Rabu, 06 Maret 2019

Perjuangan Ayahku




"PERJUANGAN AYAHKU.."


(Oleh: sdra. Billy)

Semilir angin yang berhembus dari arah taman bunga, begitu terasa di tubuhku yang masih bertelanjang dada sehabis mandi. Suasana dalam biara begitu sepi, sunyi, sehingga kadang  membosankan. Hanya sesekali terdengar bunyi music dari balik tembok biara. Musik itu diputar oleh anak-anak kost yang tinggal di sekitar Biara. Mereka adalah para pelajar yang sedang belajar di beberapa Universitas yang ada di kota Kupang.
Bagi mereka, hidup ini terasa begitu kejam, bengis dan tak berperasaan. Membutuhkan perjuangan keras untuk mendapat sesuap nasi di siang dan malam. Sehari makan sekali, bagai hidup pada masa rodi dan romusa. Tetapi sebenarnya itulah hidup. Untuk mencapai kesuksesan di hari kelak, maka harus ada perjuangan. Tidak ada satu hal pun yang gratis di dunia ini.        Ya, semuanya butuh perjuangan. Setidaknya itulah seutas kalimat yang aku timba dari ayah, ketika ayah masih hidup, lima tahun yang tahun yang lalu.
Kala itu aku masih menjadi seorang bocah kecil. Berat badanku hanya berkisar antara 15 sampai 20 kilo gram. Bocah ingusan, kurus, kering, kotor, dan sering sakit-sakitan. Suka memanjat pohon, mencuri buah mangga, bermain gasing, kalereng, dan berbagai macam permainan konyol lainya sampai harus bertengkar dan berdarah-darah. Hanya karena suka bermain, aku sering lupa makan, lupa minum, bahkan lupa berdoa. Hal mana, sudah sering diajarkan oleh ayahku dalam rumah. Suatu hari, aku pergi kebun bersama ayah. Aku menunggangi kerbau kesayanganku, sedang ayahku berjalan kaki di depan, sambil menarik tali kerbau yang aku tumpangi. Di tengah jalan, kerbau melihat kubangan yang ada di tepi jalan. Maka dengan naluri kebinatangannya, kerbau langsung berlari menuju kubangan.Selanjutnya apa boleh buat, aku dan kerbau sama-sama tercebur ke dalam kubangan. Ketika keluar dari kubangan, aku melihat ayah tertawah terkekeh-kekeh menatapku yang berdiri kaku di samping kerbau. “Sekarang kamu dan kerbau tidak ada perbedaan. Kerbau induknya, dan kamu anaknya.’ Canda ayah sambil mengikat kembali sarung parang pada pinggangnya. Tubuhku penuh lumpur. Dari ujung rambut sampai ujung kaki. Yang terlihat hanya gigi dan biji mata saja. Sejak saat itulah, ayah mulai menyapaku dengan nama “Anak Kerbau”.  Itulah kenangan manisku bersama ayah.
Lamunanku buyar ketika mendengar lonceng biara sebagai tanda pergantian aktivitas. Aku bergegas mengenakan pakayan dan langsung menuju kapela untuk memulai doa kunjungan Sakrament kudus. Sosok ayah yang gigih dalam kerja, semangat, dan teguh berkomitmen, tetap terpatri dalam pikiranku, mengiringi langkah kakiku menuju kapela. Di dalam doaku sore itu, aku memohon kepada Tuhan agar ayah diperkenankan mendapat tempat di surga bersama dengan orang-orang pilihanNya. Tetapi bukan kerana kehendaku, melainkan kehendak Dia yang terjadi. Dia yang memberi rahmat hidup dan mati manusia, Dia pula yang menghapus segala dosa dan kekilafan makluk ciptaanNya. “Ayah, aku sangat merindukanmu” gumam hatiku sambil menghapus kembali air mata yang membasahi pipiku.
Langkah ayah mulai goyah ketika aku masih duduk di bangku SD. Sebenarnya, ayahku mengidap penyakit pernafasan. Nafas ayah selalu terengah-engah pada malam hari ketika sedang tidur, duduk, berbicara, atau berjalan kaki. Namun setiap kali aku bertanya, ayah selalu menjawab bahwa itu hanya bercanda saja. Semua itu ayah lakukan, karena memang sifat dasarnya yang tidak suka merepotkan orang lain. Bertahun-tahun sudah ayah  menyembunyikan penyakit itu dari aku dan ibuku. Sesulit dan sesakit apapun penyakit yang ia derita, ayah tidak pernah terbuka. Berulang kali aku melihat ayah menangis sendiri di pematang sawah, mungkin karena mengerang rasa sakit yang begitu menusuk. Kadang membuat ayah sampai tertidur di tanah, menahan dada karena sesak nafas. Hanya saja,  saat itu aku masih kecil.  Aku tidak mengerti mengapa ayah sering berlaku seperti itu. Semua rasa sakit itu ayah terima, sebagai pengorbanan cintanya kepada keluargaku. Ayah berpikir, jika nanti ia harus kembali ke hadirat Allah, siapakah yang memberi makan anak dan istrinya? Aku masih terlalu kecil untuk dipaksa bekerja keras. Oleh karena itu, tidak ada cara lain, selain memaksa diri untuk terus bekerja dan bekerja.
Aku beranjak keluar dari kapela bersama kawan-kawanku yang lain. Selangkah di depanku, ada frater Koni dan frater Ulle. Mereka berjalan keluar sambil bersenggolan badan, menunjukan kekuatan siapa yang lebih hebat. “Walleee, kau ini”, kata frater Koni dengan logat Bajawa-nya yang kental, sambil meraih bahu frater Ulle. “Terus kau mau apa? Saya tunggu kau di boulefard ew!!!” ancam frater Ulle sambil mencekik leher frater Koni. Di belakangku, ada frater Sintus dan frater Patris, mereka tengah asik berdebat tentang politik di tanah air. Setidaknya, itulah sejumlah percakapan yang menyertai perjalanan kami dari kapela menuju ke kamar masing-masing.
Wajah ayah kembali menguasai pikiranku ketika aku membuka buku harianku.     Tanggal 16 mey 2014, jam tujuh malam, aku mendengar kabar dari kampung bahwa ayahku telah meninggal dunia. Kala itu, aku masih duduk di bangku SMA Negeri Satu, kelas 12, di Kecamatan Riung Barat, alias Maronggela, Kabupaten Ngada, Flores, NTT. Masih terngiang jelas di memoriku ketika ayah memberiku pesan sebelum berangkat ke Maronggela, “Emma, pergi jangan terlalu lama. Kalau sudah habis sekolah, pulang cepat ke sini, jaga mama dan adik-adikmu” kata ayah sambil membuat tanda salib di keningku sebagai berkat. Apa yang terjadi selanjutnya, belum sempat menyelesaikan sekolahku, ayah sudah meninggal dunia terlebih dahulu. Itulah yang menyayat hatiku sampai tak mampu menahan derain air mata di pipiku senja itu. Aku meresa kehilangan yang begitu besar dalam sejarah. Hampa di tengah gelapnya hidup yang kian menyiksa. Aku merasa ayah terlalu tega meninggalkan kami sendirian. Semuanya terasa begitu sulit untuk menerima kenyataan pahit ini. “Ayah, aku belum tamat SMA, mengapa ayah sudah meninggalkan aku. Ayah, janjiku belum kupenuhi” tangisku di samping pembaringan ayah kala itu.
Setelah ayah dikuburkan, orang-orang mulai pulang ke rumah masing-masing. Hanya aku yang masih duduk di samping kubur ayah. Aku membayangkan betapa berat tanggung jawabku sebagai anak pertama.  Apa yang harus aku lakukan untuk membiayai hidup keluargaku. Tidak ada warisan dari nenek moyangku yang masih ada sampai saat ini, bahkan rumahpun masih berdinding pelupu. Haruskah aku berhenti sekolah, pergi merantau ke Malaysia mencari uang?
Seminggu kemudian, semua keluargaku berkumpul kembali untuk membahas tentang masa depanku. Mereka memutuskan agar aku tetap melanjutkan pendidikanku samapai selesai. Mengenai biaya setelah tamat SMA, mereka akan berjuang keras mengumpulkan uang agar aku tetap sekolah. “Fian, kami hidup susah tidak apa-apa. Hanya makan pisang bakar dan lombok juga tidak masalah, asalakan bisa hidup. Hidup susah bagi kami itu biasa, bahkan sandal jepit sepasangpun tidak bisa beli, masih dianggap biasa. Inilah kami yang tidak sekolah. Olah karena itu, kamu yang sekolah ini, berjuanglah sampai selesai.” Kata Bapa kecilku yang duduk di hadapanku dalam lingkaran usai makan malam. “Ema,orang cap kami manusia bodoh, juga kami terima. Karena memang kami tidak sekolah. Maka, kamu yang sekolah ini harus sampai selesai, supaya bisa bela kami. Setidaknya bisa mengangkat martabat keluarga kita yang kurang dihargai” Lanjut Ejaku sambil menyalakan api pada ujung batang rokoknya. Aku menatap keluargaku yang lain satu persatu. Ibuku hanya diam saja, berusaha menahan air mata. Sedang yang lain kebanyakan menunduk kepala, sambil sesekali meneguk kopi yang ada dalam gelas. Bibi dan Tantaku juga diam. Hanya diamnya mereka sambil terus memamah siri pinang. Aku melirik adik-adiku yang ada di sebelah kananku. Mereka tanpak begitu terlelap dalam tidurnya, setelah puas bermain karet gelang. Keesokan harinya, aku kembali ke Maronggela, melanjutkan sekolahku hingga tamat SMA.
Kini, lima tahun sudah setelah kepergian ayah. Namun semua kenangan bersama ayah masih terlukis jelas di benakku. Juga semua pesan-pesan keluargaku malam itu, masih kuingat dengan begitu detail. Wajah kusam mereka karena beban kerja, dipadu dengan gigi-gigi merah karena siri pinang.  Tulang pipi yang keriput. Kulit yang terbakar matahari, rambut mogi yang kurang terurus, dan semua kenanganku bersama mereka, mengalun dan mengalir dalam setiap derap langkahku dalam Biara. Tuhan, hapuskanlah dosa ayahku, dan terimalah ia dalam cahaya wajahmu. Dan juga mohon berkatmu untuk seluruh keluargaku di kampungku, Tajo, kecamatan Wolomeze, kabupaten Ngada. Itulah kisahku, sang “Anak kerbau”, yang kini menjadi Frater Karmel OCD Indonesia, tinggal di Biara Karmel San Juan, Penfui Kupang.

