Senin, 26 Oktober 2020

Hukum Retribusi Orang Maronggela

 

HUKUK RETRIBUSI DALAM

PERIBAHASA ORANG MARONGGELA VS ORANG ISRAEL

Pengantar

            Peribahasa adalah saah satu jenis puisi yang mengandung arti dan nilai tertentu bagi sang penutur dan juga bagi yang mendengarkannya. Peribahasa lahir dari kehidupan masyarakat dan berkembang pada masyarakat itu juga. Adapun sifat dasar peribahasa adalah sebagai filosofi hidup masyarakat yang diverbalkan atau juga sebagai nasehat, pujian dan kritikan.

Pada tulisan singkat ini, saya akan memaparkan dari hasil pencarian saya tentang peribahasa Orang Maronggela dan peribahasa yang terdapat dari Kitab Sastra Kebijaksanaan Israel. Titik berat pencarian saya difokuskan pada penemuan hukum retribusi dalam peribahasa bersangkutan. Apakah terdapat penegasan atau pengingkaran terhadap hukum retribusi. Tulisan ini diawali dengan pengantar singkat, kemudia isi. Dalam bagian isi ini akan dipaparkan secara singkat siapa itu orang Riung, bagaimana bunyi peribahasa mereka, perbandingannya dengan peribahasa dalam kitab Keijaksanaan Israle dan tentu diakhiri dengan refleksi dari penulis. Maka judul tulisan ini adalah refleksi tentang peribahasa Orang Riung dan Orang Israel.

Orang Riung

Berbicara tentang orang berarti yang kita pahami adalah sekelompok individu. Orang Riung merujuk pada sekelompok individu atau masyarakat yang berasal dan atau tinggal di Riung, sedangkan Riung adalah nama suatu etnis yang ada di kabupaten Ngada, NTT. Secara geopolitik  Riung terintegrasi ke dalam kabupaten Ngada, namun secara etnis Ia lebih mirip ke kebudayaan Manggarai.

Dalam filsafat budaya dikatakan bahwa di mana ada manusia pasti akan muncul kebudayaan, sebab kebudayaan itu hasil dari olah pikir, yang sebagian diwujudkan dalam bentuk verbal literer maupun artefak serta gaya hidup tertentu. Peribahasa tentu adalah bagian dari budaya yang mewujud dalam kata. Kebudayaan orang Riung telah menetaskan banyak kebijaksanaan dalam bentuk peribahasa. Berikut saya akan memaparkan salah satu peribahasa Orang Riung.

Peribahasa Riung ;

contoh peribahasa

Ata kolo olo kolo muzi,

Alak le Mori Keraeng,

Puak wuan sepuk sokon,

Maat da’i zera puan,

Taun taan.

Peribahasa jenis ini bisa disamakan dengan peribahasa dalam bentuk kalimat lain tapi mengungkapakan hal yang sama :

Aikle ata tuka zua kewong telu,

Koe pentang dean, taun taan.

Dalam bentuk yang lebih singkat terdiri dari dua kata saja, misalnya: “kolo olo kolo muzi” arti harafiahnya: ke depan, ke belakang. Suatu ungkapan yang menggambarkan orang yang tidak memilki pendirian, selalu berubah-ubah. “zua telu” (tiga empat), tidak fokus  “pusi kedu’ (menyerungkan dan mencabut kembali). Inilah hal-hal yang tidak disukai tentu akan mendatangkan bencana bagi si pelaku.

Makna peribahasa

            Pesan dari kalimat bijak di atas sederhana saja sebenarnya, bahwa manusia harus hidup jujur, tetap konsisten pada pendirian, tidak menyembuyikan kebenarana. Di hadapan Tuhan sebagai hakim yang adil, manusia dituntut untuk hidup jujur, baik terhadap Tuhan maupun sesama. Sikap mendua atau sikap ‘muka belakang’ tidak disenangi oleh sesama dan bahkan akan dihukum oleh Tuhan.  Hal ini dipralelkan dengan bunyi kata bijak dalam sastra Israel seperti yang terungkap

Peribahasa Dalam Kitab Kebijaksanaan Israel

Contoh Amsal 11:19

            Siapa berpegang pada kebenaran yang sejati akan hidup,

            Tetapi siapa mengejar kejahatan, menuju kematian.

