Sabtu, 24 Agustus 2019

Musafir Cinta : Gadis Bernama Prilly

PRILLY

          
       Kata-kata ini yang memotivasiku tatkala aku dan teman-teman berangkat menuju Sulawesi Utara untuk melanjutkan tahap pembinaan kami. Ketika kapal Tilong Kabila bersandar di pelabuhan Labuan Bajo, di saat matahari memancarkan sinar yang masih perawan, dan burung-burung camar bersiulkan parau, sedangkan masa memasang telinga untuk mendengar arahan dari petugas, aku sibuk mempersiapkan barang-barangku untuk diangkut.  
     Kapten mengumumkan bahwa kapal akan segera berlayar  dan penumpang dipersilakan naik. Aku segera mengangkat barang-barangku tanpa menghiraukan teman-teman. Tapi sayangnya  gerakan terlalu cepat hingga aku dimarahi oleh seorang gadis yang disenggoliku hingga barang-barang bawaanya jatuh. Karena rasa takut disertai malu aku berusaha mengangkat barang-barang bawaannya. Di saat itulah keberuntungan berpihak padaku. Saat bersamaan tangan pemilik barang juga meraih barang yang aku senggoli, sehingga tak sengaja aku menyentuh bahkan menggenggam tangannya. Tangannya selembut kain sutra dan nampak urat-urat tangannya seperti benang wol, kemolekan wajahnya,  warna kulitnya bak salju membuat aku hanya diam membisu dan menatap dirinya. Ia seperti dewi yang turun dari kayangan dan dipertemukan denganku dan mungkin untukku, kataku dalam hati. Tapi adegan itu tidak berlangsung lama karena banyaknya penumpang yang berkerumun. Kami menepi.
          “Maaf, aku tak bermaksud menjatuhkan bawaanmu” Kataku coba membius dan menghipnotis dirinya atas kesalahannku.  
          “ tidak Apa-apa kak . Ini semua kesalahanku yang terlalu memaksa diri untuk membawa barang-barang dengan begitu banyak. Ngomong-ngomong kakak hendak berangkat ke mana”
“Aku hendak….”. belum sempat menjawab , teman-temanku segera mengajak ke dek yang akan kami tuju padahal aku belum berkenalan dengannya. Tanpa pamit aku pun langsung mengayunkan langkahku. Ia hanya memberi senyuman dengan lambaian tangan. Ahh, senyuman yang menyejukan hatiku, mengisi ruang hatiku. Butiran senyuman di bibir bak pelangi. Hal ini memberi sebutir harapanku untuk berjumpa lagi dengannya. Aku berkeyakinan karena aku dikuatkan dengan kata-kata cinta “Bahwa cinta itu bagaikan kupu-kupu semakin kau kejar, semakin dia menghindar darimu. Namun bila kau  biarkan dia terbang. Dia akan datang kepadamu untuk selalu menjaga dan menemanimu.