Berdasarkan kisah nyata dari Frater Fian Noy, OCD.
Ditulis dan dirangkai oleh Frater Billy Suna, OCD.



Minggu, 03 Maret 2019

Proposal Pii Pato


FILSAFAT NAMA MENURUT PI’I PATO’ PADA KEBUDAYAAN MARONGGELA, RIUNG BARAT, KAB. NGADA
Proposal Penelitian
(Diajukan Kepada Fakultas Filsafat
Universitas Katolik Widya Mandira Kupang
Guna Memperoleh Izin Menulis Skripsi)

https://www.unwira.ac.id/templates/newunwira/images/logo2.pngOleh
KRISANTUS YUSTUS
NOREG : 611 15 005


FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA
KUPANG
2019

DAFTAR ISI
Halaman Judul............................................................................................................... i
Halaman Pengesahan.................................................................................................... ii
Daftar Isi....................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................. 1
1.1  Latar Belakang........................................................................................................ 1
1.2 Perumusan Masalah................................................................................................ 5
1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................................... 5
1.4 Keguaan Penulisan.................................................................................................. 5
BAB II KAJIAN KONSEP............................................................................................ 7
2.1 Filsafat..................................................................................................................... 7
2.1.1 Filsafat Sebagai Karya Reflektif......................................................................... 8
2.1.2 Filsafat Mengungkapkan Makna Terdalam Dari Realitas.................................. 8
2.2 Nama....................................................................................................................... 9
2.2.1 Nama Religius ..................................................................................................... 9
2.2.2 Nama Marga........................................................................................................ 10
2.3 Filsafat Nama......................................................................................................... 10
2.3.1 Nama Dalam Filsafat Cina (Pembetulan Nama (cheng-ming)) ........................ 11
2.3.2 Nama Dalam Tradisi Kristen ............................................................................. 12
2.3.3 Nama Dalam Budaya Maronggela...................................................................... 12
2.4 Budaya Maronggela............................................................................................... 14
2.4.1 Religiositas.......................................................................................................... 15
2.4.2 Bahasa Maronggela............................................................................................. 15
2.4.3 Struktur Sosial..................................................................................................... 17
2.4.4 Sistem Perkawin.................................................................................................. 18
2.5 Makna Filosofis Pii Pato (Pemberian Nama)....................................................... 18
2.5.1 Arti Pii Pato........................................................................................................ 18
2.5.2 Makna Pii Pato................................................................................................... 20
BAB III METODOLOGI PENELITIAN....................................................................... 21
3.1 Rancangan Penelitian............................................................................................. 21
3.2 Lokasi Penelitian.................................................................................................... 21
3.3 Ruang Lingkup Penelitian...................................................................................... 22
3.4 Jenis Dan Sumber Data.......................................................................................... 22
3.5 Teknik Penentuan Imformen.................................................................................. 23
3.6 Instrumen Penelitian.............................................................................................. 23
3.7 Teknik Pengumpulan Data..................................................................................... 24
3.8 Teknik Analisa Data............................................................................................... 24
3.8.1 Interpretasi.......................................................................................................... 25
3.8.2 Koherensi Intern.................................................................................................. 25
3.8.3 Deskripsi............................................................................................................. 25
3.8.4 Holistik................................................................................................................ 25
3.9 Teknik Menyajikan Hasil Analisis Data................................................................ 25
3.10 Jadwal Kegiatan................................................................................................... 26
Daftar Pustaka.............................................................................................................. 28

Daftar Questioner......................................................................................................... 29


