"PERJUANGAN AYAHKU.."
(Oleh: sdra. Billy)
Semilir angin yang berhembus dari
arah taman bunga, begitu terasa di tubuhku yang masih bertelanjang dada sehabis
mandi. Suasana dalam biara begitu sepi, sunyi, sehingga kadang membosankan. Hanya sesekali terdengar bunyi
music dari balik tembok biara. Musik itu diputar oleh anak-anak kost yang
tinggal di sekitar Biara. Mereka adalah para pelajar yang sedang belajar di
beberapa Universitas yang ada di kota Kupang.
Bagi mereka, hidup ini terasa
begitu kejam, bengis dan tak berperasaan. Membutuhkan perjuangan keras untuk
mendapat sesuap nasi di siang dan malam. Sehari makan sekali, bagai hidup pada
masa rodi dan romusa. Tetapi sebenarnya itulah hidup. Untuk mencapai kesuksesan
di hari kelak, maka harus ada perjuangan. Tidak ada satu hal pun yang gratis di
dunia ini. Ya, semuanya butuh
perjuangan. Setidaknya itulah seutas kalimat yang aku timba dari ayah, ketika
ayah masih hidup, lima tahun yang tahun yang lalu.
Kala itu aku masih menjadi seorang
bocah kecil. Berat badanku hanya berkisar antara 15 sampai 20 kilo gram. Bocah
ingusan, kurus, kering, kotor, dan sering sakit-sakitan. Suka memanjat pohon,
mencuri buah mangga, bermain gasing, kalereng, dan berbagai macam permainan
konyol lainya sampai harus bertengkar dan berdarah-darah. Hanya karena suka
bermain, aku sering lupa makan, lupa minum, bahkan lupa berdoa. Hal mana, sudah
sering diajarkan oleh ayahku dalam rumah. Suatu hari, aku pergi kebun bersama
ayah. Aku menunggangi kerbau kesayanganku, sedang ayahku berjalan kaki di
depan, sambil menarik tali kerbau yang aku tumpangi. Di tengah jalan, kerbau
melihat kubangan yang ada di tepi jalan. Maka dengan naluri kebinatangannya,
kerbau langsung berlari menuju kubangan.Selanjutnya apa boleh buat, aku dan
kerbau sama-sama tercebur ke dalam kubangan. Ketika keluar dari kubangan, aku
melihat ayah tertawah terkekeh-kekeh menatapku yang berdiri kaku di samping
kerbau. “Sekarang kamu dan kerbau tidak ada perbedaan. Kerbau induknya, dan
kamu anaknya.’ Canda ayah sambil mengikat kembali sarung parang pada
pinggangnya. Tubuhku penuh lumpur. Dari ujung rambut sampai ujung kaki. Yang
terlihat hanya gigi dan biji mata saja. Sejak saat itulah, ayah mulai menyapaku
dengan nama “Anak Kerbau”. Itulah
kenangan manisku bersama ayah.
Lamunanku buyar ketika mendengar
lonceng biara sebagai tanda pergantian aktivitas. Aku bergegas mengenakan
pakayan dan langsung menuju kapela untuk memulai doa kunjungan Sakrament kudus.
Sosok ayah yang gigih dalam kerja, semangat, dan teguh berkomitmen, tetap terpatri
dalam pikiranku, mengiringi langkah kakiku menuju kapela. Di dalam doaku sore
itu, aku memohon kepada Tuhan agar ayah diperkenankan mendapat tempat di surga
bersama dengan orang-orang pilihanNya. Tetapi bukan kerana kehendaku, melainkan
kehendak Dia yang terjadi. Dia yang memberi rahmat hidup dan mati manusia, Dia
pula yang menghapus segala dosa dan kekilafan makluk ciptaanNya. “Ayah, aku
sangat merindukanmu” gumam hatiku sambil menghapus kembali air mata yang
membasahi pipiku.
Langkah ayah mulai goyah ketika aku
masih duduk di bangku SD. Sebenarnya, ayahku mengidap penyakit pernafasan.
Nafas ayah selalu terengah-engah pada malam hari ketika sedang tidur, duduk,
berbicara, atau berjalan kaki. Namun setiap kali aku bertanya, ayah selalu
menjawab bahwa itu hanya bercanda saja. Semua itu ayah lakukan, karena memang
sifat dasarnya yang tidak suka merepotkan orang lain. Bertahun-tahun sudah
ayah menyembunyikan penyakit itu dari
aku dan ibuku. Sesulit dan sesakit apapun penyakit yang ia derita, ayah tidak
pernah terbuka. Berulang kali aku melihat ayah menangis sendiri di pematang
sawah, mungkin karena mengerang rasa sakit yang begitu menusuk. Kadang membuat
ayah sampai tertidur di tanah, menahan dada karena sesak nafas. Hanya saja, saat itu aku masih kecil. Aku tidak mengerti mengapa ayah sering
berlaku seperti itu. Semua rasa sakit itu ayah terima, sebagai pengorbanan
cintanya kepada keluargaku. Ayah berpikir, jika nanti ia harus kembali ke
hadirat Allah, siapakah yang memberi makan anak dan istrinya? Aku masih terlalu
kecil untuk dipaksa bekerja keras. Oleh karena itu, tidak ada cara lain, selain
memaksa diri untuk terus bekerja dan bekerja.
Aku beranjak keluar dari kapela
bersama kawan-kawanku yang lain. Selangkah di depanku, ada frater Koni dan frater
Ulle. Mereka berjalan keluar sambil bersenggolan badan, menunjukan kekuatan
siapa yang lebih hebat. “Walleee, kau ini”, kata frater Koni dengan logat
Bajawa-nya yang kental, sambil meraih bahu frater Ulle. “Terus kau mau apa?
