Jumat, 10 Maret 2023

Miniatur Surga Dari Ufuk Timur

 

“ M a r o n g g e l a ”

 Miniatur Surga Dari Ujung Timur Indonesia

Tentang Maronggela :   

Kampung Maronggela adalah dampak dari transmigrasi lokal atau translokasi  yang sebelumnya bertempat di kampung lama Warukia. Alasan utama terjadinya transmigrasi ini antara lain disebabkan oleh kesulitan air minum,  susahnya tumbuh bahan makanan, dan juga jauhnya jarak dari pemerintahan kabupaten. Tetapi dibalik itu semua lebih pada alasan politik. Warukia yang berada di dataran tinggi meski berpindah ke lembah Maronggela.

 Sejak pembentukan desa Warukia disaat zaman penjajahan Belanda, ada dua orang yang menduduki jabatan sebagai pemimpin adat. Salah satunya sebagai pemimpin dalam bidang pertanian (Dor Tanak) dan pemimpin dalam urusan berburu (Dor Zat). Selain pemimpin adat, Desa Warukia juga dipimpin oleh pemimpin Desa (Dalu) atau yang sekarang dikenal dengan sebutan Kepala Desa.

Perpindahan masyarakat beserta fasilitas desa dari kampung lama Warukia ke desa Maronggela/Wolomeze terjadi tiga gelombang. Gelombang pertama dilaksanakan pada tahun 1985, sebagian besar masyarakat dan SDK Warukia berpindah ke kampung Maronggela. Selanjutnya gelombang kedua pada tahun 1986 Sekolah Menengah Pertama Katolik (SMPK) Fatimah Warukia dipindahkan juga ke desa Maronggela/Wolomeze.  Dan terakhir pada gelombang ketiga Gereja Paroki dipindahkan pada tahun 1987 dan selesai pada tahun 1988 dengan ini menutup transmigrasi lokal yang dilakukan oleh masyarakat Warukia.

Sejak saat ini Maronggela sudah menjadi satu perkampungan legal dengan system pemerintahan yang baik namun tidak menghilangkan unsur budaya. Suku Warukia itu sendiri sebenarnya adalah komposisi/gabungan dari dua anak suku yakni Suku Retas dan Suku Poso’.  Terbentukknya Warukia dan Maronggela saat ini meleburkan masyarakatnya menjadi satu. Sekat antara suku Poso’ yang dilambangkan dengan “Lalung” (ayam jantan) dan suku Retas dengan lambing “Nepang” (Naga) hilang. Gotong royong menjadi semboyan yang merasuki setiap jiwa baik dalam pemahaman maupun pada karya nyata.

 

Miniatur Surga Dari Ujung Timur Indonesia

Selaian kaya akan cerita masa lalu, Maronggela juga dianugerahi berjuta pesona alam, sebagian adalah warisan kreasi budaya leluhur, selebihnya adalah ciptaan Tuhan.  Orang-orang  menjulukinya “hidden paradise”. Surga tersembunyi. Perpaduan antara masyarakat pedesaan yang masih memelihara budaya lokal serta ribuan bukit-bukit kecil menyejukkan mata, menjadikan Maronggela tak ada duanya.  Siapa saja yang sempat bersinggah ke Maronggela akan susah melupakan senyuman ramah warga setempat dan pesona indah “bukit teletubies”.

Keindahan ini butuh dilestarikan. Kesadaran warga meski tetap diasah sehingga “sense of belonging” atau rasa memiliki terhadap budaya dan pesona alam ini tidak pudar tergerus oleh kemajuan dunia. Lipa Tala’ (kain adat Maronggela), Sape (tas adat Maronggela), Selempang (syal adat) adalah busana khas yang tidak tergantikan. Busana tersebut memmperkenalkan siapa itu orang Maronggela. Bukit teletubies kebanggaan warga mestinya juga menjadi kebanggan wisatawan.

Maronggela cocok sekali sebagai tujuan pelancong Mancanegara ataupun wisatawan lokal pencinta alam, pemburu senja, sebab dari Maronggela, dari kisah-kisah masa lalunya, dari bukit teletubiesnya orang akan belajar suatu filosfi kehidupan bahwasannya, walau kecil, terlupakan namun tetap melajit, menunjukan kebolehannya. Filosofi bulu ketek “tetap melejit walau terjepit.

 

Penulis           : Krisantus Yustus

Fotografer      : Ennong Gimbal

                                                                                                                                  

 

 

  Perihal Hidup: Sejak awal 2023, saya sudah disibukkan dengan satu pekerjaan baru yakni penyelenggara Pemilu persisnya panwaslu desa (PKD...