FILSAFAT NAMA MENURUT PI’I PATO’ PADA KEBUDAYAAN MARONGGELA,
RIUNG BARAT, KAB. NGADA
Proposal
Penelitian
(Diajukan Kepada
Fakultas Filsafat
Universitas
Katolik Widya Mandira Kupang
Guna Memperoleh
Izin Menulis Skripsi)
KRISANTUS
YUSTUS
NOREG
: 611 15 005
FAKULTAS
FILSAFAT
UNIVERSITAS
KATOLIK WIDYA MANDIRA
KUPANG
2019
DAFTAR ISI
Halaman Judul............................................................................................................... i
Halaman Pengesahan.................................................................................................... ii
Daftar Isi....................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................. 1
1.1 Latar
Belakang........................................................................................................ 1
1.2 Perumusan Masalah................................................................................................ 5
1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................................... 5
1.4 Keguaan
Penulisan.................................................................................................. 5
BAB II KAJIAN KONSEP............................................................................................ 7
2.1 Filsafat..................................................................................................................... 7
2.1.1 Filsafat Sebagai Karya Reflektif......................................................................... 8
2.2 Nama....................................................................................................................... 9
2.2.1 Nama Religius ..................................................................................................... 9
2.2.2 Nama Marga........................................................................................................ 10
2.3 Filsafat Nama......................................................................................................... 10
2.3.1 Nama Dalam Filsafat Cina (Pembetulan Nama (cheng-ming))
........................ 11
2.3.2 Nama Dalam Tradisi Kristen
............................................................................. 12
2.3.3 Nama Dalam Budaya Maronggela...................................................................... 12
2.4 Budaya Maronggela............................................................................................... 14
2.4.1 Religiositas.......................................................................................................... 15
2.4.2 Bahasa Maronggela............................................................................................. 15
2.4.3 Struktur Sosial..................................................................................................... 17
2.4.4 Sistem Perkawin.................................................................................................. 18
2.5 Makna Filosofis Pii
Pato (Pemberian Nama)....................................................... 18
2.5.1 Arti Pii
Pato........................................................................................................ 18
2.5.2 Makna Pii
Pato................................................................................................... 20
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN....................................................................... 21
3.1
Rancangan Penelitian............................................................................................. 21
3.2 Lokasi
Penelitian.................................................................................................... 21
3.3 Ruang
Lingkup Penelitian...................................................................................... 22
3.4 Jenis
Dan Sumber Data.......................................................................................... 22
3.5 Teknik
Penentuan Imformen.................................................................................. 23
3.6
Instrumen Penelitian.............................................................................................. 23
3.7 Teknik
Pengumpulan Data..................................................................................... 24
3.8 Teknik
Analisa Data............................................................................................... 24
3.8.1
Interpretasi.......................................................................................................... 25
3.8.2
Koherensi Intern.................................................................................................. 25
3.8.3
Deskripsi............................................................................................................. 25
3.8.4
Holistik................................................................................................................ 25
3.9 Teknik
Menyajikan Hasil Analisis Data................................................................ 25
3.10 Jadwal
Kegiatan................................................................................................... 26
Daftar
Pustaka.............................................................................................................. 28
Daftar
Questioner......................................................................................................... 29
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pengantar
Oleh proses globalisasi, bola bumi (globe) kita menjadi kecil, jarak
mendekat dan hubungan dipermudah dan dipererat. Sekarang ini (bila tersedia
uang), dengan berbagai alat trasnportasi kita dapat pergi mengunjungi dan berpindah
dari satu ujung bumi ke ujung bumi yang lain dengan cepat dan nyaman. Oleh
berbagai alat media massa, radio, televisi, surat kabar, majalah, peristiwa
yang terjadi di satu sudut dunia dengan segera dapat diketahui oleh orang-orang
di berbagai sudut dunia yang lain. Pemikiran dan penemuan ilmu teknologi
tersebar ke seluruh dunia dan berbagai ideologi entah secara jelas atau
tersamar, masuk dan beroperasi di setiap ruang di atas bumi.[1]
Dunia kini semacam global-village, tak ada jarak dan tak
ada pembatas. Globalisasi dalam bidang kebudayaan juga sangat terasa. Tergantung
kebudayaan mana yang lebih kuat pengaruhnya, itulah yang akan diiukuti oleh
seluruh penghuni global- village ini.
Dari fakta yang ada umumnya kebudayaan Barat lebih kuat pengaruhnya bagi dunia.
Masuk dan mengggerus kebudayaan-kebudayaan lokal. Orang-orang di desa-desapun
jika ingin eksis, harus ikut tren, mode terbaru, merubah gaya hidup (life style). Hal ini disebut
Westernisasi (West = Barat. Western=orang
Barat), membaratkan budaya local.