Makna Amsal 11:19

            Bunyi kalimat ini adalah sebagai suatu hukum moral universal, bahwa hidup itu selalu ada alasan serta konsekwensinya. Yang berlaku baik atau benar pasti akan mendapat kebahagiaan, diberkti Tuhan, dicintai oleh sesama. Hal ini dikontraskan dengan orang yang berlaku jahat, pasti mendapatkan ganjaran buruk, berupa kebinasaan, dibenci oleh Tuhan dan sesama.

Hukum Retributuif

Jelas sekali dua peribahasa di atas menunjukan hukum retribusi, yang jahat mendapat kesusahan dan yang baik mendapat berkat. Konsep ini sebenarnya berlaku universal dan menjadi suatu kebenaran umum yang diterima. Pembalasan akan perbuatan seseorang terjadi selama dia masi hidup, maka ketika kita berjumpa dengan orang jahat pasti dia dikuculkan, dan orang baik dipuji (reward and punishment).

 Orang tidak sangat memfokuskan di kehidupan setalah saat ini sebab tidak ada konsep kehidupan setelah kehidupan sekarang, hanya ada kepercayaan akan eksistensi leluhur yang sudah meninggal dan jiwa mereka bersatu di suatu tempat yang namanya Lau Wura. Konsep Lau Wura ini sama dengan Hades dalam tradisi Yunani atau Sheol dalam konsep orang Yunani. Sejauh yang saya pahami kedua konsep ini mau menerangkan bahwa ada suatu tempat dimana semua jiwa orang yang telah meninggal akan ke sana, entah jiwa yang baik ataupun yang jahat. Menarik untuk direfleksikan bahwa pembalasan akan kebaikan dan kejahatan seseorang itu terjadi selama Ia masih hidup di dunia ini, bukan nanti ketika Ia mati.

Penutup

            Hukum retribusi itu beraku universal. Banyak orang membahasakan dalam bentuk kalimat bijak berupa pepatah dan peribahasa. Hal ini adalah hasih refleksi orang-orang setempat sebagai suatu keyakinan yang mana keyekinan ini harus diteruskan ke generasi berikutnya. Anak-anak seharusnya mengikuti nasehat orang tua yang di sana terimplisit banyak bentuk hukum retributif.

            Ulasan di atas telah memperlihatkan dua contoh peribahasa dari orang Riung dan orang Israel. Bahwa peribahasa yang berkembang di Timur Tengah saat itu juga terdapat di budaya-budaya lokal, maka adalah sangat baik jika para generasi saat ini mengindahkannya dan mengaplikasikan dalam tindakan mereka.

Buku bacaan: 

1. Alkitab, Weieden, Wim van der., Seni Hidup, Yogyakarta, 1995. 

2. Bertolomeus Bolong, OCD, Drs. Cyrilus Sungga S., Tuhan Dalam Pintu Pazir, Ende,1999.

Pastoral Kemurahan Rohani Keuskupan Agung Semarang

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pengantar

Manusia pada dasarnya tidak pernah luput dari perbuatan salah. Dalam segala bentuk kehidupannya selalu ada moment di mana manusia berbuat salah, termasuk dalam kehidupan beragama. Sebagai contoh, dalam aturan perkawinan Katolik prinsipnya yakni satu dan takterceraikan, tentu prinsip ini dilandasi alasan-alasan teologis, yuridis. Tetapi fakta menunujukkan bahwa ada pasangan yang meninggalkan perkawinan sahnya dengan bermacam alasan dan membangun hidup dengan perkawinan baru yang tidak sah. Inilah fakta yang tidak bisa dipungkiri.