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Pengantar
Oleh proses globalisasi, bola bumi (globe) kita menjadi kecil, jarak mendekat dan hubungan dipermudah dan dipererat. Sekarang ini (bila tersedia uang), dengan berbagai alat trasnportasi kita dapat pergi mengunjungi dan berpindah dari satu ujung bumi ke ujung bumi yang lain dengan cepat dan nyaman. Oleh berbagai alat media massa, radio, televisi, surat kabar, majalah, peristiwa yang terjadi di satu sudut dunia dengan segera dapat diketahui oleh orang-orang di berbagai sudut dunia yang lain. Pemikiran dan penemuan ilmu teknologi tersebar ke seluruh dunia dan berbagai ideologi entah secara jelas atau tersamar, masuk dan beroperasi di setiap ruang di atas bumi.[1]
Dunia kini semacam global-village, tak ada jarak dan tak ada pembatas. Globalisasi dalam bidang kebudayaan juga sangat terasa. Tergantung kebudayaan mana yang lebih kuat pengaruhnya, itulah yang akan diiukuti oleh seluruh penghuni global- village ini. Dari fakta yang ada umumnya kebudayaan Barat lebih kuat pengaruhnya bagi dunia. Masuk dan mengggerus kebudayaan-kebudayaan lokal. Orang-orang di desa-desapun jika ingin eksis, harus ikut tren, mode terbaru, merubah gaya hidup (life style). Hal ini disebut Westernisasi (West = Barat. Western=orang Barat), membaratkan budaya local.
Westernisasi mempengaruhi kebudayaan lokal, merubah cara pandang tentang makna kehidupan, konsekwensinya tampak dalam gaya hidup yang serba modern. Unsur primordial dari individu tertantang dengan tawaran-tawan kebudayaan Barat. Primordialisme agama dan budaya diwesternisasi. Salah satu betuk primordial dari individu ialah nama diri. Nama diri adalah ekspresi primordial bahwa dia berasal dari kebudayaa tertentu dan beragama tertentu. Seharusnya unsur primordialis ini tetap terpelihara sebab tidak dapat dipungkiri seseorang terlahir dalam kebudayaan dan kepercayaan tertentu.
Problem weternisasi nama muncul ketika banyak orang tua yang tidak memahami apa arti sebuah nama, sehingga dalam pemberian nama kepada anaknya gagal merefleksikan makna terdalam dari nama tersebut tetapi tergantung penuh pada selera yang bersangkutan. Nama yang diberi misalnya diambil dari nama bintang film  atau pesepak bola dunia bahkan nama artis papan atas idola orang tua. Hal ini membawa dampak di kemudian hari, ketika anak bertumbuh tidak sesuai namanya maka ia lalu tidak menghargai lagi nama yang diberikan oleh orang tuanya, anak tidak bisa bertumbuh seperti bintang film atau pesepak bola atau artis idola orang tua, sehingga sebebasnya anak-anak menyamarkan nama mereka.
Problem di atas juga akhir-akhir ini terjadi pada masyarakat Maronggela, suatu kampung di Kabupaten Ngada. Kekurang perhatian terhadap makna sebuah nama di masyarakat Maronggela berdampak pada relativisme nilai, anak-anak menjadi tidak hormat lagi kepada orang tua padahal dari namanya saja dia adalah anak-anak. Atau beberapa kepala suku serta orang-orang yang mempunyai wibawa dalam masyarakat menjadi bingung dengan perannya, padahal nama itu jelas mempertegas peran yang harus dijalani. Atau kasus lain ketika anak tidak bertumbuh sesuai nama yang diberikan. Sebab hidup tidak sesuai nama akan terjadi kontradiksi, ketidakharmonisan.[2]
Sebagai bentuk perhatin penulis terhadap masalah westernisasi nama pada kebudayaan Maronggela maka penulis berusaha untuk meneliti secara mendalam ritual pemberian nama serta menemukan makna filosofis dari nama. Asumsi penulis, kebudayaan Maronggela seperti kebudayan-kebudayaan lokal lainya meyakini bahwa nama mengandung arti yang penting. Banyak suku mempertahankan sebagian tradisi dengan salah satunya melalui nama-nama yang diberikan pada anggota keluarga, bahkan pemberian nama selalu disertai dengan kegiatan ritual baik bersifat agamis maupun bersifat kultural. Tujuannya adalah untuk keselamatan jiwa si pemilik nama. Tidak jarang pula ketika nama yang diberikan kepada seseorang tidak cocok, nama itu membawa malapetaka, misalnya pemilik nama sakit-sakitan. Tidak hanya dalam konteks budaya nama memilki arti yang penting. Hubungan sang pencipta dengan manusia  dan sebaliknya terjadi dengan nama sebagaimana dialami oleh Musa, YHWH menyebut diri-Nya sebagai AKU adalah AKU.
Bertolak dari hasil pengamatan sementara, di Maronggela masih mempraktekkan ritual pemberian nama kepada bayi yang baru lahir. Ritual itu disebut Pi’i Pato’ (pemberian nama). Makna nama bagi masyarakat Maronggela justeru dibentuk dari bagaimana mereka menjalani Pi’i Pato’. Namun juga makna sebuah nama itu didapatkan dari menfsir kata-kata atau analisis kata. Setiap nama pasti memiliki arti tertentu. Nama itu menggambarkan seseorang yang berwatak tertentu.  Kata bagaimana yang harus ditekan di sini, itu artinya metode penetuan sebuah nama bagi Masyarakat Maronggela itu sangat penting. Ada persyaratan-persyaratan tertentu yang harus digenapi dan tidak boleh dilanggat. Sebab jika dilanggar maka akan mendapatkan konsekwensi yang tidak diinginkan, seperti sakit-sakitan dan bahkan kematian.
Masyarakat dari kebudayaan Maronggela sebenarnya memiliki filsafat hidup/ padangan hidup (way of life) sebagai pegangan dan noma tingkah laku. Berkaitan dengan nama, masyarakat kebudayaan Maronggela juga mayakini bahwa nama itu berdimensi masa lalu dan masa depan. Masa lalu berarti nama memang diambil dari nama kakek atau nenek sang bayi sebagai kenangan terhadap mereka, dan dimensi masa depan berbarti ada harapan agar sang bayi bertumbuh sesuai nama yang diberikan kepadanya. Ketika bertanya “apalah arti sebuah nama” namun nama mempunyai makna terhadap setiap pribadi. Setiap orang memiliki nama. Nama merupakan perwujutan, pengejawantahan sekaligus menjadi identitas pribadi seseorang. Seseorang dipanggil dengan namanya, menyebut nama tidak saja hanya mengeluarkan bunyi melalui huruf-huruf yang tersusun, melainkan mengandung makna pengakuan terhadap eksistensi pemilik nama. Pengakuan ini bersifat utuh, artinya menyebut nama seseorang dengan baik adalah mengakui eksistensi orang bersangkutan, sebaliknya melecehkan nama seseorang sama dengan melecehkan pribadi pemilik nama. [3]
 Bertolak dari problem di atas penulis dalam penelitian ini ingin mengulas tuntas tentang filsafat nama yang tersirat di balik tradisi Pii Pato. Bahwa nama tidak asal-asalan saja tetapi adalah suatu tanda pribadi, suatu pengenal yang membedakan dirinya dari yang lain. Suatu keunikkan yang untuk orang lain tidak ada. Nama itu penting. Fokus penelitian penulis adalah di kampung Maronggela. Karena Pada prinsipnya orang Maronggela masih sangat menjunjung tinggi filsafat nama, walau terdapat juga ketidaksesuaian. Arti sebuah nama sangat penting bagi orang Maronggela, dimana nama seorang anak yang baru lahir diberi sesuai nama orang dari dalam anggota suku tersebut dan yang lazimnya nama itu adalah turunan dari nama kakek atau nenek si bayi.
Peneliti melalui tulisan ini akan memepertanggungjawabkan bagaiaman praktek pemberian nama pada kebudayaan Maronggela di satu sisi, yaitu mulai dari mekanismenya sampai pada struktur acara dan di sisi lain juga akan dipaparkan bagamana nilai dan makna serta filsafat nama, sehingga sebagai judul umum penelitian ini penulis merampungnya menjadi Filsafat Nama Menurut Pii Pato (pemberian nama) pada Kebudayaan Maronggela, Kab. Ngada.
1.2  Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang di atas maka beberapa rumusan masalah yang terungkap dalam bentuk pertanyaan berikut menjadi penuntun dalam proposal penelitian ini. Adapun hal-hal yang dipermasalhkan ialah :
1)     Siapa itu orang Maronggela ?
2)     Bagaimana praktik ritual Pii Pato (pemberian nama) ?
3)     Apa  makna filosofis dari nama dalam ritual Pii Pato pada masyarakat Maronggela?
1.3  Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah dan latar belakang yang telah dibahas di atas maka penyusunan proposal  ini dibuat dengan tujuannya ialah sebagai berikut:
1)  Mengetahui siapa itu orang Maronggela.
2)  Mengetahui sedetail mungkin ritual Pii Pato pada masyarakat Maronggela.
3)  Mengetahui filsafat  nama menurut Pii Pato pada  masyarakat Maronggela.
1.4  Manfaat Penelitian
1)     Sebagai sumbangan bagi Universitas Katolik Widya Mandira Kupang pada umumnya dan Fakultas Filsafat pada khususnya dalam konteks mengenal budaya asli orang Maronggela teristimewa ritual Pii Pato, sekaligus menggugah hati para mahasiswa untuk menggali budaya yang terdapat di daerahnya masing-masing dan menelaahnya menurut disiplin ilmu yang didapatkannya. (bagi FFA)
2)     Para seminaris atau para calon imam boleh mendapatkan sekedar inspirasi dari penelitian ini, demi persiapan diri menjadi pemimpin iman yang mengenal keunikan dan latar belakang  umat teristimewa aspek bahasa karena itu yang menentukan siapa mereka. (bagi para seminaris)
3)     Sebagai sumbangan bagi orang Maronggela, agar mereka semakin cinta akan bahasa daerahnya yang ternyata mengandung berbagai makna dan nilai, baik nilai religius maupun nilai sosialdan juga sebagai simbol interaksi baik yang vertikal, dengan yang Transenden maupun yang horizontal, dengan sesama manusia.
4)     Dapat membantu peneliti sendiri untuk semakin mengenal warisan budaya masyarakat Maronggela serta melatih diri untuk merefleksi fenomen-fenomen kemasyarakatan secara ilmiah.