Westernisasi mempengaruhi
kebudayaan lokal, merubah cara pandang tentang makna kehidupan, konsekwensinya tampak
dalam gaya hidup yang serba modern. Unsur primordial dari individu tertantang
dengan tawaran-tawan kebudayaan Barat. Primordialisme agama dan budaya
diwesternisasi. Salah satu betuk primordial dari individu ialah nama diri. Nama
diri adalah ekspresi primordial bahwa dia berasal dari kebudayaa tertentu dan
beragama tertentu. Seharusnya unsur primordialis ini tetap terpelihara sebab
tidak dapat dipungkiri seseorang terlahir dalam kebudayaan dan kepercayaan
tertentu.
Problem weternisasi nama muncul ketika
banyak orang tua yang tidak memahami apa arti sebuah nama, sehingga dalam
pemberian nama kepada anaknya gagal merefleksikan makna terdalam dari nama
tersebut tetapi tergantung penuh pada selera yang bersangkutan. Nama yang
diberi misalnya diambil dari nama bintang film atau pesepak bola dunia bahkan nama artis
papan atas idola orang tua. Hal ini membawa dampak di kemudian hari, ketika
anak bertumbuh tidak sesuai namanya maka ia lalu tidak menghargai lagi nama
yang diberikan oleh orang tuanya, anak tidak bisa bertumbuh seperti bintang
film atau pesepak bola atau artis idola orang tua, sehingga sebebasnya
anak-anak menyamarkan nama mereka.
Problem di atas juga akhir-akhir
ini terjadi pada masyarakat Maronggela, suatu kampung di Kabupaten Ngada.
Kekurang perhatian terhadap makna sebuah nama di masyarakat Maronggela
berdampak pada relativisme nilai, anak-anak menjadi tidak hormat lagi kepada
orang tua padahal dari namanya saja dia adalah anak-anak. Atau beberapa kepala
suku serta orang-orang yang mempunyai wibawa dalam masyarakat menjadi bingung
dengan perannya, padahal nama itu jelas mempertegas peran yang harus dijalani.
Atau kasus lain ketika anak tidak bertumbuh sesuai nama yang diberikan. Sebab
hidup tidak sesuai nama akan terjadi kontradiksi, ketidakharmonisan.[2]
Sebagai bentuk perhatin penulis
terhadap masalah westernisasi nama pada kebudayaan Maronggela maka penulis
berusaha untuk meneliti secara mendalam ritual pemberian nama serta menemukan
makna filosofis dari nama. Asumsi penulis, kebudayaan Maronggela seperti kebudayan-kebudayaan
lokal lainya meyakini bahwa nama mengandung arti yang penting. Banyak suku
mempertahankan sebagian tradisi dengan salah satunya melalui nama-nama yang diberikan
pada anggota keluarga, bahkan pemberian nama selalu disertai dengan kegiatan
ritual baik bersifat agamis maupun bersifat kultural. Tujuannya adalah untuk
keselamatan jiwa si pemilik nama. Tidak jarang pula ketika nama yang diberikan
kepada seseorang tidak cocok, nama itu membawa malapetaka, misalnya pemilik
nama sakit-sakitan. Tidak hanya dalam konteks budaya nama memilki arti yang
penting. Hubungan sang pencipta dengan manusia
dan sebaliknya terjadi dengan nama sebagaimana dialami oleh Musa, YHWH
menyebut diri-Nya sebagai AKU adalah AKU.
Bertolak dari hasil pengamatan
sementara, di Maronggela masih mempraktekkan ritual pemberian nama kepada bayi
yang baru lahir. Ritual itu disebut Pi’i
Pato’ (pemberian nama). Makna
nama bagi masyarakat Maronggela justeru dibentuk dari bagaimana mereka
menjalani Pi’i Pato’. Namun juga
makna sebuah nama itu didapatkan dari menfsir kata-kata atau analisis kata.
Setiap nama pasti memiliki arti tertentu. Nama itu menggambarkan seseorang yang
berwatak tertentu. Kata bagaimana yang
harus ditekan di sini, itu artinya metode penetuan sebuah nama bagi Masyarakat
Maronggela itu sangat penting. Ada persyaratan-persyaratan tertentu yang harus
digenapi dan tidak boleh dilanggat. Sebab jika dilanggar maka akan mendapatkan konsekwensi
yang tidak diinginkan, seperti sakit-sakitan dan bahkan kematian.