Rm Kriswanta, Pr dalam perkuliahanya di Fakultas Theologi USD pada tanggal 23 September 2020 yang lalu mengungkapkan bahwa fakta penyimpangan kehidupan beragama itu juga ditemukan di Keuskupan Agung Semarang (selanjutnya disingkat KAS). Berangkat dari fakta ini, KAS mengadakan Pastoral Kemurahan Rohani, berupa metode atau bahkan saya bisa mengatakan itu sebagai kemudahan bagi mereka yang cacat secara hukum Gereja namun tetap memiliki niat iman dan moral yang baik untuk hidup sebagai seorang Katolik. Tentu disertai syarat-syarat yang memadahi. Pertanyaannya ialah dalam arti apa pastoral kemurahan rohani ini bisa dikatakan sebagai bentuk teologi yang melayani kehidupan? Berlandaskan pada tulisan Jonathan Y Tan yang berjudul “Theologizing at the Service of Life” (Teologi Yang Melayani Kehidupan), saya akan mempresentasikan jawaban sederhana hasil pencarian saya yang dirangkum dalam tulisan ini. Kerangka tulisan saya akan sesuai dengan rumusan masalah berikut.

1.2  Rumusan Masalah

1.2.1        Bagaimanakah Fakta Kehidupan Gereja Konteks Keuskupan Agung Semarang?

1.2.2        Apa Itu Pastoral Kemurahan Rohani?

1.2.3        Dalam Arti Apa Pastoral Kemurahan Rohani Keuskupan Agung Semarang Dapat Dilihat Sebagai Sebuah Bentuk Teologi Yang Melayani Kehidupan?

 

1.3  Tujuan Penulisan

1.3.1        Mengetahui Fakta Gereja, Konteks Keuskupan Agung Semarang.

1.3.2        Mengetahui Pastoral Kemurahan Rohani.

1.3.3        Menemukan Posisi Pastoral Kemurahan Rohani Kauskupan Agung Semarang Sebagai Bentuk Teologi Yang Melayani Kehidupann

BAB II

PASTORAL KEMURAHAN ROHANI KAUSKUPAN AGUNG SEMARANG SEBAGAI BENTUK TEOLOGI YANG MELAYANI KEHIDUPAN.

 

2.1  Fakta Gereja Keuskupan Agung Semarang

Fakta dan sejarah membuktikan bahwa kehidupan gereja tidak selalu sesuai ideal yang dicita-citakan. Tetap ada umat yang menyeleweng, tetap ada pelanggaran, tetap ada dosa dan tetap ada kebodohan di sana. Hal ini mengakibatkan masih terjadinya pelanggaran hukum, moral, dan iman. Banyak yang akan menyatakan bahwa pelanggaran terjadi tidak atas niat tetapi sebagai kesalahan berpikir, kekeliruan mengambil tindakan dan ketidaksengajaan lainnya. Inilah dosa dari kelalaian dan kebodohan.

Di KAS sendiri ditemukan banyak kasus pelanggaran. Contoh-contohnya; pertama, masalah perkawinan seperti pada pengantar di atas. Kedua, ada banyak mantan suster atau bruder yang berkaulkekal dan juga mantan Imam yang kasusnya atau permasalahan mereka tidak mungkin lagi diselesaikan secara hukum namun mereka memiliki niat dan tingkahlaku yang baik secara Katolik. Ketiga, kasus perkawinan beda agama yang kemudian memiliki permasalahan dengan pasangannya tetapi pasangan yang Katoik tersebut tetap menjalani aktivitas keagamaan yang baik.

 Orang-orang yang melakukan pelanggaran ini biasanya diberi sangsi oleh Gereja. Untuk kasus-kasus yang bisa diselesaikan seperti laisasi, anulasi bisa diusahakan jika yang bersangkutan (orang yang melakukan kasus) ingin mengurusnya. Tetapi kemurahan rohani ini hanya diperuntukan bagi mereka yang tidak bisa diurus lagi secara hukum. Sangsi sosial yang sering dilakukan seperti tidak menerima sakamen ekaristi dan sakramen pengakuan, sebab ia hidup dalam dosa. Sangsi ini terkadang membuat yang bersangkutan semakin mengalami tekanan, dipinggirkan, dikucilkan, tidak diberi peran baik dalam kehidupan keagamaan.