BAB II
KAJIAN KONSEP
2.1 Filsafat
            Filsafat dari bahasa Yunani philosophia (cinta akan kebijaksanaan), dari kata philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan. Dari sini kita merefleksikan bahwa kebijaksanaan itu adalah sesuatu yang menjadi ideal manusia, bukan milik manusia sehingga manusia terus menerus mencari dan mencari serta menemukan jawaban teristimewa dasar-dasar terakhir segala sesuatu tetapi lebih penting dari itu ialah tentang asal, eksistensi dan tujuan manusia.[4]
Tentu ada distingsi antara filsafat barat dan filsafat Timur. Setelah agama-agama wahyu masuk ke dunia barat maka sebagian dari peran filsafat dijawab oleh agama wahyu misalnya dari mana manusia berasal, kemana ia akan pergi, bagaimana proses terjadinya alam semesta, serta berbagai nilai ultim pencarian manusia bisa dijawab oleh pemikiran-pemikiran agama wahyu. Hal tersebutlah yang terberbedakan dengan filsafat Timur. Filsafat Timur tetap menjaga perannya, sebagai pandangan hidup (way of life). Hal ini terbukti bahwa dalam filsafat Timurtidak terdapat kritik, dimana pemikiran sebelumnya dikritik oleh pemikiran saat ini dan  konsep yang kita terima saat ini akan dikritik oleh pemikiran yang akan datang seperti dalam tradisi Barat pada umumnya.
            Filsafat dalam tulisan ini lebih menonjol ke filsafat Timur, bagaimana cara pandang orang tentang hidup serta realitas yang dialami. Cara pandang itu telah menjadi warisan yang dihidupi secara turun-temurun dan menjadi pedoman tingkah laku serta pemahaman atas sesuatu hal tertentu. Filsafat timur bukan suatu pemikiran sistematis hasil analisis rational, namun lebih pada pandangan akan suatu hal secara logis serta memiliki nilai yang mendalam, nilai inilah diterima serta dihidupi.
2.1.1 Filsafat Sebagai Karya Reflektif
            Filsafat adalah hasil refleksi manusia tentang berbagai realitas yang dihadapinya. Lebih dari itu filsafat juga adalah suatu kegiatan refleksi dimana orang terus mencari dan berusaha menemukan jawaban-jawaban akhir atas pertanyaan mengapa? Mengapa orang Maronggela harus menjalani ritual Pii Pato (pemberian nama), apakah nama itu begitu penting bagi masyarakat Maronggela? Sebab sebagai binatang berakal budi manusia tidak akan mengkianati kodratnya. Berpikir tidak hanya bagi orang yang mengenyam pendidikan secara formal, tetapi bagi siapa saja, para tua-tua adat juga dapat berfilsafat serta menemukan alasan-alasan mendalam dari segala realita. Mereka bahkan menemukan alasan-alasan filosfis yang mendalam serta menjadi landasan bagi mereka mengapa sesuatu harus dilakukan dan bukan tidak.
            Jadi filsafat sebagai refleksi pada tulisan ini ialah suatu kegiatan dan suatu hasil pemikiran atas pertanyaan-pertanyaan mengapa suatau kegiatan harus dilakukan dan bukan tidak. Dalam kaitannya dengan nama, para tua adat sudah memiliki filsafat atau pendangan tertentu hasil refeleksi mereka tentang apa arti sebuah nama, sehingga nama itu memang benar dihargai.
2.1.2 Filsafat Mengungkapkan Makna Terdalam Dari Realitas
            Filsafat sebagai suatu kebijaksanaan hidup, suatu pandangan hidup tentang suatu hal atau pegangan hidup serta cita-cita yang harus digapai dalam hidup karena hal tersebut memiliki makna terdalam. Sebab orang hanya akan melakukan suatau hal secara tau dan mau karena hal tersebut itu bermakna.  Makna adalah suatu kualitas yang terdapat dari barang atau hal tertentu. Filsafat mampu menemukan makna terdalam dari realitas tertentu. Dalam ritual Pii Pato (pemberian nama), terdapat makna serta nilai yang tersirat. Makna tersebut itulah hasil olah budi dan itulah filsafat.
            Segala warisan budaya termasuk ritual Pii Pato selalu memiliki makna terdalam. Selale memiliki filsafat tersendiri. Pemberian nama mengapa harus tetap dipelihara di kebudayaan Maronggela, karena memilki makna terdalam. Makna terdalam itulah ekspresi filsafat.
2.2 Nama
            Nama dalam bahasa Latin disebut nomen, dan dalam bahasa Inggris disebut name. dalam logika nama adalah suatu ungkapan yang menunjukan sebuah objek dalam arti luas, sebagai segala sesuatu yang dapat kita sebut dan bukan hanya sebagai suatu obyek material.
Semantika logis umumnya menggeluti apa yang disebut segitiga semantic a) nama; b)obyek yang ditunjukan oleh nama (denotat atau designatum); c) arti nama.[5] Nama itu sebagai ekspresi dari unsur primordial seseorang. Unsur primordial yaitu unsur yang melekat pada seseorang sejak lahinya. Misalnya dia tidak bisa menyangkai bahwa dirinya orang Maronggela sebab bapaknya berasal dari Maronggela, atau dia beragama Katolik sebab sudah sipermandikan. Nama dalam tulisan ini terbagi menjadi beberapa yaitu:
2.2.1 Nama Religius
            Nama religious ialah nama yang diberikan oleh agama kepada pribadi tertentu. Dari nama religiusnya kita bisa mengetahui seseoran beragama apa. Sebab religiusitas juga adalah unsure primodiali yang tidak bisa ditolak. Misalnya nama Paulus atau Petrus pasti orang tersebut beragama Kristen, dibedakan dari nama Muhamad atau Ibrahim tentu langsug diketahui bahwa orang itu beragama Islam. Tentu nama-nama ini diambil dari nama tokoh orang kudus tertentu dalam agama tersebut, hal ini nyata dalam Kristianitas dimana nama Baptis selslu diambil dari nama orang kudus tertentu, dengan harapan bahwa sang anak akan bertumbuh dan minghidupi spiritualitas namanya.
2.2.2 Nama Marga
            Nama marga atau fam ialah nama yang menandakan bahwa seseorang  berasal dari suku tertentu.  Orag dapat mengenal jika mendengar apa nama fam dari seseorang, dan langsung mengasosiasikan dari suku mana serta dari keturunan yang mana? Biasanya cara mendapatkannya melalui berbagai ritual adat.
            Dalam kebudayaan Maronggela juga memiliki ritual pemberian nama yang disebut Pii Pato. Melalui ritual inilah seorang bayi akan mendapatkan nama marganya atau fam. Nama marga ini sangat penting sebagai pengenal siapa orang tersebut. Ritual Pii Pato sebagai sarana bagi orang Maronggela untuk memastikan siapa nama yang cocok bagi seorang bayi yang baru lahir. Ritual ini bahkan membutuhkan partisipasi dari masyarakat adat, dibutuhkan binatang korban, babi dan ayam sehingga nama menjadi sangat sakral.
2.3 Filsafat Nama
            Filsafat nama dalam hal ini berarti suatu pemikiran reflektif dan sistematis serta analitis kritis tentang apa itu nama. Pentingnya suatu nama, mengapa harus ada nama? terlebih lagi ditinjau dari ritual pemberian nama yang khas. Baik nama untuk Yang Ilahi, nama untuk menyebut hal-hal yang terdapaat di Kosmos ini serta nama bagi pribadi-privadi tertentu. Dengan mengobservasi serta menganalisis ritual pemberian nama dalam budaya-budaya, kita dapat menemukan makna dari nama seseorang bagi pribadinya juga tentu bagi lingkungan budaya di mana dia hidup.
            Sebab nama Nama itu unik bukan hanya sebagai tanda pengenal, tetapi nama adalah lambang pribadi, totalitas atau karakteristik dari orang bersangkutan sesuai dengan namanya. Misalnya nama Batu, dia akan menjadi pribadi yang mencontohi sifat-sifat batu seperti kerasa dalam pendirian, tahan banting, kuat walau diterpa bencana. Itu makna dari nama Batu.
Beberapa kebudayaan sangat menjunjung tinggi ritual pemberian nama ini, sebagai salah satu ritual inisiasi wajib. Inisiasi yaitu peralihan dari bayi yang terlahir tanpa nama diberikan nama tertentu sihingga ditertima dalam lingkungan budaya dimana dia hidup. Berbagai bentuk sesuai kekhasan budaya masing-masing.
2.3.1 Nama Dalam Filsafat Cina (pembetulan nama (cheng-ming))
Satu dari kunci untuk mengelolah kebajikan dasar manusia yang ditekankan oleh konghucu adalah pemakaian yang benar kata-kata (cheng-min) yang biasanya merujuk pada “pembetulan nama”. Pemekaian yang benar berarti kata harus sesaui dengan realitas yang dinamai. Meskipun pemakaian yang benar kata-kata dapat dikenakan kepada semua pemakaian bahasa, tetapi dalam konghucuisme pemakain yang benar pertama-tama dikenakan pada tindakan-tindakan dan hubungan manusia. Jadi ketika Pemimpin Agung Ching bertanya kepada Konghucu tentang pemeritahan, Konghucu menjawab, “Biarkanlah penguasa adalah seorang penguasa, bawahan seorang bawahan, ayah seoragn ayah, putera seoragn putera”. Hal ini berarti penguasa harus memerintah secara benar, yaitu tindakannya harus sesuai dengan tujuan tindakan yang mencerminkan makna kata penguasa. Demikian pula, hal itu serupa dengan menjadi seorang ayah secara benar. Ayah harus membangun reasi denga putera-puterinya dengan cara-cara ideal yang sedungguhnya merupakan bagian dari makna kata ayah.
Jadi membetulkan nama berarti bukan memilih kata-kata yang tepat untuk melukiskan sesuatu, tetapi menyesuaikan karakter dan tindakan seseorang dengan cita-cita normative yang terkandung dalam nama-nama relasi fundamental manusia. Bagi seorang putra yang harus menjadi seorang putra secara benar, hubungannya dengan oran tua harus memenuhi cita-cita hsiao. Bagi seorang sahabat yang menjadi seorang sahabat secara benar, harus relasinya memenuhi ideas kesetiaan. Jadi, ketika nama dibetulkan, semua hubungan manusia akan sejalan dengan ideal yang terkandung dalam nama itu. Inilah sebabnya mengapa masyarakat akan harmonis dan rakyat akan bahagia menurut Konghucuisme, ketika nama-nama dibetulkan.[6]
2.3.2 Nama Dalam Tradisi Kristen
            Dalam tradisi Kristen nama itu sangat berarti. Karena diambil dari nama orang-orang kudus, yaitu para leluhur yang telah meninggal dunia namun yang telah menunjukan kualitas hidup yang patut dicontohi. Bagi orang Kristen mereka ini adalah orang-orang yang dekat dengan Tuhan. Kedekatan dengan Tuhan dibuktikan dalam kata-kata dan perbuatan mereka. Oleh karena itulah mereka pantas disebut suci atau kudus dan layak ditiru perbuatannya. Dengan mengambil nama orang-orang kudus melalui upacara permandian maka anak yang akan menjadi dewasa itu diharapkan untuk hidup seturut teladan para kudus tersebut.
2.3.3 Nama Dalam Budaya Maronggela
Orang Maronggela juga sangat menghargai nama dan berusaha hidup sesuai nama. Nama justeru sangat penting sebagai gambaran siapa diri seseorang dan apa statusnya dalam suku Maronggela. Nama bagi Orang Maronggela (Riung) berdimensi dua, yakni dimensi masa lalu dan masa depan. Nama memiliki dimenci masa lalu artinya nama, mengenangkan sesuatu atau seseorang dari masa lalu. Sehingga dalam ritual Pii Pato, orang Maronggela selalu member nama anak mereka dengan menggunakan nama orang tua mereka.  Tidak dapat dipungkiri bahwa ini juga akan mempegaruhi bahasa, harian orang Maronggela, anak laki-laki akan dipanggil Ema’ (yaitu bapak), dan anak perempuan dipanggil Nde’ (artinya: ibu).[7]
 Seperti tradisi orang Ngadha sesuai ulasan Paul Arndt, SVD bahwa menfitnah seseorang atau merusak nama baik seseorang adalah suatu perbuatan yang rendah. Jika terjadi pemfinahan maka melalui doa-doa diharapakan agar para leluhur menghukum orang-orang tersebut agar bibir mereka yang beracun dirobek dan lidah mereka yang tajam dibelah![8]
Misalnya Ga’en Wongko’ (Tua adat, orang yang sangat dihargai dalam kampung karena memiliki wibawa dalam beberapa aspek kehidupan berbudaya). Nama Ga’en Wongko ini hanya dialamatkan kepada orang-orang tua yang memang sudah sampai pada tahap tertentu. Tidak semua orang yang sudah tua disbut Gaen Wongko.