Kapal pun berangkat. Aku berjalan di sepanjang dek kapal sambil memandang indahnya lautan. Burung camar melatih ketangkasaannya, dengan terbang kesana kemari, sesekali Ia bergerak rata di atas permukaan laut untuk mencicipi air. Menghilangkan dahaganya.  Aku diam membisu seorang diri. Tak terasa siang pun dijemput oleh senja. Menjadi milik sang barat. Hingga lautan tak dapat kulihat namun aku masih diatas lautan. Aku bergerak menuju Café kebetulan tidak jauh dari dariku. Suasana Café sangat ramai. Kebetulan Café ini disertai dengan tempat untuk berkaroke.
          Beberapa orang kulihat duduk sambil menikmati kopi. Kopi hitam yang sangat pekat. Kopi pekat yang menghilangkan rasa penat. Mereka sungguh menikmati itu. Mungkin saja mereka lagi merasakan  pahit dan manisnya kehidupan ini. Kulihat juga anak-anak muda duduk sambil menikmati rokok sempurna. Entah apa yang menggerakan otak mereka, sehingga menghisapnya. Ataukah mereka telah tertipu dengan merek rokok tersebut. SEMPURNA. Ataukah mereka enggan hidup lagi di dunia. Mungkin ini semua adalah pelampiasan karena ulah pemerintah yang hanya memproduksi kata-kata sempurna, namun tidak memproduksi lapangan pekerjaan.  Kata-kata sempurna  yang membunuh masyarakat, menghipnotis masyarakat. Layaknya rokok sempurna tersebut  yang hanya dapat diknikmati pada awal tarikan dan pada akhirnya asap yang mengepul itu membakar tubuh mereka. Dan hembusan asap rokok tersebut secepat saja hilang, seperti pejabat yang hilang dari tatapan rakyat terpelosok tatkala sudah menempati sebuah kursi empuk. Ahh..aku terlalu banyak perpikir.
        “Wah suara yang merdu.” Kata seorang gadis yang kebetulan duduk disampingku. “Andaikan aku dapat menjadi sepertinya, aku pasti akan sangat bahagia. Tapi aku tak punya sedikitpun inspirasi yang tertanam dalam diriku. Dan mengejutkanku. Ia menyandarkan kepalanya pada bahuku. Aku terpaku. Diam membisu. Ketegangan mengitari tubuhku bak disterom oleh sengatan listrik.  Tindakan ini menghukumku. Ahh…, derita benar hidupku. Kejadiaan ini mengingatkanku, akan hukum di negeri ini. Hukum yang fasisme ke bawah, No ke atas. Hukum yang tumpul ke atas dan Tajam ke bawah. Namun diratakan karena hadirnya sosok pemimpin “PEMBACA” yang melihat keburukan para pejabat. Membaca segala ketidakadilan. Membaca kelemahan dan kekuatan negara. Membaca bab-bab yang lalu, dengan menghapus segala keburukan pejabat yang tidak bekerja dengan hati tapi nafsu. Nafsu yang menghancurkan negara. Bukan nafsu yang membangun negara. Terima kasih Pak Jokowi. Karenamu Tikus-tikus kantor tak lagi berkeliaran. Gumamku dalam hati.  Aku pun menanggapi kata- kata gadis itu.
    “Ade, jadilah dirimu sendiri. Anda akan melakukan itu karena semuanya diawali oleh inspirasi. Inspirasilah yang memanggil kita untuk berkreasi. Sekali inspirasi diterima. Kita akan dapat membawanya ke dalam dunia nyanyiaan, lukisan, puisi. Atau bentuk-bentuk konkret lainnya.” Aku coba mengulang Douglas Bloch. Ia bergerak dari pundaku dan melihatku. Aku pun terpana memandangnya. Pandangan kami begitu dekat. Mungkin hanya berjarak dua centimeter. Aku tak percaya  jika gadis yang sedari tadi duduk dekatku adalah gadis yang pernah aku senggoli.