Gereja pelu mengambil satu langkah konkreat menanggapi orang-orang demikian. Bahwa mereka cacat hukum tapi mereka tetap ingin menjadi anggota Gereja maka hal itu mesti disambut baik dan diurus secara sangat bijak. Sebab jika Gereja sebagai mitra Allah maka misi Allah untuk menyelamaatkan yang lemah dan terpinggirkan ini mesti dijalankan. Pertanyaannya ialah Gereja bgaiamana KAS melakukannya, apa metode yang digunakan dalam berhadapan dengan orang yang cacat hukum dan moral yang tidak bisa diselesaikan lagi, bagaiman Gereja hadir sebagai representasi Allah yang Maha Rahim, bagaiman Gereja yang meneladani spirit Yesus Kristus, keberpihakan pada yang lemah dan terpinggirkan.  Ia buktikan melalui hidupnya kesaksia hidup dan jua melalui kesaksian iman yang sangat ia hayati. Pada orang-orang lingkunagan bisa mengenalnya sajauh mana ia aktif dalam kegiatan-kegiatan gereja, sejauh mana kehidupan sosialnya. Dari beberapa kategori ini menyetakan bahwa orang tersebut mesti diberi pelayanan khsusu, lal pertanyaanya bagaiana harus menanggapi orang-orang semacam ini?

2.2  Kemurahan Rohani

2.2.1        Mengenal Konsep Kemurahan Rohani

Kemurahan Rohani ialah kebijakan pastoral yang membolehkan seseorang yag cacat secara hukum gereja untuk bisa dilayani sakramen-sakramen gereja seperti ekaristi dan pengakuan dosa dengan catatan bawha orang ini telah menunjukan kualitas hidupnya dari umat. Pendasaran teologinya ialah pada Allah tidak menghendaki kehancuran manusia, melainkan keselamatannya. Setelah manusia pertama jatuh dalam dosa,  tetap direngkuh Allah meskipun mereka mengalami kesulitan  oleh karena ketidaksetiannya.

Landasan Yuridis diambil dari kanon 1752 bunyinya “keselamatan jiwa adalah hukum tertinggi dalam gereja Katolik. Berhadapan dengan kepentinga rohani dan keselamatan jiwa manusia, hukum sedikit dilonggar.”

2.2.2          Syarat-Syarat Orang Tersebut Layak Mendapat Kemurahan Rohani

Secara sederhana syarat-syaratnya meliputi, jaminan bahwa setelah menerima kemurahan rohani tentu tidak menjadi skandal bagi umat lainnya. Surat keterangan dari ketua lingkungan yang menjamin hal tersebut, kualitas iman yang baik dan aktiv secara Gerejawi.

2.3 Posisi Pastoral Kemurahan Rohani Kauskupan Agung Semarang Sebagai Bentuk Teologi Yang Melayani Kehidupan

2.3.1 Teologi Yang Melayani Kehidupan

Jonanthan Y Tan melalui artikelnya menulis bahwa Forum Pertemuan Para Uskup Asia (FABC) menghasilkan suatu bentuk atau system  berteologi yang Ia sebut teologi melayani umat. Hal ini tidak terlepas dari koneks gereja Asia yang sangat diwarnai dengan pluralitas dalam hampir seluruh aspek kehidupan umat. Dalam bidang agama, budaya, suku, ras, antargolongan itu sangat terasa. Jarak antara orang miskin dan orang kaya begitu kental. Tan mengungkapkan bahwa teolgi konteks Asia berangkat dari pengalaman umat yang konkreat, bukan spekulasi abstrak. Teologi tidak hanya sebagai pemikiran ideal atau pemberi makna hidup tetapi teologi melayani kehidupan itu sendiri.