Dalam memperoleh nama orang Maronggela harus melewati ritual inisiasi yang disebut Pii Pato. Setelah Pii Pato maka nama itu secara defenitif melekat pada sang bayi sampai akir hayatnya. Kecuali san bayi mengalami sakit. Ketika nama yang diberikan tidak sesuai biasanya sang bayi akan menangis terus menerus, dan orang tua atau  orang Maronggela pada umumnya akan mengetahui baha nama yang diberikan tidak sesuai, atau seharusnya sang bayi tidak diberikan nama seperti yang baru diberikan. Namanya akan diganti,sang bayi akan berhenti menagis ketika nama yang baru tersebut cocok dengannya.
2.4 Budaya Maronggela
Maronggela secara etimologis adalah komposisi antara kata Maro yang berarti tempat istirahat dan Nggela yaitu nama dari seseorang. Jadi Maronggela adalah tempat istirahat seseorang yang bernama Nggela.[9] Koentjaraningrat menulis orang-orang Flores itu gabungan dari 8 suku yang terbentang sepanjang pualu tersebut. Saat ini suku-suku tersebut mudah kita kenal karena umumnya satu suku akan menjadi satu kabupaten. Setiap kabupaten umumnya penduduk mayoritas dari suku tertentu. Maka ada terbagi menjadi 1) orang Manggarai, 2) Orang Riung, 3) Orang Ngada/Bajawa, 4) Orang Nagekeo, 5) Orang Ende, 6) Orang Lio, 7) Orang Sikka dan 8) Larantuka.[10]
Budaya jika ditambah awalan ke- dan akhiran –an, menjadi kebudayaan. Kata kebudayaan berasalh dari bahasa Sanskerta budhayah sebagai jamak dari budhi yang berarti akal budi. Budaya berarti daya dari budi, yang merupakan cipta, rasa, karsa dan rasa. Kebudayaan berarti hasil dari cipta, rasa, karsa.[11] Kebudayaan lalu  diartikan sebagai keseluruhan proses dan hasil perkembangan manusia yang disampaikan dari generasi ke generasi untuk kehidupan manusiawi yang lebih baik. Dari sini didapatkan tiga point penting: 1) Kebudayaan adalah segala perkembangan dan kemajuan masyarakat, 2) Kebudayaan adalah hasil bersama, dan 3) Kebudayaan adalah hhumanisasi yaitu proses peningkatan hidup yang lebih baik dalam lingkungan masyarakat manusiawi.[12]
            Kebudayaan Maronggela menandakan segala perkembagan hasil bersama yang telah ada dan diturunkan kepada generasi penerus, berupa sastra seni, hasil-hasil ekonomi, teknik sosial serta gagasan dan nilai yang terdapat dalam diri manusia Maronggela. Pii Pato juga termasuk dalam warisan yang tetap terpelihara dan diharapkan akan terus dijaga sebagai suatu asset penting bagi orang Maronggela, teristimewa dalam hal bagaimana memahami nama.
2.4.1 Religiositas
            Masyarakat dari kebudayaan Maronggela sudah memiliki kepercayaan terhadap wujud tertinggi. Mereka temukan itu dalam pohon-pohon besar atau dalam hal lain yang berbau gaib. Ini bisa disebut sebagai animism. Adapun nama-nama untuk menyebut wujud tertinggi seperti Mbo Muri (secara hurufiah diterjemahkan sebagai mbo=nenek atau kakek yang sudah tua, muri= yaitu Tuhan), tapi kata ini selalu diterjemahkan dengan Tuhan Allah. Selain nama Mbo Muri ada juga sapaa lain untuk wujud tertinggi seperti Poso Wongko.s
            Masyarakat Maronggela melalui syair-syair adat atau melalui Pintu Pazir (doa adat), sering menyebut nama wujud tertinggi ini. Selain penyembahan terhadap wujud tertinggi masyarakat Maronggela juga percaya pada arwah nenek moyang, mereka lalu member sesajian kepada nenek moyang. Sebab bagi orang Maronggela nenek moyang walaupun mati secara fisik tetapi tetap hidup dan nama meraka tetap dikenang, mereka ada di sekelilng dan sangat mengintervensi dinamika kehidupan masyarakat Maronggela.
2.4.2 Bahasa Maronggela
Menurut Andre Martinent “bahasa adalah sebuah alat komunikasi untuk menganalisis pengalaman manusia, secara berbeda di dalam setiap masyarakat, dalam satuan-satuan yang mengandung isi semantis dan pengungkapan bunyi, yaitu monem. Pengungkapan bunyi tersebut pada gilirannya diartukulasikan  dalam satuan-satuan pembeda dan berurutan, yaitu fonem, yang jumlahnya tertentu dalam setiap bahasa, yang kodrat maupun kesalingterkaitannya berbeda juga di dalam setiap bahasa.”[13]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahasa diartikan sebagai “ suatu sistem lambang  bunyi  yang abitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.Bahasa Indonesia adalah gabungan dari berbagai bahasa daerah di seantero Nusantara ini, selain berasal dari bahasa Melayu dan bahasa Sansekerta.
Defenisi lain dari bahasa adalah sebagai sebuah sistem komunikasi yang membuat manusia dapat bekerja sama. Defenisi ini menekankan fungsi sosial dari bahasa, dan fakta bahwa manusia menggunakannya untuk mengekspresikan dirinya sendiri, dan untuk memanupulasi obeyk dalam lingkungannya. 
Ada dua bahasa yang digunakan dalam keseharian hidup orang Maronggela. Bahasa Indonesia dan bahasa Maronggela sendiri. Bahasa Indonesia dipakai untuk kepentingan komunikasi dengan orang dari luar etnis, juga dipakai pada saat-saat resmi. Sedangkan bahasa daerah digunakan bagi sesama anggota etnis, dalam komunikasi harian mereka maupun dalam ritus keagamaan serata upacara adat. BahasaMaronggela berfungsi sebagai alat ekspresi seni (pantun, peribahasa), sebagai bahasa adat dan sebagai  bahasa doa.
Bahasa Maronggela berbeda dialeknya dengankampung-kampung lain di daerah Riung Barat atau etnis Riung secara keseluruhannya.  Secara umum dapat dikelompokkan menjadi sepuluh daerah,  yang dapat ditemukn di etnis RIung; dialek Maronggela dan Muntin, Wate dan Ria, Teong dan Nampe, Terong dan Rawuk,  Wangka, Riung, Mbarungkeli,  Bekek, Lengkosambi, Mbazang dan Damu, dan Turaloa.
Bahasa Maronggela dengan dialek-dialeknya itu, selain digunakan sebagia bahasa pergaulan, juga sebagai simbol berupa pantun atau peribahasa, ada juga dalam bentuk kata-kata bijak tertentu berupa  puisi  yangsyarat makna dan hanya digunakan dalam seremonial adat atau ritus keagamaan. Adapun contoh kata-kata bijak seperti yang diterangkan oleh P. Bertolomeus Bolong dalam bukunya, Tuhan dalam Pintu Pazir.
2.4.3 Struktur Sosial
Struktur sosial yang dimaksud ialah struktur kekuasaan orang Maronggela. Pemegang kekuasaan tertinggi ialah UluGolo (Kepala suku, pemimpin tertinggi di kampung Maronggela), yang menempati tingkat ke dua ialah Ga’en Wongko’(pemuka masyarakat), satu tingkat di bawahnya ialah yang disebut Gelarang(wakil dari Ulu Golo)[14]. Adapun juru bicara dalam kampung Maronggela itu disebut Pabisara. Satu tingkat dibawah Pabisara disapa sebagai Dor (jabatan ini biasa dipegang oleh orang yang mengetahaui masalah pertanahan dan  memahami adat serta budaya dalam suku. Dorjuga yang bertugas untuk mengatur jadwal tahaunan di kampung Maronggela, misalnya kapan Ghan Weton[15], kapan Larik dan berbagai acara adat lainnya.
Ada pemegang kekuasaan di bawah tingkatan dor yaitu berambang, arti harafiahnya ialah dada. Dialah selaku badan keamanan kampung. Berambang kalau dalam Negara kita sama dengan polisi atau tentara. Kemudian ada tingkat berikut ialah tangan onar. Dia bertugas sebagai ahli nujum. Meramal tantang musim dengan melihat tanda-tanda bintang atau bulan. Ada paetugas kesehatan dalam eetnis Maronggela itu disebut sandi wne’- rbo. Tugasnya seperti dokter bisa mendetksi atau menganalisis sakit-sakit yang diderita oleh aggota suku. Dalam kegiatan kerja ada yang menjadi pembaginya dan juga pengamat serta vasilitataor pekerjaan itu yang dinamakan Punggawa. Dia tugasnay sebanding dengan ketua sub dalam proyek-proyek. Punggawadipilih bukan berdasarkan suatu musyawarah suku namun langsung ditentukan oleh kepala suku. Selain punggawa yang dipilih  langsung oleh ulu golo ada juga badan pengaman kampung yang lain yang disebut ngawas ata, dia semacam FBI dalam bangsa Amerika. Tugasnya sebagai suatu agen rahasia yang memata-matai musuh dari luar etnis.dan tingktana yang paling bawah dalam etnis Maronggela disebut woe golo/woe wongko. Mereka adalah rakyat jelata. Para pendatang dari luar etnis juga masuka dalam golonagan ini.
2.4.4  Sistem Perkawinan
Orang Maronggela mengenal sistem perkawinan patrilinear, artinya menurut garis keturunan bapa. Hal ini yang menyebabkan anak perempuan selalu dinomorduakan di Maronggela.Yang memegang hak dalam keluarga adalah anak laki-laki banyak peran yang dilakaukan oleh anak laki-laki, mulai dari kepemimipinan dalam suku, serta kepala keuarga dll.
2.5 Makna Filosofis Pii Pato (Pemberian Nama)
2.5.1 Arti Pii Pato
Secara etimologis Pii Pato terdiri dari dua kata, yakni Pii dan Pato. Pii artinya nama dan Pato artinya pemberian (nama). Kedua kata tersebut merupkan padanan mempertegas makna. Sedangkan Pintu Pazir Pii Pato merupakan jenis  Pintu Pazir yang didoakan pada ritus pemberian nama bagi seorang bayi.
Pii yang adalah nama, nama itu sangat penting sehingga cara mendapatkannya harus melalui ritual Pii Pato. Pmebahasan tentang apa itu nama sudah tertera dalam halaman sebelumnya. Bahwa nama mengandung dua dimensi masa lalu dan masa kini. Sebagai dimensi masa lalu, nama itu diambil dari nama nenek atau kakek (orang tua sang bayi, calon yang akan diberi nama). Ini mengingatkan bahwa leluhur tetap berpengaruh dalam kehidupan
Pii Pato adalah suatu ritus inisiasi pemberian nama kepada seorang bayi. Pemberian nama terhadap bayi terjadi lima hari setelah bayi dilahirkan. Dan mendapatkan nama menjadi hak bagi sang bayi sebagai penegasan bahwa dia memang berasal dari suku Maronggela. Setiap anak yang terlahir di Maronggela daan orang tua berasala dari Maronggela wajib diberi nama.
Konjaraningrat dalam penelitiannya tentang tradisi pemberian nama dalam budaya Orang Batak Toba dalam pemilihan nama memilih nama nenek moyang yang mempunyai keunggulan dan sifat kepahlawanan. Atau nama-nama tumbuhan atau tempat yang berari sangat baik, yang bisa mengangkat derajat si pemakai nama ke derajat yang lebih tinggi, menjadi pembesar, orang terkenal, orang kaya dan orang mempunyai banyak anak. Menurut mereka nama itu memilki arti yang menentukan nasib si pemilkinya di hari depan. Demikian menurut keyakinan dan pengalaman orang-orang tua sering nama itu sesuai sekali dengan pemilkinya, dengan melihat kehidupan sehari—hari atau sifat pengaharainya.[16]
Ritual serta makna suatu nama bagi masyarakat Toba di atas tersebut sebagin besar sama dengan dalam tradisi Maronggela. Adapun ritulanya terjadi lima hari setelah kelahiran sebab (mawa lima). Setelah kematian nanti, kenduri (buin bobok) akan dilakukan pada hari ke lima juga. Maka angka lima mengandung nilai tertentu bagi masyarakat suku Maronggela.
2.5.2 Makna Pii Pato
            Pii Pato sangat bermakna bagi masyarakat Maronggela. Sebagai warisan leluhur yang kaya dan syarat nilai filosofisnya. Pii Pato atau pemberian nama itu berbati bahwa nama sangat berharga bagi masyarakat Maronggela, untuk mendapatkannya harus melalui ritual yang disebut Pii Pato ini. Nama itu begitu diluhurkan sebab dalam Pii Pato.
            Pii Pato yang adalah pemberian nama. Dari kata Pii yaitu nama dan Pato atau pemberian. Pertama tentang Pii. Nama dalam bahawa Maronggela disebut ngalit, sedangkan kata Pii lebih diartikan sebagai suatu kegiatan pemberian nama dimana dibtuhkan pinang muda yang dibelah dua, sebagai sarana pengesahan nama tersebut. Jadi Pii adalah pemberian nama melalui pinang.
Berbagai nilai bisa dipetik dengan menjalani ritual Pii Pato. Ada nilai sosoilogis sebab Pii Pato terlaksana dengan dihadiri banyak orang warga kampung adat dan tua-tua adat. Saat itulah nilai kekeluargaan, sosialitas dibangun. Kehadiran semua warga suku membuktikan bahwa ada nilai sosialnya.

