PRILLY
PRILLY
Kata-kata ini yang
memotivasiku tatkala aku dan teman-teman berangkat menuju Sulawesi Utara untuk
melanjutkan tahap pembinaan kami. Ketika kapal Tilong Kabila bersandar di
pelabuhan Labuan Bajo, di saat matahari memancarkan sinar yang masih perawan,
dan burung-burung camar bersiulkan parau, sedangkan masa memasang telinga untuk
mendengar arahan dari petugas, aku sibuk mempersiapkan barang-barangku untuk
diangkut.
Kapten mengumumkan bahwa kapal akan segera berlayar dan penumpang dipersilakan naik. Aku segera mengangkat
barang-barangku tanpa menghiraukan teman-teman. Tapi sayangnya gerakan terlalu cepat hingga aku dimarahi
oleh seorang gadis yang disenggoliku hingga barang-barang bawaanya jatuh.
Karena rasa takut disertai malu aku berusaha mengangkat barang-barang
bawaannya. Di saat itulah keberuntungan berpihak padaku. Saat bersamaan tangan
pemilik barang juga meraih barang yang aku senggoli, sehingga tak sengaja aku
menyentuh bahkan menggenggam tangannya. Tangannya selembut kain sutra dan
nampak urat-urat tangannya seperti benang wol, kemolekan wajahnya, warna kulitnya bak salju membuat aku hanya
diam membisu dan menatap dirinya. Ia seperti dewi yang turun dari kayangan dan
dipertemukan denganku dan mungkin untukku, kataku dalam hati. Tapi adegan itu
tidak berlangsung lama karena banyaknya penumpang yang berkerumun. Kami menepi.
“Maaf, aku tak bermaksud menjatuhkan bawaanmu” Kataku coba
membius dan menghipnotis dirinya atas kesalahannku.
“ tidak Apa-apa kak . Ini semua kesalahanku yang terlalu
memaksa diri untuk membawa barang-barang dengan begitu banyak. Ngomong-ngomong
kakak hendak berangkat ke mana”
“Aku hendak….”. belum
sempat menjawab , teman-temanku segera mengajak ke dek yang akan kami tuju
padahal aku belum berkenalan dengannya. Tanpa pamit aku pun langsung
mengayunkan langkahku. Ia hanya memberi senyuman dengan lambaian tangan. Ahh,
senyuman yang menyejukan hatiku, mengisi ruang hatiku. Butiran senyuman di
bibir bak pelangi. Hal ini memberi sebutir harapanku untuk berjumpa lagi
dengannya. Aku berkeyakinan karena aku dikuatkan dengan kata-kata cinta “Bahwa
cinta itu bagaikan kupu-kupu semakin kau kejar, semakin dia menghindar darimu.
Namun bila kau biarkan dia terbang. Dia
akan datang kepadamu untuk selalu menjaga dan menemanimu.
Kapal
pun berangkat. Aku berjalan di sepanjang dek kapal sambil memandang indahnya
lautan. Burung camar melatih ketangkasaannya, dengan terbang kesana kemari,
sesekali Ia bergerak rata di atas permukaan laut untuk mencicipi air.
Menghilangkan dahaganya. Aku diam membisu
seorang diri. Tak terasa siang pun dijemput oleh senja. Menjadi milik sang
barat. Hingga lautan tak dapat kulihat namun aku masih diatas lautan. Aku
bergerak menuju Café kebetulan tidak jauh dari dariku. Suasana Café sangat
ramai. Kebetulan Café ini disertai dengan tempat untuk berkaroke.
Beberapa orang kulihat duduk sambil menikmati kopi. Kopi
hitam yang sangat pekat. Kopi pekat yang menghilangkan rasa penat. Mereka
sungguh menikmati itu. Mungkin saja mereka lagi merasakan pahit dan manisnya kehidupan ini. Kulihat juga
anak-anak muda duduk sambil menikmati rokok sempurna. Entah apa yang
menggerakan otak mereka, sehingga menghisapnya. Ataukah mereka telah tertipu
dengan merek rokok tersebut. SEMPURNA. Ataukah mereka enggan hidup lagi di
dunia. Mungkin ini semua adalah pelampiasan karena ulah pemerintah yang hanya
memproduksi kata-kata sempurna, namun tidak memproduksi lapangan
pekerjaan. Kata-kata sempurna yang membunuh masyarakat, menghipnotis
masyarakat. Layaknya rokok sempurna tersebut
yang hanya dapat diknikmati pada awal tarikan dan pada akhirnya asap yang
mengepul itu membakar tubuh mereka. Dan hembusan asap rokok tersebut secepat
saja hilang, seperti pejabat yang hilang dari tatapan rakyat terpelosok tatkala
sudah menempati sebuah kursi empuk. Ahh..aku terlalu banyak perpikir.