Metodologi teoligi FABC bukan dari atas yakni merumuskan konsep-konsep lalu diterpakan dalam gereja, tetapi dicari akar permasalahnnya dalam Gereja lalu temukan jalan keluar dengan berlandaskan pada teologi yang valid. Fabc fleskibel dalam pengungkapannya tapi tetap setia dalam isinya, membangun dialog antara gereja, budaya dan kemiskinan itu sendiri. Pilihan untuk berpihak pada yagn miskin dan terpinggirkan.

2.3.2        Relevansi Dengan Pastoral Kemurahan Rohani

Pastoral kemurahan rohani menurut saya masuk dalam dan melengkapi posisi Gereja Asia yang mana tidak hanya fokus pada soal spekualis tetapi melayani umat yang terpinggirkan, umat yang miskin, umat yang diasingkan dari tengah sesamanya.

Orang-orang yang terpinggirkan konteks Gereja KAS ialah mereka yang gagal dalam perkawinan katolik, mereka yang gagal menjalani panggilan khususnya sebagai Imam atau biarawa biarawati. Singkatknya mereka yang tidak bisa lagi diurus secara hukum. Hal ini mejadi sutu momok atau pandangan yang tidak elok, mereka inilah yang terpinggirkan, disingkirkan, tidak dianggap. Banyak peran rohani memang nantinya tidak akan dipercayakan kepada orang-orang seprti ini. Di sisi  lain mereka memiliki kerinduan untuk ambil bagian seratus persen dalam haknya sebagai orang Katolik. Gereja melayani keinginan baik ini, dia diberi kemurahan rohani bahwa mereka boleh diterimakan sakramen pengakuan dan ekaristi dengen beberapa syarat diatas.

            Saya melihat inilah aktualisasi metodologi teologi yang berkembang di Asia, bukan memberi defenisi yang ketat tetang kehidupan iman dan moral tapi lebih pada memberi solusi bagi orang-orang yang terpinggirkan, mencari dan menemukan jalan keluar untuk yang mengalami melawania kesusahan. Pastoral kemurahan rohani KAS pasti tidak akan menyelesaikan secara tuntas kasus-kasus tersebut tetapi meringankan orang yang bermasalah.

 

2.4      Rangkuman

Tuhan selalu membuka jalan bagi mereka yang mencarinya, ingat bahwa Tuhan tidak pernah memperhitungkan dosa manusia tetapi ia melihat niat ke depannya. Bukankah orang kudus punya masa lalu dan orang berdosa punya masa depan? Walaupun kehidupan masa lalu seseorang suram tetapi jika ditemukan potensi masa depan yang baik maka Gereja harus hadir sebgai pendukung niat baik ini. Tawawran kemurahan rohani ini adalah salah satu jalan yang tepat KAS untuk orang-orang yang mengalami kasus tersebut. Pastoral kemurahan rohani mestinya dikembangkan juga pada keuskupan lain.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kritik

Pertama, konsep kemurahan rohani ini memang adalah sesuatu yang “post factum” yakni tawaran yang diberikan setelah ada masalah atau kasus. Hal ini bisa menimbulkan potensi umat menyalahgunakan dan menyelahpahami tindakan pastoral kemurahan rohani, memberi peluang untuk tidak takut berbuat dosa, toh ada kemurahan rohani. Kedua, banyak orang yang bisa memanfaatkan kelonggaran hukum gereja ini dengan justeru meragukan efisiensi hukum itu sendiri.

3.2 Saran

Pertama, perlu diberikan edukasi kepada para pastor dan pegiat kerohanian atau bahkan awam sendiri, agar tidak memahami secara salah tentang patoral kemurahan rohani ini. Kedua, syarat-syarat memang perlu diperkuat, bukan sebagai suatu hal yang justeru mempersulit tetapi seharusnya menjadi jalan yang mudah bagi mereka yang memiliki niat baik untuk bertobat.