Saya tunggu kau di boulefard ew!!!” ancam frater Ulle sambil mencekik leher
frater Koni. Di belakangku, ada frater Sintus dan frater Patris, mereka tengah
asik berdebat tentang politik di tanah air. Setidaknya, itulah sejumlah
percakapan yang menyertai perjalanan kami dari kapela menuju ke kamar
masing-masing.
Wajah ayah kembali menguasai
pikiranku ketika aku membuka buku harianku.
Tanggal 16 mey 2014, jam tujuh malam, aku mendengar kabar dari kampung
bahwa ayahku telah meninggal dunia. Kala itu, aku masih duduk di bangku SMA Negeri
Satu, kelas 12, di Kecamatan Riung Barat, alias Maronggela, Kabupaten Ngada,
Flores, NTT. Masih terngiang jelas di memoriku ketika ayah memberiku pesan
sebelum berangkat ke Maronggela, “Emma, pergi jangan terlalu lama. Kalau sudah
habis sekolah, pulang cepat ke sini, jaga mama dan adik-adikmu” kata ayah
sambil membuat tanda salib di keningku sebagai berkat. Apa yang terjadi
selanjutnya, belum sempat menyelesaikan sekolahku, ayah sudah meninggal dunia
terlebih dahulu. Itulah yang menyayat hatiku sampai tak mampu menahan derain
air mata di pipiku senja itu. Aku meresa kehilangan yang begitu besar dalam
sejarah. Hampa di tengah gelapnya hidup yang kian menyiksa. Aku merasa ayah
terlalu tega meninggalkan kami sendirian. Semuanya terasa begitu sulit untuk menerima
kenyataan pahit ini. “Ayah, aku belum tamat SMA, mengapa ayah sudah
meninggalkan aku. Ayah, janjiku belum kupenuhi” tangisku di samping pembaringan
ayah kala itu.
Setelah ayah dikuburkan,
orang-orang mulai pulang ke rumah masing-masing. Hanya aku yang masih duduk di
samping kubur ayah. Aku membayangkan betapa berat tanggung jawabku sebagai anak
pertama. Apa yang harus aku lakukan untuk
membiayai hidup keluargaku. Tidak ada warisan dari nenek moyangku yang masih
ada sampai saat ini, bahkan rumahpun masih berdinding pelupu. Haruskah aku
berhenti sekolah, pergi merantau ke Malaysia mencari uang?
Seminggu kemudian, semua keluargaku
berkumpul kembali untuk membahas tentang masa depanku. Mereka memutuskan agar
aku tetap melanjutkan pendidikanku samapai selesai. Mengenai biaya setelah
tamat SMA, mereka akan berjuang keras mengumpulkan uang agar aku tetap sekolah.
“Fian, kami hidup susah tidak apa-apa. Hanya makan pisang bakar dan lombok juga
tidak masalah, asalakan bisa hidup. Hidup susah bagi kami itu biasa, bahkan
sandal jepit sepasangpun tidak bisa beli, masih dianggap biasa. Inilah kami
yang tidak sekolah. Olah karena itu, kamu yang sekolah ini, berjuanglah sampai
selesai.” Kata Bapa kecilku yang duduk di hadapanku dalam lingkaran usai makan
malam. “Ema,orang cap kami manusia bodoh, juga kami terima. Karena memang kami
tidak sekolah. Maka, kamu yang sekolah ini harus sampai selesai, supaya bisa
bela kami. Setidaknya bisa mengangkat martabat keluarga kita yang kurang
dihargai” Lanjut Ejaku sambil menyalakan api pada ujung batang rokoknya. Aku
menatap keluargaku yang lain satu persatu. Ibuku hanya diam saja, berusaha
menahan air mata. Sedang yang lain kebanyakan menunduk kepala, sambil sesekali
meneguk kopi yang ada dalam gelas. Bibi dan Tantaku juga diam. Hanya diamnya
mereka sambil terus memamah siri pinang. Aku melirik adik-adiku yang ada di
sebelah kananku. Mereka tanpak begitu terlelap dalam tidurnya, setelah puas
bermain karet gelang. Keesokan harinya, aku kembali ke Maronggela, melanjutkan
sekolahku hingga tamat SMA.
Kini, lima tahun sudah setelah
kepergian ayah. Namun semua kenangan bersama ayah masih terlukis jelas di
benakku. Juga semua pesan-pesan keluargaku malam itu, masih kuingat dengan
begitu detail. Wajah kusam mereka karena beban kerja, dipadu dengan gigi-gigi
merah karena siri pinang. Tulang pipi
yang keriput. Kulit yang terbakar matahari, rambut mogi yang kurang terurus,
dan semua kenanganku bersama mereka, mengalun dan mengalir dalam setiap derap
langkahku dalam Biara. Tuhan, hapuskanlah dosa ayahku, dan terimalah ia dalam
cahaya wajahmu. Dan juga mohon berkatmu untuk seluruh keluargaku di kampungku,
Tajo, kecamatan Wolomeze, kabupaten Ngada. Itulah kisahku, sang “Anak kerbau”,
yang kini menjadi Frater Karmel OCD Indonesia, tinggal di Biara Karmel San
Juan, Penfui Kupang.
Berdasarkan
kisah nyata dari Frater Fian Noy, OCD.
Ditulis
dan dirangkai oleh Frater Billy Suna, OCD.
berdasarkan kisah nyata
BalasHapusAduhhhhhh..... Sedihhh lee kak Fr..
BalasHapusMirip skali dengn KisahKu ����
benaran kh
Hapus///?