Masyarakat dari kebudayaan
Maronggela sebenarnya memiliki filsafat hidup/ padangan hidup (way of life) sebagai pegangan dan noma
tingkah laku. Berkaitan dengan nama, masyarakat kebudayaan Maronggela juga
mayakini bahwa nama itu berdimensi masa lalu dan masa depan. Masa lalu berarti
nama memang diambil dari nama kakek atau nenek sang bayi sebagai kenangan
terhadap mereka, dan dimensi masa depan berbarti ada harapan agar sang bayi
bertumbuh sesuai nama yang diberikan kepadanya. Ketika bertanya “apalah arti sebuah nama” namun nama
mempunyai makna terhadap setiap pribadi. Setiap orang memiliki nama. Nama
merupakan perwujutan, pengejawantahan sekaligus menjadi identitas pribadi
seseorang. Seseorang dipanggil dengan namanya, menyebut nama tidak saja hanya
mengeluarkan bunyi melalui huruf-huruf yang tersusun, melainkan mengandung
makna pengakuan terhadap eksistensi pemilik nama. Pengakuan ini bersifat utuh,
artinya menyebut nama seseorang dengan baik adalah mengakui eksistensi orang
bersangkutan, sebaliknya melecehkan nama seseorang sama dengan melecehkan
pribadi pemilik nama. [3]
Bertolak dari problem di atas penulis dalam
penelitian ini ingin mengulas tuntas tentang filsafat nama yang tersirat di
balik tradisi Pii Pato. Bahwa nama
tidak asal-asalan saja tetapi adalah suatu tanda pribadi, suatu pengenal yang
membedakan dirinya dari yang lain. Suatu keunikkan yang untuk orang lain tidak
ada. Nama itu penting. Fokus penelitian penulis adalah di kampung Maronggela.
Karena Pada prinsipnya orang Maronggela masih sangat menjunjung tinggi filsafat
nama, walau terdapat juga ketidaksesuaian. Arti sebuah nama sangat penting bagi
orang Maronggela, dimana nama seorang anak yang baru lahir diberi sesuai nama
orang dari dalam anggota suku tersebut dan yang lazimnya nama itu adalah
turunan dari nama kakek atau nenek si bayi.
Peneliti melalui tulisan ini akan
memepertanggungjawabkan bagaiaman praktek pemberian nama pada kebudayaan
Maronggela di satu sisi, yaitu mulai dari mekanismenya sampai pada struktur
acara dan di sisi lain juga akan dipaparkan bagamana nilai dan makna serta
filsafat nama, sehingga sebagai judul umum penelitian ini penulis merampungnya
menjadi Filsafat Nama Menurut Pii Pato (pemberian nama) pada Kebudayaan Maronggela,
Kab. Ngada.
1.2 Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang di
atas maka beberapa rumusan masalah yang terungkap dalam bentuk pertanyaan
berikut menjadi penuntun dalam proposal penelitian ini. Adapun hal-hal yang
dipermasalhkan ialah :
1) Siapa
itu orang Maronggela
?
2) Bagaimana praktik ritual Pii Pato (pemberian
nama) ?
3) Apa makna filosofis dari nama dalam ritual Pii
Pato pada masyarakat Maronggela?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah dan latar belakang yang telah dibahas di atas maka
penyusunan proposal ini dibuat dengan tujuannya ialah sebagai berikut:
1) Mengetahui siapa itu orang Maronggela.
2) Mengetahui sedetail mungkin ritual Pii Pato pada masyarakat Maronggela.
3) Mengetahui filsafat nama menurut Pii Pato pada masyarakat
Maronggela.
1.4 Manfaat Penelitian
1) Sebagai
sumbangan bagi Universitas Katolik Widya Mandira Kupang pada umumnya dan
Fakultas Filsafat pada khususnya dalam konteks mengenal budaya asli orang Maronggela teristimewa ritual Pii Pato, sekaligus menggugah hati para
mahasiswa untuk menggali budaya yang terdapat di daerahnya masing-masing dan
menelaahnya menurut disiplin ilmu yang didapatkannya. (bagi FFA)
2) Para
seminaris atau para calon imam boleh mendapatkan sekedar inspirasi dari
penelitian ini, demi persiapan diri menjadi pemimpin iman yang mengenal
keunikan dan latar belakang umat
teristimewa aspek bahasa karena itu yang menentukan siapa mereka. (bagi para seminaris)
3) Sebagai
sumbangan bagi orang Maronggela,
agar mereka semakin cinta akan bahasa
daerahnya yang ternyata mengandung berbagai makna dan nilai, baik nilai religius maupun nilai sosialdan juga sebagai
simbol interaksi
baik yang vertikal,
dengan yang Transenden
maupun yang horizontal, dengan sesama manusia.