KEPUSTAKAAN

1.      Kuliah oleh Rm Kriswanta, Pr mealu chanel https://youtu.be/fApcnqeN--U

2.      Tulisan Jonathan Y Tan "Theologizing at the Service of Life". (file pdf)

3.      Ensiklik familiaris concorcio (file pdf)

4.      Ensiklik Amoris Laeteta (file pdf)

Surat Paulus vs Kemegahan

 

 MENGGALI KONSEP KEMEGAHAN PADA SURAT-SURAT PAULUS DAN RELEVANSINYA DALAM BERHADAPAN DENGAN PANDEMI COVID 19 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pengantar

Kemegahan adalah suatu sikap atau gaya hidup yang sangat elegan. Seseorang memiliki segala sesuatu, dan ia menikmati itu. Ada beberapa kategori yang membuat orang bermegah yakni harta yang banyak, jabatan penting. Hingga ia mengabaikan orang lain. Jabatan yang penting bukan saja pada  urusan politik dan jabatan pubik lainnya tapi juga meliputi jabatan religious. Biasanya orang yang bermegah datang dari kalangan ini. Tapi tiak menutup kemungkinan bahwa sikap bermegah bisa datang dari kalangan bawah. Sederhananya bermegah itu adalah urusan penampilan lahiriah.

            Paulus seorang Murid kristus  sangat menentang sikap bermegah atas hal-hal lahiriah ini. Yang Paulus tawarkan adalah bermegah atas kelemahan dan bermegah atas salib Kristus. Ini  merupakan antithesis dari bermegah duniawi. Tulisan ini akan menampilkan sejauh mana Paulus berarumen dan mempertanggunjawankan konsep bermegah atas kelemahan dan salib Kristus ini.  Konsep ini tentu sangat relevan untuk konteks masyarakat saat ini di tengah pandemic covid 19.

1.2  Rumusan Masalah

Pertama, defenisi kata bermegah, kedua, konsep bermegah menurut Paulus, ketiga, Relevansi konsep bermegah pada konteks masyarakat di tengah pandemik covid 19.

1.3  Manfaat Penulisan

Pertama, memahami konsep bermegah secara lazim dan konsep bermegah menurut Paulus. Kedua, menemukan relevansi bermegah menurut Paulus dalam konteks masyarakat terkini.


BAB II

KONSEP KEMEGAHAN DALAM SURAT-SURAT PAULUS DAN RELEVANSINYA DENGAN PANDEMI COVID 19

2.1  Arti Kemegahan

Kemegahan berasal dari kata megah yang artinya tampak mengagumkan, gagah kuat, mulia masyur. Tapi juga bisa diartikan sebagai bangga. Bermegah berarti mempunyai sifat megah dan kemegahan adalah keadaan atau hal megah.  Dari defenisi singkat ini saya bisa menarik kesimpulan kecil bahwa berbicara tentang bermegah selalu berkaitan dengan hal-hal duniawi baik itu harta kekayaan, nama baik, jabatan dan lain-lain.

Paulus menentang kemegahan jenis ini, Ia menghindarkan diri dari kemegahan atas hal hal lahiriah. Dalam suratnya kepada orang Filipi ditemukan argumen antithesis Paulus. Ini bisa dilihat dalam Filipi 3:1b-4:9, Ia mengecam orang-orang yang hanya memperhatikan sunat padahal yang lebih penting adalah imanya, Ia juga menecam mereka yang hanya memperhatikan isi perutnya padahal yang terpenting adalah ikut menderita bersama Kistus sehingga kelak bisa dibangkitkan. Saya menilai bahwa Paulus menjadi berubah pikirannya, cara hidupnya itu, setelah berjumpa dengan Kristus dan mendalami ajaran-ajaran Kristus. Paulus yang dahulu adalah seorang yang sangat sempurna dalam praktek keagamaan Yahudi dan memilki jabatan penting justeru Ia lepaskan semuanya setelah mengenal Kristus. Di sini jelas bahwa ajaran Kristulah yang paling penting bukan masalah-masalah duniawi.

