Rabu, 06 Maret 2019

Perjuangan Ayahku




"PERJUANGAN AYAHKU.."


(Oleh: sdra. Billy)

Semilir angin yang berhembus dari arah taman bunga, begitu terasa di tubuhku yang masih bertelanjang dada sehabis mandi. Suasana dalam biara begitu sepi, sunyi, sehingga kadang  membosankan. Hanya sesekali terdengar bunyi music dari balik tembok biara. Musik itu diputar oleh anak-anak kost yang tinggal di sekitar Biara. Mereka adalah para pelajar yang sedang belajar di beberapa Universitas yang ada di kota Kupang.
Bagi mereka, hidup ini terasa begitu kejam, bengis dan tak berperasaan. Membutuhkan perjuangan keras untuk mendapat sesuap nasi di siang dan malam. Sehari makan sekali, bagai hidup pada masa rodi dan romusa. Tetapi sebenarnya itulah hidup. Untuk mencapai kesuksesan di hari kelak, maka harus ada perjuangan. Tidak ada satu hal pun yang gratis di dunia ini.        Ya, semuanya butuh perjuangan. Setidaknya itulah seutas kalimat yang aku timba dari ayah, ketika ayah masih hidup, lima tahun yang tahun yang lalu.
Kala itu aku masih menjadi seorang bocah kecil. Berat badanku hanya berkisar antara 15 sampai 20 kilo gram. Bocah ingusan, kurus, kering, kotor, dan sering sakit-sakitan. Suka memanjat pohon, mencuri buah mangga, bermain gasing, kalereng, dan berbagai macam permainan konyol lainya sampai harus bertengkar dan berdarah-darah. Hanya karena suka bermain, aku sering lupa makan, lupa minum, bahkan lupa berdoa. Hal mana, sudah sering diajarkan oleh ayahku dalam rumah. Suatu hari, aku pergi kebun bersama ayah. Aku menunggangi kerbau kesayanganku, sedang ayahku berjalan kaki di depan, sambil menarik tali kerbau yang aku tumpangi. Di tengah jalan, kerbau melihat kubangan yang ada di tepi jalan. Maka dengan naluri kebinatangannya, kerbau langsung berlari menuju kubangan.Selanjutnya apa boleh buat, aku dan kerbau sama-sama tercebur ke dalam kubangan. Ketika keluar dari kubangan, aku melihat ayah tertawah terkekeh-kekeh menatapku yang berdiri kaku di samping kerbau. “Sekarang kamu dan kerbau tidak ada perbedaan. Kerbau induknya, dan kamu anaknya.’ Canda ayah sambil mengikat kembali sarung parang pada pinggangnya. Tubuhku penuh lumpur. Dari ujung rambut sampai ujung kaki. Yang terlihat hanya gigi dan biji mata saja. Sejak saat itulah, ayah mulai menyapaku dengan nama “Anak Kerbau”.  Itulah kenangan manisku bersama ayah.
Lamunanku buyar ketika mendengar lonceng biara sebagai tanda pergantian aktivitas. Aku bergegas mengenakan pakayan dan langsung menuju kapela untuk memulai doa kunjungan Sakrament kudus. Sosok ayah yang gigih dalam kerja, semangat, dan teguh berkomitmen, tetap terpatri dalam pikiranku, mengiringi langkah kakiku menuju kapela. Di dalam doaku sore itu, aku memohon kepada Tuhan agar ayah diperkenankan mendapat tempat di surga bersama dengan orang-orang pilihanNya. Tetapi bukan kerana kehendaku, melainkan kehendak Dia yang terjadi. Dia yang memberi rahmat hidup dan mati manusia, Dia pula yang menghapus segala dosa dan kekilafan makluk ciptaanNya. “Ayah, aku sangat merindukanmu” gumam hatiku sambil menghapus kembali air mata yang membasahi pipiku.
Langkah ayah mulai goyah ketika aku masih duduk di bangku SD. Sebenarnya, ayahku mengidap penyakit pernafasan. Nafas ayah selalu terengah-engah pada malam hari ketika sedang tidur, duduk, berbicara, atau berjalan kaki. Namun setiap kali aku bertanya, ayah selalu menjawab bahwa itu hanya bercanda saja. Semua itu ayah lakukan, karena memang sifat dasarnya yang tidak suka merepotkan orang lain. Bertahun-tahun sudah ayah  menyembunyikan penyakit itu dari aku dan ibuku. Sesulit dan sesakit apapun penyakit yang ia derita, ayah tidak pernah terbuka. Berulang kali aku melihat ayah menangis sendiri di pematang sawah, mungkin karena mengerang rasa sakit yang begitu menusuk. Kadang membuat ayah sampai tertidur di tanah, menahan dada karena sesak nafas. Hanya saja,  saat itu aku masih kecil.  Aku tidak mengerti mengapa ayah sering berlaku seperti itu. Semua rasa sakit itu ayah terima, sebagai pengorbanan cintanya kepada keluargaku. Ayah berpikir, jika nanti ia harus kembali ke hadirat Allah, siapakah yang memberi makan anak dan istrinya? Aku masih terlalu kecil untuk dipaksa bekerja keras. Oleh karena itu, tidak ada cara lain, selain memaksa diri untuk terus bekerja dan bekerja.
