FILSAFAT
NAMA MENURUT PI’I PATO’
PADA
KEBUDAYAAN MARONGGELA, KECAMATAN RIUNG BARAT
KABUPATEN
NGADA, NUSA TENGGARA TIMUR
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Filsafat
Universitas Katolik Widya Mandira
Kupang
Untuk Memenuhi Sebagai Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjan
OLEH
KRISANTUS YUSTUS
No. Reg: 611 15 005

FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA
KUPANG
2019
FILSAFAT NAMA MENURUT PI’I PATO’
PADA KEBUDAYAAN MARONGGELA, KECAMATAN
RIUNG BARAT
KABUPATEN NGADA, NUSA TENGGARA TIMUR
OLEH
KRISANTUS YUSTUS
No. Reg: 611 15 005
Menyetujui
Pembimbing
I Pembimbing II
(Dr.
Watu Yohanes Vianey, M. Hum.) (Rm. Drs. Theodorus Silab, Pr. Lic. Th)
Mengetahui,
Dekan
Fakultas Filsafat
Universitas
Katolik Widya Mandira
(Rm.
Drs. Yohanes Subani, Pr. Lic. Iur. Can.)
Dipertahankan Di Depan Dewan Penguji Skripsi
Fakultas
Filsafat
Universitas
Katolik Widya Mandira
Dan
Diterima
Untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat
Pada
Tanggal 14 Juni 2019
Mengesahkan
Dekan
Fakultas Filsafat
Rm.
Drs. Yohanes Subani, Pr. Lic. Iur. Can.
Dewan
Penguji
1.
Rm.
Drs. Mikhael Valens Boy, Pr. Lic. Bib. _______________
2.
Rm.
Drs. Theodorus Silab, Pr. Lic. Th _______________
3.
Dr.
Watu Yohanes Vianey, M. Hum. ________________
KATA
PANGANTAR
Pujian
dan syukur kepada Allah karena atas berkat, bantuan dan kasih-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tulisan ini. Penulis menyadari penuh bahwa terciptanya
tulisan ini karena bimbingan dan penyertaan-Nya.
Kebudayaan merupakan keseluruhan
proses dan hasil perkembangan manusia yang disalurkan dari generasi ke generasi
untuk kehidupan manusia yang lebih baik. Kebudayaan tetap terpelihara karena
didukung oleh filsafat hidup masyarakat setempat. Filsafat hidup adalah suatu falsafah/pandangan
hidup (way of life) yang menjadi ideal, titik tolak dan norma bagi masyarakat
dalam berpikir dan bertindak sebagai seorang yang beradab. Sesuatu yang ideal
itu dicita-citakan sebab terkandung makna kebaikan, kebenaran dan keindahan.
Filsafat hidup adalah roh suatu masyarakat, cetusan orang terdahulu dan terus
diwarisi kepada generasi mendatang.
Dalam tulisan ini penulis
mempresentasekan filsafat nama menurut Pi’i
Pato’ pada kebudayaan orang Maronggela di Kecamatan Riung Barat, Kabupaten
Ngada. Pi’i Pato’ sebagai suatu
ritual pemberian nama kepada seorang bayi yang baru lahir terus dipelihara dan
diwarisi sebab terdapat berbagai nilai filosfis. Filsafat nama menurut Pi’i Pato’ berarti pandangan tentang
nama. Nama adalah bentuk kenangan kepada leluhur, sebagai harapan akan masa
depan, sebagai tanda sosial, perestu Yang Ilahi dan Leluhur dan nama sebagai gambaran
karakteristik seseorang. Filsafat nama perlu dipahami secara baik oleh sidang
pembaca dan juga masyarakat Maronggela sebagai suatu pandangan hidup, dengannya
pembaca memiliki suatu kekuatan konsep untuk melawan fenomena modernitas yang
ditandai dengan westernisasi nama.
Sesuai bidang pembelajaran penulis yaitu
filsafat maka tulisan ini adalah suatu tulisan kebudayaan bernuansa filosofis.
Oleh sebab itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. P. Philipus
Tule, SVD selaku Rektor Unwira yang dengan bijaksana dan dengan penuh
pengabdian telah memimpin penyelenggaraan pendidikan di lembaga pendidikan
tinggi ini.
2. Rm. Drs.Yohanes
Subani, Pr, Lic. Iur. Can., selaku Dekan Fakultas Filsafat beserta seluruh
dosen yang telah mendidik dan memberi kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini sebagai kelengkapan akhir studi.
3. Para dosen
pembimbing dan penguji: Dr. Watu Yohanes Vianey, M. Hum. Selaku pembimbing I
yang telah membantu dan meneguhkan penulis selama proses bimbingan melalui
sumbangan saran, nasihat dan petunjuk bermanfaat; Rm. Drs. Theodorus Silab, Pr,
Lic. Th. selaku pembimbing II yang telah memberikan masukan-masukan yang
membantu penulis dalam menyelesaikan tulisan ini; Rm. Drs. Mikhael Valens Boy,
Pr. Lic. Bib., selaku penguji I yang telah bersedia menguji, member masukan dan
membuka cakrawala baru kepada penulis untuk membuat karya ini menjadi semakin
baik.
4. Para pegawai
tata usaha: Bpk. Desiderius Metan, Ibu Brigita Pala dan Ibu Apolonia M. Fernandes
selaku pustakawati yang telah membantu dan memperlancar proses pendidikan
penulis di Fakultas Filsafat UNWIRA.
5. P. Markus Ture,
OCD selaku Komisaris OCD Indonesia yang telah member kepercayaan dan kesempatan
serta membiayai pendidikan penulis.
6. Para pembina di
Biara Karmel San Juan Penfui-Kupang: P. Sakarias Abduli, OCD selaku superior
yang telah menyediakan berbagai fasilitas yang diperlukan dan membiayai
kehidupan penulis selama masa studi; P. Kletus Kristianus Sebhu, OCD selaku
magister yang telah mendampingi dan mengayomi penulis; P. Aloysius George Deeny,
OCD, P. Sirilus Pay, OCD dan P. Arkadeus Jabur, OCD yang telah memotivasi
penulis untuk menyelesaikan karya ini tepat waktu.
7. Para frater OCD
Biara Karmel San Juan Penfui, Kupang yang dengan tekun mendoakan dan mendukung
penulis dengan caranya masing-masing.
8. Karyawan/i
Biara Karmel San Juan Penfui, Kupang yang telah mengabdikan diri dan melayani
penulis bersama teman-teman frater dengan setia.
9. Kedua orang tua
tercinta; Bapak Viktus Ganu dan Mama Sinta Fatima, saudara/i, serta keluarga
besar Maronggela- Riung yang senantiasa mendoakan, mendukung, memotivasi dan
menguatkan penulis dalam panggilan.
10. Semua pihak
yang tak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu penulis dengan cara
mereka sendiri.
Penulis
menyadari bahwa karya ini masih jauh dari sempurna. Karena itu penulis mengharapkan
sumbangan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi kebaikan dan
penyempurnaan karya ini. Semoga karya ini membantu para pembaca untuk semakin
akrab dengan adat dan kebudayaan masing-masing.
Kupang, Awal Juni 2019
Penulis
DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN........................................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................................ iii
KATA PENGANTAR......................................................................................................... iv
DAFTAR ISI........................................................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................... 1
1.1 Latar
Belakang................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan
Masalah............................................................................................................ 9
1.3 Tujuan
Penelitian............................................................................................................. 9
1.4 Manfaat
Penelitian........................................................................................................... 10
1.5 Metode
Penelitian............................................................................................................ 10
1.6 Sistematika
Penulisan...................................................................................................... 11
BAB II GAMBARAN UMUM MARONGGELA............................................................ 13
2.1
Asal-Usul Orang Maronggela.......................................................................................... 13
2.1.1
Maronggela Secara Etimologis..................................................................................... 13
2.1.2 Asal-Usul Maronggela.................................................................................................. 14
2.2
Letak Geografis, Iklim dan Jumlah Penduduk................................................................ 15
2.2.1
Letak Geografis ........................................................................................................... 15
2.2.2
Iklim.............................................................................................................................. 17
2.2.3
Jumlah Penduduk ........................................................................................................ 17
2.3
Kebudayaan Maronggela................................................................................................. 18
3.3.1
Bahasa .......................................................................................................................... 19
2.3.2
Sistem Religi……………………................................................................................. 21
2.3.3
Sistem Pengetahuan ..................................................................................................... 22
2.3.3.1
Pengetahuan Tentang Alam....................................................................................... 23
2.3.3.2
Pengetahuan Tentang Tumbuhan............................................................................... 23
2.3.3.3
Pengetahuan Tentang Binatang................................................................................. 24
2.3.3.4
Pengetahuan Tentang Tubuh Manusia....................................................................... 24
2.3.3.5
Pengetahuan Tentang Sifat Dan Tingkah Laku Manusia.......................................... 24
2.3.3.6
Pengetahuan Tentang Ruang Dan Waktu.................................................................. 25
2.3.4
Struktur Sosial.............................................................................................................. 25
3.3.5
Perkawinan................................................................................................................... 27
3.3.5.1
Tawa Aza Lalan Daler Ale Wae................................................................................ 27
3.3.5.2
Reze Bewe’ Ngai Lezo’n........................................................................................... 28
3.3.5.3
Timbi Keba Ta’an Warat........................................................................................... 28
3.3.5.4
Para Gaen/Sot Gaen................................................................................................... 28
BAB III UPACARA PI’I PATO’ PADA KEBUDAYAAN MARONGGELA.............. 30
3.1
Arti Dan Makna Pi’i Pato’.............................................................................................. 30
3.1.1
Arti P’ii Pato’………………… …..………….............................................................. 30
3.1.2
Makna P’ii Pato’.......................................................................................................... 31
3.2
Pi’i Pato’ Dalam Hubungannya Dengan Wina Wai Rana Laki...................................... 32
3.2.1
Wina Wai Rana Laki .................................................................................................... 32
3.2.2
Hubungan Wina Wai Rana Laki dan Pii Pato’............................................................. 33
3.3
Upacara Pi’i Pato’........................................................................................................... 34
3.3.1
Bahan-bahan................................................................................................................. 34
3.3.1.1
Pinang Mudah (wne’) beserta Sirih (rebo)................................................................ 35
3.3.1.2
Beras (dea’ kewus) ................................................................................................... 37
3.3.1.3Ayam
(Manuk)............................................................................................................ 38
3.3.1.4
Babi (Wawi)............................................................................................................... 39
3.3.1.5
Nyiru ( Dining).......................................................................................................... 39
3.3.2
Pelaksana Upacara Pi’i Pato’....................................................................................... 39
3.3.2.1
Bayi Yang Baru Lahir (Anak Wara).......................................................................... 40
3.3.2.2
Orang Tua Bayi (Nde Ma’n) ..................................................................................... 40
3.3.2.3
Tua Adat (Ata GaE).................................................................................................. 41
3.3.2.4
Warga Kampung (Woe wongko’).............................................................................. 42
3.3.3
Waktu dan Tempat ...................................................................................................... 43
3.3.3.1
Waktu ....................................................................................................................... 43
3.3.3.2
Tempat....................................................................................................................... 44
3.3.4
Upacara Pi’i Pato’........................................................................................................ 44
3.3.4.1
Persiapan.................................................................................................................... 44
3.3.4.2
Pelaksanaan................................................................................................................ 45
3.3.4.2.1
Pintu Pazir Pi’i Pato’:............................................................................................. 46
3.3.4.2.1.1
Syair Pintu Pazir Pi’i Pato' …………………..................................................... 47
3.3.4.2.1.2
Syair Terjemahan................................................................................................. 48
3.3.4.2.2
Nampo’ Ngalit........................................................................................................ 50
3.3.4.2.3
Penyucian................................................................................................................ 50
3.3.4.2.4
Bunuh Babi dan Kambing (Tunu Wawi Mble
Mbe’).............................................. 51
3.3.4.2.4
Barak Wae’ Sagi’.................................................................................................... 52
3.3.4.2.6
Makan Bersama (Ghan Inung Semo Gepok/Kte’
Mbako)...................................... 53
3.3.4.2.7
Pembubaran (Siba’ Kear)....................................................................................... 53
3.3.4.3
Gokat Lima Wali Ma Uma........................................................................................ 54
3.3.4.4
Konsekwensi Baik dan Buruk................................................................................... 55
BAB IV FILSAFAT NAMA MENURUT PI’I PATO’ PADA KEBUDAYAAN MARONGGELA KEC.
RIUNG BARAT, KAB. NGADA NTT.............................................................................. 56
4.1
Filsafat ............................................................................................................................ 56
4.1.1
Filsafat Sebagai Karya Reflektif ................................................................................. 58
4.1.2
Filsafat Sebagai Suatu Kebijaksanaan Hidup.............................................................. 59
4.2
Nama................................................................................................................................ 60
4.2.1
Nama Religius............................................................................................................... 62
4.2.2
Nama Marga................................................................................................................. 63
4.3
Teori Nama...................................................................................................................... 63
4.3.1
Nama Dalam Filsafat Cina .......................................................................................... 63
4.3.2
Nama Dalam Tradisi Kristen........................................................................................ 64
4.3.3
Nama Pada Kebudayaan Maronggela........................................................................... 65
4.4 Filsafat Nama................................................................................................................... 66
4.5
Makna Di Balik Nama-Nama Orang Maronggela........................................................... 68
4.5.1
Nama Pogol.................................................................................................................. 68
4.5.2
Nama Buzan.................................................................................................................. 69
4.5.3
Nama Tanggo’.............................................................................................................. 70
4.5.4
Nama Nderu.................................................................................................................. 72
4.5.5
Nama Lawa................................................................................................................... 74
4.6
Point-Point Filsafat Nama Menurut Pi’i Pato’ Pada Kebudayaan Maronggela............. 77
4.6.1
Nama Sebagai Kenangan Akan Leluhur...................................................................... 77
4.6.2
Nama Sebagai Harapan Akan Masa Depan................................................................. 80
4.6.3
Nama Sebegai Perestuan Yang Ilahi Dan Leluhur....................................................... 82
4.6.4
Nama Sebagai Tanda Sosial......................................................................................... 84
4.6.4.1
Nilai Pencitraan......................................................................................................... 85
4.6.4.2
Nilai Ekonomis.......................................................................................................... 86
4.6.5
Nama Sebagai Gambaran Karakter Seseorang............................................................. 87
4.7
Refleksi Filosofis............................................................................................................. 87
BAB V PENUTUP............................................................................................................... 89
5.1
Kesimpulan...................................................................................................................... 89
5.2
Saran................................................................................................................................ 92
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 93
DAFTAR INFORMAN...................................................................................................... 96
DAFTAR QUESIONER..................................................................................................... 99
LAMPIRAN GAMBAR..................................................................................................... 100
CURRICULUM VITAE..................................................................................................... 104
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia
secara eksistensial[1]
bersifat dwitunggal, sebagai individu sekaligus berkodrat sosial “ens sociale”. Sebagai individu manusia
itu “ada” dalam dirinya, unik, tak
ada duanya, ia pribadi yang otonom, berdiri sendiri dan berhak menjadi diri
sendiri. Setiap individu berhak mempergunakan kebebasan dan inisiatifnya. Individu bisa eksis tanpa harus terlalu bergantung
pada intervensi individu lain, berbuat sebebas-bebasnya berpusat pada kemampuan
pribadi (egosentris) serta yakin akan kebenaran dirinya sendiri tanpa
mempertimbangkan orang lain. Hal ini bisa menimbulkan bahaya yang disebut
individualisme.[2]
Dalam
realitas kita tahu bahwa individu tidak bisa tidak, ada-nya
selalu ada bersama orang lain.
Penegasan terhadap individualitas justeru karena ada-nya orang lain. Individu terhubung dengan yang lain.[3]
Keterhubungan dengan yang lain itu nyata, bahwa individu terlahir dari orang
lain yaitu dari orang tuanya, bahkan ia terlahir sebagai mahluk yang belum
sempurna dan lemah, sehingga menggantungkan nasib sepenuhnya kepada orang tua.
Sejak kelahiran sesungguhnya unsur sosialitas sudah tampak dalam diri manusia.
Individu membutuhkan orang lain, berinteraksi dengan orang lain demi memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Pada titik ini harus diterima bahwa manusia itu
adalah mahluk sosial. Sebab manusia terhubung dengan yang lain. Jadi dua kodrat
yang melekat pada manusia ini tidak bisa dilepas pisahkan, bahkan saling
mempertegas kodrat masing-masing, sebagai individu yang otonom pada sisi lain
dan sebagai mahluk sosial di sisi lainya. Keterhubungan dengan orang lain
justeru mempertegas individualitas manusia.[4]
Sebagai
individu otonom dan juga sekaligus mahluk sosial manusia saling terhubung demi
kepenuhan hidupnya, sosialitas adalah kumpulan berbagai individu otonom
membentuk kebersamaan yang mutual, peleburan dalam kebersamaan tidak akan
pernah menghilangkan otonomi individu, tentu masing-masing individu berbeda
satu dengan yang lain. Anak kembarpun pasti akan selalu berbeda, macam-macam
unsur pembeda baik secara psikis, biologis, identitas sosial, bakat dan sebagainya.
Salah satu dari sekian banyak unsur pembeda antar individu yang satu dan
individu yang lain adalah nama diri (proper
name). Nama diri (proper name)
itu spesifik, pembeda dari nama orang lain tetapi juga tanda pengenal. Dengan menyebut namanya, orang lain bisa mengklasifikasikan individu
tersebut berkarakter seperti apa, berasal dari daerah tertentu, beragama
tertentu. Namun jika menyebut nama individu lain tentu orang dapat mengklasifikasikan
bahwa individu tersebut berasal dari daerah lain dan beragama lain.
Selain
sebagai tanda pembeda, nama juga adalah tanda pengenal, apa dan siapa serta bagaiman pribadi seseorang. Dari namanya
orang lain bisa mengetahui siapa dirinya, darimana asalnya, apa agamanya.
Memanggil nama seseorang berarti memanggil totalitas dirinya. Menghargai nama
seseorang berarti menghargai existensi orang tersebut. Tetapi menghina nama
seseorang, yang terhina adalah pribadi secara utuh dari orang bersangkutan.
Menyebut namanya secara sopan itu menjadi suatu bentuk penghargaan terhadap
dirinya.Nama mempunyai makna terhadap setiap pribadi. Setiap orang memiliki
nama. Nama merupakan perwujutan, pengejawantahan sekaligus menjadi identitas
pribadi seseorang. Seseorang dipanggil dengan namanya, menyebut nama tidak saja
hanya mengeluarkan bunyi melalui huruf-huruf yang tersusun, melainkan
mengandung makna pengakuan terhadap eksistensi pemilik nama. Pengakuan ini
bersifat utuh, artinya menyebut nama seseorang dengan baik adalah mengakui
eksistensi orang bersangkutan, sebaliknya melecehkan nama seseorang sama dengan
melecehkan pribadi pemilik nama.[5]
Banyak
orang yang berusaha untuk berbuat baik sesuai ukuran masyarakat dan agama agar
ketika meninggalkan dunia ini nanti nama baiknya dihargai. Ada pepatah kuno
berbunyi “Gajah mati meninggalkan gading,
harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meniggalkan nama.” Nama baik
identik dengan prilaku baik, yang identik dengan kebenaran dan terpuji, sehingga
tidak tercela semasa hidupnya.[6]
Pengakuan akan kebaikan seseorang menghargai manusia, sebab menurut Abraham
Maslow secara esensial manusia butuh dihargai (kebutuhan akan harga diri)[7] butuh diakui keberadaanya. Pertama kebutuhan untuk dianggap kuat,
mampu mencapai sesuatu, memadai, punya keahlian dan kompetensi, percaya diri
untuk menghadapi dunia, mandiri dan bebas. Kedua
manusia mempunyai keinginan untuk memilki reputasi dan prestise tertentu
(didefinisikan sebagai penghargaan atau penghormatan dari orang lain), yang
berupa status, kebanggaan kemenangan, dominasi, dikenal, diperhatikan, dianggap
penting, martabat, atau apresiasi tertentu lainnya.[8]Penghargaan
karena prestasi akademik biasanya diberi gelar Master, Doktor dan penghargaan
tertinggi yakni Professor. Gelar-gelar ini lalu ditambahkan pada nama
seseorang. Nama memang sangat penting dan harus dihargai.
Dalam
berbagai kebudayaan, nama mengandung arti yang penting. Banyak suku
mempertahankan sebagian tradisi dengan salah satunya melalui nama-nama yang
diberikan pada anggota keluarganya, bahkan pemberian nama selalu disertai
dengan kegiatan ritual baik bersifat agamis maupun bersifat kultural. Tujuannya
adalah untuk keselamatan jiwa si pemilik nama. Tidak jarang pula ketika nama
yang diberikan kepada seseorang tidak cocok, nama itu membawa malapetaka,
misalnya pemilik nama sakit-sakitan. Melakukan ritual pemberian nama secara
baik selalu mengandung makna tersendiri bagi orang-orang yang menganut budaya
tersebut. Sang proklamator kemerdekaan bangsa Indonesia (Seokarno), dijuluki
Putera Sang Fajar.[9]Sesuai
pemaparannya dalam buku Soekarno
Penyambung Lidah Rakyat, makna Putera Sang Fajar itu berkaitan dengan
peristiwa kelahirannya. Beliau lahir pada saat matahari terbit, tepat di awal abad 20 yang penuh cerita ini yaitu
tahun 1901. Karena di balik nama selalu ada makna, maka julukan Putra Sang
Fajar kepada Soekarno tersirat harapan orang tua kepada dirinya yang dikemudian
hari harus menjadi orang sukses, orang terpandang, dan orang yang memilki
status sosial yang tinggi seperti analogi
matahari.[10]
Inilah contoh bahwa makna sebuah nama itu terbentuk dari bagaimana nama itu
didapatkan sehingga nama memilki makna tertentu.
Namun
oleh proses globalisasi, bola bumi (globe)
kita menjadi kecil, jarak mendekat dan hubungan dipermudah dan dipererat.
Sekarang ini (bila tersedia uang), dengan berbagai alat transportasi kita dapat
pergi mengunjungi dan berpindah dari satu ujung bumi ke ujung bumi yang lain
dengan cepat dan nyaman. Oleh berbagai alat media massa, radio, televisi, surat
kabar, majalah, peristiwa yang terjadi di satu sudut dunia dengan segera dapat
diketahui oleh orang-orang di berbagai sudut dunia yang lain. Pemikiran dan
penemuan ilmu teknologi tersebar ke seluruh dunia dan berbagai ideologi entah
secara jelas atau tersamar, masuk dan beroperasi di setiap ruang di atas bumi.[11]
Dunia
kini semacam suatu desa global (global-village),
tidak ada jarak dan tak ada pembatas. Globalisasi dalam bidang kebudayaan juga
sangat terasa, tergantung kebudayaan mana yang lebih kuat pengaruhnya, kebudaya
itulah yang akan diikuti oleh seluruh penghuni desa global (global-village) ini. Dari fakta yang ada umumnya Kebudayaan Barat
lebih kuat pengaruhnya bagi dunia, masuk dan menggerus kebudayaan-kebudayaan
lokal. Orang-orang di desa-desapun jika ingin eksis, maka harus ikut tren, mode
terbaru, merubah gaya hidup (life style) yang
datang dari Barat. Fenomena ini disebut “Westernisasi” (West = Barat. Western= Orang Barat), membaratkan budaya lokal.[12]
Westernisasi
mempengaruhi kebudayaan lokal, merubah cara pandang tentang makna kehidupan,
konsekwensinya tampak dalam gaya hidup yang serba moderen.[13]Unsur
primordial dari individu tertantang oleh tawaran-tawaran kebudayaan
Barat.Primordialisme[14]
agama dan budaya diwesternisasi. Salah satu bentuk primordial dari individu ialah
nama diri. Nama diri adalah ekspresi primordial bahwa dia berasal dari
kebudayaan tertentu dan beragama tertentu. Seharusnya unsur primordialis ini
tetap terpelihara sebab tidak dapat dipungkiri seseorang terlahir dalam
kebudayaan dan kepercayaan tertentu. Akhir-akhir ini juga unsur primordial
dimodifikasi dan menjadi arti yang negatif. Namun, yang berbahaya adalah ketika
orang mengidentifikasikan dirinya dengan unsur primordial, tetapi penyadaran
akan ikatan primordial itu sangat disarankan, menandakan bahwa seseorang
menyadari Ia beragama apa dan berasal dari kebudayaan mana.[15]
Problem
weternisasi nama muncul ketika banyak orang tua yang tidak memahami apa arti
sebuah nama, sehingga dalam pemberian nama kepada anaknya gagal merefleksikan
makna terdalam dari nama tersebut tetapi tergantung penuh pada selera yang
bersangkutan. Nama yang diberi misalnya diambil dari nama bintang film atau
pesepak bola dunia bahkan nama artis papan atas idola orang tua. Hal ini
membawa dampak di kemudian hari, ketika anak bertumbuh tidak sesuai namanya
maka ia lalu tidak menghargai lagi nama yang diberikan oleh orang tuanya, anak
tidak bisa bertumbuh seperti bintang film atau pesepak bola atau artis idola
orang tua, sehingga sebebasnya anak-anak menyamarkan nama mereka demi
penyembunyian identitas, tidak mampu menjadi apa yang diharapkan, tidak
menghidupi spirit namanya.
Problem
di atas juga akhir-akhir ini terjadi pada masyarakat Maronggela, suatu kampung
di Kabupaten Ngada. Pengabaian terhadap makna sebuah nama di masyarakat
Maronggela berdampak pada relativisme nilai. Anak-anak menjadi tidak hormat
lagi kepada orang tua padahal dari namanya saja dia adalah anak-anak, beberapa
kepala suku serta orang-orang yang mempunyai wibawa dalam masyarakat menjadi
bingung dengan perannya, padahal nama itu jelas mempertegas peran yang harus
dijalani. Kasus lain ketika anak tidak bertumbuh sesuai nama yang diberikan.