    “Ehh…kakak. Ketemu lagi”. Katanya 
    “Senang bisa berjumpa denganmu lagi”
   “Ngomong-ngmong, kita kan belum kenalan. Kenalin namaku Prilly. Sambil menyodorkan     tangannya.
“Eckos Ramba, namaku. Jawabku singkat.  Aku pun bergumam dalam hatiku terima kasih Tuhan harapanku untuk bertemu dengannya terwujud. Impiaanku dikabulkan. Karena memang impiaan ini bukan hanya untuk para seniman tapi milik semua orang. Dan ini aku rasakan.
“Kak kenapa diam?
“Aku cuman lagi memikirkan sesuatu,  mengenai kehidupan cinta di zaman ini. Yang begitu kacau dan berujung pada perpisahan.”
“Kakak, seperti pakar cinta saja.” Katanya. Setelah ia berkata demikiaan, tampak butir-butir bening mengalir disepanjang pipinya yang indah. Entahkah air mata keindahaan ataukah kegembiraan? Aku pun tak tahu. “Apa yang membuat mu menangis Prilly? Ataukah perkataanku terlalu menyakitkan.” “Tidak kakak aku cuman memikirkan masa laluku dengan pacarku yang pergi meninggalkanku.” “Maafkanku Prilly, aku tidak bermaksud membuat dirimu mengingaat masa lalumu, dan menarik kembali garis-garis goresan luka dalam kehidupanmu”. Aku mengutarakan hal ini dan membuat air matanya semakin deras membasahi pipinya. Ahh.. Prilly andaikan engkau tahu bahwa aku memendam perasaanku. “
“Prilly harus kuat. Kehilangan dia tidak menjadi kerugiaan. Ketika Tuhan memisahkan cintamu dengan kekasihmu jangan berfikir Ia menghukummu, ia hanya mengosongkan hatimu supaya kamu menerima yang lebih baik dan membuatmu bahagia. Dan jangan pernah kehilangan cinta. Sama halnya kehilangan harta tidak berarti apa-apa itu cuman kehilangan sedikit, asalkan jangan kehilangan cinta. Karena cinta mengalahkan segalanya.” Kataku coba menenangkannya.
“Kakak, andaikan engkau tahu bahwa aku sekarang sangat membutuhkan seseorang untuk menemaniku. Aku membutuhkan cinta.”  Aku pun hanya diam tatkala Ia berkat demikiaan. Hidupnya hancur kareana kata-kata manis. Sedih, sungguh sedih. Ia mengingatkanku pada masyarakat yang cepat mempercayai janji-janji para polotikus. Prilly andaikan kamu tahu bahwa kepercayaan sangat sulit ditumbuhkan hanya sebatas bibir saja. Cinta dan kepercayaan membutuhkan tindakan nyata. Tanpa adanya ini merupakan suatu kebohongan besar. Suatu bujukan dan rayuaan gombal. Atau janji-janji belaka. Ketika cinta hilang. Dan krisis ini hilang, implikasi yang ditimbulkan sangat besar. Kita menjadi resah takut dan gelisah. Dan aku pun menjawabnya dan mengutarakan perasaanku:
“Prilly, jujur, sejak awal aku melihatmu, aku tak bisa membohongi perasaanku. Meskipun aku belum mengenalmu lebih dalam. Tapi perasaan ini tak bisa aku pungkiri. Perasaanku semakin besar ketika berada di sampingmu. Dan mungkin saat ini aku sampaikan kepadamu, meskipun aku tahu bahwa kau tak mungkin menerimanya. Tapi ijinkan aku tuk dapat mencintaimu. Maukah Prilly menjadi pacarku.” Kataku. Aku menatapnya.  Aku terkejut, ketika ia melingkarkan lengannya sekeliling tubuhku. Dan ia berbisik “Terima kasih kakak. aku bahagia bila bersamamu. Aku mencintaimu juga. Dan sejak awal aku melihat kakak, aku merasa bahagia.” Dan ia mendaratkat sebuah kecupan cinta yang tulus kepipiku.”
          Hari-berganti hari dalam perjalanan ke Sulawesi Utara, kami selalu bersama. Menguatkan hati. Karena kami harus berpisah demi sebuah cita-cita. Hingga akhirnya kami tiba di pelabuhan Bitung.   Aku memeluknya ketika aku hendak berpisah dengannya. Air matanya mengalir membasahi pipinya.ia pun memelukku. Pelukannya begitu kuat. Seakan tak mau melepaskanku. Aku pun berkata “Prilly, cinta bukan seperti sumber air yang bisa kering, melainkan leih seperti mata air alami. Semakin panjang dan jauh alirannya, semakin kuat, dalam dan jernih kwalitasnya.  Ingat perpisahan ini akan menguatkan cinta kita. Aku mengulang kata-kata Eddie Cantor. Tampak burung-burung camr terbang kesana kemari menyaksikan kemesraan terakhir kami. Aku pun mengecupnya dan kami pun berpisah.

Asis Wudi adalah seorang Novis OCD.
Kisah ini terjadi ketika beliau sedang
melakukan perjalanan menuju Manado.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Perihal Hidup: Sejak awal 2023, saya sudah disibukkan dengan satu pekerjaan baru yakni penyelenggara Pemilu persisnya panwaslu desa (PKD...