2.2  Kemegahan Dalam Konsep Paulus

Paulus mendefenisikan bermegah yang benar itu ialah bermegah atas kelemahan dan dalam salib Kristus yakni suatu situasi bangga dengan keadaan atau realitas dirinya yang miskin, lemah, tidak memiliki banyak harta, jabatan penting, maupun prestasi, tapi itu dipandang sebagai suatu bentuk ambil bagian dalam salib Kristus, dengan salib melambangkan sengsara dan penderitaan.

Pertama, kemegahan atas kelemahan, sangat spesifik dibicarakan pada 2Kor 12:1-21. Paulus menyatakan alasannya bermegah dalam kelemahan, sebab Tuhan memang menganugerahkan kasih karunia-Nya kepada orang yang lemah agar mereka bisa sempurna, dan kuasa Kristus menaungi mereka. Sebab menurut Paulus “jika aku lemah maka aku kuat”. Kita diajak untuk bermegah atas kelemahan kita, supaya kuasa Tuhan tidak dihambat oleh kesombongan dan pengandalan diri. Paulus tidak hanya menyadari bahwa kelemahannya merupakan kesempatan bagi Allah. Dia juga membangun kebiasaan bermegah atas kelemahan. Dalam budaya Yunani, bermegah atas kelebihan adalah hal yang penting dalam rangka diperhatikan dan diperhitungkan. Paulus bermegah atas kelemahan sebagai disiplin rohani yang mengingatkan dia bahwa Tuhanlah yang pokok, sehingga kuasa Tuhan dapat mengalir dengan lebih lancar dalam hidupnya dan pelayanannya. Bermegah atas kelemahan bukan cara untuk menyenangkan orang lain, melainkan cara untuk tetap berguna bagi Tuhan dalam berbagai macam kesulitan.

Kedua,  kemegahan dalam salib Kristus spesifiknya dibicarakan pada Galatia 6:14-16. Paulus mengungkapkan dua hal pokok yakni: Satu, dunia telah disalibkan bagi kita (Galatia 6: 14). Artinya dunia tidak lagi menjadi fokus utama dan tidak mendapatkan tempat yang pertama dalam prioritas hidup kita. Salib Yesus Kristus lah yang menjadi fokus utama dan menempati tempat pertama, serta menjadi segala-galanya dalam keseharian hidup kekristenan kita. Dua, kita telah disalibkan bagi dunia ini. Jadi kita bukan lagi menjadi milik dunia, kita bukan pula hidup untuk melayani dunia dengan segala keinginannya. Kita telah disalibkan buat keinginan daging dan kita telah disalibkan supaya tidak lagi bermegah terhadap keadaan kita yang lahiriah, tetapi bermegah dalam keadaan kita yang rohaniah. Tiga, hidup kita dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus adalah hidup menjadi ciptaan baru di dalam Yesus Kristus. Inilah inti hidup kekristenan yang sejati dan berarti (Galatia 6: 15). Empat, jika kita memberi hidup keseharian dipimpin oleh patokan ini sebagai standar petunjuk dan pelaksanaannya, maka kiranya turunlah damai sejahtera dan rahmat hidup kita sebagai umat  kesayangan-Nya di muka bumi (Galatia 6: 16).

 

2.3  Relevansi Kemegahan Menurut Paulus Dengan  Situasi Pandemi Covid 19

Situasi dunia saat ini sedang dilanda oleh pandemi covid 19 yakni suatu jenis virus yang mematikan. Hingga kini telah merenggut banyak korban jiwa, dan belom ditemukan suatu vaksin yang bisa secara cepat mengatasi hal ini. Ada beberapa metode pencegahannya seperti jaga kebersihan  dengan selalu mencuci tangan dan gunakan masker, jaga jarak, hindari kerumunan. Inilah protocol kesehaan yang jika diperhatikan secara baik akan membantu memperlambat penyebaran virus tersebut.