“Wah suara yang merdu.”
Kata seorang gadis yang kebetulan duduk disampingku. “Andaikan aku dapat menjadi
sepertinya, aku pasti akan sangat bahagia. Tapi aku tak punya sedikitpun
inspirasi yang tertanam dalam diriku. Dan mengejutkanku. Ia menyandarkan
kepalanya pada bahuku. Aku terpaku. Diam membisu. Ketegangan mengitari tubuhku
bak disterom oleh sengatan listrik.
Tindakan ini menghukumku. Ahh…, derita benar hidupku. Kejadiaan ini
mengingatkanku, akan hukum di negeri ini. Hukum yang fasisme ke bawah, No ke
atas. Hukum yang tumpul ke atas dan Tajam ke bawah. Namun diratakan karena
hadirnya sosok pemimpin “PEMBACA” yang melihat keburukan para pejabat. Membaca
segala ketidakadilan. Membaca kelemahan dan kekuatan negara. Membaca bab-bab
yang lalu, dengan menghapus segala keburukan pejabat yang tidak bekerja dengan
hati tapi nafsu. Nafsu yang menghancurkan negara. Bukan nafsu yang membangun
negara. Terima kasih Pak Jokowi. Karenamu Tikus-tikus kantor tak lagi
berkeliaran. Gumamku dalam hati. Aku pun
menanggapi kata- kata gadis itu.
“Ade, jadilah dirimu sendiri. Anda akan melakukan itu karena semuanya diawali oleh inspirasi. Inspirasilah yang memanggil kita untuk berkreasi. Sekali inspirasi diterima. Kita akan dapat membawanya ke dalam dunia nyanyiaan, lukisan, puisi. Atau bentuk-bentuk konkret lainnya.” Aku coba mengulang Douglas Bloch. Ia bergerak dari pundaku dan melihatku. Aku pun terpana memandangnya. Pandangan kami begitu dekat. Mungkin hanya berjarak dua centimeter. Aku tak percaya jika gadis yang sedari tadi duduk dekatku adalah gadis yang pernah aku senggoli.
“Ade, jadilah dirimu sendiri. Anda akan melakukan itu karena semuanya diawali oleh inspirasi. Inspirasilah yang memanggil kita untuk berkreasi. Sekali inspirasi diterima. Kita akan dapat membawanya ke dalam dunia nyanyiaan, lukisan, puisi. Atau bentuk-bentuk konkret lainnya.” Aku coba mengulang Douglas Bloch. Ia bergerak dari pundaku dan melihatku. Aku pun terpana memandangnya. Pandangan kami begitu dekat. Mungkin hanya berjarak dua centimeter. Aku tak percaya jika gadis yang sedari tadi duduk dekatku adalah gadis yang pernah aku senggoli.
“Ehh…kakak. Ketemu lagi”. Katanya
“Senang bisa berjumpa denganmu lagi”
“Ngomong-ngmong, kita kan belum kenalan.
Kenalin namaku Prilly. Sambil menyodorkan
tangannya.
“Eckos Ramba, namaku. Jawabku singkat. Aku pun bergumam dalam hatiku terima kasih Tuhan harapanku untuk bertemu dengannya terwujud. Impiaanku dikabulkan. Karena memang impiaan ini bukan hanya untuk para seniman tapi milik semua orang. Dan ini aku rasakan.
“Eckos Ramba, namaku. Jawabku singkat. Aku pun bergumam dalam hatiku terima kasih Tuhan harapanku untuk bertemu dengannya terwujud. Impiaanku dikabulkan. Karena memang impiaan ini bukan hanya untuk para seniman tapi milik semua orang. Dan ini aku rasakan.
“Kak kenapa diam?
“Aku cuman lagi
memikirkan sesuatu, mengenai kehidupan
cinta di zaman ini. Yang begitu kacau dan berujung pada perpisahan.”