Sebab hidup tidak sesuai nama akan terjadi kontradiksi, ketidakharmonisan.[16]
Sebagai
bentuk perihatin penulis terhadap masalah westernisasi nama pada kebudayaan
Maronggela maka penulis berusaha untuk meneliti secara mendalam ritual
pemberian nama serta menemukan makna filosofis dari nama. Asumsi penulis, orang
Maronggela seperti orang dari kebudayan-kebudayaan lokal lainya meyakini bahwa
nama mengandung arti yang penting. Banyak suku mempertahankan sebagian tradisi
dengan salah satunya melalui nama-nama yang diberikan pada anggota keluarga,
bahkan pemberian nama selalu disertai dengan kegiatan ritual baik bersifat
agamis maupun bersifat kultural. Tujuannya adalah untuk keselamatan jiwa si
pemilik nama. Tidak jarang pula ketika nama yang diberikan kepada seseorang
tidak cocok, nama itu membawa malapetaka, misalnya pemilik nama sakit-sakitan.
Tidak hanya dalam konteks budaya nama memilki arti yang penting. Hubungan sang
pencipta dengan manusia dan sebaliknya
terjadi dengan nama sebagaimana dialami oleh Musa, Yahweh menyebut diri-Nya
sebagai AKU adalah AKU. (Keluaran 3 : 14).
Bertolak
dari hasil pengamatan penulis, di Maronggela masih dipraktekkan ritual
pemberian nama kepada bayi yang baru lahir. Ritual itu disebut Pi’i Pato’ (pemberian nama). Makna nama
bagi masyarakat Maronggela justeru dibentuk pertama,
dari bagaimana mereka menjalani Pi’i
Pato’, yakni bahan-bahannya, orang-orang yang melakukan upacara tersebut
serta doa-doa dalam yang diucapkan. Kedua,
dari menafsir kata-kata atau analisis kata sebab setiap nama pasti memiliki
arti tertentu. Nama itu menggambarkan seseorang yang berwatak tertentu. Kata
bagaimana yang harus ditekan di sini, itu artinya metode penentuan sebuah nama
bagi Masyarakat Maronggela sangat penting. Ada persyaratan-persyaratan tertentu
yang harus digenapi dan tidak boleh dilanggar. Sebab jika dilanggar maka akan
mendapatkan konsekwensi yang tidak diinginkan, seperti sakit-sakitan dan bahkan
kematian.[17]
Masyarakat
dari kebudayaan Maronggela sebenarnya memiliki filsafat hidup/pandangan hidup (way of life) sebagai pegangan dan norma
tingkah laku. Berkaitan dengan nama, masyarakat kebudayaan Maronggela juga
mayakini bahwa nama itu berdimensi masa lalu dan masa depan. Masa lalu berarti
nama memang diambil dari nama kakek atau nenek sang bayi sebagai kenangan
terhadap mereka, dan dimensi masa depan berarti ada harapan agar sang bayi bertumbuh
sesuai nama yang diberikan kepadanya. Ketika bertanya “apalah arti sebuah nama” namun nama mempunyai makna terhadap
setiap pribadi. Setiap orang memiliki nama. Nama merupakan perwujutan,
pengejawantahan sekaligus menjadi identitas pribadi seseorang. Seseorang
dipanggil dengan namanya, menyebut nama tidak saja hanya mengeluarkan bunyi
melalui huruf-huruf yang tersusun, melainkan mengandung makna pengakuan
terhadap eksistensi pemilik nama. Pengakuan ini bersifat utuh, artinya menyebut
nama seseorang dengan baik adalah mengakui eksistensi orang bersangkutan,
sebaliknya melecehkan nama seseorang sama dengan melecehkan pribadi pemilik
nama. [18]
Dari
problem di atas penulis dalam penelitian ini ingin mengulas tuntas tentang
filsafat nama yang tersirat di balik tradisi Pi’i Pato’. Pada hakekatnya nama tidak asal-asalan saja tetapi
adalah suatu tanda pribadi, suatu pengenal yang membedakan dirinya dari yang
lain. Suatu keunikkan yang untuk orang lain tidak ada. Nama itu penting. Fokus
penelitian penulis adalah di kampung Maronggela, karena pada prinsipnya orang
Maronggela masih sangat menjunjung tinggi filsafat nama. Arti sebuah nama
sangat penting bagi orang Maronggela, di mana nama seorang anak yang baru lahir
diberi sesuai nama orang dari dalam anggota suku tersebut dan yang lazimnya
nama itu adalah turunan dari nama kakek atau nenek si bayi.
Peneliti
melalui tulisan ini akan memepertanggungjawabkan bagaimana praktik pemberian
nama pada kebudayaan Maronggela di satu sisi, yaitu mulai dari mekanismenya
sampai pada struktur acara dan di sisi lain juga akan dipaparkan bagaimana
nilai dan makna serta filsafat nama, sehingga sebagai judul umum penelitian ini
penulis merampungnya menjadi FILSAFAT
NAMA MENURUT PI’I PATO’ (PEMBERIAN
NAMA) PADA KEBUDAYAAN MARONGGELA, KECAMATAN RIUNG BARAT, KABUPATEN NGADA, NUSA
TENGGARA TIMUR.
1.2 Rumusan Masalah
Sesuai
dengan latar belakang di atas maka beberapa rumusan masalah yang terungkap
dalam bentuk pertanyaan berikut menjadi penuntun dalam merangakaikan tulisan
ini. Adapun hal-hal yang dipermasalahkan ialah :
1) Siapa
itu Orang Maronggela
?
2) Bagaimana praktik ritual Pi’i Pato’ (pemberian nama)?
3) Apa makna filosofis dari nama dalam ritual Pi’i
Pato’ pada masyarakat Maronggela?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah dan latar belakang yang telah dibahas di atas maka tulisan
ini dibuat dengan tujuannya
ialah sebagai berikut:
1)
Mengetahui siapa itu orang Maronggela.
2)
Mengetahui sedetail mungkin ritual Pi’i
Pato’ pada masyarakat Maronggela.
3)
Mengetahui filsafat nama menurut Pi’i Pato’ pada masyarakat Maronggela.
1.4 Manfaat Penelitian
1) Sebagai
sumbangan bagi Universitas Katolik Widya Mandira Kupang pada umumnya dan
Fakultas Filsafat pada khususnya dalam konteks mengenal budaya asli orang Maronggela teristimewa ritual Pi’i Pato’, sekaligus menggugah hati
para mahasiswa untuk menggali budaya yang terdapat di daerahnya masing-masing
dan menelaahnya menurut disiplin ilmu yang didapatkannya.
2) Bagi
para calon imam sehingga boleh mendapatkan sekedar inspirasi dari penelitian
ini, demi persiapan diri menjadi pemimpin iman yang mengenal keunikan dan latar belakang umat teristimewa aspek bahasa karena itu yang
menentukan siapa mereka, tetapi juga praktek-prektek budaya sehingga tidak kaku
dalam pengajaran iman.
3) Sebagai
sumbangan bagi orang Maronggela,
agar mereka semakin cinta akan budaya daerahnya yang ternyata mengandung
berbagai makna dan nilai, baik nilai religius maupun nilai sosialdan juga sebagai
simbol interaksi
baik yang vertikal,
dengan yang Transenden
maupun yang horizontal, dengan sesama manusia.
4)
Dapat membantu peneliti sendiri untuk
semakin mengenal warisan budaya masyarakat Maronggela serta melatih diri untuk
merefleksi fenomen-fenomen kemasyarakatan secara ilmiah.
1.5 Metode Penelitian
Penulis
memulai tulisan ini dengan menggunakan metode wawancara. Wawancara adalah
teknik mengambil data dengan proses tanya jawab antara penulis dan informan
untuk mendapatkan data secara lisan. Penulis berusaha mencari, mendatangi dan
selanjutnya mewawancarai dan berdiskusi dengan para informan yang diyakini
memiliki pengetahuan yang memadai tentang adat Maronggela.
1.6 Sistematika Penulisan
Penulis berusaha merampung tulisan
ini kedalam lima bab. Lima bab ini adalah komposisi dari masing-masing bab yang
otonom. Setiap bab akan dibahas secara perinci pokok persoalanya dan
proporsional dengan perinciannya sebagai berikut Bab I diberi judul Pendahuluan,
pada bagian ini penulis menguraikan problem empiris yang menjadi latar belakang
penelitian, tujuan dan kegunaan penulisan yang akan dikembangkan secara serius
pada bab-bab selanjutnya.
Selanjutnya pada Bab II akan diuraikan secara terperinci
siapa itu Orang Maronggela, mulai dari faktor-faktor yang membentuk kebudayaan
tetapi juga aspek kebudayaan, maka beberapa dari sembilan unsur kebudayaan akan
mendapat porsi pada bab ini. Maronggela adalah nama tempat sasaran penelitian
bertempat di Desa Wolomeze, Kecamatan Riung Barat, Kabupaten Ngada-NTT dari
aspek bahasa, struktur sosial, religi, perkawinan dan yang paling utama ialah
unsur yang berkaitan dengan tema garapan penulis, sebagai ulasan tentang aspek
yang diteliti yakni Pi’i Pato’ itu
sendiri.
Bab III akan diuraikan sedetail
mungkin upacara Pi’i Pato’, mulai
dari bahan-bahan yang harus dipersiapkan serta alasan persiapan bahan-bahan
tersebut, kapan dilaksanakan, siapa yang melaksankan, persyaratannya apa, dan
hewan korbannya apa, serta konsekwensi jika salah melaksanakan. Uraian akan
sangat panjang, serta sedetail mungkin mulai dari tahap persiapan pelaksananaan
hingga tahap akhir ritual Pi’i Pato’ tersebut,
kita akan mengetahui betapa pentingnya dan betapa berbudayanya orang dari suku
Maronggela.
Bab IV adalah bagian yang paling inti
karena pada bab ini penulis akan membela judul skripsi, tentang filsafat namamenurut Pi’i Pato’ inilah inti hasil penelitian yang menjawab pertanyaan
dasar mengapa Orang Maronggela seharusnya menghargai namanya, sebab nama mengandung nilai filosofis. Nilai
filosofis tersebut atas hasil refleksi tentang nama secara spesisfik tetapi
juga mekanisme pemberian nama yang ternyata mengandung banyak nilai dan makna.
Analisis nama dan analisis mekanisme. Pada bab ini akan dibahas adalah apa itu
filsafat, apa itu nama, apa itu filsafat nama, serta berbagai penjelasan
lainnya tentang apa itu Pi’i Pato’, perbedaannya
dengan nampo’ ngalit penulis
mempertanggunjawabkan secara rational agar tidak salah paham tentang Pi’i Pato’ itu sendiri, bawasannya Pi’i Pato’ bukan sebagai persona tetapi
suatu kegiatan. Dibutuhkan kehati-hatian penulis agar tidak salah menjelaskan
mengapa sesuatu yang adalah kegiatan bisa memberi pandangan filosofis.
Tulisan ini akan ditutup dengan Bab V
tentang usul saran serta catatan kritis penulis akan hasil penelitiannya,
sebagai suatu rangkuman umum. Catatan kritis sebagai pengakuan realistis
tentang hasil penelitian dan tulisan, sedangkan usul saran adalah harapan
penulis bagi masyarakat Maronggela dan siapa saja yang membaca tulisan ini.
BAB
II
GAMBARAN
UMUM MARONGGELA
2.1
Asal-Usul Orang Maronggela
2.1.1
Maronggela Secara Etimologis
Upacara
pemberian nama yang disebut Pi’i Pato’ terjadi
di kampung Maronggela, maka perlulah untuk mengetahui gambaran umum Maronggela
sehingga bisa memahami apa itu Pi’i Pato’.
Gambaran umum Maronggela meliputi beberapa unsur dan faktor yang menenun suatu
kebudayaan. Faktor kebudayaan berarti menyangkut hal-hal yang mempengaruhi
seseorang berbudaya tertentu, alasan-alasan orang atau kelompok tertentu mau
berbudaya, atau lebih tepat menjawabi pertanyaan mengapa orang berbudaya. Berbudaya
artinya membentuk suatu kebudayaan yang luas dalam suatu kampung. Faktor kebudayaan adalah pemicu orang
berbudaya. Faktor-faktor kebudayaan sesuai defenisi Bakker adalah “segala apa
yang menggerakan manusia untuk menghasilkan kebudayaan.” Faktor kebudayaan ini
ada yang bersifat pengaruh, bersifat syarat, ataupun hanya melenyapkan
penghambat untuk menciptakan kebudayaan. Faktor itu bukanlah sebab, manusialah
menyebabkan kebudayaan, dia yang menciptakan nilai dari bahan mentah alam
secara bebas.[19]
Secara
etimologis kata Maronggela adalah gabungan dari kata Maro dan Nggela. Orang Maronggela
mengartikan kata Maro sebagai tempat
istirahat yang bersifat sementara dan strategis, biasanya di bawah suatu pohon
besar atau di dalam gua. Tempat istirahat yang disebut Maro ini disinggahi ketika warga suku sedang melakukan upacara adat berburu. Dalam upacara tersebut, pemburu
harus tidur di luar kampung sampai lima hari sesuai dengan ketentuan adat (mawa), tempat pemburu beristirahat
itulah yang disebut Maro. Sedangkan Nggela adalah nama seorang tokoh yang sering
singgah di tempat bernama Maro itu. Maronggela secara harafiah artinya
tempat istirahat Nggela.[20]
Saat ini Maronggela sudah menjadi satu perkampungan dampak dari
transmigrasi lokal yang sebelumnya bertempat di kampung lama Warukia. Alasan
utama transmigrasi lokal yang dilakukan antara lain; kesulitan air, bahan
pangan yang sulit didapatkan, dan juga jauhnya jarak dari pusat kabupaten. Penduduk
Maronggela yang sekarang adalah penduduk Warukia transmigrasi, mereka berasal dari
suku Warukia, di mana Suku Warukia itu sendiri adalah gabungan dari Suku Retas
dan Suku Poso’ yang membentuk satu suku besar disebut Warukia. Dari fakta ini
maka penulis menyatakan bahwa berbicara tentang Maronggela secara kebudayaan
sama dengan berbicara tentang Warukia.[21]
2.1.2
Asal-Usul Maronggela
Warukia
adalah salah satu sub suku dari etnis Riung yang berdasarkan penelitian dipakai Pertama
dari penelitian Antropolog Biljmer
mengatakan bahwa “suku yang berada di Pulau Flores, yaitu di Kabupaten
Manggarai dan Riung di Kabupaten Ngada memilliki ciri-ciri fisik yang
menunjukan bahwa mereka lebih dekat ke ciri-ciri suku Deutro Melayu daripada
suku-suku lain di Flores yang lebih dekat ke ciri suku Proto Melayu yang
tersebar di seluruh kepulauan Indonesia.[22]
Pendapat
di atas didukung oleh Paul Arndt, SVD. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa
“hanya orang Riung, yang terletak di sebelah
Utara dari Ngadha dan Nagekeo, sepertinya bagian dari Manggarai.
Kemiripan Riung dan Manggarai ditunjukan oleh bentuk perkampungan yang terdiri
dari rumah-rumah berbentuk bulat dengan atap berbentuk kerucut, dan yang lain
lagi rumah bersudut siku-siku. Bentuk rumah dan atap seperti itu hanya kita
jumpai di Manggarai. Di beberapa kampung dapat dijumpai kedua
bentuk rumah tersebut, sedangkan
di kampung Warukia (sekarang Maronggela) dapat dijumpai tiga bentuk rumah.”[23] Selain
kemiripan bentuk rumah, terdapat juga kesamaan dalam tarian Caci atau Larik dan juga beberapa suku
kata bahasa seperti ungkapan untuk menyebut Yang Ilahi sama-sama menyapanya Mori Kraeng. Hal-hal inilah yang
memperkuat tesis bahwa Manggarai dan Riung berciri Deutro Melayu. Maronggela
dalam posisi ini adalah bagian dari Etnis Riung.
Kedua
dari cerita rakyat yang berkembang di daerah tersebut, dikisahkan bahwa Orang Riung
berasal dari pulau Palue. Orang–orang Palue yang dahulu sangat gemar berburu.
Mereka berburu ke berbagai daerah di sepanjang Nusantara ini di mana
mereka bisa mendapatkan hasil buruan yang banyak demi kelangsungan hidup
mereka. Suatu ketika mereka sampai ke tempat yang disebut Wolomeze.[24] Persediaan
hewan buruan banyak, mereka memutuskan untuk menetap, membentuk perkampungan
sebab mereka yakin bahwa kelangsungan hidup mereka terjamin. Dari Wolomeze
kemudian pecah ke dua daerah baru. Daerah pertama, bermula dari Wolomeze
menyebar ke Namut, ke Denatana, ke Wangka dan sampai di Lengkosambi. Daerah
kedua, bermula dari Wolomeze menyebar ke Retas, dari Retas ini menyebar lagi ke
Warukia, sampai Wate dan berakhir di Mbarungkeli. Kampung-kampung ini kemudian membentuk suatu etnis yaitu etnis
Riung. Saat ini etnis Riung terbagi dalam tiga kecamatan yaitu Riung, Riung
Barat dan Wolomeze.[25] Maronggela
dalam posisi ini adalah Warukia yang lama.
2.2
Letak Geografis, Iklim dan Jumlah Penduduk
2.2.1
Letak Geografis
Maronggela
adalah salah satu kampung yang didiami oleh penduduk dari Suku Warukia,
terletak di Desa Wolomeze dan menjadi pusat Ibu Kota Kecamatan Riung Barat, Kabupaten
Ngada- NTT. Batas-batasnya, Timur berbatasan langsung dengan Desa Ngara, Utara
berbatasan dengan Desa Ria, Selatan berbatasan dengan Desa Wolomese 2 (Namut)
dan Barat berbatasan dengan Desa Wolomoze 1 (Nampe). Kampung Maronggela terbentang
banyak bukit dan lembah serta padang dan hutan. Perbukitan tersebut hanyalah
padang rumput tempat pemeliharaan hewan. Hewan peliharaan ini diikat dan akan
dilepas (dibiarkan tidak terikat) pasa musim-musim kemarau karena saat itu
semua sawah dan ladang sudah dipanen. Selain itu, bagian lembah digunakan
masyarakat Maronggela untuk bercocok tanam, atau sawah musiman, artinya hanya
dikelolah pada musim hujan.[26] Keadaan
geografis yang menantang ini membentuk pola pikir orang Maronggela yang
cendrung kritis dan cerdas.
Terdapat
sebuah pasar lokal yakni Pasar Manis Maronggela sebagai salah satu pasar
Mingguan di Kecamatan Riung Barat, sebuah Gereja Katolik sebagai pusat Paroki Maria
Assumpta Maronggela dengan wilayah pelayanannya seluas Kecamatan Riung Barat,
terdapat satu SMA Negeri, satu SMP Swasta dan satu SD serta satu TKK. Di
kampung Maronggela juga berdiri Biara Karmel OCD Putra Indonesia dan Biara
Susteran Sang Timur (PIJ).
2.2.2
Iklim
Seperti daerah-daerah lain di Riung Barat, Maronggela
juga mengenal dua musim dalam setahun yaitu
musim kemarau dari bulan Mei sampai dengan Oktober, dan musim hujan dari bulan November sampai April.
Dari hasil penelitian di Riung secara umum, suhu rata-rata
di daerah pegunungan
(termasuk Maronggela) pada musim hujan
berkisar sekitar antara 20 ͦC sampai 290C, dan pada musim panas antara 28 ͦC
sampai 32 ͦ C. Sedangkan di daerah pantai, suhu udara pada musim hujan
rata-rata 260C sampai 30 ͦC dan
pada musim kemarau rata-rata 29 ͦC sampai 34 ͦC.[27]
Pada musim kemarau (lezo’ meze’), biasanya masyarakat menghabiskannya
untuk membuka lahan baru sehingga siap kerja di musim hujan. Bentangan satu musim itu panjang, maka selain
mempersiapkan lahan baru, pada musim kemarau juga dihabiskan untuk
urusan-urusan adat kebudayaan, seperti berburu adat (podo’ ka’o), urusan perkawinan
(wina wai rana laki), sebab urusan-urusan tersebut sulit dilakukan pada
musim hujan (manga basa’ awa’ mai nuzan
lonto mai).[28]
2.2.3
Jumlah Penduduk
Jumlah
penduduk berdasarkan data dari kantor Desa Wolomeze per 2019. Jumlah penduduk
secara umum 917 jiwa yang terdiri dari laki-laki 483 jiwa, perempuan 434 jiwa. Dilihat
dari jumlah berdasarkan agama maka penduduk yang bergama Katolik laki-laki 481
jiwa, perempuan 426 jiwa. Islam laki-laki 2 jiwa, perempuan 8 jiwa. Protestan
laki-laki 1 jiwa.[29]
Jumlah
penduduk ini adalah keseluruhan warga Desa Wolomeze yang menempati kampung
Maronggela. Semua penduduk asli di kampung Maronggela berasal dari suku Warukia
seperti yang sudah diterangkan di atas dan saat ini kampung Maronggela dibagi
ke dalam beberapa Dusun/RW yang membentuk satu Desa.
2.3
Kebudayaan Maronggela
Kebudayaan
memperlihatkan seluruh kepribadian dan karakter seorang manusia, karena itu kebudayaan
dapat dilihat sebagai jendela yang sudah dibuka untuk memahami misteri manusia.
Kebudayaan sesuai dengan arti katanya ialah hasil cipta dan tempaan manusia
(otak dan budi), dan karena itu sesungguhnya manusia lebih dilihat sebagai
mahluk kultural ketimbang mahluk natural atau alamiah. Sebagai mahluk kultural,
kita menemukan dua arti utama yaitu: a) manusia sebagai hasil produk budaya, b)
manusia sebagai penerima pertama dan akibat atau hasil terbesar dari
kebudayaan.[30]
Kebudayaan
berasal dari kata bahasa Sansekerta yakni buddhayah,
bentuk jamak dari buddhi yang
berarti akal atau budi. Kebudayaan lalu diartikan sebagai
hasil budi daya manusia yang berkaitan erat dengan karya akal. Di sini ada
distingsi antara kebudayaan dan budaya, budaya diartikan sebagai perkembangan
kata majemuk budi-daya yang berarti
daya atau kekuatan budi yang terungkap dalam cipta rasa dan karsa. Masyarakat Maronggela
menghasilkan kebudayaan, sedangkan kebudayaan itu menentukan corak
masyarakat. Jadi antara masyarakat dan kebudayaan merupakan suatu kesatuan yang
memiliki hubungan yang sangat erat, tidak mungkin keduanya dipisahkan. Ada
manusia (dalam arti luas, masyarakat), maka ada kebudayaan, tidak akan ada
kebudayaan kalau tidak ada pendukungnya, yaitu manusia dalam arti yang lebih
luas adalah masyarakat, jadi berikut beberapa unsur kebudayaan yang
membentuk masyarakt Maronggela:
3.3.1 Bahasa
Sistem
bahasa merupakan produk manusia sebagai mahluk berbahasa (homo loguens). Pada umumnya bahasa dimulai dengan tanda atau kode,
kemudian disempurnakan lewat bahasa lisan atau tulisan. Semua ini adalah
simbol-simbol. Oleh sebab itu Erns Casirer menyebut manusia sebagai homo symbolicum. Bahwa bahasa mencerminkan
konseptualisasi manusia dan penafsiran manusia terhadap dunia. Dari bahasa yang
dipakai oleh suatu masyarakat dapat diketahui bagaimana masyarakat tersebut
memandang realitas dunia. Bahasa ini kemudian berkembang
menjadi semakin komunikatif dengan menemukan sekian banyak kosa kata baru dalam
pengembangan bahasa itu sendiri.[31]
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahasa diartikan sebagai “suatu sistem lambang bunyi
yang abitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja
sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Bahasa Indonesia adalah
gabungan dari berbagai bahasa daerah di seantero Nusantara ini, selain berasal
dari bahasa Melayu dan bahasa Sansekerta. Definisi lain dari bahasa adalah
sebagai sebuah sistem komunikasi yang membuat manusia dapat bekerja sama.
Defenisi ini menekankan fungsi sosial dari bahasa, dan fakta bahwa manusia
menggunakannya untuk mengekspresikan dirinya sendiri, dan untuk memanipulasi
obyek dalam lingkungannya.[32]
Ada
dua bahasa yang digunakan dalam keseharian hidup orang Maronggela. Bahasa
tersebut adalah bahasa Indonesia dan bahasa Maronggela sendiri. Bahasa
Indonesia dipakai untuk kepentingan komunikasi dengan orang dari luar suku atau
etnis, juga dipakai pada saat-saat resmi. Sedangkan bahasa daerah Maronggela
digunakan bagi sesama anggota suku atau etnis, dalam komunikasi harian mereka
maupun dalam ritus keagamaan serta upacara adat. Bahasa Maronggela berfungsi
sebagai alat ekspresi seni (pantun, peribahasa), sebagai bahasa adat dan
sebagai bahasa doa.
Bahasa
Maronggela dengan dialeknya itu, selain digunakan sebagia bahasa pergaulan,
juga sebagai simbol berupa pantun atau peribahasa, ada juga dalam bentuk
kata-kata bijak tertentu berupa puisi yang sarat makna dan hanya digunakan dalam
seremonial adat atau ritus keagamaan. Banyak puisi indah yang bermakna dalam,
adalah rangakian kata-kata bahasa daerah kuno, yang hampir punah termakan usia,
sebab oleh karena percampuran budaya dan pengaruh eksternal mempengaruhi juga
perubahan bahasa, dan ketidakmengertian akan arti dari kata yang diucapkan mengakibatkan
banyak generasi muda yang lupa akan bahasa daerah Maronggela. Belum banyak
kata-kata yang dibuat dalam tulisan, orang Maronggela rata-rata masih
menggunakan bahasa lisan yang diwarisi turun temurun.[33]Berikut
beberapa-beberapa contoh pantun dan
peribahasa dalam bahasa Maronggela:
1.
Aku
zaak ndulu watu tudu, aku gai watu tangi, secara harafiah
artinya saya tidak mau mangikuti atau melewati batu yang membuat saya terantuk,
melainkan menginginkan batu (tangga) yang dapat mengangkat saya ke tempat yang
lebih tinggi. Dalam arti peribahasanya ialah tidak mau mendengar (mengikuti)
hasutan orang, melainkan menginginkan nasihat atau petuah yang berguna.[34]
2.