4) Dapat
membantu peneliti sendiri untuk semakin mengenal warisan budaya masyarakat Maronggela serta melatih diri
untuk merefleksi fenomen-fenomen kemasyarakatan secara ilmiah.
BAB II
KAJIAN KONSEP
2.1
Filsafat
Filsafat
dari bahasa Yunani philosophia (cinta
akan kebijaksanaan), dari kata philos (cinta)
atau philia (persahabatan, tertarik
kepada) dan sophos (kebijaksanaan,
pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Filsafat berarti
cinta akan kebijaksanaan. Dari sini kita merefleksikan bahwa kebijaksanaan itu
adalah sesuatu yang menjadi ideal manusia, bukan milik manusia sehingga manusia
terus menerus mencari dan mencari serta menemukan jawaban teristimewa
dasar-dasar terakhir segala sesuatu tetapi lebih penting dari itu ialah tentang
asal, eksistensi dan tujuan manusia.[4]
Tentu ada distingsi antara filsafat
barat dan filsafat Timur. Setelah agama-agama wahyu masuk ke dunia barat maka
sebagian dari peran filsafat dijawab oleh agama wahyu misalnya dari mana
manusia berasal, kemana ia akan pergi, bagaimana proses terjadinya alam semesta,
serta berbagai nilai ultim pencarian manusia bisa dijawab oleh
pemikiran-pemikiran agama wahyu. Hal tersebutlah yang terberbedakan dengan
filsafat Timur. Filsafat Timur tetap menjaga perannya, sebagai pandangan hidup (way of life). Hal ini terbukti bahwa
dalam filsafat Timurtidak terdapat kritik, dimana pemikiran sebelumnya dikritik
oleh pemikiran saat ini dan konsep yang
kita terima saat ini akan dikritik oleh pemikiran yang akan datang seperti
dalam tradisi Barat pada umumnya.
Filsafat
dalam tulisan ini lebih menonjol ke filsafat Timur, bagaimana cara pandang
orang tentang hidup serta realitas yang dialami. Cara pandang itu telah menjadi
warisan yang dihidupi secara turun-temurun dan menjadi pedoman tingkah laku
serta pemahaman atas sesuatu hal tertentu. Filsafat timur bukan suatu pemikiran
sistematis hasil analisis rational, namun lebih pada pandangan akan suatu hal
secara logis serta memiliki nilai yang mendalam, nilai inilah diterima serta
dihidupi.
2.1.1
Filsafat Sebagai Karya Reflektif
Filsafat
adalah hasil refleksi manusia tentang berbagai realitas yang dihadapinya. Lebih
dari itu filsafat juga adalah suatu kegiatan refleksi dimana orang terus
mencari dan berusaha menemukan jawaban-jawaban akhir atas pertanyaan mengapa?
Mengapa orang Maronggela harus menjalani ritual Pii Pato (pemberian nama), apakah nama itu begitu penting bagi
masyarakat Maronggela? Sebab sebagai binatang berakal budi manusia tidak akan
mengkianati kodratnya. Berpikir tidak hanya bagi orang yang mengenyam
pendidikan secara formal, tetapi bagi siapa saja, para tua-tua adat juga dapat
berfilsafat serta menemukan alasan-alasan mendalam dari segala realita. Mereka
bahkan menemukan alasan-alasan filosfis yang mendalam serta menjadi landasan
bagi mereka mengapa sesuatu harus dilakukan dan bukan tidak.
Jadi
filsafat sebagai refleksi pada tulisan ini ialah suatu kegiatan dan suatu hasil
pemikiran atas pertanyaan-pertanyaan mengapa suatau kegiatan harus dilakukan
dan bukan tidak. Dalam kaitannya dengan nama, para tua adat sudah memiliki
filsafat atau pendangan tertentu hasil refeleksi mereka tentang apa arti sebuah
nama, sehingga nama itu memang benar dihargai.
2.1.2
Filsafat Mengungkapkan Makna Terdalam Dari Realitas
Filsafat
sebagai suatu kebijaksanaan hidup, suatu pandangan hidup tentang suatu hal atau
pegangan hidup serta cita-cita yang harus digapai dalam hidup karena hal
tersebut memiliki makna terdalam. Sebab orang hanya akan melakukan suatau hal
secara tau dan mau karena hal tersebut itu bermakna. Makna adalah suatu kualitas yang terdapat
dari barang atau hal tertentu. Filsafat mampu menemukan makna terdalam dari
realitas tertentu. Dalam ritual Pii Pato (pemberian
nama), terdapat makna serta nilai yang tersirat. Makna tersebut itulah hasil
olah budi dan itulah filsafat.