Berangkat dari situasi yang sangat buruk ini orang lalu bertaya tentang eksistensi Allah, dimanakah Allah dalam stuasi berat seperti ini. Ungkapan-ungkapan Blaise Pascal digunakan. Atau bahkan pandemic direfleksikan menurut kacamata Albert Camus.  Karl Jaspers mendefenisikkan situasi seperti ini adalah situasi batas. Para teolog mengatakan ini mungkin salah satu bentuk ujian yang Tuhan berikan, menguji sejauh mana iman umat terhadap-Nya, juga pengingat bahwa manusia sudah begitu serakah dan lupa bagaimana harus mengatur hidup salam hubungannya dengan sesama dan Tuhan.

Saya mengamati bahwa pada situasi yang sangat kelam ini banyak orang kehilangan pekerjaan, mengalami kelaparan, susah mendapakan akses kesehatan. Inilah penderitaan yang real, nyata dan dialami banyak orang. Inilah salib. Pada kodisi kelam ini tidak penting lagi apa jabatan, berapa harta, prestasi anda, yang tepenting adalah apakah anda selamat dari virus tersebut. gagasannya tentang bermegah atas kelemahan dan dalam salib Kristus.

Pertama, ini adalah salib, jika salib itu ialah penderitaan maka kita yang menderita dalam situasi ini sedang memikul salib bersama Kristus. Bermegah atas salib Kristus tidak mengindikasikan bahwa kita menyerah saja dengan keadaan tetapi sebaliknya, meski pada kondisi yang sangat menyedihkan kita tetap percaya akan Tuhan, penderitaan kita diintegrasikan ke dalam penderitaan Kristus. Kedua, bermegah dalam kelemahan. Saat ini terbukti bahwa manusia itu sebenarnya lemah, ia bahkan tidak mampu melawan virus yang menyerang dengan begitu halus. Lantas jika manusia lemah mengapa harus menyombongkan diri, yang perlu kita lakukan seharusnya penyadaran diri akan kelemahan kita dan menyandarkan diri seutuhnya dalam bimbingan Tuhan. Situasi pandemic covid 19 adalah kesempatan bagi manusia untuk merefleksikan diri dan menyadari bahwa Ia lemah, dan hanya kepada Tuhanlah manusia bisa kuat. 

BAB II

PENUTUP

            Masih banyak hal yang bisa kita reflesksikan dari tulisan-tulisan Santo Paulus dalam menilai situasi dunia saat ini. Banyak orang yang lupa menyadari dirinya tentang nasehat baik yang sebenarnya sudah diwartakan oleh orang-orang hebat terdahulu seperti Paulus. Pewartaan mereka adalah panutan dan etika tingkah laku untuk bertindak. Ajaran Paulus tentang bermegah justeru sangat relevan bagi manusia dalam situsi apa saja. Nasehat-nasehatnya bahwa kita mesti sadar diri kita tidak ada apa-apanya, dan hanya kepada Tuhan seharusnya kita berharap.

            Saya teringat akan ungkapan Platon seorang filosof Yunani klasik katakana bahwa “hidup  yang tidak direfleksikan adalah hidup yang tidak layak untuk dihidupi”. Refleksi mengandaikan kita mempertanyakan kembali siapa kita, sejauh mana kita bertindak, apa peran Allah dalam hidup kita. Mengapa kita kalah dlam menghadapi pandemic covid 19. Refleksi mesti sampai pada pengakuan bahwa Allahlah yang menyelenggarakan semuanya, kepada Allahlah tujuan kita seharusnya.

 

SUMBER BACAAN

1.      Alkitab, LAI

2.      St. Eko Riyadi, Pr., Surat-Surat Proto Paulino (bahan ajar), Yogyakarta: USD, Fakultas Teologi Wedabhakti, 2007

3.      https://tomentiruran.wordpress.com/2015/07/02/2-kor-121-10-bermegah-atas-kelemahan-5-jul-2015/

4.      https://kbbi.web.id/megah

5.      http://lontar.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-20159602.pdf

  Perihal Hidup: Sejak awal 2023, saya sudah disibukkan dengan satu pekerjaan baru yakni penyelenggara Pemilu persisnya panwaslu desa (PKD...