Wena
awa kempo’ kurun sake kaer pande lawe, tuke eta nelo nunuk ketok kako nago
naros, artinya setia dan bertanggung jawab dalam hal kecil
merupakan modal untuk dapat diserahi tanggung jawab yang lebih besar.[35]
3. Diren le mai, kek rawu rek, artinya
fajar harapan telah menyingsing, tinggalkan kekelaman masa silam.
2.3.2
Sistem Religi
Sistem
religi dan juga upacara keagamaan merupakan hasil usaha manusia sebagai mahluk
treligi (homo religious). Kesadaran
akan adanya sesuatu yang melampauinya, terdapat kekuatan luhur yang kepadanya
dia merasa bergantung. Ini juga yang mendorong manusia untuk menyembah dan dari
sini lahirlah kepercayaan yang kemudian berkembang menjadi agama. Sistem religi
dan semua ritus keagamaan merupakan perwujutan atau ungkapan bagaimana manusia
mampu mengundang yang ilahi untuk dapat menjawabi semua kebutuhannya.[36] Tanggapan
manusia terhadap wahyu ilahi diungkapkan secara manusiawi baik batin (psikologis,
ethis) maupun lahir (simbol-simbol, praktek). Ungkapan-ungkapan itu
mengkonstitusikan lingkungan sakral.[37]
Sistem
religi menjadi unsur yang sangat penting dalam kehidupan manusia, termasuk orang
Maronggela. Banyak persoalan manusia yang tidak dapat dipahami dengan menggunakan
akal sehat semata, dalam realitas juga terdapat hal-hal gaib, semua termasuk
dalam kategori unsur religi. Unsur religi mengatur hidup antara manusia dengan
Sang Pencipta/Unsur Ilahi. Sebelum penyebaran agama-agama samawi sampai ke
Warukia/Maronggela, penduduk asli sudah mempunyai sistem kepercayaan
tersendiri. Warga suku Warukia/Maronggela percaya kepada Mori Kraeng, atau Mbo’ Muri, sebagai
Tuhan yang melampaui manusia, kepadanya segala pujian permohonan diarahkan.
Dalam setiap doa adat, selalu diarahkan ke Mori
Kraeng atau Mbo Muri ini.[38]
2.3.3
Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan merupakan produk manusia sebagai homo sapiens. Kita dapat memperoleh
pengetahuan berdasarkan pemikiran sendiri tetapi juga pemikiran orang lain.
Pengetahuan itu kemudian menyebar luas melalui komunikasi antarmanusia. Penyebaran
menjadi lebih luas kalau hasil pemikiran itu ditulis atau dibukukan agar dapat
dibaca dan diteruskan dari generasi ke generasi. Setiap manusia tidak akan bisa
hidup tanpa adanya pengetahuan, karena semua yang ada di sekitarnya mau itu
benda, sifat keadaan, atau hal kecil apapun yang diketahui dan juga dipahami
lalu diterima oleh manusia menggunakan panca indra itu merupakan pengetahuan.[39]
Sistem pengetahuan sendiri memiliki arti suatu unsur
kebudayaan yang mengatur hal yang dapat membantu manusia untuk lebih berkembang
dengan apa yang ada. Dengan adanya pengetahuan, maka manusia akan menjadi lebih
maju dan berinovasi. Dengan adanya sistem pengetahuan maka dapat membuktikan
bahwa manusia merupakan homo sapiens.
Orang Maronggela juga sebagai homo sapiens tentu memiki sistem pengetahuan, yang berfungsi untuk memenuhi rasa ingin tahu
mereka terhadap suatu ilmu. Manusia dapat memenuhi kebutuhan hidup melalui
sistem pengetahuan. Dengan adanya rasa ingin tahu maka manusia akan melakukan
penelitian dari mulai penelitian sederhana bahkan sampai penelitian yang
kompleks. Sistem pengetahuan itu dibedakan menjadi lima yaitu:
2.3.3.1
Pengetahuan
Tentang Alam
Pengetahuan tentang alam itu mencakup pengetahuan
astronomi, musim, dan juga gejala alam. Pengetahuan tentang alam diperoleh
melalui kegiatan sehari-hari berburu, dan bertani. Melalui dinamika kegiatan
harian tersebut orang Maronggela lalu memetahkan atau membentuk kalender
tahunan sesuai perubahana alam, mereka tahu kapan harus menanam dan kapan harus
panen, begitupun dalam hal berburu kapan waktu yang tepat untuk melakukannya.
Pada musim hujan orang Maronggela biasa menghabiskan waktunya untuk bekerja
sawah dan ladang (ghoe uma temok)
sedangkan musim kemarau mereka akan menghabiskan waktunya untuk membuka ladang
baru (sau’ ume weru) dan berburu (podo’ ka’o).
2.3.3.2
Pengetahuan
Tentang Tumbuhan
Pengetahuan tentang tumbuhan ini mencakup pengetahuan
dasar seperti bercocok tanam. Hampir di setiap tempat semua masyarakatnya
mempunyai pengetahuan dasar mengenai tumbuhan. Misalnya tumbuhan apa yang dapat
dimakan oleh manusia, tumbuhan untuk binatang ternak, tumbuhan untuk obat
alami. Begitupun orang Maronggela mengetahui semua jenis tumbuhan yang
berkembang di daerah tersebut serta khasiat dan manfaatnya. Ada beberapa
tumbuhan yang diharamkan, ada yang tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi dan
banyak yang lainnya bisa diolah oleh manusia.
Tumbuhan-tumbuhan yang
dibudidaya oleh orang Maronggela seperti padi, kopi, kemiri, kakao/coklat,
jagung dan berbagai umbi-umbian sebagai bahan makanan dan juga untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya. Tanaman ini ditanam dan dirawat sedemikian
di kebun-kebun atau sawah-sawah orang Maronggela.
2.3.3.3
Pengetahuan
Tentang Binatang
Pengetahuan tentang binatang mencakup mata
pencaharian berburu. Orang Maronggela hidup di daerah perbukitan dan lembah,
jadi banyak dikelilingin binatang-binatang baik itu peliharaan maupun yang
liar. Maka dari sana mereka tahu secara baik karakteristik suatu binatang, apa
kelemahan dan kelebihannya serta bagaimana menaklukkan bintang tersebut.
Binatan peliharaan orang Maronggela ialah kuda,
kerbau, sapi, kambing, babi dan ayam. Semua binatang tersebut dipelihara untuk
memenuhi kebutuhan orang Maronggela. Adapun binatang-binatang liar seperti babi hutan, rusa, musang, landak,
monyet dan kelelawar sebagai binatang buruan orang Maronggela.
2.3.3.4
Pengetahuan
Tentang Tubuh Manusia
Pengetahuan tentang tubuh manusia ini biasa digunakan
untuk mengobati orang yang sakit. Contohnya mengetahui ciri-ciri tubuh manusia,
letak, dan susunan uratnya untuk mengobati orang sakit pada masyarakat
tradisional, di Maronggela ada yang berperan sebagai ata mbko sando dia diyakini memiliki kemampuan supranatural yang
bisa menerawang dan mengetahui detail tubuh manusia, sehingga jika seseorang
mengalami sakit badan akan sangat mudah diobatinya.
2.3.3.5
Pengetahuan
Tentang Sifat Dan Tingkah Laku Sesama Manusia
Pengetahun ini mencakup bagaimana manusia dalam
bertingkah laku, adat-istiadat, sistem norma yang berlaku, hukum adat, dsb.
2.3.3.6 Pengetahuan Tentang Ruang Dan
Waktu
Pengetahuan tentang ruang dan waktu digunakan untuk
menghitung, mengukur atau menentukan penanggalan. Dor akan tahu kapan waktunya untuk melakuakan upacara-upacara adat
seperti Caci/Larik, rame, ghan weton, podo’
pentong, waktu-waktu tersebut sudah disepakati bersama dalam suku
berdasarkan analisa mereka sesuai dengan alam lingkungan.
2.3.4
Struktur Sosial
Kesosialan
sebagai sifat, unsur, alat demikian erat dengan kebudayaan, sehingga hanya
dapat dibedakan secara konseptual saja. Ini berlaku baik dalam pandangan statis
maupun dinamis. Secara statis kesosialan meliputi fungsi dalam
institusi-institusi asasi sebagai keluarga monogam, masyarakat adil dan makmur,
desa dan kota, bangsa dan negara. Manusia yang hidup berdasarkan daya kodrat
yang harus diperkembangkan menjadi pembawa nilai terhadap orang lain. Setiap
golongan sosial mencapai ikatan batin dalam menghayati nilai-nilai yang
mewujudkan sebuah golongan sosial.[40]
Dalam
tulisan Kondrad Kebung struktur sosial didefenisikan sebagai sistem organisasi
kemasyarakatan yang baginya merupakan produk manusia sebagai homo socius. Manusia menyadari
keterbatasannya dan untuk dapat memperoleh tujuan yang lebih luas dia perlu
bekerja sama dengan orang lain demi peningkatan kesejahteraan hidupnya. Sistem gotong
royong contoh yang sangat unik, dalam konteks Indonesia yang umum [41]
Struktur
sosial yang dimaksud ialah realitas kehidupan orang Maronggela. Secara system oraganisasinya,
kekuasaan tertinggi ialah Ulu Golo (kepala suku, pemimpin tertinggi di kampung Maronggela), yang menempati
tingkat kedua ialah Ga’en Wongko’
(pemuka masyarakat),
satu tingkat di bawahnya ialah yang disebut Gelarang
(wakil dari Ulu Golo)[42].
Adapun juru bicara dalam kampung Maronggela itu disebut Pabisara. Satu tingkat di bawah Pabisara disapa
sebagai Dor (jabatan ini biasa
dipegang oleh orang yang mengetahaui masalah pertanahan dan memahami adat serta budaya dalam suku. Dor juga yang bertugas untuk mengatur jadwal tahunan di kampung Maronggela,
misalnya kapan Ghan Weton[43],
kapan Larik dan berbagai acara adat
lainnya.[44]
Ada pemegang kekuasaan di bawah
tingkatan Dor yaitu Berambang, arti harafiahnya ialah dada. Dialah
selaku badan keamanan kampung.Kemudian ada tingkat berikut ialah tangan onar. Dia bertugas sebagai ahli
nujum, meramal tentang musim dengan melihat tanda-tanda bintang atau bulan. Ada
petugas kesehatan dalam suku Maronggela itu disebut sandi wne’- rbo. Tugasnya seperti dokter bisa mendeteksi atau
menganalisis sakit-sakit yang diderita oleh aggota suku. Dalam kegiatan kerja
ada yang menjadi pembaginya dan juga pengamat serta vasilitator pekerjaan itu
yang dinamakan Punggawa. Dia tugasnya
sebanding dengan ketua sub dalam proyek-proyek. Punggawa dipilih bukan berdasarkan suatu musyawarah suku namun
langsung ditentukan oleh kepala suku. Selain Punggawa yang dipilih
langsung oleh Ulu Golo ada
juga badan pengaman kampung yang lain yang disebut Ngawas Ata. Tugasnya sebagai suatu agen rahasia yang memata-matai musuh
dari luar etnis, jika akan ada perang antara suku. Tingkatan yang paling bawah
dalam etnis Maronggela disebut Woe
Golo/Woe Wongko. Mereka adalah rakyat jelata, para pendatang dari luar
etnis juga masuk dalam golongan ini.[45]
3.3.5
Perkawinan
Orang Maronggela mengenal sistem perkawinan patrilinear, artinya hak dalam perkawinan
diatur menurut garis
keturunan bapa. Seluruh tata cara perkawinan orang
Maronggela dan Riung pada umunya dirakitkan dalam Wina Wai Rana Laki. Dalam urusan adat perkawinan, biasanya kaum
perempuan harus dihormati daripada kaum laki-laki. Nama pasangan perempuan
harus disebut terlebih dahulu daripada nama pasangan laki-laki. Seorang laki-laki
yang hendak melamar seorang perempuan, dia harus datang ke perempuan yang
dicintainya bertemu langsung dengan kedua orang tau perempuan sebagai simbol
penghormatan terhadap kaum wanita.[46]Wina wai rana laki ini menjiwai hampir
seluruh tata hubungan kekerabatan orang Riung (Maronggela). Tipe dan pola
pergaulan antar anggota masyarakat dan antara keluarga selalu mengacu pada
hubungan berdasarkan Wina Wai Rana Laki. Kedewasaan
seseorang secara sosial ditentukan sejauh mana orang atau keluarga tersebut menjalankan
atau mengikuti prosedur perkawinan sebagaimana ditentukan oleh peraturan Wina Wai Rana Laki.[47]
Beberapa
tahap prosedural perkawinan Wina Wai Rana
Laki yaitu:
3.3.5.1
Tawa
Aza Lalan, Daler Ale Wae’
Arti
harafiahnya adalah “tertawa di jalan ketika saling bertemu dan di tempat sumber
air ketika sedang mengambil air atau mandi atau apa saja.” Pemuda dan pemudi
saling mengenal dan menjalin hubungan, pemuda lalu melaporkan kepada orang
tuanya, orang tua kemudian akan mencari seorang lain seagai lawe zarum/awa lalan, pergi ke rumah
pemudi untuk melamarnya. Dalam waktu tiga hari pemuda akan mendapakan jawaban setuju atau tidak dari
pihak perempuan.[48]
3.3.5.2
Reze Bewe’ Ngai Lezo’n
Arti
harafiahnya ialah merencanakan hari-malamnya. Pada tahap ini lawe zarum/awa lalan (jembatan) dan orang
tua wanita merencanakan untuk tahap selanjutnya.
3.3.5.3
Timbi Keba Ta’an Warat
Arti
harafiahnya ialah “penahan angin, tutup badai.” Jika si gadis serta orang
tuanya menyetujui lamaran maka pada tahap ini lawe zarum/awa lalan datang bersama keluarga laki-laki ke rumah keluarga
wanita dan membuat lamaran secara resmi. Keluarga wanita mulai saat itu akan
disebut mbaru kapo’ dan keluarga laki-laki
disebut uma nozong. Bahan pembicaraan pada pertemuan ini adalah bete ketak go sot lezon ngai bewen oleh para gaen. Pada kesempatan inilah orang
tua laki-laki harus membawa 4 buah kelapa, 2 ekor ayam, sebilah parang, serta
seberkah sirih pinang. Pihak/orang tua wanita akan membawa balasannya dengan
beras 1 pedo/doke, gelas 1 pasang (ponto’).
3.3.5.4
Para Gaen/Sot Gaen
Pada
tahap ini pihak mbaru kapo’ (keluarga
wanita) dan uma nozong bersama
tua-tua adat merestui dan meresmikan perjodohan, serta merencanakan tahap
berikutnya. Binatang yang harus dibawa pada kesempatan ini adalah ayam, kelapa,
sirih pinang, seekor kambing, seekor kuda. Dengan dijalankan tahap ini maka
kedua keluarga menjadi weta nara weru (saudara-saudari
baru), pada tahap ini ditentukan jumlah pola
dadang[49]
keseluruhan.
Wina wai rana laki tidak
pernah selesai, hal tersebut akan terus berlangsung sepanjang kehidupan
pasangan suami isteri itu. Dalam setiap kesempatan upacara adat akan selalu ada
wina wai rana laki, pihak laki-laki
akan membawa barang-barang sesuai dengan jalurnya (apa yang seharusnya dia
bawa) dan pihak perempuan juga akan membalas dengan barang-barang yang menjadi
keharusannya. Untuk upacara Pi’i Pato’ nantinya
sangat jelas di mana kedua belah pihak (kelaurga besar dari ibu dan dari ayah si
bayi) hadir dengan masing-masing membawa sesuai ketentuan.
BAB
III
UPACARA
PI’I PATO’ PADA KEBUDAYAAN MARONGGELA
3.1
Arti Dan Makna Pi’i Pato’
3.1.1 Arti Pi’i
Pato’
Secara
etimologis Pi’i Pato’ terdiri dari
dua kata, yakni Pi’i dan Pato’. Pi’i artinya nama namun nama yang dimaksud hanya dalam pengertian Pi’i Pato’ dan Pato’ artinya pemberian (nama). Kedua kata tersebut merupkan
padanan mempertegas makna. Pi’i Pato’ secara
harafiah berarti pemberian nama.[50]
Namun arti Pi’i Pato’ lebih luas dari
sekedar pemberian nama, yaitu suatu upacara atau ritus inisiasi yang melingkupi
banyak hal seperti waktu, tempat, bahan serta persiapan-persiapan menjelang
upacara tersebut. Pi’i Pato’ adalah
suatu rangakaian upacara pemberian nama kepada seorang warga suku yang belum
bernama. Umumnya kepada bayi yang baru lahir sebab mereka terlahir belum
bernama. Upacara ini terjadi lima hari setelah bayi dilahirkan, dengan puncak
upacara ialah pemberian nama.[51]
Beberapa
istilah lain yang berkaitan dengan Pi’i
Pato’ yaitu; pertama, Pintu Pazir Pi’i Pato’ adalah suatu rangkaian doa adat, dilakukan
pada saat upacara tersebut untuk memohon penyertaan Yang Ilahi dan leluhur
terhadap bayi baru (anak wara). Kedua,
Nampo’ ngalit dari kata nampo’
artinya tindakan pemberian
nama dengan pinang muda terbelah dua sebagai sarananya dan ngalit artinya nama. Istilah ini lebih spesifik menyebut tata cara
dimana seorang tua adat/yang dipercayakan untuk pemberian nama melakukan
tindakannya. Ketiga, Bot ngalitn, artinya nama yang ditawarkan itu cocok.
3.1.2
Makna Pi’i Pato’
Upacara
Pi’i Pato’ adalah warisan leluhur
yang sangat bermakna dan sarat nilai filosofisnya bagi masyarakat Maronggela.
Melalui upacara pemberian nama ini tampak makna bahwa nama sangat berharga bagi
masyarakat Maronggela, untuk mendapatkannya harus melalui ritual. Nama itu
begitu diluhurkan dan sakral sebab dalam melakukan ritual Pi’i Pato’ leluhur, diikutsertakan, harus menyebutkan doa-doa adat,
memenuhi persyaratan-persyaratan seperti hewan kurban dan lainya.
Di
dalam upacara Pi’i Pato’ juga
tersirat nilai sosiologis dimana dalam upacara dibutuhkan keterlibatan om tanta (Paman dan Bibi dari anak bayi
terbut), ka’e aze’ (keluarga dari
orang tua bayi), woe wongko’ (warga suku). Saat itulah nilai
kekeluargaan, sosialitas dibangun. Kehadiran semua warga suku membuktikan bahwa
ada nilai sosialnya. Nama adalah hak bagi sang bayi sebagai penegasan bahwa dia
memang berasal dari suku Maronggela. Setiap anak yang terlahir dari orang tua
berbudaya Maronggela diberi nama keluarga suku Maronggela.[52]
Koentjaraningrat melalui
penelitiannya tentang tradisi pemberian nama
Orang Batak Toba menyimpulkan bahwa bagi mereka nama harus diambil dari
nama nenek moyang yang mempunyai keunggulan dan sifat kepahlawanan, atau
nama-nama tumbuhan dan tempat yang berarti sangat baik, bisa mengangkat derajat
si pemakai nama ke derajat yang lebih tinggi, menjadi pembesar, orang terkenal,
orang kaya dan orang mempunyai banyak anak. Nama itu memilki arti yang
menentukan nasib si pemiliknya di hari depan. Demikian menurut keyakinan dan
pengalaman orang-orang tua sering nama itu sesuai sekali dengan pemiliknya,
dengan melihat kehidupan sehari—hari atau sifat dirinya.[53]
Ritual serta makna suatu nama bagi
masyarakat Toba ini sebagian besar sama dengan tradisi Maronggela. Adapun
ritualnya terjadi lima hari setelah kelahiran (mawa lima). Setelah kematian nanti, kenduri (buin bobok) akan dilakukan pada hari ke lima juga. Maka angka lima
mengandung nilai tertentu bagi masyarakat suku Maronggela. Angka yang sakral,
awal dan akhir selalu dalam hitungan ke lima. Eksistensi[54]
Pi’i Pato’ sebagai pertanggungjawaban
penulis terhadap judul akan diulas kemudian.
3.2
Pi’i Pato’ Dalam Hubungannya Dengan Wina Wai Rana Laki
3.2.1
Wina Wai Rana Laki
Wina
wai rana laki padanan kata ini berarti urusan adat
perkawinan. Sedangkan kata wina
berarti wanita, wai istilah kuno yang
tidak diketahui maknanya, rana
artinya laki-laki dan laki berarti
kaya, adalah urusan adat perkawinan. Dalam urusan adat perkawinan kaum
perempuan harus dihormati daripada kaum laki-laki. Nama pasangan perempuan
harus disebut terlebih dahulu dari pada pasangan laki-laki. Seorang laki-laki
yang hendak melamar perempuan dia harus datang ke rumah perempuan yang
dicintainya bertemu orang tua perempuan, sebagai simbol penghormatan terhadap
kaum wanita.
Jadi
wina wai rana laki tetap dilaksanakan
walaupun semua urusan adat perkawinan sudah selesai. Hal ini menunjukkan bahwa ikatan
kekeluargaan tidakakan pernah putus dengan berakhirnya urusan adat. Belis
sesuai jalurnya tetap terjadi (kudi
lalan), di mana pihak perempaun sebagai anak
wina dan pihak laki-laki sebagai anak
rana.
3.2.2
Hubungan Wina Wai Rana Laki Dan Pi’i Pato’
Pada saat upacara Pi’i Pato’ di mana seorang anggota suku
baru lahir dan akan diberi nama sesuai kebudayaan, anak itu bukan semata hanya
milik dari kedua orang tua kandungnya, namun kelahiran baru menjadi suatu hal
yang membanggakan terhadap keluarga besar yaitu dari pihak bapak dan dari pihak
ibu. Sebab anak adalah anugerah, penerus suku dan kebanggaan keluarga besar,
maka upacara Pi’i Pato’ bukan saja
hanya tanggung jawab orang tua kandung namun menjadi tanggung jawab bersama.
Anak sulung dalam keluarga biasanya disebut anak Om[55]
(Saudara laki-laki dari pihak ibu), karena ia disebut anak Om maka tetap
keseluruhan urusan adat anak sulung ini menjadi tanggung jawab dari pihak Om.
Wina wai rana laki, terlaksana
juga pada upacara Pi’i Pato’, di mana
ketika anak wina (keluarga darai
pihak ibu) dan anak rana (keluarga
dari pihak ayah) datang dan berjumpa selalu dengan barang bawaan sesuai
jalurnya atau ketentuan yang harus dibawa berdasarkan peraturan adat. Anak rana akan membawa kelapa ayam,
sirih pinang, jika berkenan juga akan membawa kambing, kuda sedangkan balasan
dari anak wina adalah beras, babi,
kain. Sistem ini bisa disebut tukar menukar barang tetapi semua sesuai jalurnya
atau hukum adat perkawinan. Dengan adanya upacara Pi’i Pato’ di mana anak yang adalah individu berharga bagi suku tersebut
akan dinamai maka anak tersebut bukan semata hanya menjadi tanggung jawab orang
tua kandungya sendiri namun semua keluarga besar baik dari pihak ibu maupun
dari pihak bapak, mereka akan berkumpul pada upacara tersbut (mboro pas genak gokat)¸dan terjadilah
tukar menukar barang. Dengan itu sebenarnya ikatan persaudaraan tidak akan
pernah terhapus.
3.3
Upacara Pi’i Pato’
3.3.1
Bahan-Bahan
Pi’i Pato’
adalah suatu rangakain upacara pemberian nama (nampo’ ngalit), dalam suku Warukia. Puncak dari Pi’i Pato’ ialah nampo’ ngalit, maka Pi’i
Pato’itu merangkum beberapa hal sebagai suatu kesatuan kegiatan yaitu dari
bahan-bahan, waktu dan tempat pelaksanaan, orang yang melaksanakannya, serta
konsekwensi-konsekwesi.
Secara
keseluruhan upacara Pi’i Pato’ dimulai
sejak kelahiran bayi. Pada hari pertama banyak tetangga datang mengunjungi bayi
yang baru lahir (paro rokong). Ayah
atau keluarga si bayi tentu saat itu sedang jaga bersama, selain menemani ibu
yang akan melahirkan tetapi menantikan manusia baru. Kelahiran selalu menjadi
momen yang indah bagi suku Maronggela, di sana tidak ada pembedaan perlakuan,
jenis kelamin apa saja anak yang baru lahir itu selalu membawa kegembiraan
tertentu. Kegembiraan atas kehadiran baru ini dialami semua warga kampung bukan
hanya keluarga inti, maka saat paro
rokong, sebagai ekspresi kegembiraan warga suku akan datang dengan membawa
berbagai barang kebutuhan, seperti sembako, gula, rokok, makanan dan lain
sebagainya. Pihak keluarga inti terisitimewa ayah kandung harus memperhatikan
dan mengingat semua orang yang datang paro
rokong, sebab nanti mereka semua harus akan diundang kembali (nakang) untuk hadir pada upacara Pi’i Pato’.[56]
Upacara
Pi’i Pato’ terlaksana pada hari
kelima setelah kelahiran, dengan beberapa alasan antara lain, dari sisi
medis-kesehatan. Pada hari kelima ibu yang baru melahirkan sudah bisa bergerak
secara leluasa, si bayi pula sudah dapat digendong hingga jauh dari rumah. Alasan
berikut adalah alasan persiapan sebab upacara Pi’i Pato’ adalah pesta maka persiapan itu penting. Hal-hal yang
dipersiapkan menyongsong Pi’i Pato’ adalah
nama untuk si bayi baru dan juga bahan-bahan. Adapun bahan-bahan yang harus
dipersiapkan yaitu:
3.3.1.1
Pinang Mudah (Wne’) Beserta Sirih (Rebo)
Sirih-pinang
dalam bahasa Maronggela disebut wne’ rebo.
Sirih dan piang ini sebagai bahan kte’
bagi orang Maronggela yaitu makan/memamah sirih dan pinang dengan dicampuri
sedikit kapur hingga air liur berwarna merah. Terkadang kebaikan seseorang
diukur dari seberapa sering ia mengundang orang lain untuk kte’ bersamanya. Kte’ sudah
menjadi hal yang lumrah dan adalah kebiasaan orang Maronggela pada khususnya,
bahkan kebutuhan akan kte’ jauh lebih besar daripada akan makanan. Menurut
pengakuan orang yang sering kte’, mereka
tidak akan pernah semangat jika belum kte’,
jadi wne’ rebo (sirih dan pinang)
mengandung zat adiktif. Budaya kte’ menjadi
sangat berkembang, tidak tercabut lagi dari kebudayaan Maronggela.
Sirih
pinang (wne’ rebo) diklasifikasi lagi. Pertama pinang[57] (wne’) terdiri dari pinang mudah (wne’ nguza) dan pinang tua (wne’ tu’a). Pinang muda (wne’ nguza) masih segar kehijauan dan
belum dibelah, hanya akan dibelah nanti pada saat hendak melakukan kte’. Adapun ritualnya yakni buah pinang dibelah menggunakan pisau/parang atau dikupas dengan
menggunakan gigi. Kemudian, isi buah ini dikunyah hingga hancur bersama dengan
sirih. Pinang tua (wne’ tu’a) yaitu pinang yang sudah dibelah dan
dikeluarkan isinya lalu dijemur isinya agar bisa disimpan untuk masa yang
panjang. Kedua sirih (rebo)[58], yakni sirih buah (rebo wua’) dan sirih daun (rebo lebo’). Sirih buah maupun daunnya
sama-sama akan dicampuri dengan pinang demi kegiatan kte’.
Kegiatan kte’ dilakukan dengan cara pinang dikupas dengan gigi kemudian, isi buah pinang dikunyah hingga hancur, umumnya buah
pinang yang baik akan menghasilkan cairan kental saat dikunyah, sedangkan yang
kurang baik akan menghasilkan cairan yang lebih cair. Setelah itu, batang sirih
dicelupkan pada bubuk kapur dan dikunyah bersama dengan pinang. Hasil dari
kombinasi ini adalah cairan kental berwarna merah yang biasanya diludahkan ke
tanah oleh para pengunyah pinang. Konon, hasil sisa kunyahan pinang ini dapat
menyuburkan tanah atau tanaman karena masih tergolong sampah organik. Setiap
orang atau tetangga yang datang bertamu selalu disuguhi sirih pinang sebelum
disuguhi minuman atau makanan lainnya, dan dalam semua upacara adat bahkan
kehidupan harian kegiatan kte’ ini
tidak pernah dilupakan bagi orang Maronggela.
Pinang
yang digunakan dalam upacara Pi’i Pato’ yaitu
untuk nampo’ ngalit selalu pinang muda (wne’ nguza) yang masih segar dipetik dari pohon yang tinggi. Cara
memetik buah pinang yang seharusnya, pinang dipanjat tanpa menyentuh akarnya
sebab apabila akar pinang disentuh maka orang yang melakukaan kte’ menjadi mabuk, hal ini yang tidak
pernah diinginkan terjadi apalagi pada upacara Pi’i Pato’. Buah pinang tetap
utuh dalam satu rumpun dan tidak boleh terlepas dari tangan si pemetik hingga ia
kembali ke tanah. Simbol persatuan, penerimaan baik terhadap tamu. Anak yang
baru lahir adalah tamu baru yang datang ke suku dan akan menjadi anggota suku
Maronggela. Sebagai tamu Ia akan disambut dengan kte’
mbako semo gepok (makan/mamah sirih
pinang dan rokok) sebagai bentuk kebaikan hati pemilik rumah atau anggota suku.
Jika yang disuguhkan adalah pinang muda dan sirih buah (wne’ nguza ngai rebo wua’) itu melambangkan penghargaan terhadap
tamu.[59]
Pinang
(wne’) untuk upacara Pi’i Pato’ harus wne’ nguza (pinang muda) yang segar kehijauan, dipetik dari pohon
yang sangat tinggi dengan larangan menginjak akar pohonya sebab bisa membuat
mabuk bagi yang akan kte’ dan harus dibawa sampai ke darat dalam keadaan
utuh serumpun. Makna dalam kaitannya dengan Pi’i
Pato’ yaitu anak harus memiliki
cita-cita yang tinggi, kehadirannya mempersatukan keluarga dan anggota suku
tidak membuat orang menjadi kecewa akan tingkah lakunya nanti.[60]
3.3.1.2
Beras (Dea’ Kewus)
Perayaan
yang lazim bagi orang Maronggela jika disertai dengan makan bersama, bahkan
tiada perayaan tanpa makan bersama. Beras menjadi sangat dibutuhkan, bukan
hanya untuk makan bersama semua yang hadir (woe
wongko’), tapi beras yang sudah menjadi nasi (baku) adalah makanan yang seharusnya dalam upacara besar seperti penyambutan
tamu dan kegiatan lainnya. Orang Maronggela juga biasa makan jagung dan ubi,
tetapi dalam upacara Pi’i Pato’ harus
makan nasi sebagai penghargaan terhadap si bayi yang baru lahir.
Beras
(dea’) juga sebagai bahan makanan
untuk warga kampung, dea’ akan
dimasak hingga matang lalu disajikan usai nampo’
ngalit, sebab nampo’ ngalit adalah
suatu perayaan. Berbicara tentang perayaan artinya ada orang yang merayakannya
dan itu banyak, ada materi perlengkapan perayaan. Pi’i pato’ adalah suatu perayaan suka cita atas kelahiran baru, di mana
anak wara diterima sebagai anggota
suku resmi. Alasan kegembiraan yakni, anak
wara akan menjadi penjamin kelangsungan suku, penerus budaya dll.
Penerimaannya ke dalam suku menjadi suatu perayaan yang besar dengan makan bersama sebagai puncak perayaan, maka dea’ menjadi sangat dibutuhkan.[61]
3.3.1.3
Ayam (Manuk)
Dalam
setiap upacara adat orang Maronggela selalu
disediakan manuk. Melalui manuk, pelaku acara akan melakukan
ritual ngampong manuk atau pintu pazir, sebab manuk diyakini bisa menyampaikannya atau sebagai penghubung antara
manusia dan Yang Ilahi. Ngampong manuk artinya berdoa kepada
Yang Ilahi dengan ayam sebagai sarana penghubungnya. Manuk diyakini sebagai ata
mbko sando (yang memiliki kemampuan mengetahui lebih dari pada manusia), manuk mengetahui kapan pagi dan kapan
malam sehingga waktu pagi dia akan berkokok membangunkan manusia dan mulailah manuk turun dari peraduanya untuk
mencari makanan. Soreh tiba manuk akan
kembali ke dahan pohon tempat istirahatnya (lezo’
le’ mai ko bur kau wau awa tana, lezo’ ale’ ko serot kau tuke ita nelo nunuk).
Isi doa yang didoakan alam ngampong manuk
itu macam-macam sesuai konteks kegiatan yang akan dilaksanakan. Bukti bahwa
Yang Ilahi merestui dan memberkati kegiatan itu dengan melihatnya melalui lidah
ayam yang dicabut usai doa, jika lidahnya lurus berarti Yang Ilahi atau Mbo’ Muri merestui doa dan harapan
pemohon.[62]
Saat
kegiatan Pi’i Pato’, (manuk) dibutuhkan, lalu didoakan pintu pazir. Manuk lalu dibelah paruhnya
menggunakan pisau, lidahnya dicabut, ata
ga’e akan menganalisa lidah manuk tersebut
untuk mengataui pesan dari leluhur (sia
mbo’ nusi). Darah manuk akan dioles ke anak bersangkutan
sebagai penyucian dan pembersian dari berbagai hal jahat yang menempel pada
dirinya, anak tidak akan sakit (pae’ miki
sumpot, pae’ laza ringgang). Ngampong manuk dibalut dalam mata acaranya
yang disebut gha’o kanggong, yakni
upacara penerimaan dan penyucian suatu barang atau orang yang akan menjadi
bagian dari suku. Anak wara harus digha’o kanggong agar dia disucikan dan
diterima menjadi bagian dari suku, tindakan penyucian itu membutuhkan darah
ayam.
3.3.1.4
Babi (Wawi)
Babi
(wawi) dalam hal ini akan dikorbankan
demi menjamu semua warga kampung (woe
wongko’) yang datang untuk bergembira bersama mbolok ko tawa daler ne’e anak wara, jadi babi hanya dibutuhkan
untuk bahan makanan. Wawi akan
dibunuh (tunu wawi) pagi hari usai nampo’ ngalit ketika nama sudah
disetujui (bot taun) barulah babi
boleh dibunuh (tunu wawi, mble mbe’, pok
manuk).
Dalam
kaitan dengan wina wai rana laki, keluarga
pihak perempuan (anak wina) akan
menyiapkan babi dan beserta kain adat (lipa
wawi), yang akan diberikan kepada pihak laki-laki (anak rana), dibawa pada saat upacara sesuai jalur adatnya akan
dibalas oleh pihak laki-laki dengan hewan kuda dan kerbau. Tukar menukar barang
(hewan) ini sesuai dengan jalur adat, tidak untuk mencari keuntungan, tetapi
keuntungan yang terbesar ialah ikatan kekeluargaan semakin kuat. Bahkan
hubungan karena ikatan perkawinan ini justeru dianggap sebagai hubungan darah.
3.3.1.5
Nyiru ( Dining)
Nyiru
(dining) adalah suatu wadah yang
digunakan aggota suku untuk membersihkan beras (dea’) sebelum dimasak.
Nyiru/tampa terbuat dari anyaman belahan batang pohon bambu yang
dibelah, berbentuk bundar seperti piring berdiameter antara 65-80 cm. Alat ini
biasa digunakan untuk menampi/membersihkan beras dari kotoran-kotoran sebelum
dicuci dan dimasak dengan cara diayak secara manual, kemudian kotoran akan
otomatis tersisih.
Nyiru
memiliki kegunaan, sebagai tempat jemur kopi, dan pada upacara nampo’ ngalit digunakan sebagai tempat
dimana diatasnya pinang dan sirih (wne’ rbo) ditaruh. Wne’ nguza lalu dibelah dua dan akan dibuat ritual dengan
memutarkan (weor wne’) yang ada dalam
genggaman tua adat selama lima kali di atas kepala anak wara sambil berucap sa… zua…
telu… pat… eee….. lima. Pinang mudah tersebut dibuang ke atas dan jatuh ke
nyiru. Lihatlah hasil, jika sisi yang satu terbuka dan sisi lainya tertelungkup
(nggelak sa pugu sa) berbarti nama
yang ditawarkan itu sah (bot i), tetapi
jika kedua sisih sama-sama terbuka atau tertelungkup (para nggelak para pugu) menandakan leluhur tidak menyetujui nama
yang ditawarkan.
3.3.2
Pelaksana Upacara Pi’i Pato’
3.3.2.1
Bayi Yang Baru Lahir (Anak Wara)
Ritual
Pi’i Pato’ tidak akan bisa berjalan
tanpa orang yang melaksanakannya. Tentu melibatkan banyak orang di dalamnya.
Alasan adanya ritual justeru karena kelahiran sang bayi. Sang bayi atau
pendatang baru di suku Maronggela terlahir belum bernama, dia harus diberi nama
agar diterima dalam komunitas suku. Nama melambangkan siapa dirinya. Alasan
adanya upacara Pi’i Pato’ adalah
seorang bayi yang baru lahir tanpa nama, jika bayi tersebut sudah meninggal
sebelum diberi nama dia tetap tidak diberi nama.
Sebelum
anak tersebut mendapatkan nama biasanya ia akan dipanggil secara halus, Nonong untuk anak laki-laki dan Otang untuk anak perempuan. Panggilan
ini sangat akrab di Maronggela, semua anak perempun yang baru lahir akan selalu
dipanggil Otang /Totang atau Doda, bahkan sapaan ini terus dipakai
hingga anak tersebut menjadi dewasa. Maka perlulah upacara Pi’i Pato’ supaya anak bayi mandapatkan namanya sendiri yang
membedakan dari nama orang lain, sebab jika tetap tidak bernama maka
kemungkinan besar semua akan dipanggil dengan sapaan Otang. Alasan utama Pi’i
Pato’ adalah anak bayi yang belum bernama, maka pelaksanaan Pi’i Pato’ terjadi karena ada anak wara.
3.3.2.2
Orang Tua Bayi (Nde Ma’n)
Orang
tua (nden nee ma’n) si anak wajib
hadir, mereka akan menawarkan nama yang tepat bagi anaknya pada saat upacara
nanti. Tentu warga suku Maronggela tahu siapa nama yang cocok kepada sang bayi (anak wara) tersebut tetapi itu harus
didatangkan dari mulut orang tua sang bayi baru (anak wara). Nama yang ditawarkan pertama-tama harus dari garis
keturunan bapak mengingat Maronggela menganut sistem perkawinan patrilinear,
ini berarti nama diambil dari nama orang tua dari bapaknya si anak wara. Jika anak itu berjenis kelami
laki-laki maka diberi nama sesuai dengan nama kakek dari garis bapak dan jika
perempuan juga demikian sesuai nama nenek dari pihak bapak.
Hal
ini menghindari kecemasan modern yaitu nama diberi sesuai selera orang tua (westernisasi nama). Di Maronggela tidak bisa
terjadi hal yang dicemaskan ini sebab pemberian nama memang sesuai mekanisme
yang sudah dihidupi oleh orang-orang suku Maronggela sejak sekian lama. Nde ngai ma’n harus hadir dalam upacara
tersebut, maka upacara Pi’i Pato’
yang ideal terjadi di rumah dan dihadiri kedua orang tua anak wara.
3.3.2.3
Tua Adat (Ata Ga’e)
Ritual
dibuat oleh kepala suku, atau oleh kakek dari si anak atau bisa juga oleh yang
dituakan dalam keluarga, sebab mereka punya otoritas yang memadai dan
mengetahui secara baik mekanismenya. Nampo’
ngalit sebisa mungkin dilakukan oleh kepala suku, namun tidak menjadi
masalah juga diakukan oleh siapa saja tetua yang hadir pada upacara tersebut,
tentu itu lelaki dewasa, bukan perempuan.
Hampir
setiap upacara adat dan Pi’i Pato’
salah satunya selalu dibuat oleh lelaki dewasa atau yang biasa disebut ata ga’e, karena mereka lebih mengetahui adat secara
baik dibandingkan dengan orang lain. Mereka adalah praktisi budaya dan
mengingat Maronggela memiliki
sistem perkawinan
patrilinear maka hak memang selalu diberikan kepada laki-laki. Hak atas upacara
serta hak atas suku dibawa otoritas laki-laki.
3.3.2.4
Warga Kampung (Woe Wongko’)
Anak wara yang
datang dan akan menjadi anggota suku Maronggela maka yang menyambutnya adalah
warga kampung secara keseluruhan. Aspek sosialitas terdapat di tempat ini, anak
akan menjadi anggota kehidupan sosial warga kampung, sebagai wujud solidaritas
dan rasa bahwa pendatang baru akan menjadi anggota resmi kampung Maronggela maka
semua diwajibkan menyambutnya, dengan kehadiran saat upacara itulah yang membuktikan
bahwa mereka bergembira.
Warga
suku (woe wongko’) tentu tidak datang
dengan sendirinya, namun sudah terlebih dahulu diberi tahu oleh keluarga si
bayi (lazi nakang). Woe wongko’ yang
harus diutamakan datang ialah mereka yang datang mengunjungi ibu dan bayi serta
keluarga pada hari pertama kelahiran (lazi
paro rokong pas kapu), alasan woe
wongko’ harus hadir pada saat
upacara supaya tidak terjadi permusuhan atau perselisihan antara keluarga (pae rani rinting). Warga kampung (woe wongko’) yang hadir hanyalah mereka
yang sudah diundang (lazi nakang) secara
resmi artinya keluarga si bayi telah memberitahukannya kepada yang diundang.
3.3.3
Waktu Dan Tempat
3.3.3.1
Waktu
Pelaksanaan
Pi’i Pato’ terjadi pada hari kelima
setelah bayi dilahirkan. Anggota suku Warukia/Maronggela menyebutnya sebagai mawa lima.[63]
Suku lain sekitar suku Maronggela melaksanakan ritual Pi’i Pato’ pada hari ketiga atau ketujuh (mawa telu atau mawa pitu’). Pemberian nama disebut juga nampo’ ngalit terjadi pada hari
kelima (genak mawa/gokat lima) setelah bayi dilahirkan karena beberapa
alasan berikut, hari kelima bagi suku Warukia adalah hari yang suci, dan hari
keberuntungan serta hari baik. Apa saja yang dilakukan pada hari kelima itulah
yang baik dan benar. Namun adapun alasan lain mengapa harus hari kelima bayi
sudah siap bisa digendong bahkan sampai keluar rumah, pertimbangan ini demi
kesehatan ibu dan anak. Namun pada prinsipnya ritual harus terjadi pada hari
kelima agar tidak membawa dampak buruk kepada sang bayi (pae’ miki sumpot, laza ringgang). Jika nampo’
ngalit dilakukan pada hari ketiga (gokat
telu), itu mengakibatkan hari yang tidak tepat sesuai kesepakatan (salang mawa), hal ini juga akan megakibatkan
anak sakit-sakitan.[64]
Mawa
adalah hak suku atau dimana mawa menetukan
hari yang tepat untuk suatu kegiatan tertentu. Hari kelima diyakini sebagai
hari pembebasan, bermula dari kisah ketika suku Warukia dijajah oleh Belanda. Semua
anggota suku ditawan dan direncanakan akan dibunuh. Karena satu dan lain hal,
tentara Belanda mengalami musibah, peluru habis dan juga karena kebaikan
hatinya maka mereka membebaskan tawanan pada hari kelima. Semua masyarakat suku
Warukia dibebaskan dari siksaan tentara Belanda pada hari kelima, hari kelima
diyakini sebagai hari pembebasan. Bayi semasa dalam rahim ibunya adalah bayi
yang masi tertawan, belum bebas dan hanya akan bebas ketika peristiwa
kelahiran. Peristiwa kelahiran diyakini sebagai hari bebasnya bayi dari
kandungan ibunya. Peristiwa inilah yang harus dirayakan dengan memberinya nama.
Upacara itu terjadi pada hari kelima.[65]
3.3.3.2
Tempat
Tempat
untuk mengadakan nampo’ ngalit adalah
di rumah orang tua si bayi. Rumah adalah tanda suku, penerimaan bayi baru ke
dalam rumah juga sebagai simbolisasi sahnya sang bayi menjadi anggota suku
resmi. Upacara nampo’ ngalit akan
diikuti semua warga kampung yang datang mengunjungi keluarga saat bayi akan,
sedang dan baru dilahirkan (sia ta paro
rokong loneng kapu. Mereka itu ialah, para dukun ( ata sandi wne’ rebo) yang membantu pada saat proses kelahiran,
keluarga yang jaga malam saat sebelum dan sementara juga setelah ibu
melahirkan, tetanggga dan segenap anggota suku diharapkan hadir. Rumah juga
adalah tempat berlindung, maka nampo’
ngalit harus dilakukan di rumah
orang tua pribadi.
Mengapa
semua yang disebutkan diatas harus hadir pada saat upacara nampo’ ngalit?Mereka harus diundang dan hadir agar tidak
menimbulkan cibiran, ejekan dan fitnahan dari pihak mereka (dok rani rinting), apalagi orang-orang inilah yang datang membantu
dan mengunjungi ibu saat kelahiran.
3.3.4 Upacara Pi’i Pato’
3.3.4.1
Persiapan
Setiap kegiatan upacara kebudayaan selalu butuh
persiapan, macam-macam persiapan mulai dari persiapan batin orang yang akan
mengikuti upacara sampai pada persiapan bahan-bahan sebagai persyaratan yang
harus dilengakpi dalam upacara tersebut. Persiapan untuk malakukan ritual Pi’i Pato’ atau nampo’ ngalit sudah dilakukan sebelum bayi dilahirkan. Calon orang
tua bayi baru tersebut biasanya menghitung kapan bayi akan dilahirkan, saat
itulah mulai dipkirkan nama yang cocok kelak bagi sang bayi jika laki-laki atau
jika perempuan. Saat ini juga mulai dipersiapkan hewan misalnya babi atau ayam
yang akan menjadi lauk pauk pada upacara makan bersama ketika ritual
berlangsung.
Ketika
bayi dilahirkan, proses persalinan di Maronggela selalu dibantu oleh dukun
bersalin. Tentu akan banyak orang yang datang mengunjungi si ibu dan ingin
melihat bayi baru tersebut. Ketika mereka mendengarkan bahwa bayi sudah
dilahirkan. Banyak tetangga, serta keluarga dan anggota kampung pada umumnya
akan datang (paro rokong) bergembira
bersama keluarga si bayi yang baru lahir.
Keluarga harus mengenal siapa-siapa saja yang datang paro rokong saat bayi baru dilahirkan,
sebab nanti saat genak gokat ketika
bayi akan diberi nama (nampo’ ngalit)
orang-orang yang paro rokong itu
harus diundang oleh keluarga.
3.3.4.2
Pelaksanaan
Pelaksanaan
Pi’i Pato’ terjadi pada pagi hari
diawali dengan sepatah kata dua (sepata’
zua) dari orang tua. Ketika mata hari belum terbit ibu kandungnya telah
bangun dan mandi segar di air pancur, sebagai bentuk pembersihan dan pemurnian.
Ketika ibu usai mandi Ia akan memapah anaknya. Anak lalu diserahkan kepada
orang lain yang akan memapahnya keluar rumah, jika anak wara itu perempuan maka seorang laki-laki dewasa yang akan
memapahnya begitupun sebaliknya. Di depan pintu rumah utama si pemapah anak
melakukan ritual dengan maju kaki kanan selangkah menuju pintu rumah lalu
mundur kembali dan maju kaki kiri selangkah
lalu mundur lagi, dilakukan berulang dengan kaki bergantian sampai lima
kali. Setelah itu langsung tawa daler (semua
yang berada dalam rumah tertawa gembira menyambut anak tersebut).
Anak
tersebut diterima oleh seorang perempuan dewasa yang berada dalam rumah dan
siap untuk nampo’ ngalit. Alasan
sederhana bahwa anak wara ini selama ia belum diberi nama secara adat,
ia bukanlah anggota suku yang resmi. Penerimaan anak wara melalui pintu depan melambangkan penerimaannya kedalam
suku dan resmi menjadi anggota suku.
Semua
yang hadir upacara tersebut duduk berbentuk lingkaran sesuai dengan kondisi
rumah sembil bersilah, ata ga’e sebagai
orang yang akan melaksanakan weor atau
nampo’ ngalit. Ata ga’e ini mengambil
posisi duduk di tengah lingkaran dan di antara ata ga’e dan wanita/lelaki yang memapah anak tersebut diletakkan
sebuah nyiru yang telah disiapakan dengan seberkah sirih pinang. Pinang mudah
yang dibelah dua juga sudah dipersiapkan dan diletakan agak terpisah dari sirih
pinang lainnya dalam nyiru tersebut. Setelah anak wara sudah dalam gendongan orang dalam rumah mulailah Pintu Pazir.
3.3.4.2.1
Pintu Pazir Pi’i Pato’
Pintu
Pazir secara nominal terdiri dari dua kata yaitu Pintu yang artinya perkataan atau sabda
yang mengandung atau mengungkapkan harapan, dan Pazir artinya keselamatan atau kebahagiaan. Jadi Pintu Pazir merupakan perkataan yang
menyelamatkan atau sabda yang membahagiakan, yang merupakan kata-kata keramat
leluhur dalam berntuk doa sebagai ekspresi pikiran dan hati mengenai Mori (Tuhan) atas perannya dalam
kehidupan manusia, dan diwarisi secara turun-temurun. Sedangkan Pi’i
Pato’ adalah ritus pemberian nama.
Pintu Pazir Pi’i Pato’ adalah
jenis Pintu Pazir yang didoakan pada
saat sebelum upacara nampo’ ngalit dilaksanakan.
Tujuannya ialah memita Mori Kraeng
untuk merestui nama sang bayi dan memohon kepadanya agar anak itu, memperoleh
umur yang panjang, sehat lahir batin, memperoleh kemurahan hidup dan kelak
menjadi manusia yang baik dan berguna bagi keluarga dan sukunya.
3.3.4.2.1.1 Syair Pintu Pazir Pi’i Pato'
O Mori Kraeng
Raza
Meze’
Mori
ata nai lawe’
Mori
ata di’a
Kau
ata mbolok kami
Mori
pae’ sengkar mbear kami.
Kami
paro elang
Kami
paing sombang lone Kau
Kami
paing kempe’ panggang anak kendo’
Kempe’
puti mbore angin sat
Raza
ata nai moghas
Raza
ata nai lawe’
Zaga
anak kendo’
Ziu
nggia lawe’ weki di’a ngalit
Lezong
kendo kami pi’i pato’
Kami
ko ziu’ ngalit ziu anak kendo’
Lezo’
lima taun kia manga lonto tana’
Kia
zari le Nggau
Kau
bot ngalit anak kendo’
Lengkang
muzin awan za’a laza teto’
Muzin
awan more’ lawe’
Zari
ata laki mosa
Ndirung
tikus logo welong
Sa’,
zua, telu, pat, e…..lima.
Mori
ata ndong kia
Sanggeng-sanggeng
pinga lenggau
Moria
ata pae’ rani rintong
Mori
ata nai mbalung
Zaga
weki ngalit nggia
Neang
wenang lezong kendo’
Saing
wi muzi awa’n
3.3.4.2.1.2
Syair Terjemahan
O Mori Kraeng
Raja yang Agung
Engkaulah yang
baik
Engkaulah yang
bijaksana
Engkaulah yang
mempersatukan kami
Tuhan tida
mencerai beraikan kami.
Kami persembahkan kepada-Mu
Kami mohon ampun pada-Mu
Kami memohon perlindungan bagi anak
ini
Dari segala nafsu setan
Raja Mahacinta
Raja Mahamurah
Jagalah anak kami
Berilah dia keselamatan lahir batin
Hari ini kami
rayakan (pesta pemberian nama)
Kami memberi nama
bagi anak ini
Sudah lima hari
dia berada di atas dunia ini
Engkaulah yang
menciptakannya
Restuilah nama
anak ini
Agar di kemudian
hari dia bebas dari segala derita
Hidupnya sejahtera
Menjadi orang yang
berguna
Berumur panjang
Satu, dua, tiga,
empat, e….. lima.
Tuhanlah yang menguasai dia
Segala sesuatu adalah kehenda-Mu
Tuhan itu Mahamurah
Tuhan itu lemah lembut
Sertaiah Dia
Dan
sepanjang hidupnya.[66]
3.3.4.2.2
Nampo’ Ngalit
Nampo’ ngalit adalah
puncak ritual atau upacara yang disebut Pi’i
Pato’. Ngalit disarankan tidak ambil
dari nama tokoh yang masih hidup, alasanya ketika seseorang memanggil nama dengan
tidak hormat bisa terjadi kesalahpahaman, antara si pemilik nama yang
sesungguhnya (kakek kepada siapa cucunya mengambil nama tersebut), padahal
bukan dirinyalah yang dimaksud tetapi cucunya. Pada kebudayaan suku Warukia di
Maronggela, tidak pernah anak diberi nama sesuai nama bapak atau ibu
kandungnya, sebab mereka masih hidup dan nama tidak seharusnya diambil dari
nama tokoh yang masih hidup sekalipun nama itu diambil dari tokoh yang masih
hidup maka nama itu harus diberi secara halus (igu ele) dengan tujuan tiadak terjadi kesalapahaman dari si
pemilik nama sebab dalam tradisi orang Maronggela sangat menjunjung tinggi nama
seseorang. Nampo’ ngalit, ketika
orang tuanya ingin pesiar ke keluarga atau ke kampung tetangganya, maka orang
tuanya harus melakukan lampan terlebih dahulu,biasanya lampan ini dibuat
disebuah kali atau di watu nambe, lamapan ini bertujuan supaya nenek moyang
dari anak wara itu bisa menjaganya dari roh-roh jahat agar anak itu terhindar
dari segala macam sakit.
3.3.4.2.3 Penyucian (Ghao
Kanggong)
Kata ghao kanggong arti harafiahnya adalah
merangkul, yaitu suatu upacara penyucian barang-barang baru atau orang baru
yang akan menjadi milik seorang anggota suku. Bayi adalah anggota baru dalam
keluarga dan suku maka perlulah untuk ghao
kanggong, sebagai bentuk penyucian dirinya, sehingga segala sesuatu yang
melekat pada diri anak tersebut (puti
pezuk) dibersihkan dan dimurnikan.
Ghao kanggong lagi-lagi
dilakukan oleh ata ga’e, dengan
mengorbankan satu ekor ayam. Di depan anak bayi (anak wara) ata ga’e akan mengucapkan doa adat minta semua roh-roh
untuk menerima kehadiran anak tersebut, lalu ayam akan dipotong paruhnya
menggunakan sebilah pisau, lidah ayam dikeluarkan. Melalui lidah ayam
tersebutlah orang Maronggela akan tahu apakah anak terbut akan memilki nasib
yang baik atau tidak. Jika lidah ayam bercabang seperti biasanya dan lurus, itu
tanda baik. Tetapi jika bengkok itu tanda tidak baik yang menimbulkan berbagai
tafsiran.
Darah ayam akan dioleskan pada dahi anak wara, dan kemudian ayam yang telah mati dibakar untuk makan
berasama nantinya. Ghao kanggong ini
lebih pada penyucian personal bayi tersebut, sedangkan semua woe wongko yang hadir akan disucikan
juga dengan oles air yang sudah dicelupi dengan batu asah (wae sagi). Tahap ini terjadi kemudian.
3.3.4.2.4
Bunuh Babi dan Kambing (Tunu
wawi, mble mbe’)
Beberapa hewan
korban seperti babi dan kambing akan dibunuh usai ghao kanggong. Sebagai ekspresi rasa terima kasih kepada leluhur
dan kepada semua warga suku karena bayi tersebut sudah sah dan memiliki nama
baru yang disematkan padanya maka perlulah dirayakan, perayaan tersebut
ditandai dengan makan sehingga hewan korban sangat dibuthkan, upacara bunuh
babi dan kambing terjadi usai ghao
kanggong dengan alasan bahwa anak sudah disucikan.
3.3.4.2.5
Barak Wae’ Sagi’
Air yang ditaruh dalam satu wadah yaitu mangkuk yang
dicelupi batu asa, air tersebut nanti
akan diedar keliling, setiap orang yang hadir dalam upaca Pi’i Pato’
wajib
mengoleskan matanya dengan air yang direndami batu asa tersebut. Air adalah sarana untuk membersihkan dalam hal
ini air digunakan agar mata menjadi melek kembali, sebab pada saat kelahiran si
dukun beranak telah melihat hal privat dari ibu tersebut dan itu menjadikan
matanya gelap, susah melihat yang terang, maka perlulah pembersihan dari
rabunnya itu supaya mata kembali terang. Bukan hanya dukun beranak tetapi semua
yang hadir wajib mengoleskan air tersebut.
Batu
asa (sagi’) adalah suatu alat gurinda
manual yang digunakan untuk mempertajam kembali parang, sabit dan pisau yang
sudah tumpul. Mata yang telah melihat hal-hal terlarang akan menjadi tumpul
ketajaman penglihatannya maka perlulah untuk diasah ditajamkan kembali. Alat yang
digunakan untuk menajamkan sesuatu yang sudah tumpul itu adalah batu asa. Maka
batu asa menjadi sarana direndam bersama dengan air untuk menajamkan penerangan
dari mata semua anggoa suku.
Akhir-akhir
ini setelah agama Katolik masuk ke kebudayaan Maronggela, untuk Pi’i Pato’ anak wina (pemberian nama
kepada bayi perempuan), batu asa (sagi’) diganti
dengan kontas/gelang. Di sini terdapat pergeseran makna filosofis. Wae sagi’ hanya jika upacara Pi’i Pato’ anak rana. Alasan utamanya
ialah sagi’ (batu asa) sebagai sarana
penajam alat-alat kerja yakni parang, sabit, tombak, tofa, pisau yang biasa
digunakan oleh kaum laki-laki untuk bekerja. Si anak tentu akan bertumbuh besar
dan menjadi tulang punggung keluarga dan suku, maka sagi’ sebagai saran penajam tersebut menandakan supaya anak menjadi
orang yang rajin bekerja, berusaha atas karya sendiri seperti yang didoakan
dalam pintu pazir (lengkang muzi awan,
zari ata laki mosa). Kontas atau gelang untuk upacara Pi’i Pato’ anak wina. Gelang (ponto’)
biasa dipakai dalam pergelangan tangang perempuan untuk mempercantik diri,
di kemudian hari kehadirannyadiharapkan tetap menyukakan orang lain teristimewa
suami dan anak-anak.[67]
3.3.4.2.6
Makan Bersama (Ghan Inung, Semo Gepok /Kte
Mbako)
Arti harafiah dari
kata-kata di atas ghan inung (makan
dan minum), dan semo gepok/ kte’ mbako ialah
rokok dan mamah sirih pinang, hal ini sangat lumrah di masyarakat Maronggela.
Upacara hanya benar-benar dikatakan sebagai suatu perayaan jika ada acara makan
bersama (ghan inung), tidak hanya
makan bersama namun disempurnakan dengan acara kte’ serta rokok. Sebelum
mengenal rokok pabrikan yang sekarang, masyarakat Maronggela biasanya
menggunakan daun lontar yang ditipiskan sebelumnya, lalu tembakau dibungkus dengan daun lontar tersebut (ta’al).
Suatu rangkaian upacara Pi’i Pato’ diakhiri dengan minum kopi bersama (wae bisik) dan kte’ semo, usai
rangkaian acara tersebut barulah masing-masing kembali ke rumahnya.
3.3.4.2.7
Pembubaran (Siba’ Kear)
Pembubaran terjadi pada soreh hari setelah semua selesai,
masing-masing anggota keluarga akan kembali ke rumah masing-masing. Khusus
untuk keluarga-keluarga dari pihak bapak dan ibu bayi sebagai wina wai rana laki, akan membawa pulang
barang-barang bawaan. Mereka akan mendapatkan barang balasan sesuai jalur hukum
adat perkawinan. Anak rana jika dia
membawa kerbau atau kuda maka akan mendapatkan balasan babi dan kain adat. Sedangkan
sebaliknya anak wina yang membawa
babi dan kain adat (lipa wawi) akan mendapatkan
kerbau. Anak rana adalah semua
keluarga dari pihak suami (ayah dari bayi) sedangkan anak wina adalah semua keluarga dari pihak isteri (ibu dari si
bayi).
Untuk woe wongko’ lainya
yang bukan dalam wina wai rana laki, mereka
juga akan mendapatkan barang bawaan seperti beras atau daging sisa pada acara Pi’i Pato’tersebut. Pada prinsipnya
upacara ini adalah perayaan kekeluargaan, semakin terjalin erat hubungan
kekeluargaan dan tali persaudaraan juga semakin hari bertambah kuat. Sedangkan barang-barang tersebut hanyalah sarana
persaudaraan, sebenarnya dalam wina wai
rana laki, jika dipikirkan secara ekonomis anak rana akan megalami kerugian besar sebab hewan balasan tidak
seimbang dengan hewan bawaannya, dia membawa seekor kerbau hanya akan dibalas
dengan seekor babi. Tetapi bukan pada nilai ekonomisnya, pertukaran dalam wina wai rana laki lebih pada filosofi
orang Maronggela.
3.3.4.3 Gokat Lima Wali Ma Uma
Lima hari setelah Pi’i Pato’, ibu dan anaknya sudah boleh
jalan-jalan ke luar rumah.Namun hal ini bisa terjadi jika sudah melewati satu
persyaratan yang disebut ma uma (pergi
ke kebun), upacara ini ditandai dengan ibu sambil menggendong anaknya harus
pergi ke kebun dan membuat satu perapian untuk masak-memasak. Usai pembuatan
semacam tungku api yang disusuni tiga batu berkeliling dan kayu kering siap
bakar lalu ibu tersebut mengucapkan doa adat yang menandakan bahwa seorang bayi
baru anggota keluarga telah hadir dan biarkanlah dia boleh mengenal lingkungan
serta kebun dan semua keadaan sekitar.
Saat
ini ma uma tida wajib dilakukan,
tetapi tetap hanya sebagai formalitas dimana seorang ibu hanya akan pergi ke belakang
rumah tempat tinggal mereka dan membuat perapian di situ sambil megucapkan
kata-kata doa yang diharuskan.Setelah upacara ini dilakukan bolehlah bayi
dibawa ke mana-mana sebab semua warga kampung dan leluhur menerimanya.Upacara
yang sama di kampung lain disebut langon
lampan, dimana setelah Pi’i Pato’
ayah dan ibu dari anak wara membawa
anak itu ke tetangga atau ke keluarga mereka, namun sebelum dibawa anak itu
harus dilampan terlebih dahulu. Dalam lampan
sarana yang harus digunakan adalah lebo’
kazu ta’a, disertai denga doa yang menarik adalah “sa….zua…..telu….pat…… e… lima, ene ma’ mbong miu
tengas taung zari kami paing lawe’ wi nai di’a wi ngalit tu lima. Lalu
ayah dari anak meludahi lebo kazu ta’a
tersebut dan dibuang di kali atau disimpan di watu nambe. Lampan ini brertujuan menyatakan kepada leluhur bahwa
anak baru telah hadir dalam suku dan minta perlindungan dari nenek moyang untuk
menjaga dan membimbing cara hidup sesuai nama yang diberikan (ngalit ta botn).
3.3.4.4
Konsekwensi Baik dan Buruk
Setiap perbuatan
selalu ada konsekwensi, ada sebab tentu ada akibat. Sebab dalam hal ini adalah
upacara Pi’i Pato’, akibatnya ialah
bagaiamana fakta kehidupan orang yang baru dinamai. Secara sederhana bisa
dikatakan bahwa jika upacaranya dilaksanakan dengan baik seperti semestinya
maka konsekwensinya pasti baik, namun jika tidak sesuai dengan apa yang semestinya
maka bisa berakibat fatal. Yang semestinya ialah yang sesuai dengan hukum adat
pemberian nama, mulai dari bahan-bahan, orang-orang yang melakukan upacara
tersebut waktu dan tempat, doa-doa adat serta mekanismenya dan pilihan nama.
Melanggar hukum adat Pi’i Pato’ ini
bisa berakibat buruk bagi sang bayi.
Dalam
Pi’i
Pato’ harus dilaksanakan pada hari kelima, sebab hari kelima
adalah mawa yaitu identitas suku,
diyakini sebagai hari pembebasan, hari terberkati suci dan apa yang dilakukan
pada hari kelima (mawa lima) selalu
dalam perlindungan yang ilahi. Orang Maronggela yakin bahwa anak akan
dibebaskan dari sakit dan derita serta berbagai penyakit jika upacara Pi’i Pato’ dilakukan pada hari ini, lengkang pae’ miki sumpot.
BAB
IV
FILSAFAT
NAMA MENURUT PI’I PATO’
PADA
KEBUDAYAAN MARONGGELA
KECAMATAN
RIUNG BARAT, KABUPATEN NGADA, NUSA TENGGARA TIMUR
4.1
Filsafat
Filsafat secara etimologis berasal dari bahasa Yunani philosophia (cinta akan kebijaksanaan),
dari kata philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada)
dan sophos (kebijaksanaan,
pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Filsafat berarti
cinta akan kebijaksanaan, kebijaksanaan itu adalah sesuatu yang menjadi ideal
manusia, bukan milik manusia. Lebih dari itu filsafat didefinisikan sebagai
upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap
tentang seluruh realitas. Upaya untuk melukiskan hakekat realitas akhir dan
dasar serta nyata. Bahkan filsafat didefinisikan sebagai suatu disiplin ilmu
yang membantu anda melihat apa yang
anda katakana dan mengatakan apa yang dilihatnya.[68]
Filsafat
sebagai sebuah pencarian, mau menunjukan bahwa manusia tidak pernah secara
sempurna memilki pengetahuan yang menyeluruh tentang segala sesuatu yang
dimaksudkan kebijaksanaan, namun terus menerus mengejarnya, manusia menggunakan
rationya mencari dasar-dasar terakhir segala sesuatu teristimewa tentang asal,
eksistensi dan tujuan hidupnya. Melalui filsafat orang berupaya secara
spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematis serta lengkap tentang
seluruh realitas.[69]
Setelah
agama-agama wahyu masuk ke dunia Barat, sebagian dari pertanyaan filosofis
dijawab oleh agama wahyu seperti asal-usul manusia, tujuan hidup manusia,
bagaimana proses terjadinya alam semesta, serta berbagai nilai ultim pencarian
manusia bisa dijawab oleh pemikiran-pemikiran agama wahyu. Filsafat fokus pada
olah pikir yang kritis rational. Sedangkan Filsafat Timur tetap menjaga
perannya, sebagai pandangan hidup (way of
life). Hal ini terbukti bahwa dalam Filsafat Timur tidak terdapat kritik,
di mana pemikiran sebelumnya dikritik oleh pemikiran saat ini dan konsep yang kita terima saat ini akan
dikritik oleh pemikiran yang akan datang seperti dalam tradisi Barat pada
umumnya. Filsafat Timur menjawabi secara analogis berbagai persoalan.
Filsafat
dalam tulisan ini lebih menonjol ke Filsafat Timur, bagaimana cara pandang
orang tentang hidup serta realitas yang dialami. Cara pandang itu telah menjadi
warisan yang dihidupi secara turun-temurun dan menjadi pedoman tingkah laku
serta pemahaman atas sesuatu hal tertentu. Filsafat Timur bukan suatu pemikiran
sistematis hasil analisis rational, namun lebih pada pandangan akan suatu hal
secara logis serta memiliki nilai yang mendalam, nilai inilah diterima serta
dihidupi. Filsafat Timur juga memilki sifat amat religius, kosmis, mitis-magis,
etis dan moral.[70]
Dalam filsafat Timurlah kita akan mengerti tentang filsafat kehidupan, cara
atau pandangan hidup. Ini bertujuan mengatur segalanya secara praktis, termasuk
etika yang mengatur tingkah laku praktis itulah filsafat kehidupan. Ukuran untuk
mengetahui seorang filsuf dalam tradisi Filsafat Timur adalah bagaiaman cara
hidupnya, bukan apa yang dia pikirkan atau dia ketahui melainkan bagaiaman dia
hidup. Sebab cara hidup adalah aplikasi dari pikiran, cara hidup seperti para
filsuf berarti dia adalah filsuf.
4.1.1
Filsafat Sebagai Karya Reflektif
Hidup
yang tidak direfleksikan (diperiksa) tidaklah layak dijalani. Begitu kata
Sokrates, pemikir asal Yunani, lebih dari dua ribu tahun yang lalu. Hidup yang
tidak direfleksikan berarti hidup seperti robot yang otomatis dan tanpa makna.
Refleksi, dalam arti sesungguhnya adalah belajar dari apa yang sudah dilalui
sebelumnya. Refleksi berasal dari bahasa Latin reflectere dan reflexio yang berarti
membungkuk ke belakang. Dalam arti sekarang, refleksi berarti tindak berpikir
untuk melihat apa yang sudah dialami sebelumnya, supaya orang lalu bisa belajar
dari pengalaman tersebut, dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Refleksi,
dalam arti ini, adalah sebuah proses belajar yang berlangsung terus menerus.
Orang menimba nilai-nilai kehidupan tidak dari buku dan omongan orang lain,
tetapi langsung dari apa yang dia alami dalam hidupnya.[71]
Dengan bersikap reflektif, orang akan semakin bijak dalam hidupnya. Ia bisa
belajar terus menerus dari apa yang sudah dialaminya. Ia lalu bisa membagikan
hal tersebut kepada orang lain yang membutuhkan.
Filsafat
adalah hasil refleksi manusia tentang berbagai realitas yang dihadapinya. Lebih
dari itu filsafat juga adalah suatu kegiatan refleksi di mana orang terus mencari
dan berusaha menemukan jawaban-jawaban akhir atas pertanyaan mengapa. Mengapa
orang Maronggela harus menjalani Pi’i
Pato’ (upacara pemberian nama), apakah nama itu begitu penting bagi
masyarakat Maronggela? Sebab sebagai binatang berakal budi manusia tidak akan
mengkhianati kodratnya. Berpikir tidak hanya bagi orang yang mengenyam
pendidikan secara formal, tetapi bagi siapa saja, para tua-tua adat juga dapat
berfilsafat serta menemukan alasan-alasan mendalam dari segala realita secara
logis. Mereka bahkan menemukan alasan-alasan filosofis yang mendalam serta
menjadi landasan bagi mereka menjawabi pertanyaan mengapa sesuatu harus
dilakukan dan bukan tidak, mengapa sesuatu harus ada dan bukan tiada, bagaimana
ia berada? Jawaban-jawaban sangat logis dan analogis.
Filsafat sebagai karya reflektif pada tulisan ini ialah
suatu kegiatan dan suatu hasil pemikiran atas pertanyaan-pertanyaan mengapa sesuatu
harus dilakukan dan bukan tidak. Dalam kaitannya dengan nama, para tua adat
sudah memiliki filsafat atau pandangan tertentu hasil refeleksi mereka tentang
apa arti sebuah nama, sehingga nama itu memang benar dihargai. Apa alasan orang
Maronggela melakukan upacara pemberian nama, apa hewan korbannya, bagaimana doa
yang harus diucapkan, serta siapa-siapa yang terlibat dalam upacara tersebut?
Jawaban-jawaban atas pertanyaan di atas itulah yang disebut hasil refleksi para
tua adat.
4.1.2
Filsafat Sebagai Suatu Kebijaksanaan Hidup
Filsafat
sebagai suatu kebijaksanaan hidup. Kebijaksanaan dari bahasa Latin sapientia, mempunyai hubungan dengan
“pengertian”, dalam bahasa Yunani Sophia,
yang pada awalnya seni praktis. Maka filsafat sebagai kebijaksanaan hidup
dimengerti sebagai persepsi yang tepat terhadap tujuan yang paling baik dalam
hidup, cara yang paling baik untuk mencapai tujuan tersebut, dan kepandaian
praktis untuk menerapkan secara berhasil cara tersebut. Kebijaksanaan bukan
pengetahuan pada umumnya, melainkan pengetahuan tentang yang hakiki dalam hidup
manusia, tentang prinsip pokok dan tujuan terakhir, dari eksitensi yang
terbatas. Jadi kebijaksanaan merupakan permenungan (kontemplasi) dan putusan
tentang hal-hal duniawi dalam terang kekekalan.[72]
Manusia
membutuhkan suatu tuntunan hidup, pemberi arah (sense of direction), kebijaksanaan memberikan kita arah, keutuhan
dalam membantu kita memilih secara akurat dan menolak secara cermat, serta
memberi arti terhadap eksistensi manusia.[73]
Kebijaksanaan dalam Filsafat Timur
dengan penekanan utama lebih pada karya intuitif dan perasaan (mempertemukan
akal budi dengan intuisi, inteligensia dengan perasaan) juga penekanan lebih
pada hidup batiniah, spiritual dan mistis. Kebijaksanaan dalam pandangan Filsafat
Timur adalah harmoni dengan kosmos bukan pada penyebaran pengetahuan dan
informasi atau kegiatan intelek. Itulah makna terdalam dari Filsafat Timur.
Suatu
pandangan hidup tentang suatu hal atau pegangan hidup serta cita-cita yang
harus digapai dalam hidup karena hal tersebut memiliki makna terdalam. Sebab
orang hanya akan melakukan suatu hal secara tau dan mau karena hal tersebut itu
bermakna. Makna adalah suatu kualitas yang terdapat dari barang atau hal
tertentu. Filsafat mampu menemukan makna terdalam dari realitas tertentu. Dalam
Pi’i Pato’ (ritual pemberian nama),
terdapat makna serta nilai yang tersirat secara implicit. Makna tersebut itulah
hasil olah budi dan itulah filsafat. Segala warisan budaya termasuk ritual Pi’i Pato’ selalu memiliki makna
terdalam, selalu memiliki filsafat tersendiri. Pemberian nama mengapa harus
tetap dilestarikan di Maronggela, karena memilki makna terdalam. Makna terdalam
itulah ekspresi filsafat.
4.2
Nama
Nama
dalam bahasa Latin disebut nomen[74], dan dalam bahasa Inggris disebut name. Dalam logika nama adalah suatu
ungkapan yang menunjukkan sebuah objek dalam arti luas, sebagai segala sesuatu
yang dapat kita sebut dan bukan hanya sebagai suatu obyek material.
Semantik logis umumnya
menggeluti apa yang disebut segitiga
semantic a) nama; b) obyek yang ditunjukan oleh nama (denotat atau designatum); c)
arti nama.[75]
Segala sesuatu yang ada dalam realitas ini mempunyai nama masing-masing. Sejak kisah
penciptaan, Allah menamai manusia pertama dengan sebutan Adam yang artinya
berasal dari tanah. Adam, manusia pertama itu diperintahkan untuk menamai semua
ciptaan lain, termasuk isterinya Eva. (Kejadian, 2:19).
Pertanyaan
akan muncul tentang apa itu nama? Sesuai penjelasan KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia) nama adalah pertama, (kata menyatakan) panggilan
atau sebutan orang (barang, tempat, dan sebagainya), -nya Bezy; - daging (-tubuh), nama yang sebenarnya, yaitu yang
diberikan oleh orang tuanya sejak lahir, -kecil,
a. nama ketika masih kecil, b. nama depan (jika menurut cara
Barat); -pedengan (- samara), nama
untuk menyembunyikan nama yang
sebenarnya; atas -, (melakukan sesuatu), menjadi wakil atau karena perintah; dengan -, memakai nama; dengan menyebut
nama; balik -, mengganti nama pada
surat yang menyatakan hak milik; menjual
-, memakai nama orang lain (untuk mendapat sesuatu); kedua, gelar; sebutan: dikurniai – adipati, diberi gelar
adipati; -nya saja jadi pegawai tinggi, hanya
sebutannya saja pegawai tinggi; kalau begitu, celaka juga -nya, kalau begitu, patut disebut
“celaka” juga; rumahnya tentu
rancak, -nya ia orang kaya, karena
ia orang kaya; ketiga, kebaikan, (keunggulan); kemasyhuran; kehormatan;
marwah: beroleh (mendapat) -, termasyur,
terkenal: mengambil -, a. mencari muka; b. memakai nama; mencari -, berusaha
(bermaksud) supaya termashyur (dipuji orang); menodai – orang tuanya, mengurangkan kehormatan orang tuanya; telah rusak –nya, telah hilang
kebaikkannya (kehormatannya); menjaga -,
baiknya, menjaga kehormatannya.[76]
Nama
itu sebagai ekspresi dari unsur primordial seseorang. Unsur primordial yaitu
unsur yang melekat pada seseorang sejak lahinya. Sesorang yang terlahir dari
keluarga Maronggela, tidak bisa menyangkal bahwa dirinya orang Maronggela sebab
bapaknya berasal dari Maronggela, atau dia beragama Katolik sebab sudah
dipermandikan secara Katolik. Nama dalam tulisan ini terbagi menjadi beberapa
yaitu:
4.2.1
Nama Religius
Nama religius ialah nama yang diberikan oleh agama kepada
pribadi tertentu. Dari nama religiusnya kita bisa mengetahui seseorang beragama
apa, sebab religiositas juga adalah unsur primodial yang tidak bisa ditolak. Misalnya
nama Paulus atau Petrus pasti orang tersebut beragama Kristen, dibedakan dari
nama Muhamad atau Ibrahim tentu langsung
diketahui bahwa orang itu beragama Islam.
Nama-nama ini diambil dari nama tokoh orang kudus tertentu dalam agama
tersebut, hal ini nyata dalam Kristianitas dimana nama baptis selalu diambil
dari nama orang kudus pilihan, dengan harapan bahwa sang anak akan bertumbuh
dan menghidupi spiritualitas namanya.[77]
Dalam
tradisi Katolik ada yang namanya sakramen permandian/pembaptisan. Semua yang
akan menjadi anggota Gereja harus mengikuti ritual pembaptisan ini, pada
prinsip pertama pembaptisan adalah sakramen inisiasi Kristen untuk menandakan
seseorang menjadi Kristen bergabung dengan Gereja. Pemberian nama terjadi
bersamaan dengan sakramen pembaptisan. Imam akan menyebut nama yang resmi bagi
si bayi sesuai tawaran orang tuanya. Nama itulah yang disebut nama religius dan
akan menjadi nama resmi bagi si bayi.[78]
4.2.2
Nama Marga
Nama marga atau fam
ialah nama yang menandakan bahwa seseorang
berasal dari suku tertentu. Orang lain dapat mengenal siapa saya jika
mendengar apa nama fam saya, dan
langsung mengasosiasikan dari suku mana serta dari keturunan yang mana.
Biasanya cara mendapatkannya melalui berbagai ritual adat. Dalam konteks ini
nama berfungsi sebagai identitas marga/keluarga seseorang.
Melalui
ritual pemberian nama atau Pi’i Pato’ inilah
seorang bayi akan mendapatkan nama marganya atau fam. Nama marga ini sangat penting sebagai pengenal siapa orang
tersebut. Pi’i Pato’ sebagai sarana
bagi orang Maronggela untuk memastikan siapa nama yang cocok bagi seorang bayi
yang baru lahir. Ritual ini bahkan membutuhkan partisipasi dari masyarakat
adat, dibutuhkan binatang korban, babi dan ayam sehingga nama menjadi sangat
sakral. Sebab kelangsungan suatu marga terjaga atau relasi antara anak cucu dan
nenek moyangnya tidak akan pernah berakhir karena nama fam diwariskan turun-temurun.
4.3
Teori Nama
4.3.1
Nama Dalam Filsafat Cina
Satu dari kunci untuk mengelola
kebajikan dasar manusia yang ditekankan oleh Konghucu adalah pemakaian yang
benar kata-kata (cheng-min) yang biasanya merujuk pada “pembetulan nama”. Pemakaian yang benar berarti kata harus
sesaui dengan realitas yang dinamai. Meskipun pemakaian yang benar kata-kata
dapat dikenakan kepada semua pemakaian bahasa, tetapi dalam konghucuisme
pemakain yang benar pertama-tama dikenakan pada tindakan-tindakan dan hubungan
manusia. Jadi ketika Pemimpin Agung Ching bertanya kepada Konghucu tentang
pemeritahan, Konghucu menjawab, “Biarkanlah penguasa adalah seorang penguasa,
bawahan seorang bawahan, ayah seorang ayah, putera seorang putera”. Hal ini
berarti penguasa harus memerintah secara benar, yaitu tindakannya harus sesuai
dengan tujuan tindakan yang mencerminkan makna kata penguasa. Demikian pula, hal itu serupa dengan menjadi seorang ayah
secara benar. Ayah harus membangun relasi denga putera-puterinya dengan
cara-cara ideal yang sesungguhnya merupakan bagian dari makna kata ayah.
Jadi membetulkan nama berarti bukan
memilih kata-kata yang tepat untuk melukiskan sesuatu, tetapi menyesuaikan
karakter dan tindakan seseorang dengan cita-cita normativ yang terkandung dalam
nama-nama relasi fundamental manusia. Bagi seorang putra yang harus menjadi
seorang putra secara benar, hubungannya dengan orang tua harus memenuhi cita-cita
hsiao. Bagi seorang sahabat yang
menjadi seorang sahabat secara benar, harus relasinya memenuhi ideal kesetiaan.
Jadi, ketika nama dibetulkan, semua hubungan manusia akan sejalan dengan ideal
yang terkandung dalam nama itu. Inilah sebabnya mengapa masyarakat akan
harmonis dan rakyat akan bahagia menurut Konghucuisme, ketika nama-nama
dibetulkan.[79]
4.3.2
Nama Dalam Tradisi Kristen
Dalam
tradisi Kristen nama itu sangat berarti, sebab diambil dari nama orang-orang
kudus, yaitu para leluhur yang telah meninggal dunia namun semasa hidupnya
telah menunjukkan kualitas hidup yang patut dicontohi, dekat kepada Tuhan. Kedekatan
kepada Tuhan dibuktikan dalam kata-kata dan perbuatan mereka. Oleh karena
itulah mereka pantas disebut Suci atau Kudus dan layak ditiru perbuatannya.
Dengan mengambil nama orang-orang kudus melalui upacara permandian maka anak
yang akan menjadi dewasa itu diharapkan untuk hidup seturut teladan para kudus
tersebut.
Kristianitas
juga meyakini bahwa kematian itu tidak pernah memisahkan manusia, sebab itu
hanyalah pintu masuk menuju ke kehidupan yang defenitif. Mereka yang sudah mati
sebenarnya tetap hidup walau di dunia yang berbeda, fakta bahwa mereka yang
sudah mati secara fisik itu masih tetap hidup, relasi timbal balik tetap terjalin, arwah
diyakini sebagai roh yang menjaga manusia peziarah ini, nama seseorang diambil
dari nama orang kudus dengan harapan besar orang kudus itu menjaganya.
4.3.3
Nama Pada Kebudayaan Maronggela
Orang Maronggela juga sangat
menghargai nama dan berusaha hidup sesuai nama. Nama itu penting sebagai
gambaran siapa diri seseorang dan apa statusnya dalam suku Maronggela. Selain
menggambarkan siapa dan apa status seseorang dalam suku, Nama bagi orang Maronggela juga bermakna sosial. Makna sosial
nama tersirat dari dua dimensi nama, yakni dimensi masa lalu dan dimensi masa
depan. Nama memiliki dimensi masa lalu artinya nama mengenangkan sesuatu atau
seseorang dari masa lalu. Dari sinilah maka dalam Pi’i Pato’, orang Maronggela selalu memberi nama anak mereka dengan
menggunakan nama orang tua mereka. Tidak dapat dipungkiri bahwa ini juga akan
mempengaruhi bahasa harian orang Maronggela, anak laki-laki akan dipanggil Ema’ (artinya: bapak), dan anak
perempuan dipanggil Nde’ (artinya:
ibu).[80]
Nama berdimensi masa depan menandakan harapan bahwa anak akan hidup sesuai
pribadi atau tokoh yang kepada siapa namanya
diambil. Kakek atau nenek yang kepada siapa namanya diambil adalah orang-orang
dengan kepribadian yang baik dan selalu diceritakan sebagai orang yang hebat di
masa lalu.
Nama begitu berharga bagi Orang
Maronggela, maka nama itu sangat dihargai, seperti tradisi orang Ngada sesuai
ulasan Paul Arndt, SVD bahwa menfitnah seseorang atau merusak nama baik
seseorang adalah suatu perbuatan yang rendah. Jika terjadi pemfinahan maka
melalui doa-doa diharapakan agar para leluhur menghukum orang-orang tersebut agar
bibir mereka yang beracun dirobek dan lidah mereka yang tajam dibelah.[81]Dalam
tradisi Maronggela, jika seseorang kedapatan memfitnah nama maka pemfitnah
tersebut akan dikenai sangsi dengan membayar denda sebagai pemulihan nama baik
orang yang tercemar namanya. Bayaran itu biasanya dalam bentuk hewan.
Dalam memperoleh nama orang
Maronggela harus melewati ritual inisiasi yang disebut Pi’i Pato’. Setelah Pi’i
Pato’ maka nama itu secara defenitif melekat pada sang bayi sampai akhir
hayatnya. Ada pengecualian yang memungkinkan nama bisa diganti yaitu jika Si
Bayi selalu menangis dan bahkan sakit usai pemberian nama. Hal ini menandakan
bahwa Nama yang baru diberikan kepada Si Bayi tidak cocok untuk menjadi
namanya. Namanya lalu akan diganti degan nama baru yang sesuai. Bukti bahwa
nama yang baru tersebut sesui jika Si Bayi tidak menangis lagi atau sembuh dari
sakitnya.
4.4 Filsafat Nama
Filsafat
nama dalam hal ini berarti suatu pandangan hidup, atau pemikiran reflektif dan
logis tentang makna nama, apa itu nama, mengapa harus ada nama. Pentingnya
suatu nama, terlebih lagi ditinjau dari ritual pemberian nama yang khas. Baik
nama untuk Yang Ilahi, nama untuk menyebut hal-hal yang terdapat pada kosmos
ini serta nama bagi pribadi-pribadi tertentu. Pandangan tentang nama itu adalah
keyakinan atas makna nama, pertama-tama bukan soal arti etimologis dari nama
tetapi dari cara mendapatkannya. Dengan mengobservasi serta menganalisis ritual
pemberian nama dalam budaya Maronggela, penulis menemukan makna dari nama seseorang
bagi pribadinya juga tentu bagi lingkungan budaya di mana dia hidup. Sebab nama
itu unik bukan hanya sebagai tanda pengenal, tetapi nama adalah lambang
pribadi, totalitas atau karakteristik dari orang bersangkutan sesuai dengan
namanya. Misalnya nama Watu (Batu),
dia akan menjadi pribadi yang mencontohi sifat-sifat batu, keras dalam
pendirian, tahan banting, kuat walau diterpa bencana (ngeru kudi watu, zrek lonto nian tadukn sait wi muzi awan). Itu
makna dari nama Watu.
Nama
tentu tidak sembarang diberikan kepada seseorang, beberapa kebudayaan sangat
menjunjung tinggi ritual pemberian nama, bahkan sebagai salah satu ritual
inisiasi wajib. Inisiasi yaitu peralihan dari bayi yang terlahir tanpa nama lalu
diberikan nama tertentu sehingga diterima dalam lingkungan budaya dimana dia
hidup. Berbagai bentuk nama yang diberikan sesuai kekhasan budaya
masing-masing. Dalam konteks Maronggela makna filsafat nama menurut Pi’i Pato’ berarti pandangan hidup/filosofi
orang Maronggela tentang nama dilihat dari cara mendapatkannya yang disebut Pi’i Pato’. Pertanggunjawaban secara
rational tentang apa itu nama menurut Pi’i
Pato’ dalam kebudayaan Maronggela oleh penulis itu jugalah adalah filsafat.
Filsafat tidak semata adalah suatu pemikiran yang sudah ada dan dipelajari,
namun ketika seseorang berani berargumen secara rational dan mendasar, itu
filsafat. Dari semuanya secara sederhana filsafat nama menurut Pi’i Pato’ dalam tulisan ini adalah pertama, bagaimana pandangan orang
Maronggela tentang nama ditinjau dari cara mendapatkannya. Kedua, argumentasi penulis tentang filsafat nama yang diuraikan
secara sistematis termasuk filsafat juga.
4.5
Makna Di Balik Nama-Nama Orang Maronggela
4.5.1
Nama Pogol
Pogol
artinya batu cadas yang keras dan kuat. Massanya berat, dan ukurannya besar
sehingga tidak mudah goyah dan rapuh. Watu
Pogol sama dengan Watu Loko’,
yaitu batu yang digunakan untuk memecahkan batu lain. Namun perbedaannya ialah
batu Pogol ukurannya lebih besar dan
terdapat di tanah kering, sedangkan batu Loko’
ukurannya lebih kecil dan terdapat di sungai. Batu Pogol ini dalam tradisi orang Maronggela digunakan untuk
bermacam-macam kebutuhan, selain sebagai sarana untuk memecahkan batu yang lain
juga untuk bahan dasar pembangunan rumah, sebab di atas batu yang kuat
terbangunlah rumah yang kokoh.
Seseorang
bernama Pogol harus hidup seturut
nama, keras dalam pendirian kuat dalam cita-cita, (kiu wake’ maki’, lako pae’ suli’ muzi), seperti Pogol yang digunakan untuk memecahkan
batu lainnya, pribadi tersebut harus menjadi seorang yang mampu melawan dan
superior terhadap yang lain apalagi pribadi yang berkarakter jahat (ngeru’ kudi watu pogol, pae’ rias ata ta
takul rmpe’), namun lebih daripada itu pribadi tersebut harus sadar bahwa
dia hanyalah alat dan ada orang lain yang mempergunakannya untuk melawan yang
lalim, dia hanyalah alat Yang Ilahi melawan kelaliman dan kejahatan (kali’ Pogol noto’ watu sia wura bapu’).
Filosofi Pogol, harus dihidupi oleh
orang yang bernama Pogol tersebut.
Dari sini dapat dibuktikan bahwa nama itu menggambarkan karakter seseorang. Tentu
pemberian nama Pogol tetap melalui
mekanisme Pi’i Pato’, dengan berbagai
filosofinya tetapi nama Pogol itu
sendiri memiliki makna yang menggambarkan karakter seseorang, (kudi ngalitn).
Arti
kata Pogol memberikan makna sebagai
gambaran karakter seorang bernama Pogol. Hal
ini mempengaruhi keseharian hidupnya, segala tingkah lakunya akan dihubungkan
dengan nama. Ketika ia teguh dalam pendirian orang lain akan mengatakan na kudi ngalitn, itu memang seperti namanya.
Ini dalam arti yang posotif seharusnya dihidupi. Ada arti negative dari Pogol yakni ketika ia menjadi sangat keras kepala dan selalu ingin
menang sendiri, orang lain akan mengatakan juga na kudi ngalitn, itu memang
seperti namanya.
4.5.2
Nama Buzan
Pada contoh nama sebelumnya
diperlihatkan bagaimana nama tersebut menggambarkan karakter seseorang, nama
yang berikut ini sebagai contoh bahwa nama itu sebagai harapan akan masa depan.
Dalam denah genealogi di bawah ini diperlihatkan bagaimana seseorang bernama Buzan yang melalui upacara Pi’i Pato’ mendapatkan nama dari Buzan kakek kandungnya dengan harapan ia
harus seperti Buzan kakeknya.
Denah Genealogi Buzan


![]() |
![]() |
||



![]() |
![]() |


![]() |
|||
![]() |
|||
Penjelasan denah genealogi Buzan yang memperlihatkan bahwa nama
tersebut mengandung harapan akan masa depan;
Dari gambar denah di atas terlihat bahwa nama Ernestus
Sccotus Buzan diambil dari nama kakeknya Pius Buzan. Pius Buzan memiliki 2 isteri yaitu a) Agnes Mendo dan b) Petronela Isa. Bersama isteri pertama Agnes Mendo lahirlah anak-anak yaitu a)
Viktus Ganu, b) Siprianus Mulu, c)
Yuliana Zeong, d) Wilhelmus Ngao, e) Maria Ekang. Sedangkan dari isteri kedua
Petronela Isa lahirlah a) A. Mendo, b) I. Rawi, c) A. Bogo dan d) A. Laos. Anak
pertama dari isteri pertama Bapak Pius Buzan adalahViktus Ganu, beliau lalu
menikah dengan Hyacinta M. Fatima dan melahirkan a) Krisantus Yustus Bezy, b)
Ernestus Sccotus Buzan dan
c)Yutta Asunnta Nderu.
Nama
Buzan pada keturunan ini tidak memiliki arti kata yang eksplisit, sebab nama
bagi orang Maronggela bukan pertama-tama diambil dari nama-nama alam seperti
nama binatang atau benda-benda lainya, tetapi diambil dari nama leluhurnya,
jikapun ada nama leluhur yang kebetulan bernama binatang atau benda tertentu,
bukan karena namanya diambil dari nama binatang itu. Sebab nama itu khas hanya
untuk manusia, bukan tiruan dari nama-nama yang sudah ada. Nama Buzan pada
denah ini diambil dari nama kakek kandungnya, ayah dari ayahnya, Buzan kecil akan dipanggil ma’ (bapak) oleh orang tuanya sebab itu
nama diambil dari nama bapak mereka, dengan harapan bahwa Buzan kecil menjadi seperti Buzan
kakeknya dalam berbagai prestasi dan bidang lainnya.
4.5.3
Nama Tanggo’
Dalam bahasa Maronggela, Tanggo’ adalah nama tanaman sirih, salah satu jenis dari sirih yang
biasa digunakan oleh orang Maronggela untuk kte’
(memamah/makan sirih dan pinang yang dicampuri kapur). Sirih jenis ini
biasa disebut rebo tanggo’. Sirih jenis
rebo tanggo’ ini tidak berbuah tetapi
memiliki ukuran daun yang lebar sehingga yang digunakan untuk kte’ adalah daunnya.
Dalam
hal ini nama Tanggo’ diambil dari nama sirih daun (rebo tango’), pertama-tama bukan karena memiliki cerita tersendiri
seperti pada kebudayaan-kebudayaan lain, namun nama Tanggo’ karena leluhur memang bernama Tanggo’ dan kebetulan saja nama itu persis nama salah satu jenis
sirih. Sebab dalam kebudayaan Maronggela terdapat juga banyak nama-nama lain
yang bukan diambil dari nama salah satu benda kosmis tertentu sehingga tidak
memiliki arti harafiah dan cerita.[82]Namun
dari itu penulis dapat menemukan makna filosofi dari nama Tanggo’ tersebut bahwa seperti rebo
tanggo’ yang tumbuh subur berdaun lebar dan dijadikan bahan kte’, pribadi bernama Tanggo’ juga diharapkan agar hidup
sesuai namanya, berani memberi diri, bukan melalui buahnya tetapi daun tersebut
yang dimamah/makan, pribadi Tanggo’ memberi
totalitas dirinya paling utama bukan apa yang dia lakukan (ziu’ weki go bantu ata, kudi rebo tango’ ta ziu’ lebo’n ko kte’). Seperti rebo
tanggo’ berani tumbuh segar dan kuat serta subur dalam keadaan apapun.
Dari
denah genealogi nama Tanggo’ di atas terlihat makna sosial dari nama, yaitu
memberi. Memberi dalam hal ini pasti ada hubungannya dengan orang lain, meberi
diri kepada orang lain, memberi tenaga dan juga memberi pikiran serta totalitas
diri, seperti rebo tanggo’. Filosofi tanggo’
bermakna sosial, nama Tanggo’ bermakna
sosial memberi diri.
4.5.4
Nama Nderu
Dalam
denah genealogi berikut akan diperlihatkan dari mana nama Nderu diambil dan apa makna di balik nama tersebut. Nama juga
sebagai harapan akan masa depan, yaitu harapan dari orang tua sang bayi agar
anaknya Nderu menjadi seperti Nderu ibu orang tuanya.
Denah Genealogi Nderu:

![]() |
|||
![]() |
|||
Penjelasan denah genealogi Nderu ialah sebagai berikut:
1. Tanda
panah horizontal “menikah dengan”, sedangkan tanda panah vertical “melahirkan”.
2. Kotak
berbentuk bulat untuk laki-laki dan berbentuk balok untuk perempuan.
3. Genealogi
Nderu. Paulus Zinda beristeri dua orang. a) Benedikta Nderu dan b) Agnes Ghae. Dari pernikahan pertama
bersama Benedikta Nderu melahirkan
12 orang anak yakni 1)Yohanes Don Bosco Woza, 2) T.N. Nderu, 3) K.Siena, 4) H.M.Fatima, 5) Dominikus Savio, 6)
M.Tima, 7)….. hingga 12 orang bersaudara. Setelah Benedikta Nderu meninggal, Paulus
Zinda menikah lagi dengan Agnes Ghae dan melahirka 2 orang anak yaitu 1) V.
Sunding dan 2) M.Nderu.
Dari pernikahan pertama melahirkan 12 orang anak dan
anak keempat bernama Hycinta M. Fatima yang kemudian menikah dengan Viktus
Ganu, lalu melahirkan Krisantus Yustus Bezy, Ernestus Schotus Buzan dan Yutta
Assunta Nderu. Jadi nama Nderu diambil dari nama nenek menurut
garis keturunan ibu.
Seperti yang sudah dijelaskan pada halaman di atas,
bahwa sistem perkawinan di Maronggela
ialah patrilinear yakni menurut garis keturunan bapak, dimana yang memegang hak
adalah laki-laki. Kepala keluarga ialah seorang bapak, sebab yang harus menjaga
rumah dan kampung suku adalah seorang laki-laki dan perempuan yang meninggalkan
orang tuanya dan hidup bersama suaminya. Maka seharusnya nama diambil dari
keturunan bapak, jikapun itu adalah berjenis kelamin perempuan. Nama diambil
sesuai garis keturuna ayah artinya ayah dari ayahnya, atau ibu dari ayahnya.
Pertanyaannya mengapa nama Nderu justeru diambil dari nama ibu dari ibunya
(menurut garis keturunan ibu), mungkinkah itu melanggar hukum adat? Semata-mata
tidak, nama itu bisa diambil dari nama menurut garis keturuna ibu jika 1) Nama yang
ditawarkan dari pihak bapak tidak cocok (pae’
bot), tidak cocok itu ditunjukan oleh pinang muda tersebut maka barulah
nama itu diganti dari pihak ibu. 2) Jika ada kesepakatan awal, misalnya anak
tersebut adalah anak ketiga atau kedua dalam keluarga, dan kakak-kakaknya sudah
dinamai berdasarkan garis keturunan ayah maka bolehlah Ia diberi nama menurut
keturunan ibu.[83]
Nderu
adalah sesorang yang sangat rajin bekerja, baik dalam tingkah laku serta
tekun dalam doa. Menurut kesaksian Nderu
juga adalah sosok yang tabah dalam mengatasi segala masalah, tidak banyak
bicara tetapi lebih pada berbuat (pae’
ngampong dadi’), tanggung jawab terhadap tugas-tugas yang dipercayakan
teristimewa dengan anak-anak yang dilahirkannya. Nderu kemudian diharapkan mencontohi Nderu neneknya, (more’ lawe’
kudi ne’n). Pribadi Nderu yang
sekarang akan selalu dibandingkan dengan Nderu
yang terdahulu, jika Nderu yang
sekarang tidak menghidupi kualitas-kualitas hidup Nderu yang terdahulu maka orang sekitar atau bahkan orang tua
kandungnya akan mengungkapkan kata-kata pae’
kudi ne’n (tidak seperti neneknya). Orang Maronggela sangat menjunjung
tinggi nama, jadi nama Nderu yang
sekarang seolah jiplakan dari Nderu terdahulu,
hidupnyapun seolah atas nama Nderu terdahulu.
4.5.5
Nama Lawa
Denah
genealogi nama Lawa berikut
masih memperlihatkan dan menegaskan bahwa nama bagi orang Maronggela benar
diambil dari nama leluhur sebagai kenangan dan harapan. Di sisi lain nama juga
sebagai gambaran karakter seorang pribadi tertentu dan memiliki makna sosial
memberi serta berbagai makna nama lainnya. Nama Lawa kali ini bermakna religius-mistis sebab di sana diperlihatkan
bagaimana bisa seseorang bernama Lawa, apa
arti kata Lawa dan apa maknanya bagi
semua keturunan Lawa.
Denah
Genealogi Lawa:










Denah genealogi nama Lawa diterangkan sebagai berikut;
1.
Bentuk gambar yang menerangkan laki-laki
adalah lingkaran, sendangkan untuk perempuan dalam kotak persegi.
2.
Penomoran sebagai keterangan urutan
kelahiran dalam keluarga, satu berarti anak pertama begitupun selanjutnya.
3.
Panah artinya “menikah dengan”.
4. Genealogi
Lawa dalam penulisan ini berarti
garis keturunan Lawa, mau
memperlihatkan bahwa nama Lawa itu
benar diambil dari nama kakek berdasarkan keturanan ayah. Lawa menikah dengan Tawa, dan
melahirkan 1)Nono, 2) Turang, 3) Kabe. Nono anak pertama lalu menikah dengan
Kalo yang melahirkan 1) Tende dan 2) Imbo. Tende menikah dengan Tango dan
melahirkan 1) Tara, 2) Ndawang, 3) Nono,
4) Landang.
Nama Lawa sebagai suatu nama yang banyak
dipakai di kebudayaan Maronggela. Secara etimologis Lawa artinya besi yang sudah dipanaskan dengan api. Asal usul nama Lawa, dikisahkan bahwa ibunya saat
sedang mengandung dirinya pernah dipukuli oleh orang dari kampung Manggarai
dengan menggunakan besi panas. Ketika ibunya kena pukulan maka sakitlah ia
sampai ketika tiba waktunya Lawa akan
dilahirkan. Namun pada saat seharusnya
terjadi proses kelahiran bayi Lawa
tidak dapat keluar dari rahim ibunya. Ayah dari Lawa ini pergi mencari seorang dukun bersalin. Dukun itu datang
lalu berdoa, doanya sebagai berikut: “rinding
weki besi keling, minyak tana tara zari atan peneng nawan Allah Mori Kraen besi
mila.” Usai doa didaraskan barulah proses persalinan terjadi dengan lancar.[84]
Bermula
dari peristiwa itu maka semua keturunan Lawa
wajib mendaraskan doa tersebut. Doa ini lalu bermakna luas, tujuannya untuk
menjaga diri karena mereka percaya bahwa Lawa
tidak keluar dari rahim ibunya diakibatkan oleh “kunci” (penutupan rahim) oleh
seseorang. Doa ini bisa menjaga diri dan doa ini diucapkan oleh keturunan Lawa
pada saat bepergian. Arti dari doa ini adalah rinding weki artinya menjaga diri, besi itu karena ibu dari Lawa
dipukul pakai besi, keling artinya burung nuri. Karena
ketika burung nuri makan jagung kulitnya tidak terkupas namun isinya habis. Minyak tana; artinya manusia diciptakan
pada saat nguza watu lalak tana
(ketika zaman batu mudah dan tanah lembek) diciptakan dengan tanah yang lembek dan batu yang lembek juga, peneng nawan artinya menutup ilmu
pengunci (ilmu orang yang menutup rahim), Ala
Mori Kraeng artinya Allah Yang Maha Esa, besimila artinya semoga amin.[85]
Melihat
denah tentu kita akan bertanya dimanakah Lawa?
Sebenarnya S. Tara itu diambil dari
nama Lawa. Ketika Tara lahir dan diberi nama sesuai dengan ritual Pi’i Pato’ saat itu kakeknya masih
hidup, sebagai pengandaian bahwa ketika pribadi yang diambil namanya ternyata masih hidup maka si bayi yang akan
diberi nama harus diganti sebutan tapi dengan maksud yang sama (olo elen), maka Lawa akan dipanggil Tara. Nama
memang sangat sakral sehingga orang Maronggela sangat hati-hati menyebutnya
apalagi menghinanya.
Nama
Lawa kemudian berubah menjadi Tara, tetap dengan makna yang sama.
Orang Maronggela akan mengetahui bahwa Tara
itu adalah Lawa. Pribadi Tara akan dipanggil dengan sebutan Lawa, ketika si Lawa terdahulu sudah
meninggal (ome mata taung), sebab
pada prinsipnya nama itu adalah sakral,
spirit seseorang tidak sembarang disebut dan harus dihormati. Nama
adalah gambaran pribadi seseorang dan bahkan nama adalah orang tersebut. Nama Lawa
berdimensi religius-mistis sebab ada legenda/mitos yang berkembang tentang
asal-usul nama tersebut.
4.6
Point-Point Filsafat Nama Menurut Pi’i Pato’ Pada Kebudayaan Maronggela
4.6.1
Nama Sebagai Kenangan Akan Leluhur
Leluhur
atau biasa juga disebut sebagai nenek moyang adalah nama yang disandangkan bagi
orang tua, kakek, nenek dan garis di atas mereka yang lebih jauh. Merekalah
yang mewariskan kehidupan dan kebudayaan kepada generasi berikut. Leluhur
selalu diagungkan oleh karena berbagai cetusan serta penemuan yang mereka
perbuat.
Warga
suku Maronggela juga sangat menghormati leluhur, baik itu yang sudah meninggal
begitu lama ataupun orang-tua, kakek nenek yang barusan meninggal, suatu
keyakinan orang Maronggela bahwa relasi tidak pernah berakhir dengan peristiwa
kematian. Dalam setiap kesempatan upacara adat warga selalu memberi sesajian
kepada leluhur sebagai bukti ikatan kekeluargaan. Persaudaraan tidak pernah
hilang karena alasan kematian sekalipun.
Sebab kematian bagi orang Maronggela tidak berarti dia tidak ada lagi
seperti ungkapan Epikurus,[86]
tetapi kematian hanyalah peralihan ke
alam lain (sia mbo’ nusi loke zoe’ dia
nini’ kita, dia zaga kita, pae’ pedo’ kita). Banyak orang berpikir bahwa
para leluhur yang telah mati pindah dari dunia ini ke alam yang tidak
kelihatan, dari dunia manusia ke alam roh. Orang-orang yakin bahwa para leluhur
ini, atau arwah mereka, akan menjaga keselamatan dan kemakmuran keluarganya di
bumi. Bagi mereka, arwah leluhur adalah teman yang kuat, sanggup mendatangkan
panen yang baik, menjaga kesejahteraan, dan memberikan perlindungan. Jika
diabaikan atau dibuat tersinggung, mereka akan mendatangkan malapetaka, yakni
penyakit, kemiskinan, dan kesengsaraan.
Orang-orang yang masih hidup menjalankan tradisi dan
ritual untuk menjaga hubungan baik dengan arwah para leluhur. Kebiasaan ini
khususnya terlihat dalam tradisi pemakaman dan penguburan, seperti menunggu
jenazah semalam suntuk dan penguburan kedua. Penyembahan leluhur juga
ditunjukkan melalui cara-cara lain. Contohnya, setelah selesai memasak,
beberapa orang menyisakan makanan di panci agar para leluhur punya sesuatu
untuk dimakan. Ada juga yang percaya bahwa
orang memiliki jiwa yang tidak bisa mati, yang tetap hidup setelah tubuh mati.
Jika seseorang berbuat baik semasa hidup, konon jiwanya akan ke surga, tetapi
jika ia jahat, jiwanya akan dihukum ke neraka. Semua kepercayaan ini didasarkan
atas gagasan bahwa jiwa, atau roh, tetap hidup setelah tubuh mati.
Nama sebagai kenangan akan leluhur. Orang Maronggela
meyakini bahwa nama itu harus diambil dari nama leluhur demi mengenang mereka,
kenangan bukan hanya karena mereka adalah leluhur, lebih daripada itu bahwa
leluhur atau nenek moyang selalu diagungkan karena kehebatan-kehebatan mereka,
kecerdasan, atau wibawa serta tokoh yang dihormati dan disegani. Orang
Maronggela selalu membanggakan berbagai kehebatan leluhur mereka. Dari beberapa
contoh nama di atas terlihat bawa nama Buzan
itu adalah kenangan akan leluhur yang memang bernama Buzan. Pribadi Buzan yang
sebagai representasi leluhurnya sehingga setiap kali memanggil nama Buzan yang sekarang orang akan selalu
ingat akan Buzan terdahulu, (nuuk sia mbo’ nusi).[87]
Kenangan akan leluhur diformat dalam suatu upacara Pi’i Pato’, leluhur siapa yang harus
dikenang disetujui oleh leluhur tersebut dengan melihat tanda pada pinang. Filsafat nama menurut Pi’i Pato’ sebagai kenangan akan leluhur berarti melalui ritual
tersebut orang tua si bayi akan mengetahui siapa leluhur yang akan dikenang
melalui nama anak mereka. Nama Buzan adalah
kenangan akan leluhur Buzan. Ketika
kita mengamati tradisi pemberian nama dalam Kekristenan tentu ada hubungannya
dengan tradisi yang berkembang di Maronggela. Orang Kristen selalu menama
anaknya berdasarkan nama santo-santa. Orang-orang kudus ini akan menjadi
pelindung bagi anak tersebut tetapi juga penamaan tersebut adalah kenangan akan
santo-santa terdahulu, akan kualitas hidup mereka. Kenangan bukan sekedar
kenangan biasa tetapi kenangan disertai tuntutan agar pribadi kemudian hidup
seturut namanya.
4.6.2
Nama Sebagai Harapan Akan Masa Depan
Manusia
memang mahluk yang berharap. Hidupnya didorong oleh harapan. Orang bisa bangun
tidur, dan kemudian siap beraktivitas, juga karena punya harapan akan hidup
yang lebih baik. Ketika kesulitan menerpa, harapan pula yang mampu
menyelamatkan manusia. Yang diperlukan disini adalah kejernihan di dalam
memahami harapan. Darimana datangnya harapan? Apa inti dari harapan? Bagaimana
mengelola harapan, supaya ia bisa menjadi daya dorong kehidupan, dan bukan
sumber kekecewaan? Hakikat pemberian nama kepada bayi sebagai sebuah harapan
agar bayi tersebut selamat, mendapat kebahagiaan, atau kemuliaan dan menjadi
orang baik. Nama yang diberikan kepada si bayi dimaksudkan sebagai doa
permohonan kepada Yang Ilahi untuk kepentingan si bayi pula. Selanjutnya
diungkapkan, bahwa nama-nama tersebut biasanya merupakan nama yang antara lain
menunjukkan, kebijaksanaan, dan kepandaian. Melalui nama yang diberikan, orang
tua mengharapkan agar anaknya kelak
menjadi orang yang sesuai dengan makna yang terkandung dalam nama atau
sebaik orang yang memiliki nama tersebut.[88]
Harapan juga sama. Ia adalah bentukan lingkungan
sosial kita. Orang yang lahir di keluarga pedagang cenderung berharap menjadi
pedagang besar. Orang yang lahir di keluarga akademisi pun cenderung berharap
menjadi seorang pemikir besar. Harapan, pendek kata, adalah hasil dari programming social. Jika orang tak menyadari ini,
dan mengira harapan yang ia punya adalah harapannya sendiri, maka ia akan
terjebak dalam ilusi. Ia mengira dirinya bebas, padahal tetap terpenjara di
dalam dunia sosial. Ia hidup seperti robot, tunduk pada pengakuan dan penolakan
dari dunia sosial. Hidup seperti ini amat rentan pada kekecewaan, patah hati,
stress, depresi dan konflik.
Harapan
berasal dari kata harap yang berarti keinginan supaya sesuatu terjadi, sehingga
harapan berarti sesuatu yang diinginkan dapat terjadi. Dengan demikian harapan
menyangkut masa depan. Setiap manusia mempunyai harapan. Manusia yang tanpa
harapan, berarti manusia itu mati dalam hidup. Orang yang akan meninggal sekalipun
mempunyai harapan, biasanya berupa pesan-pesan kepada ahli warisnya. Harapan
tersebut tergantung pada pengetahuan, pengalaman, lingkungan hidup, dan
kemampuan masing-masing. Berhasil atau tidaknya suatu harapan tergantung pada
usaha orang yang mempunyai harapan. Harapan harus berdasarkan kepercayaan, baik
kepercayaan pada diri sendiri, maupun kepercayaan kepada Yang Ilahi.[89]
Adapun nama
sebagai harapan itu pertama-tama terlihat dari bunyi syair Pintu Pazir Pi’i Pato’ dan kedua dari nama tersebut. Pertama dari bunyi syair Pintu Pazir Pi’i Pato’ adalah sebagai
berikut : Raza ata nai moghas Raza ata nai lawe’, Zaga anak kendo’, Ziu nggia lawe’ weki di’a ngalit, Lengkang muzin awan za’a laza teto’, Muzin awan more’ lawe’, Zari ata laki mosa, Ndirung tikus logo welong, Zaga weki ngalit nggia Neang wenang lezong kendo’ Saing wi muzi
awa’n. (artinya:
Raja yang baik hati dan lemah lembut jagalah anak ini, berilah dia kesehatan
dan nama baik, sehingga di kemudian hari dia tidak tertimpa sakit derita, punya
kehidupan yang baik, menjadi orang yang kaya raya atau berkecukupan, kami juga mohon jagalah
dia sejak hari ini hingga selamanya). Dengan upacara pemberian nama Pi’i Pato’ diharapkan bahwa anak
tersebut menjadi seperti yang didoakan terisitimewa menjadi orang yang sehat
dan punya nama baik di kemudian hari (weki
di’a ngalit lawe’).
Kedua,
nama sebagai
harapan itu dilihat dari pilihan nama anak tersebut. Mengapa harus diberi
sesuai nama dari kelaurganya yaitu kakek atau nenek anak tersebut, hal ini
mengandung harapan bahwa si bayi harus bertumbuh menjadi seperti tokoh ideal
(ideal type) yakni kakek atau neneknya. Mereka dikatakan tokoh ideal sebab
orang-orang tersebut sangat berjasa bagi kelaurga dan selalu diceritakan
sebagai tokoh-tokoh yang hebat dan pencetus budaya dalam suku. Maksud pemberian
nama agar bayi (anak wara) melanjutkan popularitas, kualitas-kualitas hidup
orang yang diambil namanya.
Dari contoh nama di atas terlihat
nama Nderu sebagai harapan agar Nderu yang kemudian mencontohi Nderu yang terdahulu. Selain sebagai
harapan agar anak itu kemudian menjadi orang yang kaya raya, sehat serta
dijauhkan dari segala beban kehidupan seperti yang didoakan dalam Pintu Pazir, tetapi nama Nderu sebagai harapan agar segala
kualitas hidup Nderu terulang atau
dihidupkan lagi oleh Nderu yang
sekarang, segala hal yang baik dan benar tidak habis dimakan usia, tidak lenyap
oleh karena kematian, kualitas atau ideal-ideal hidup itu tetap terpelihara dan
diharapkan agar dikembangkan oleh Nderu
yang sekarang. Semua itu selalui dalam persetujuan leluhur dan Yang Ilahi (Mori Kraeng) melalui upacara Pi’i Pato’. Filsafat nama menurut Pi’i Pato’ sebagai harapan tersirat
dalam syair Pintu Pazir di atas dan
cerita tentang leluhur terdahulu,
kualitas hidup mereka diharapkan hidup kembali dalam pribadi yang
menghidupi namanya.
4.6.
3 Nama Sebagi Perestuan Yang Ilahi Dan Leluhur
Manusia
sebagai mahluk beragama (homo religious)
tetap memiliki kecendrungan kodrati untuk menciptakan hubungan dengan Wujud
Tertinggi. Bentuk hubungan tersebut tertuang atau terungkap dalam doa doa
tradisi berupa tuturan ritual. Doa merupakan gejala umum dalam setiap bentuk
kepercayaan dan agama. Doa merupakan sesuatu yang paling esensial sehubungan
dengan pandangan manusia tentang Tuhan. Konsep atau gagasan orang Maronggela
tentang Wujud Tertinggi antara lain Pintu
Pazir Pi’i Pato’. Tuturan ini sebagai media interaksi adikodrati dengan
Yang Ilahi. Hal ini menyiratkan makna religius dari tuturan tersebut. Kesadaran
dan pandangan mengenai komunikasi adikodrati itu tercermin pada diberlakukannya
tuturan Pintu Pazir Pi’i Pato’ dan
penuturannya bersifat sakral/suci. Hal ini merupakan pandangan kolektif dan bersifat universal bahwa doa
sudah tentu berdimensi religius.
Di
samping pandangan kolektif-universal dimaksud, makna religius dalam kajian ini
juga dapat diungkapkan berdasarkan bentuk lingual sebagaimana yang dimaksudkan
di dalam tuturan Pintu Pazir Pi’i Pato’.
Makna religius dimaksud antara lain tersirat di dalam kata Ema ‘bapak’ dan Ende
‘ibu’. Kedua kata ini mengandung makna penciptaan. Dalam agama dan kepercayaan
mana pun, termasuk kepercayaan tradisi Maronggela, proses penciptaan selalu
dipersepsikan dalam konteks keilahian dan keadikodratian. Sifat ilahi dan
adikodrati dari konsep bapak dan ibu dalam pandangan religius selalu dikaitkan
dengan kesucian hidup. Dari sudut pandang ini, kesucian hidup merupakan esensi
dari pandangan religius.[90]
Berdimensi
religius dalam tulisan ini berarti ngalit
itu dalam proses mendapatkannya selalu ada campur tangan Yang Ilahi. Nampo’ ngalit selalu ada restu Yang Ilahi. Ketika pinang
sisi yang satu terbuka dan sisi yang lain tertutup, itu tanda persetujuan dari
leluhur. Maka nama itu sangat dihargai, sehingga orang dari Maronggela tidak
berani menyebut nama seseorang secara langsung, apalagi menyebut nama orang
yang lebih tua. Penyebutan selalu diperhalus, bukan disamar tetapi diperhalus,
misalnya nama Bogo akan disebut Mbos, atau Laos akan disapa Dao. Ini
bukti penghargaan terhadap nama dilihat dari sakralitasnya.[91]
Analisis
tentang dimensi religius dalam nama orang Maronggela terdapat dari Pintu Pazir Pi’i Pato’ terdapat
kata-kata yang berbunyi “Lezong kendo
kami Pi’i Pato’, ’Kami ko ziu’ ngalit ziu anak kendo’, Lezo’ lima taun kia manga lonto tana’, Kia
zari le Nggau, Kau bot ngalit anak kendo’.” (artinya: hari ini kami
melakuak upacara Pi’i Pato’, kami
akan memberikan nama baru bagi anak ini, sebab sudah lima hari dia berada
bersama kami tanpa nama, dia adalah ciptaanMu dan Engkaulah yang akan
menyetujui namannya). Nama menurut Pi’i
Pato’ berdimensi religius sebab nama diyakini sebagai pemberian Mori Kraeng, manusia yang menawarkan
tetapi Mori Kraeng yang menyetujui
dan tanda persetujuan Mori Kraeng atas
nama anak tersebut itu bisa dilihat melalui petunjuk pinang.[92]
Sebagai
persetujuan Mori Kraeng dan Mbo’ Nusia nama seharusnya tidak
sembarang disebutkan, maka orang Maronggela selalu memperhalus nama seseorang Lawa akan dipanggil Tara, nama itu sakral karena dalam mendapatkannya orang Maronggela
harus melakukan upacara doa bersama mengorbankan ayam sebagai hewan korban dan
menghadirkan banyak orang perestu doa tersebut. Filsafat nama menurut Pi’i Pato’ sebagai perestuan Mori Kraeng ngai Mbo’ Nusi, terlihat
dari syair-syair Pintu Pazir di atas
dan mekanisme Pi’i Pato’ itu sendiri.
4.6.4
Nama Sebagai Tanda Sosial
Dimensi
religius kehidupan orang Riung dalam tuturan Pintu Pazir Pi’i Pato’ terefleksi juga di dalam pandangan-pandangan
sosiologis. Perilaku religius yang merupakan inti dari kepercayaan tradisi
tidak semata-mata bersifat adikodrati, tetapi dapat pula dimaknai berdasarkan
keharmonisan hubungan antarmanusia. Jika tuturan Pitu Pazir Pi’i Pato’ diletakkan dan bingkai religiusitas, maka hal
itu tidak berarti bahwa hubungan vertikal antara manusia dengan Sang Pencipta
itu mengabaikan ataupun mengingkari hubungan antarmanusia. Tuturan Pintu Pazir Pi’i Pato’ juga mengandung harapan akan adanya
keharmonisan hubungan antarmanusia. Hal ini dapat dicermati melalui larik-larik
tuturan Pintu Pazir Pi’i Pato’ berikut
ini Landing anak le songang boang, Koe mata rembo[93]
(artinya: Kalau nanti anak ini sombong dan jahat, dia akan mati binasa).
Ajektiv sombong dan jahat merupakan kata kunci dari dimensi sosial tuturan Pintu Pazir Pi’i Pato’. Kata sombong dan
jahat merupakan bentuk pengingkaran terhadap kebersamaan dan saling menghargai
yang merupakan inti dari relasi sosial antarindividu. Menurut pandangan orang
Maronggela sebagaimana pula pandangan manusia sebagai makluk sosial pada
umumnya, orang sombong dan orang jahat menempatkan orang lain sebagai orang
luar (out group). Karakter semacam ini akan menciptakan individualisme dan
egoisme, sifat yang tidak berterima dalam komunitas manapun. Adapun dua nilai sosial dari sebuah nama
yaitu :
4.6.4.1
Nilai Pencitraan
Nama
merupakan konsep esensial yang berhubungan dengan identitas. Dari konsep ini
muncul istilah penamaan dan nama baik. Nama diberikan berdasarkan asal-usul dan
pencitraan terhadap nama dimaksud. Oleh karena itu, orang yang menggunakan
nama/mewarisi nama berkewajiban moral untuk tetap menjaga nama tersebut agar tidak
tercela. Dalam budaya Maronggela, hal nama baik terarah pada pepatah berikut Weki lawe’ ngalit di’a (artinya: Badan sehat dan nama
baik).
Sehubungan
dengan itu, orang Maronggela berkewajiban moral untuk hidup taat norma sosial
budaya agar peribahasa “Harimau mati
meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama” dapat tewujud. Nama
itu harus bebas dari citra buruk (stereotip) sehingga layak untuk diwariskan ke
generasi berikutnya.
4.6.4.2
Nilai Ekonomis
Salah
satu ukuran hidup baik ialah kekayaan material. Untuk memperoleh kekayaan
dimaksud diperlukan usaha. Setiap usaha/kerja untuk mendapatkan hasil
senantiasa diletakkan di atas dasar keluhuran akhlak dan kemurnian budi. Nilai
ekonomis yang tersirat di balik makna sosiologis tutur Pintu Pazir Pi’i Pato’ tersurat
pada larik berikut ini “lengkang
muzi awan zari ata laki mosa”, semua karya dan usahanya berhasil. Nilai
tersebut menuntun orang Maronggela untuk menjadi individu pekerja keras dengan
selalu mengedepankan cara-cara yang bermartabat. Pandangan mengenai
dihalalkannya cara untuk memperoleh hasil yang menguntungkan merupakan hal yang
ditabukan dengan masyarakat Maronggela.
Filsafat
nama menurut Pi’i Pato’ sebagai tanda
sosial dilihat dari nama itu sendiri, orang Maronggela tidak mengena fam secara eksplisit tetapi tetap nama
memang menunjukan bahwa anak tersebut berasal dari keluarga yang bersangkutan.
Sebagai tanda sosial selain tersirat dalam Pintu
Pazir di atas namun dari fakta upacara Pi’i
Pato’ tersebut dimana menghadirkan
banyak orang (woe wongko’) itu
menandakan sosialitas dari nama, nama memiliki pengaruh untuk orang banyak
sebab mendengar namanya yang dihadirkan adalah pribadi dengan nama tersebut.
Nama Lawa contohnya orang akan
mengafirmasi bahwa Lawa memang cocok
untuk nama bayi bersangkutan sebab memang Lawa
terdahulu adalah leluhurnya. Lawa sebagai
tanda sosial.
4.6.5
Nama Sebagai Gambaran Karakter Seseorang
Karakter atau
sifat dasar adalah kualitas hidup yang melekat pada diri seseorang sejak lahir,
karakter tidak bisa dirubah seketika, misalnya seorang pemarah berarti
karakternya pemarah. Karakter yang ideal adalah karakter yang baik, membangun
dan bermanfaat untuk kehidupan sosial, semua orang Maronggela menginginkan agar
berkarakter baik bagi anak-anaknya.
Filsafat nama menurut Pi’i
Pato’ sebagai gambaran karakter diartikan bahwa nama tersebut secara
etimologis berarti nama suatu tanaman atau binatang tertentu dengan
kualitas-kualitasnya. Pribadi bersangkutan akan hidup sesuai karakter namanya,
misalnya nama Pogol berkarakter
keras, kuat dalam pendirian, tidak mudah goyah dan membarkan diri dikendalikan
oleh orang lain jika itu demi kebaikan bersama. Nama Tango’ berkarakter tulus dalam pemberian diri, mengembangan diri
sebesar-besarnya dan memberi totalitas diri untuk kepentingan orang lain yang
bersifat membangun.
Hidup seturut nama akan tercipta keharmonisan sesuai
pandangan filsafat Cina. Orang Maronggela dengan diberi nama sesuai nama-nama
tersebut maka diharapkan agar menghidupi namanya, mengplikasikan karakter dari
namanya tentu dalam hal ini ialah karakter yang baik (more’ kudi ngalit, lengkang more’lawe’).
4.7
Refleksi Filosofis
Beberapa
point dasar yang ditemukan dari upacara Pi’i
Pato’ memberikan sumbangan berupa pandangan filsafat. Filsafat yang
dimaksud adalah pandangan hidup atau cara pandang orang tentang segala sesuatu
termasuk tentang cara pandang orang Maronggela menyangkut upacara Pi’i Pato’. Ada beberapa nilai filosofis
dari nama yaitu nama mengenang masa lalu, juga sebagai harapan, berdimensi
religius dan berdimensi sosial. Semua didapatkan dari analisis tentang Pintu Pazir sebab doa tersebut seagai bagian
dari Pi’i Pato’ yaitu Pitu Pazir Pi’i Pato’. Namun yang lebih
utama dari upacara tersebut memberikan berbagai macam makna filosofis yang
mendalam yang dapat direfleksikan sehingga sebagai hal penting mendukung bahwa
nama itu berharga, nama itu harus dihormati. Nilai filosofis inilah yang
menjadi pegangan bagi orang Maronggela tentunya menjaga tradisi sebagai warisan
leluhur ini secara baik.
Sebagai kenangan akan leluhur karena nama bagi orang
Maronggela harus diambil dari nama kakek atau nenek si bayi yang akan diberi
nama tersebut, prioritasnya adalah
keluarga dari pihak ayah. Leluhur manjadi tokoh ideal (ideal type), dimana mereka selalu diceritakan memiliki
kehebatan-kehabatan dan cetusan-cetusan budaya yang inspiratif. Kenangan
terhadap mereka diwujudnyatakan dengan menamai bayi seperti nama mereka. Namun
juga penamaan menurut nama mereka sebagai tuntutan sosial agar ikatan
kekeluargaan tidak akan pernah hilang. Warisan leluhur yang melekat langsung
terhadap generasi kemudian adalah nama.
Nama sebagai harapan artinya bayi yang akan bertumbuh
menjadi besar harus memiliki tokoh panutan, pemberian nama berdasarkan nama
kakek atau nenek yang bersangkutan diharapkan ia bertumubuh seperti tokoh
tersebut. Dalam kebudayaan Maronggela leluhur adalah orang yang hebat, maka
anak tersebut diharapkan menjadi orang yang hebat. Kehebatan itu macam-macam
sesuai dengan apa kehebatan leluhurnya.
BAB
V
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Nama adalah tanda,
pengenal dan penegas identitas menjawabi pertanyaan siapa. Nama juga sebagai ekspresi
unsur primordial dari mana asal seseorang dan apa agamanya, semua bisa
diketahui hanya melalui nama. Selain
sebagai penanda nama adalah pembeda bahwa seorang tertentu bukan yang lain,
bahkan melampaui semuanya nama justeru dipersonalisasi sehingga menghina nama
seseorang yang terhina justeru pribadi bersangkutan dan memuji nama seseorang
yang merasa senang adalah pribadi orang tersebut. Sesuai ungkapan Abraham Masslow bahwa pada dasarnya manusia
ingin dipuji dan ingin nama baiknya dikenang sehingga tidak heran kalau banyak
orang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk mencari gelar, popularitas
demi nama baik.
Kebutuhan akan nama baik itu menjadikan banyak orang memilah-milah
nama apa yang cocok bagi bayi mereka, bisa saja dari nama tokoh-tokoh dunia
yang terkenal dengan harapan bahwa anak mereka kelak menjadi seperti tokoh
tersebut. Tetapi jika kita melihat fakta sebenarnya pemberian nama kepada
seseorang itu sudah diatur berdasarkan hukum agama maupun hukum adat, karena
nama adalah ekspresi primordial agama dan kebudayaan sehingga pemberian nama
memang diatur berdasarkan agama dan kebudayaan masing-masing. Nama yang
diberikan agama adalah nama religius dan nama yang diberikan suku adalah nama
marga (fam). Tradisi pemberian nama
religius biasanya terjadi di tempat-tempat ibadat contoh saja dalam agama
Katolik, nama bayi akan disahkan bersamaan dengan upacara permandian. Sedangkan
dalam berbagai kebudayaan tradisi pemberian nama sangat unik mengorbankan hewan
dan pilihan nama juga diatur berdasarkan hukum adat tertentu.
Dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan berbagai metode serta
analisis data ditemukan keunikan tradisi pemberian nama pada masyarakat
Maronggela yang disebut Pi’i Pato’. Lebih
jauh dari itu ternyata tradisi pemberian nama tersirat banyak nilai
filosofisnya, sehingga nama memang perlu dihargai. Nama itulah yang dihidupi
dan diteruskan ke generasi-generasi mendatang. Makna filosofis nama bagi orang
Maronggela didapatkan dari bagaimana melakukan upacara pemberian nama dan apa
arti nama tersebut. Ada beberapa makna filosofis yang penulis sebut sebagai
filsafat nama yaitu: nama sebagai kenangan akan leluhur, nama sebagai harapan,
nama sebagai tanda sosial, nama sebagai gambaran karakter seseorang dan nama
sebagai perestuan Yang Ilahi.