Aku beranjak keluar dari kapela bersama kawan-kawanku yang lain. Selangkah di depanku, ada frater Koni dan frater Ulle. Mereka berjalan keluar sambil bersenggolan badan, menunjukan kekuatan siapa yang lebih hebat. “Walleee, kau ini”, kata frater Koni dengan logat Bajawa-nya yang kental, sambil meraih bahu frater Ulle. “Terus kau mau apa? Saya tunggu kau di boulefard ew!!!” ancam frater Ulle sambil mencekik leher frater Koni. Di belakangku, ada frater Sintus dan frater Patris, mereka tengah asik berdebat tentang politik di tanah air. Setidaknya, itulah sejumlah percakapan yang menyertai perjalanan kami dari kapela menuju ke kamar masing-masing.
Wajah ayah kembali menguasai pikiranku ketika aku membuka buku harianku.     Tanggal 16 mey 2014, jam tujuh malam, aku mendengar kabar dari kampung bahwa ayahku telah meninggal dunia. Kala itu, aku masih duduk di bangku SMA Negeri Satu, kelas 12, di Kecamatan Riung Barat, alias Maronggela, Kabupaten Ngada, Flores, NTT. Masih terngiang jelas di memoriku ketika ayah memberiku pesan sebelum berangkat ke Maronggela, “Emma, pergi jangan terlalu lama. Kalau sudah habis sekolah, pulang cepat ke sini, jaga mama dan adik-adikmu” kata ayah sambil membuat tanda salib di keningku sebagai berkat. Apa yang terjadi selanjutnya, belum sempat menyelesaikan sekolahku, ayah sudah meninggal dunia terlebih dahulu. Itulah yang menyayat hatiku sampai tak mampu menahan derain air mata di pipiku senja itu. Aku meresa kehilangan yang begitu besar dalam sejarah. Hampa di tengah gelapnya hidup yang kian menyiksa. Aku merasa ayah terlalu tega meninggalkan kami sendirian. Semuanya terasa begitu sulit untuk menerima kenyataan pahit ini. “Ayah, aku belum tamat SMA, mengapa ayah sudah meninggalkan aku. Ayah, janjiku belum kupenuhi” tangisku di samping pembaringan ayah kala itu.
Setelah ayah dikuburkan, orang-orang mulai pulang ke rumah masing-masing. Hanya aku yang masih duduk di samping kubur ayah. Aku membayangkan betapa berat tanggung jawabku sebagai anak pertama.  Apa yang harus aku lakukan untuk membiayai hidup keluargaku. Tidak ada warisan dari nenek moyangku yang masih ada sampai saat ini, bahkan rumahpun masih berdinding pelupu. Haruskah aku berhenti sekolah, pergi merantau ke Malaysia mencari uang?
Seminggu kemudian, semua keluargaku berkumpul kembali untuk membahas tentang masa depanku. Mereka memutuskan agar aku tetap melanjutkan pendidikanku samapai selesai. Mengenai biaya setelah tamat SMA, mereka akan berjuang keras mengumpulkan uang agar aku tetap sekolah. “Fian, kami hidup susah tidak apa-apa. Hanya makan pisang bakar dan lombok juga tidak masalah, asalakan bisa hidup. Hidup susah bagi kami itu biasa, bahkan sandal jepit sepasangpun tidak bisa beli, masih dianggap biasa. Inilah kami yang tidak sekolah. Olah karena itu, kamu yang sekolah ini, berjuanglah sampai selesai.” Kata Bapa kecilku yang duduk di hadapanku dalam lingkaran usai makan malam. “Ema,orang cap kami manusia bodoh, juga kami terima. Karena memang kami tidak sekolah. Maka, kamu yang sekolah ini harus sampai selesai, supaya bisa bela kami. Setidaknya bisa mengangkat martabat keluarga kita yang kurang dihargai” Lanjut Ejaku sambil menyalakan api pada ujung batang rokoknya. Aku menatap keluargaku yang lain satu persatu. Ibuku hanya diam saja, berusaha menahan air mata. Sedang yang lain kebanyakan menunduk kepala, sambil sesekali meneguk kopi yang ada dalam gelas. Bibi dan Tantaku juga diam. Hanya diamnya mereka sambil terus memamah siri pinang. Aku melirik adik-adiku yang ada di sebelah kananku. Mereka tanpak begitu terlelap dalam tidurnya, setelah puas bermain karet gelang. Keesokan harinya, aku kembali ke Maronggela, melanjutkan sekolahku hingga tamat SMA.
Kini, lima tahun sudah setelah kepergian ayah. Namun semua kenangan bersama ayah masih terlukis jelas di benakku. Juga semua pesan-pesan keluargaku malam itu, masih kuingat dengan begitu detail. Wajah kusam mereka karena beban kerja, dipadu dengan gigi-gigi merah karena siri pinang.  Tulang pipi yang keriput. Kulit yang terbakar matahari, rambut mogi yang kurang terurus, dan semua kenanganku bersama mereka, mengalun dan mengalir dalam setiap derap langkahku dalam Biara. Tuhan, hapuskanlah dosa ayahku, dan terimalah ia dalam cahaya wajahmu. Dan juga mohon berkatmu untuk seluruh keluargaku di kampungku, Tajo, kecamatan Wolomeze, kabupaten Ngada. Itulah kisahku, sang “Anak kerbau”, yang kini menjadi Frater Karmel OCD Indonesia, tinggal di Biara Karmel San Juan, Penfui Kupang.

Berdasarkan kisah nyata dari Frater Fian Noy, OCD.
Ditulis dan dirangkai oleh Frater Billy Suna, OCD.



3 komentar:

  Perihal Hidup: Sejak awal 2023, saya sudah disibukkan dengan satu pekerjaan baru yakni penyelenggara Pemilu persisnya panwaslu desa (PKD...