“Kakak, seperti pakar
cinta saja.” Katanya. Setelah ia berkata demikiaan, tampak butir-butir bening
mengalir disepanjang pipinya yang indah. Entahkah air mata keindahaan ataukah
kegembiraan? Aku pun tak tahu. “Apa yang membuat mu menangis Prilly? Ataukah
perkataanku terlalu menyakitkan.” “Tidak kakak aku cuman memikirkan masa laluku
dengan pacarku yang pergi meninggalkanku.” “Maafkanku Prilly, aku tidak
bermaksud membuat dirimu mengingaat masa lalumu, dan menarik kembali
garis-garis goresan luka dalam kehidupanmu”. Aku mengutarakan hal ini dan
membuat air matanya semakin deras membasahi pipinya. Ahh.. Prilly andaikan
engkau tahu bahwa aku memendam perasaanku. “
“Prilly harus kuat.
Kehilangan dia tidak menjadi kerugiaan. Ketika Tuhan memisahkan cintamu dengan
kekasihmu jangan berfikir Ia menghukummu, ia hanya mengosongkan hatimu supaya
kamu menerima yang lebih baik dan membuatmu bahagia. Dan jangan pernah
kehilangan cinta. Sama halnya kehilangan harta tidak berarti apa-apa itu cuman
kehilangan sedikit, asalkan jangan kehilangan cinta. Karena cinta mengalahkan
segalanya.” Kataku coba menenangkannya.
“Kakak, andaikan engkau
tahu bahwa aku sekarang sangat membutuhkan seseorang untuk menemaniku. Aku
membutuhkan cinta.” Aku pun hanya diam
tatkala Ia berkat demikiaan. Hidupnya hancur kareana kata-kata manis. Sedih,
sungguh sedih. Ia mengingatkanku pada masyarakat yang cepat mempercayai
janji-janji para polotikus. Prilly andaikan kamu tahu bahwa kepercayaan sangat
sulit ditumbuhkan hanya sebatas bibir saja. Cinta dan kepercayaan membutuhkan
tindakan nyata. Tanpa adanya ini merupakan suatu kebohongan besar. Suatu
bujukan dan rayuaan gombal. Atau janji-janji belaka. Ketika cinta hilang. Dan
krisis ini hilang, implikasi yang ditimbulkan sangat besar. Kita menjadi resah
takut dan gelisah. Dan aku pun menjawabnya dan mengutarakan perasaanku:
“Prilly,
jujur, sejak awal aku melihatmu, aku tak bisa membohongi perasaanku. Meskipun
aku belum mengenalmu lebih dalam. Tapi perasaan ini tak bisa aku pungkiri.
Perasaanku semakin besar ketika berada di sampingmu. Dan mungkin saat ini aku
sampaikan kepadamu, meskipun aku tahu bahwa kau tak mungkin menerimanya. Tapi
ijinkan aku tuk dapat mencintaimu. Maukah Prilly menjadi pacarku.” Kataku. Aku
menatapnya. Aku terkejut, ketika ia
melingkarkan lengannya sekeliling tubuhku. Dan ia berbisik “Terima kasih kakak.
aku bahagia bila bersamamu. Aku mencintaimu juga. Dan sejak awal aku melihat
kakak, aku merasa bahagia.” Dan ia mendaratkat sebuah kecupan cinta yang tulus
kepipiku.”
Hari-berganti hari dalam perjalanan ke Sulawesi Utara, kami
selalu bersama. Menguatkan hati. Karena kami harus berpisah demi sebuah
cita-cita. Hingga akhirnya kami tiba di pelabuhan Bitung. Aku memeluknya ketika aku hendak berpisah
dengannya. Air matanya mengalir membasahi pipinya.ia pun memelukku. Pelukannya
begitu kuat. Seakan tak mau melepaskanku. Aku pun berkata “Prilly, cinta bukan
seperti sumber air yang bisa kering, melainkan leih seperti mata air alami.
Semakin panjang dan jauh alirannya, semakin kuat, dalam dan jernih
kwalitasnya. Ingat perpisahan ini akan
menguatkan cinta kita. Aku mengulang kata-kata Eddie Cantor. Tampak
burung-burung camr terbang kesana kemari menyaksikan kemesraan terakhir kami. Aku
pun mengecupnya dan kami pun berpisah.
Asis Wudi adalah seorang Novis OCD.
Kisah ini terjadi ketika beliau sedang
melakukan perjalanan menuju Manado.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar