. Videlis Balkom, Wawancara 3 Maret 2019, tersimpan dalam alat rekam.
[57]Pinang adalah sejenis palma yang tumbuh di daerah Pasifik, Asia dan Afrika  bagian timur. Pinang juga merupakan nama buahnya yang diperdagangkan orang.
[58]Sirih merupakan salah satu tanaman yang  tumbuh merambat atau bersandar pada batang pohon lain. Sebagai budaya daun dan buahnya biasa dikunyah bersamapinang, tembakau dan kapur. Namun mengunyah sirih telah dikaitkan dengan penyakit kanker mulut  dan pembentukan squamous cell carcinoma yang bersifat malignam. Juga kapurnya membuat pengerutan gusi yang dapat membuat gigi tanggal, walaupun daun sirihnya yang mengandung antiseptik pencegah gigi berlubang.Sirih digunakan sebagai tatanan obat (fitofarmaka); sangat berperan dalam kehidupan dan berbagai upacara adat rumpun Melayu.Walaupun demikian tanaman sirih banyak dijumpai di seluruh Indonesia, dimanfaatkan atau hanya sebagai tanaman hias.    
[59] Bpk. Videlis Balkom, Wawancara 3 Maret 2019, tersimpan di alat rekam.
[60] Bpk. Petrus Lengu, Wawancara 4 Maret 2019, tersimpan di alat rekam.
[61] Bpk. Videlis Balkom, Wawancara 3 Maret 2019, tersimpan di alat rekam.
[62] Diskusi dengan teman penelitian Fransiskus Tara, Mahasiswa Filsafat Unwira,  Semester IV berasal dari Maronggela.
[63]Mawa adalah hak budaya, lima artinya lima. Mawa lima berarti terjadinya ritual pemberian nama itu pada hai kelima, seba hari kelima adalah hak warga suku Maronggela. 
[64]Bpk. Wilhelmus Ngao, Wawancara 28 Januari, 2019,tersimpan di catatan harian.
[65]Bpk. Andreas Tende, Wawancara 29 Januari 2019, tersimpan di alat rekam.
[66] Bertomeus Bolong, OCD, Tuhan Dalam Pintu Pazir, Op.Cit., hlm. 62-64
[67]Bpk. Petrus Rinting, Wawancara 28 Januari 2019, file tersimpan di alat rekam.
[68] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 242-243
[69]Ibid.
[70] Prof. Dr. Kondrad Kebung, Ph.D., Filsafat Berpikir Orang Timur (Indonesia, Cina Dan India), (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011), hlm. 14
[71]Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins, Sejarah Filsafat, Terj. Saut Pasaribu, (Yogyakarta:Yayasan Bentang Budaya, 2000), hlm. 87-92
[72] Lorens Bagus, Op. Cit., hlm. 421
[73]Ibid.
[74] Drs. K. Prent CM, dkk.,  Kamus Latin-Indonesia,  (Yogyakarta: Kanisius, 1969), hlm. 569
[75] Lorens Bagus,  Op.Cit., hlm. 686
[76] Tim Revisis Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pelajar), hlm. 793 
[77] Herman P. Panda, Pr, Sakramen dan Sakramentali dalam Gereja, (Yogyakarta: Amara Books, 2012), hlm. 29-33
[78] Ibid., hlm. 36-41
[79]John M. Koller, Loc.Cit.
[80]Bertolomeus Bolong, OCD dan Drs. Cyrilus Sungga S., Tuhan Dalam Pintu Pazir; Tinjaun Filosofis Tentang Tuhan Dalam Kepercayaan Asli Orang Riung, Flores, (Ende: Nusa Indah, 1999), hlm. 91-92
[81]Paul Arndt, SVD, Agama Orang Ngadha; Dewa, Roh-roh, Manusia dan Dunia (vol. 1), Terj. Paulus Sabon Nama, (Maumere: Candraditya, 2005), hlm. 80-81
[82]Bpk. Stanislaus Nuwa, Wawancara 23 Februari 2019, tersimpan di jurnal harian.
[83]Bpk. Viktus Ganu, Wawancara  25 April 2019, tersimpan di file pribadi Krisantus Yustus.
[84]Bpk. Andreas Tende, Wawancara 23 Februari 2019, tersimpan di jurnal harian.
[85]Diskusi bersama Eus Tara, Mahasiswa Filsafat Unwira semester IV.
[86] Frans Magnis Suseno, 13 Model Pendekatan Etika; Bunga Rampai Teks-Teks Etika Dari Plato Sampai Dengan Nietzsche, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 55-62
[87] Bpk. Dominikus Savio, Wawancara 18 Februari 2019, tersimpan di alat rekam.
[88] Anton Bakker, Op.Cit., hlm. 72
[89] Drs, Sujarwa, M.Hum.,  Op.Cit., hlm.167-169
[90] Lanny Koroh, Proposal Penelitian, https://ojs.unud.ac.id/index.php/linguistika/article/view/.../7211

[92]Bpk. Ferdinandus Lawa, Wawancara 24 Februari 2019, tersimpan di catatan harian.
[93] Kata-kata ini diambil dari syair Pintu Pazir Pi’i Pato’ dengan susunan yang lain. Pintu Pazir Pi’i Pato’ bukanlah suatu susunan doa yang baku, dia dapat berubah sesuai dengan kondisi dan situasi, siapa yang mendoakan, kepada siapa didoakan. Maka kata-kata ini diambil dari Pintu Pazir versi yang berbeda.


2 komentar:

  1. hukum adat dalam bahsa maronggela?🙏

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe,,, hukum adat itu menyangkut norma tingkah laku atau tata aturan etis dalam hidup berbudaya di suatu komunitas adat tertentu. di kebudayaan maronggelapun terdapat hukum adatnya, kita orang Maronggela bisa menyebutnya petu' nenang ta ga'e... bisa dikonvirmasi lagi ke orang yag lebih berhak menjelaskan

      Hapus

  Perihal Hidup: Sejak awal 2023, saya sudah disibukkan dengan satu pekerjaan baru yakni penyelenggara Pemilu persisnya panwaslu desa (PKD...