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1  Rancangan Penelitian
Peneliti menggunakan metode kualitataf, yaitu suatu metode yang berangkat dari realitas dan landasan teory untuk mendapat suatu pemahaman baru tetang fenomena yang sedang diteliti. Dengan langkah-langkah mendeskripsikan secara deskritif analitis sedalam-dalamnya, Bersifat deskriptif analitis, terlihat dari caranya mengumpulkan dan merekap data yang bukan dicatat dalam bentuk angka namun penjelasan sejelas-jelas dan sedalam-dalamnya.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualiatatif, dengan sasaran terbesar untuk memahami secara mendalam filsafat nama dalam suatu kehidupan bermasyarakat dan berbudaya, dengan fokus utama yakni tentang refeleksi filosofis dari ritual Pii Pato, serta filsafat  nama dalam budaya masyarakat Maronggela di Kabupaten Ngada. Peneliti berusaha untuk menggali sedalam-dalamnya tentang makna itu dengan berbasis pada informan serta dengan suatu pra-anggapan yang sudah peneliti dapatkan dari filsafat Cina. Makna nama yang dimaksud antara lain, makna sosiologis, menjawabi pertanyaan apa penting sebuah nama dalam kehidupan sosial seseorang dari suku Maronggela. Kedua makna historis, menjawabi pertanyaan  asal-usul nama orang Maronggela, serta ketepatan nama yang harus diberikan kepada seorang bayi calon anggota suku di Maronggela. Ketiga makna teologis, bagaimana pentingnya nama dalam keterhubungannya dengan Yang Ilahi.
3.2 Lokasi Penelitiann
            Penelitian terjadi di kampung Maronggela, salah satu kampung yang membentuk desa Wolomesze di Kecamatan Riung Barat, Kabupaten Ngada  provinsi NTT. Adapun alasan dasar menjawabai pertanyaan mengapa harus di kampong Maronggela, yaitu: 1). Tradisi pemberian nama yang unik seperti yang akan diuraikan hanya terdapat di sedikit kampung dan Maronggela salah satunya. 2). Banyak kekayaan lokal dari kampung Maronggela yang belum dieksplorasi kepada kalayak umum salah satunya tetang pentingnya nama . 3) sebagai aset atau infentarisasi data untuk generasi kemudian sehingga pengetahuan tentang makna nama itu tetap terpelihara. 4) alasan lain yaitu karena Maronggela adalah kampong asal peneliti, sehingga segala detail ritual pemberian nama kepada seorang anak peneliti tahu sacara baik walau tidak memahami makna dan bahasa adatnya.
3.3 Ruang Lingkup Penelitian
            Ruang lingkup penelitian adalah suatu batasan penelitian sehingga tidak menyebar terlalu luas dan, membantu peneliti untuk fokus hanya kepada batasan itu. Nah ruanglingkup penelitian ini sebenarnya sudah dirumuskan dalam pertanyaan dasar yaitu: 1) Bagaimana gambaran umum tentang Maronggela, terisitimewa dari aspek kebudayaannya. 2) apa makna ritual Pii Pato(pemberian nama) bagi masyarakat Maronggela, dalam bagian ini juga akan diuraikan bagaimana ritual tersebut dilakukan. 3) Apa bunyi filsafat nama bagi orang Maronggela?
            Berdasarkan data yang diperoleh dari informan dan juga input dari para pemikir, peneliti mencari benang merahnya, lalu dihubungkan dengan teori yang ada, sehingga bisa dipertanggungjwabkan secara rational.
3.4 Jenis dan Sumber Data
            Jenis dan sumber data dalam penelitina ini adalah berupa adalah data kualitatitif berupa informasi-informasi atau kata-kata dan kalimat-kalimat yang memuat hal-hal menyangkut Pii PatoData-data yang diperoleh ialah melalui wawancara dengan para tua adat yang diyakini memiliki wibawa dalam suku Maronggela atau mereka yang tahu pasti tetang budaya Maronggela secara eksplisit. Ini menjadi data primer.
Selain dari wawancara, data diperoleh juga melalui beberapa kajian pustaka dimana penjelasan tentang Maronggela sudah dijelaskan oleh penulis terdahulu. Dalam menjelaskan tetang nilai-nilai penulis juga tetap bertolak dari beberapa buku sumber yang membahas tetang topik yang sama. Ini menjadi data sekunder.
3.5 Teknik Penentuan Informan
         Informan adalah orang-orang tua yang sudah lama bergelut dengan dinamisme kebudayaan Maronggela, bahkan beberapa adalah pemimpin suku yang biasa melakukan ritual Pii Pato. Para informan tentu memiliki kredibilatas informasi serta wibawa episteme atas obyek yang sedang diteliti yaitu.
3.6 Instrumen Penelitian
         Instrumen utama penelitian kualitatif ini adalah manusia, yaitu peneliti sendiri. Dalam hal ini peneliti berdiskusi dengan informan kunci yang berpengetahuan luas. Peneliti melakukan pengamatan, wawancara dan diskusi. Instrumen pedoman wawancara, fasilitas perekaman, dan pencatatan data.
         Pedoman wawancara akan dilakukan dalam bahasa daerah setempat, dengan
menggunakan rincian-rincian pertanyaan yang memadai teristimewa dapat membantu peneliti dalam mengadakan wawancara. Peneliti telah mempersiapkan beberapa pertanyaan pokok dalam wawancara dan diskusi dengan para informan yang dianggap mempunyai integritas diri yang baik. Rincian-rincian itu masih bersifat alternatif dan sementara, karena disesuaikan dengan waktu, tempat, dan keadaan pada saat pelaksanaannya. 
3.7 Teknik Pengumpulan Data
         Data diperoleh melalului wawancara yang insentif dengan key informan. Hasil wawancara dicatat sebagai infentaris dalam menganalisa data nanti. Berbagai cara wawancara yang peneliti lakukakan, yaitu melalui wawancara langsung dan wawancara tidak langsung. Wawancara langsung yaitu peneliti bertemu dan berbicara serta memeberri berbagai pertanyaan di bawah epat mata. Tetepi juga wawancara tidak langsung yaitu melalui media sosial yang ada, seseprti via telpon, SMS, email Facebook dan Whats Upp. Dengan sasaran key informan atau darimana data itu didapat ilaha orang-orang yang punya kridibilitas. Adapun wawancara baik langsung maupun tidak langsung dilakukan dengan serius dan menggali informasi dengan berdiskusi lebih lanjut.
         Selain data yang didapat melalui wawancara langsung dan tidak langsung, data tentang Pii Pato juga didapatkan melalui berbagai buku serta jurnal yang berbicara tentang budaya Maronggela. Sumber pustaka dari peneliti terdahulu walau bukan berbicara secara spesifik topic yang sama, namun ada kemiripan secara garis besar.
Semua data yang diperoleh dikumpulkan dalam jurnal harian peneliti, dalam rekaman serta terjaga baik demi lancrnya penelitian.
3.8 Teknik Analisa Data
3.8.1 Interpretasi
         Dengan berpedoman pada bahan-bahan yang ada baik itu hasih wawancara, hasil pengamatan terlibat, kajian pustaka dan kajian-kajian yang lain yang telah mendukung tema yang telah digarap, maka penulis berusaha untuk mendalami ritus Pii Pato, serta merefleksikannya secara filosofis untuk menemukan filsafat nama yang dianut dalam Masyarakat Maronggela, Kecamatan Riung Barat, Kabupaten Ngada.
3.8.2 Koherensi Intern
         Untuk mendapat suatu interpretasi yang tepat menganai topic yang diteliti, maka penulis akan memperhatikan secara akurat elemen-elemen yang terkait di dalamnya. Semuanya disusun dalam kerangka yang logis dan sistematis.
3.8.3 Deskripsi
         Penulis akan berusaha mendalami dan memahami konsep para ahli berhubungan dengan topik yang dipilih melalui kajian pustaka sebagai refrensi. Dengan itu penulis berusaha membahasakan topic yang digarap dengan bantuan pemikiran filsafat dalam hal ini filsafat Cina tentang nama, serta bantuan dari sumber-sumber buku lain atau kamus dan ensilklopedi.
3.8.4 Holistik
         Kajian ini dilihat secara menyeluruh adalah pembahasan tentang Filsafat Nama, yang terimplisit melalui ritus pemberia nama (Pii Pato), dalam Masyarakat Maronggela. Penulis yakin hal ini akan dibuktikan dalam penelitian lebih lanjut.
3.9 Teknik Menyajikan Hasil Analisis Data
         Penyajian hasil analisis data kualitatif ini akan dideskripsikan selain dalam bentuk naratif (informal), juga dengan cara menginterpretasi dan merefleksikan hasil penelitian.
3.10 Jadwal  Kegiatan:
         Kegiatan penelitian ini akan dilakukan selama enam bulan mulai dari tanggal 29 Oktober 2018 sampai taggal 28 Mei 2019, yang terbagi atas enma bagian:
Pertama, tahap persiapan
         Pada tahap ini penulis mempersiapkan daftar pertanyaan dan menentukan para informan yang akan diwawancarai. Tahap persiapan ini dimulai tanggal 29 Oktober 2018 sampai tanggal 2 Desember  2018, selama lima hari.
Kedua, tahap pelaksanaan:
         Tahap pelaksanaan yang dimaksud adalah tahap memulai wawancara. Pada tahap ini penulis memulai wawancara orang-orang yang memiliki pengetahuan yang memadai tentang tema yang digarap ini. Tahap pelaksanaan dimulai selama satu satu bulan atau lebih yang dimulai dari tanggal 3 Desember 2018 sampai tanggal 6 Januari 2018.
Ketiga, tahap penyusunan hasil penelitian sementara
         Pada tahap ini penulis mulai menyusun dan merangkum semua hasil penelitian ini dalam bentuk satu karya yang belum “finish”. Dengan cara ini penulis coba menemukan inti penelitian penulis yang kemudian akan diperkenalan kepada kalayak. Tahap ini terjadi dalam kurun waktu dua bulan yang dimulai tanggal 8 Januari sampai 14 Februari 2018.
Keempat, tahap laporan hasil penelitian
         Pada tahap ini penulis memaparkan hasil penelitian sementara dan penulis berusaha meyakinkan para pembimbing agar menerima hasil penelitian ini dan selanjutnya bersedia membimbing penulisan dalam proses penulisan skripsi. Tahap ini dilaksanakan pada tanggal 28 Februari 2019.
Kelima, Penyusunan Skripsi
         Setelah hasil penelitian sementara ini disetujui oleh penguji melalui seminar proposal, penulis mulai melangkah ke tahap berikut yaitu tahap penyusunan skripsi. Tahap ini terjadi selama dua bulan lebih, yang dimulai pada tanggal 1 Maret sampai pada tanggal 20 Mei.
Keenam tahap pemaparan hasil penyusunan skripsi
         Pada tanggal 30 Mei, semua hasil penelitian sudah rampung dan siap untuk diuji kebenarannya.