Pertama, nama
sebagai kenangan akan leluhur (lengkang
pae kimu sia mbo nusi). Dalam tradisi orang Maronggela nama yang diberikan
kepada bayi yang baru lahir selalu berdasarkan nama leluhur yaitu kakek atau
nenek dari garis keturunan ayah bayi tersebut. Kenangan akan leluhur menandakan
bahwa ikatan kekeluargaan tidak pernah selesai. Spiritualitas nama di masa lalu
akan dihidupi di masa sekarang, jadi pemberian nama berdasarkan nama leluhur adalah
niscaya bagi orang Maronggela,
Kedua, nama
sebagai harapan akan masa depan (lengkang
muzi awan zari ata ta more lawe, laki mosa, umur bantang). Harapan dalam
hal ini adalah sesuatu yang positif, nama yang diberikan kepada sang bayi
dengan harapan bahwa dia akan hidup sesuai namanya. Leluhur adalah tipe ideal,
panutan sebab leluhur selalu diceritakan sebagai tokoh-tokoh hebat di masa
lalu. Harapannya bahwa kebesaran nama leluhur dihidupi lagi saat ini, anak yang
diberi nama berdasarkan nama leluhur diharapkan bisa menghidupi hal-hal
spektakuler seperti yang telah leluhur lakukan di masa lalu.
Ketiga, nama
sebagai bukti perestuan Yang Ilahi dan Leluhur. Sahnya suatu nama bagi orang
Maronggela itu dilihat dari pinang mudah yang terbelah dua, jika satu sisih
terbuka dan sisi yang lain tertelungkup berarti nama yang ditawarkan direstui
oleh Yang Ilahi dan Leluhur. Orang Maronggela sangat yakin bahwa Yang ilahi
memang benar-benar terlibat dalam menentukan nama. Para leluhur juga ikut
merestui nama yang ditawarkan.
Keempat, nama
sebagai tanda sosial. Manusia adalah mahluk sosial, nama bahkan dipersonafikasi
seperti manusia real, memuji nama seseorang yang merasa senang adalah pribadi
yang bersangkutan. Orang bisa melakukan suatu hal atas nama yaitu sesui
perintah yang bersangkutan. Nama sama dengan manusia pemilik nama. Terdapat dua
nilai dimana nama sebagai tanda sosial yaitu nilai pencitraan dituntut supaya
orang Maronggela harus hidup baik (weki
dia, ngalit lawe), sedangkan nilai ekonomisnya bahwa dengan nama itu anak
diharapkan jadi orang yang kaya raya, semua usahanya berasih di kemudian hari.
Kelima nama
sebagai gambaran karakteristik seseorang.
Sesoarang diberi nama tentu apa yang dinamakan adala sesuatu yang dapat
digambarkan karaktersitiknya. Karaktesitik inilah yang harus dihidupi oleh bayi
baru tersebut. Nama Pogol sebagai contohnya, anak tersebut harus menghidupi sifat sifat
batu Pogol tentu dalam hal-hal yang
positif, seperti keras dalam pendirian.
Filsafat
nama bagi menurut Pi’i Pato’ bagi
orang Maronggela adalah pandagan hidup, atau keyakinan yang dihidupi oleh orang
Maronggela. Lima point dari filsafat nama di atas menandakan bahwa ada lima
point padangan tentang nama menurut orang Maronggela. Filsafat nama adalah
suatu pandangan tentang nama.
5.2
Saran
Melihat fenomena
yang berkembang di kebudayaan Maronggela ada ancaman ketika orang tidak hidup
sesuai nama, artinya masing-masing nama memiliki nilai filosofis sebagai
pegangan bagi pribadi bersangkutan. Tidak hidup sesuai namaakan menimbulkan
ketidakharmonisan. Dalam filsafat Cina, keharmonisan masyarakat justeru ketika
orang hidup sesuai nama. Misalnya sebagai seorang kepala Negara, harus hidup
dan melaksanakan tugas-tugas kepala Negara.
Saran saya Pertama
bagi para calon orang tua atau orang tua di Maronggela. Bahwa nama bagi orang Maronggela
itu sangat penting maka usahakan agar tetaplah mempertahankan budaya pemberian
nama yang unik ini sebagai wadah menemukan identitas diri, sebab dengan
menjalankan upacara pemberian nama secara baik tentu akan mendapatkan filosofi
nama. Filsafat nama itulah ideal yang harus dihidupi dan dikejar serta
diterapkan dalam kehidupan.
Kedua bagi para
muda-mudi yang menyebut diri sebagai kaum milenial. Diakui bahwa globalisasi
menggerus nilai-nilai filosofi lokal, ada westernisasi nama dimana anak-anak
muda lebih suka mengganti nama mereka seperti nama-nama artis-artis atau pemain
bola terkenal, saat itu sadar atau tidak sadar sebenarnya mereka sedang menolak
diri sendiri. Bentuk penerimaan diri adalah dengan menggunakan nama secara
semestinya.
Ketiga bagi
tua-tua adat agar tidak jemu mengajar filosofi kehidupan kepada generasi
penerus supaya tidak vakum nantinya.Pengetahuan tentang kebudayaan harus
diwarisi secara turun menurun. Dalam hal upacara pemberian nama, segala
detailnya harus diajarkan serta mekanisme dan doa-doa adat.
DAFTAR
PUSTAKA
Kitab
Suci
Alkitab Deutrokanonika, Jakarta:
Lembaga Alkitab Indonesia, 2003
Kamus
Dan Ensiklopedi
Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996
Tim Redaksi Kamus
Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta:Balai
Pustaka, 1996
Tim Revisis Kamus
Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Kamus Umum Bahawa Indonesia
Jakarta:
Balai Pelajar, 1996
Prent, K.
dkk., Kamus Latin-Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1969
Buku-Buku
Adams, Cindy., Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Terj. Syamsu Hudi,
Jakarta: Yayasan Bung Karno, 2014 edisi
revisi.
Arndt, Paul., Agama Orang Ngadha; Dewa, Roh-roh, Manusia
dan Dunia (vol. 1), Terj.
Paulus
Sabon Nama, Maumere: Candraditya, 2005
Bakker, Anton., Antropologi
Metafisik, Yogyakarta: Kanisisus, 2000
Bakker, J.W.M., Filsafat
Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 1984
Bolong, Bertolomeus, dan Cyrilus Sungga S., Tuhan
Dalam Pintu Pazir, Tinjauan Filosofis
Tentang Tuhan Dalam Kepercayaan Asli
Orang Riung, Flores, Ende: Nusa Indah,
1999
Bolong, Bertolomeus dan Frederick Y. A. Deoka (eds), Demokrasi
Pribumi, Kupang: Bonet
Pinggupir,
2014
Fernandez, Stephanus Ozias., Kebijaksanaan Manusia Nusa
Tenggara Timur Dulu dan Kini,
Maumere:
Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, 1999
Frans Magnis Suseno, 13
Model Pendekatan Etika; Bunga Rampai Teks-Teks Etika Dari Plato
Sampai Dengan Nietzsche, Yogyakarta: Kanisius, 1998
Hendro Setiawan, Manusia
Utuh, Sebuah Kajian Atas Pemikiran Abraham Maslow,
Yogyakarta:Kanisius,
2014
Hoed, Benny H., Semiotik
Dan Dinamka Sosial Budaya, Depok: Fakultas Ilmu Budaya
Universitas
Indonesia, 2008
Jegalus, Nobertus.,
Filsafat Nusantara (Bahan Ajar), Kupang: Fakultas Filsafat Unwira, 2018
Kebung, Kondrad., Filsafat Berpikir Orang Timur (Indonesia,
Cina Dan India), Jakarta:
Prestasi
Pustaka, 2011
Koller, John M., Filsafat
Asia, Terj. Donatus Sermada Kelen, Maumere: Ledalero, 2010
Mangunhardjana, A., Isme-Isme
Dalam Etika Dari A Sampai Z, Yogyakarta: Kanisius, 1997
Panda, Herman P., Sakramen dan Sakramentali dalam Gereja, Yogyakarta:
Amara Books,
2012
Sihotang, Kasdin.,
Filsafat
Manusia, Upaya Membangkitkan Humansme, Yogyakarta:
Kanisius,
cetakan ke-8.2017
Solomon, Robert C,
dan Kathleen M. Higgins., Sejarah Filsafat, Terj. Saut
Pasaribu, pen
Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya,2000
Sujarwa., Ilmu
Sosial dan Budaya Dasar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Internet
Maret
2019 pukul 15.30 WITA
https://kbbi.web.id/westernisasi,
diakses pada hari Rabu 13 Maret 2019, pukul 15.00 WITA.
DAFTAR INFORMAN
1.
Nama :
Fidelis Balkom
Umur : 46 tahun
Agama : Katolik
2.
Nama :
Pertus Lengu
Umur : 55 tahun
Status : Dor Maronggela
Agama: Katolik
3.
Nama :
P. Bertolomeus Bolong OCD
Umur : 52 tahun
Status : Pastor, pakar budaya.
Agama : Katolik
4.
Nama :
Paulus Zinda
Umur : 86 tahun
Status : Tua adat
Agama : Katolik
5.
Nama :
Petrus Rinting
Umur : 82 tahun
Status : Tua adat
Agama : Katolik
6.
Nama :
David No
Umur : 78 tahun
Status : Tua adat
Agama : Katolik
7.
Nama :
Viktus Ganu
Umur : 53 tahun
Status : Woe Wongko, mengetahuo budaya.
Agama : Katolik
8.
Nama :
Domikus Savio
Umur : 47 tahun
Status : Woe Wongko, mengetahui budaya.
Agama : Katolik
9.
Nama :
Siprianus Mulu
Umur : 48 tahun
Status : Woe Wongko, mengetahui budaya.
Agama : Katolik
10.
Nama :
Yakobus Kuu
Umur : 40 tahun
Status : Woe Wongko, mengetahui budaya.
Agama : Katolik
11.
Nama :
Andreas Tende
Umur : 77 tahun
Satatus : Ata Gae. Pakar budaya.
Agama : Katolik
12.
Nama :
Stanislaus Nuwa
Umur : 56 tahun
Status : Woe Wongko, mengetahui budaya.
Agama : Katolik
13.
Nama :
Feliks Regang
Umur :26 tahun
Status : Pegawai Desa Wolomeze
Agama : Katolik
14.
Nama :Fransiskus
Xaverius Tara
Umur : 24 tahun
Status : Mahasiswa
DAFTAR
QUESTIONER
1. Bagaimana
asal-usul orang Maronggela?
2. Bagaiman
bahasa yang digunakan pada masyarakat Maronggelaa?
3. Bagaiman
stuktur kepemimpinan orang Maronggela?
4. Bagaimana
pandangan mereka tentang Tuhan dan cara menyembahnya?
5. Bagaiamana
penghargaan terhadap sesama pada kebudayaan Maronggela?
6. Apa
itu upacara Pi’i Pato’ (pemberian
nama)?
7. Bagaimana
mekanisme upacara Pi’i Pato’?
8. Siapa
yang wajib mengikuti upacara tersebut?
9. Kapan
upacara Pi’i Pato’ dilaksanakan?
10. Dimanakah
tempat yang cocok untuk melakukan upacara Pi’i
Pato’?
11. Apa
sajakah hewan korban yang dibutuhkan?
12. Bagaimana
hubungannya dengan wina wai rana laki?
13. Apa
itu wina wai rana laki?
14. Apa
itu nampo’ ngalit?
15. Apa
yang dimaksud dengan anak wina dan anak rana dalam hubungannya dengan Pi’i Pato’?
16. Apa
makna nama bagi orang Maronggela?
17. Bagaiamankan
penghargaan terhadap sebuah nama pada kebudayan Maronggela?
18. Apa
makna filosofis dari nama pada kebudayaan Maronggela?
19. Apa
makna sosial dari sebuah nama bagi orang Maronggela?
20. Bagaimana
tantangan dan harapan dari praktek Pi’i
Pato’.
LAMPIRAN
GAMBAR
1. Bayi/
Anak Wara yang akan diberi nama atau Pi’i
Pato’.
Foto:
Upacara Pi’i Pato’ anak Manang.
Maronggela 04 – 09 - 2018
2. Orang
Tua Bayi/ Nde Ma
Foto:
Bapak Laus dan Ibu Tini Orang Tua Kandung dari anak Manang
3. Kakek
dari bayi/ ayah dari Ibu sang bayi.
Foto: Bapak Damianus Abel ayah kandung dari Ibu Tini (Ibu kandung anak Manang)
4. Ata Gae te nampo’ ngalit.
Foto: Bapak David No’ sebagai ata ga’e yang melakuakan nampo’ ngalit, sedangkan Mama Lina yang
menggendong bayi Manang, beliaulah yang menerima di dalam rumah ketika bayi
Manang dipapah dari luar oleh Bapak Markus Maku yang di tengah mengenakan
jaket.
CURRICULUM VITAE
NAMA DAN TTL
Nama :
Krisantus Yustus
T T L :
Maronggela, 15 Juli 1994
RIWAYAT PENDIDIKAN
SD :
SD Katolik Warukia, Ngada (2000-2006)
SMP : SMP
Swasta Fatima Warukia, Ngada (2006-2009)
SMA : SMA
Negri 1 Riung Barat, Ngada (2009-2012)
PT :
Universitas Katolik Widya Mandira Kupang (2015-2019)
RIWAYAT PENDIDIKAN
CALON IMAM
Aspiran : Biara Karmel St. Edith Stein
Maronggela, Riung Barat, Ngada-NTT (2012-2013)
Postulan :
Biara Karmel St. Yosep, Bogenga, Bajawa, Ngada-NTT (2013-2014)
Novis :
Biara Karmel St. Yosep, Bogenga, Bajawa, Ngada-NTT (2014-2015)
Studi Filsafat : Biara
Karmel St. Juan Penfui, Kupang-NTT (2015-2019)
[1] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta:
Gramedia, 1996), hlm. 183. Eksistensi
(Inggris: Existence) yang berasal dari bahasa Latin “existere” artinya muncul,
timbul, memiliki keberadaan aktual yang terbentuk dari dua kata “ex” (keluar) dan “sistere” (tampil, muncul). Secara harafiah eksistensi adalah
segala sesuatu yang dialami.Eksistensi menekankan bahwa sesuatu itu ada.
[2] A. Mangunhardjana, Isme-Isme
Dalam Etika Dari A Sampai Z, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm.
107-109. Individualisme berasal dari
kata Latin individuus berarti
‘perorangan’, pribadi, dan bersifat perorang atau pribadi. Individualisme adalah ajaran dan doktrin yang menekankan perorangan
atau pribadi. Perorangan memiliki kedudukan utama dan kepentingannya merupakan
urusan yang tertinggi.
[3] Drs Sujarwa, M. Hum, Ilmu
Sosial dan Budaya Dasar, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) hlm.
288-290
[4] Anton Bakker, Antropologi Metafisik, (Yogyakarta:
Kanisisus, 2000), hlm. 38-39
[5] Kasdin Sihotang,
Filsafat Manusia, Upaya Membangkitkan Humansme, (Yogyakarta: Kanisius,
cet-8, 2017), hlm. 45
[6] Drs. Sujarwa, Op. Cit., hlm.71-74
[7] Hendro Setiawan, Manusia
Utuh, Sebuah Kajian Atas Pemikiran Abraham Maslow, (Yogyakarta:
Kanisius, 2014), hlm. 34
[9]Cindy
Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Terj. Syamsu
Hudi, (Jakarta: Yayasan Bung Karno, 2014 edisi revisi), hlm.21
[10]Ibid.
[11] A. Mangunhardjana, Op.
Cit., hlm. 5
[12] Benny H. Hoed, Semiotik
Dan Dinamka Sosial Budaya, (Depok: Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Indonesia, 2008), hlm. 101
[14] Noberus Jegalus, Filsafat
Nusantara (Bahan Ajar), (Kupang: Fakultas Filsafat Unwira), hlm. 24-27
Primordialisme
berasal dari bahasa Latin; primus yang
artinya pertama dan ordiri yang
artinya tenunan atau ikatan.Primordialisme adalah suatu paham atau pandagan
yang memegang teguh hal-hal yang dibawah sejak kecil, baik mengenai
adat-istiadat, kepeercayaan maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan
pertamanya.Secara negatif diartikan sebagai perasaan kesukuan yang berlebihan.
[15] Ibid.
[16] John M. Koller, Filsafat
Asia, Terj. Donatus Sermada Kelen, (Maumere: Ledalero, 2010), hlm.
548-549
[17] Bertolomeus Bolong, OCD dan Drs
Cyrilus Sungga S., Tuhan Dalam Pintu Pazir, Tinjauan Filosofis Tentang Tuhan Dalam
Kepercayaan Asli Orang Riung, Flores), (Ende: Nusa Indah, 1999), hlm.
62
[18] Kasdin Sihotang, Op.
Cit., hlm. 45
[19] J.W. M Bakker, SJ, Filsafat
Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1984), hlm. 57-58
[20]Bapak Viktus Ganu, Wawancara,
25 April, 2019 pukul 10.00-11.30, tersimpan di file pribadi Krisantus
Yustus.
[21]Bpk. Pertus Lengu, Wawancara
30 Januari, 2019 oleh Tim KKN
dari Universitas Sebelas Maret Solo (UNS) Periode Januari-Februari 2018, Desa
Wolomeze, Kecamatan Riung Barat, Kabupaten Ngada, NTT. Data tertulis dalam buku kenangan yang berjudul Maronggela
Miniatur Surga Di Timur Indonesia.
[22] Stephanus Ozias Fernandez, SVD, Kebijaksanaan
Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu dan Kini, (SekolahTinggi Filsafat
Katolik (STFK) Ledalero,
1990), hlm.16
[23] Bertolomeus Bolong, Op.
Cit., hlm. 20
[24] Wolomeze adalah nama suatu kampung
yang berada di Kec. Riung Barat, Kab. Ngada. Kampung ini sudah ditinggalkan
semenjak perpindahan penduduk tahun1980-an. Nama wolomeze sekarang menjadi nama sebuah Desa
di Kec. Riung Barat dan nama sebuah Kecamatan di Kab. Ngada.
[25]
P.
Bertolomeus Bolong OCD, Wawancara
Senin 21-Maret-2019, pukul 10.00-12.00 pagi, tersimpan dalam jurnal
harian Krisantus Yustus.
[27] Bertolomeus Bolong, OCD, Op.Cit.,
hlm.19
[29] Data diperoleh dari Pak. Feliks
Regang, Sekretaris Desa Wolomeze, melalui kiriman pesan Whatss Upp, pada 20 Januari 2019, jam 10.00 pagi. Data tersimpat di
jurnal pribadi Krisantus Yustus.
[30] Prof. Dr. Kondrad Kebung, Ph. D., Filsafat
Berpikir Orang Timur (Indonesia, Cina Dan India), (Jakarta:Prestasi
Pustaka, 2011), hlm.
243-245
[32] Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Kedua, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1996), hlm. 77-78
[33] Bertolomeus Bolong OCD, Op.Cit.,
hlm. 22
[35] Ibid.
[36] Prof. Dr. Kondrad Kebung, Op.Cit.,
hlm. 247-248
[37] J.W. M. Bakker, Op.Cit.,
hlm. 48
[38] Bpk. Siprianus Mulu,
Wawancara 19 Februari 2019, tersimpan di alat rekam Krisantus Yustus.
[39] Prof. Dr. Kondrad Kebung, Op.Cit.,
hlm. 248
[40] J.W.M. Bakker, Op.Cit.,
hlm. 42-43
[41] Prof. Dr. Kondrad Kebung, Op.Cit.,
hlm. 248
[43]Ghan Weton adalah salah satu upacara di
Maronggela yaitu
upacara syukur panen. Weton adalah
nama salah satu tumbuhan padi-padian yang menjadi bahan makanan sebelum Orang
Maronggela mengenal tanaman padi. Ghan
weton berarti makan weton diadakan sebelum panen raya padi.
[44] Bertolomeus Bolong dan Frederick
Y. A. Deoka (eds), Demokrasi Pribumi, (Kupang: Bonet Pinggupir, 2014), hlm. 13-22
[45] Ibid.
[46] Bertolomeus Bolong, Demokrasi
Pribumi, Op.Cit., hlm. 35
[49] Pola dadang adalah belis berupa hewan yang harus dibawah oleh pihak
laki-laki kepada keluarga perempuan.
[50] Bertolomeus Bolong OCD, Op.Cit.,
hlm. 62
[52]Bpk. Yakobus Kuu, Wawancara
11 Maret 2019, tersimpan dalam alat rekam.
[53] B.A Simandjuntak, Upacara
Kelahiran Pada Orang Batak Toba, 49-70, dalam Koentjaraningrat editor, Ritus
Peralihan Di Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1985), hlm. 63-64
[54]Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta:
Gramedia, 1996), hlm. 183
[55]Om adalah sapaan pengganti kata
Paman (saudara dari ibu).
[56] Bpk. Videlis Balkom, Wawancara
3 Maret 2019, tersimpan dalam alat rekam.
[57]Pinang adalah sejenis
palma yang tumbuh di daerah Pasifik, Asia dan Afrika bagian timur. Pinang
juga merupakan nama buahnya yang diperdagangkan orang.
[58]Sirih merupakan
salah satu tanaman yang tumbuh merambat
atau bersandar pada batang pohon lain. Sebagai budaya daun dan buahnya biasa
dikunyah bersamapinang, tembakau dan kapur. Namun mengunyah sirih telah
dikaitkan dengan penyakit kanker mulut dan pembentukan
squamous cell carcinoma yang bersifat malignam. Juga kapurnya membuat pengerutan gusi yang dapat membuat
gigi tanggal, walaupun daun sirihnya yang mengandung antiseptik pencegah gigi
berlubang.Sirih digunakan sebagai tatanan obat (fitofarmaka);
sangat berperan dalam kehidupan dan berbagai upacara adat rumpun
Melayu.Walaupun demikian tanaman sirih banyak dijumpai di seluruh Indonesia,
dimanfaatkan atau hanya sebagai tanaman hias.
[59] Bpk. Videlis Balkom, Wawancara
3 Maret 2019, tersimpan di alat rekam.
[60] Bpk. Petrus Lengu, Wawancara
4 Maret 2019, tersimpan di alat rekam.
[62] Diskusi dengan teman penelitian
Fransiskus Tara, Mahasiswa Filsafat Unwira,
Semester IV berasal dari Maronggela.
[63]Mawa
adalah hak budaya,
lima artinya lima. Mawa lima berarti terjadinya ritual
pemberian nama itu pada hai kelima, seba hari kelima adalah hak warga suku
Maronggela.
[66] Bertomeus Bolong, OCD, Tuhan
Dalam Pintu Pazir, Op.Cit., hlm. 62-64
[68] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta:
Gramedia, 2000), hlm. 242-243
[69]Ibid.
[70] Prof. Dr. Kondrad Kebung, Ph.D., Filsafat
Berpikir Orang Timur (Indonesia, Cina Dan India), (Jakarta: Prestasi
Pustaka, 2011), hlm. 14
[71]Robert C. Solomon dan Kathleen M.
Higgins, Sejarah Filsafat, Terj. Saut Pasaribu, (Yogyakarta:Yayasan
Bentang Budaya, 2000), hlm. 87-92
[72] Lorens Bagus, Op. Cit., hlm. 421
[73]Ibid.
[74] Drs. K. Prent CM, dkk., Kamus Latin-Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 1969), hlm.
569
[75] Lorens Bagus, Op.Cit., hlm. 686
[76] Tim Revisis Kamus Umum Bahasa
Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pelajar), hlm. 793
[77] Herman P. Panda, Pr, Sakramen
dan Sakramentali dalam Gereja, (Yogyakarta: Amara Books, 2012), hlm.
29-33
[79]John M. Koller, Loc.Cit.
[80]Bertolomeus Bolong, OCD dan Drs.
Cyrilus Sungga S., Tuhan Dalam Pintu Pazir; Tinjaun Filosofis Tentang Tuhan Dalam
Kepercayaan Asli Orang Riung, Flores, (Ende: Nusa Indah, 1999), hlm.
91-92
[81]Paul Arndt, SVD, Agama
Orang Ngadha; Dewa, Roh-roh, Manusia dan Dunia (vol. 1), Terj. Paulus
Sabon Nama, (Maumere: Candraditya, 2005), hlm. 80-81
[82]Bpk. Stanislaus Nuwa, Wawancara
23 Februari 2019, tersimpan
di jurnal harian.
[83]Bpk. Viktus Ganu, Wawancara 25 April 2019, tersimpan di file
pribadi Krisantus Yustus.
[84]Bpk. Andreas Tende, Wawancara
23 Februari 2019, tersimpan
di jurnal harian.
[85]Diskusi bersama Eus Tara, Mahasiswa
Filsafat Unwira semester IV.
[86] Frans Magnis Suseno, 13
Model Pendekatan Etika; Bunga Rampai Teks-Teks Etika Dari Plato Sampai Dengan
Nietzsche, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 55-62
[88] Anton Bakker, Op.Cit., hlm. 72
[89] Drs, Sujarwa, M.Hum., Op.Cit., hlm.167-169
[90]
Lanny Koroh, Proposal Penelitian,
https://ojs.unud.ac.id/index.php/linguistika/article/view/.../7211
[92]Bpk. Ferdinandus Lawa, Wawancara
24 Februari 2019, tersimpan di catatan harian.
[93] Kata-kata ini diambil dari syair Pintu Pazir Pi’i Pato’ dengan susunan yang
lain. Pintu Pazir Pi’i Pato’ bukanlah suatu susunan doa yang baku, dia
dapat berubah sesuai dengan kondisi dan situasi, siapa yang mendoakan, kepada
siapa didoakan. Maka kata-kata ini diambil dari Pintu Pazir versi yang berbeda.
hukum adat dalam bahsa maronggela?🙏
BalasHapushehehe,,, hukum adat itu menyangkut norma tingkah laku atau tata aturan etis dalam hidup berbudaya di suatu komunitas adat tertentu. di kebudayaan maronggelapun terdapat hukum adatnya, kita orang Maronggela bisa menyebutnya petu' nenang ta ga'e... bisa dikonvirmasi lagi ke orang yag lebih berhak menjelaskan
Hapus