DAFTAR PUSTAKA
Ø  Adams, Cindy., Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Terj. Syamsu Hudi, Jakarta: Yayasan Bung Karno, 2014 edisi revisi
Ø  Arndt, SVD, Paul., Agama Orang Ngadha; Dewa, Roh-roh, Manusia dan Dunia (vol. 1), (Paulus Sabon Nama, penerj.),  Maumere: Candraditya, 2005
Ø  Bagus, Lorens.,  Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2000
Ø  Bolong, OCD, Bertolomeus dan Drs. Cyrilus Sungga S., Tuhan Dalam Pintu Pazir; Tinjaun Filosofis Tentang Tuhan Dalam Kepercayaan Asli Orang Riung, Flores, Ende: Nusa Indah, 1999
Ø  Jegalus, MA, Nobertus., Filsafat Kebudayaan (diktat),  Kupang: Fakultas Filsafat Unwira, 2007
Ø  Koentjaraningrat, Prof. Dr., Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1999
Ø  Koller, John M., Filsafat Asia, (Donatus Sermada pnej.),  Maumere: Ledalero, 2010
Ø  Setiawan, Hendro., Manusia Utuh, Sebuah Kajian Atas Pemikiran Abraham Maslow, Yogyakarta: Kanisius, 2014
Ø  Sihotang, Kasdin., Filsafat Manusia, upaya membangkitkan humansme, Yogyakarta: Kanisius, 2009, cet-8, 2017
Ø  Simandjuntak, B. A., Upacara Kelahiran Pada Orang Batak Toba, 49-70,  dalam Koentjaraningrat editor, Ritus Peralihan Di Indonesia,  Jakarta: PN Balai Pustaka, 1985
Ø  Sujarwa, M. Hum, Drs., Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Ø  (Wawancara, Minggu 11-11-2018, via telpon), Narasumber bapak : David No’
DAFTAR QUESTIONER
1.     Bagaimana asal-usul orang Maronggela?
2.     Bagaimana bahasa yang digunakan pada masyarakat Maronggela?
3.     Bagaimana struktur kepemimpinan pada budaya Marongggela?
4.     Bagaimana penghargaan terhadap Tuhan pada kebudayaan Maronggela?
5.     Bagaimana penghargaan terhadap sesama pada kebudayaan Maronggela?
6.     Apa itu ritus Pii Pato (pemberian nama)? Bagaiamana mekanisme ritual Pii Pato dilaksanakan?
7.     Siapa yang wajib mengikuti ritus Pii Pato ?
8.     Kapan  ritual Pii Pato terbeut dilaksanakan?
9.     Dimanakah tempat yang cocock untuk melakukan ritual Pii Pato?
10.  Apa saja hewan korban yang dibutuhkan?
11.  Apa makna nama bagi orang dari kebudayaan Maronggela?
12.  Bagaimaankah penghargaan terhadap sebuah nama pada masyarakat Maronggela?
13.  Apa makna religius dari nama?
14.  Apa makna sosial dari nama?
15.  Apa makna nama bagi pribadi bersangkutan?




[1] A. Mangunhardjana, Isme-Isme Dalam Etika, dari A sampai Z, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm.5

[2] John M. Koller, Filsafat Asia, (Donatus Sermada pnej.), (Maumere: Ledalero, 2010), hlm.548-549
[3] Kasdin Sihotang, Filsafat Manusia, Upaya Membangkitkan Humansme, (Yogyakarta: Kanisius, 2009, cet-8, 2017), hlm. 45
[4] Lorens bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 242-243
[5] Lorens bagus,  Op.Cit., hlm. 686


[6]John M. Koller, Loc.Cit.
[7] Bertolomeus Bolong, OCD dan Drs. Cyrilus Sungga S., Tuhan Dalam Pintu Pazir; Tinjaun Filosofis Tentang Tuhan Dalam Kepercayaan Asli Orang Riung, Flores, (Ende: Nusa Indah, 1999), hlm. 91-92
[8] Paul Arndt, SVD, Agama Orang Ngadha; Dewa, Roh-roh, Manusia dan Dunia (vol. 1), (Paulus Sabon Nama, penerj.), (Maumere: Candraditya, 2005), hlm. 80-81
[9] Menurut cerita rakyat yang berkembang di kalangan orang Maronggela, dahulu sebelum masyarakat sekarang berpindah ke lembah mereka masih menetap di kampong yang namanya Warukia. Ada tradisi berburu. Dari Warukia yang di ketinggian menuju lembah. Seseorang bernama Nggela sering setelah berburu istirahat di lembah bukit Poso itu, nah masyarakat karena tahu pasti bahwa Nggela setiap usai berburu selalu beristirahat di tempat tersebut mereka lalu membuat kesimpulan bahwa itu adalah tempat istirahatnya Nggela, yang dalam bahasa setempat disebut Maronggela. (Wawancara, Minggu 11-11-2018, via telpon), Narasumber bapak : David No’.
[10] Prof. Dr. Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1999), hlm. 190
[11] Nobertus Jegalus, MA, Filsafat Kebudayaan (diktat), (Kupang: Fakultas Filsafat Unwira, 2007), hlm. 11
[12] Ibid, hlm. 14
[13] Andre Martinent., Elements de Linguistique Generale  (Paris, Librairie Armand COLIN, 1980)., terjemahan Indonesia, Ilmu Bahasa Pengantar.,( Yogyakarta, Kanisius, 1987). hlm.32.
[14] Walau wakil Ulu Golo tetapi dari wibawanya tetap berada setelah Ga’en Wongko’.
[15] Ghan Weton adalah salah satu upacara di Maronggela.
[16] B.A Simandjuntak, Upacara Kelahiran Pada Orang Batak Toba, 49-70, dalam Koentjaraningrat editor, Ritus Peralihan Di Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1985), hlm. 63-64

catatan: Proposal ini belum direvisi, 
Oleh Sintuz Bezy
Penfui- Kupang 03/03/2019


  Perihal Hidup: Sejak awal 2023, saya sudah disibukkan dengan satu pekerjaan baru yakni penyelenggara Pemilu persisnya panwaslu desa (PKD...