Segala
warisan budaya termasuk ritual Pii Pato selalu
memiliki makna terdalam. Selale memiliki filsafat tersendiri. Pemberian nama
mengapa harus tetap dipelihara di kebudayaan Maronggela, karena memilki makna
terdalam. Makna terdalam itulah ekspresi filsafat.
2.2
Nama
Nama dalam
bahasa Latin disebut nomen, dan dalam
bahasa Inggris disebut name. dalam
logika nama adalah suatu ungkapan yang menunjukan sebuah objek dalam arti luas,
sebagai segala sesuatu yang dapat kita sebut dan bukan hanya sebagai suatu obyek
material.
Semantika logis umumnya
menggeluti apa yang disebut segitiga
semantic a) nama; b)obyek yang ditunjukan oleh nama (denotat atau designatum); c)
arti nama.[5]
Nama itu sebagai ekspresi dari unsur primordial seseorang. Unsur primordial
yaitu unsur yang melekat pada seseorang sejak lahinya. Misalnya dia tidak bisa
menyangkai bahwa dirinya orang Maronggela sebab bapaknya berasal dari
Maronggela, atau dia beragama Katolik sebab sudah sipermandikan. Nama dalam
tulisan ini terbagi menjadi beberapa yaitu:
2.2.1
Nama Religius
Nama
religious ialah nama yang diberikan oleh agama kepada pribadi tertentu. Dari
nama religiusnya kita bisa mengetahui seseoran beragama apa. Sebab religiusitas
juga adalah unsure primodiali yang tidak bisa ditolak. Misalnya nama Paulus
atau Petrus pasti orang tersebut beragama Kristen, dibedakan dari nama Muhamad
atau Ibrahim tentu langsug diketahui bahwa orang itu beragama Islam. Tentu
nama-nama ini diambil dari nama tokoh orang kudus tertentu dalam agama
tersebut, hal ini nyata dalam Kristianitas dimana nama Baptis selslu diambil
dari nama orang kudus tertentu, dengan harapan bahwa sang anak akan bertumbuh
dan minghidupi spiritualitas namanya.
2.2.2
Nama Marga
Nama
marga atau fam ialah nama yang
menandakan bahwa seseorang berasal dari
suku tertentu. Orag dapat mengenal jika
mendengar apa nama fam dari
seseorang, dan langsung mengasosiasikan dari suku mana serta dari keturunan
yang mana? Biasanya cara mendapatkannya melalui berbagai ritual adat.
Dalam
kebudayaan Maronggela juga memiliki ritual pemberian nama yang disebut Pii Pato. Melalui ritual inilah seorang
bayi akan mendapatkan nama marganya atau fam.
Nama marga ini sangat penting sebagai pengenal siapa orang tersebut. Ritual Pii Pato sebagai sarana bagi orang
Maronggela untuk memastikan siapa nama yang cocok bagi seorang bayi yang baru
lahir. Ritual ini bahkan membutuhkan
partisipasi dari masyarakat adat, dibutuhkan binatang korban, babi dan ayam
sehingga nama menjadi sangat sakral.
2.3
Filsafat Nama
Filsafat nama
dalam hal ini berarti suatu pemikiran reflektif dan sistematis serta analitis
kritis tentang apa itu nama. Pentingnya suatu nama, mengapa harus ada nama?
terlebih lagi ditinjau dari ritual pemberian nama yang khas. Baik nama untuk
Yang Ilahi, nama untuk menyebut hal-hal yang terdapaat di Kosmos ini serta nama
bagi pribadi-privadi tertentu. Dengan mengobservasi serta menganalisis ritual
pemberian nama dalam budaya-budaya, kita dapat menemukan makna dari nama
seseorang bagi pribadinya juga tentu bagi lingkungan budaya di mana dia hidup.
Sebab
nama Nama itu unik bukan hanya sebagai tanda pengenal, tetapi nama adalah
lambang pribadi, totalitas atau karakteristik dari orang bersangkutan sesuai
dengan namanya. Misalnya nama Batu, dia akan menjadi pribadi yang mencontohi
sifat-sifat batu seperti kerasa dalam pendirian, tahan banting, kuat walau
diterpa bencana. Itu makna dari nama Batu.
Beberapa kebudayaan sangat
menjunjung tinggi ritual pemberian nama ini, sebagai salah satu ritual inisiasi
wajib. Inisiasi yaitu peralihan dari bayi yang terlahir tanpa nama diberikan
nama tertentu sihingga ditertima dalam lingkungan budaya dimana dia hidup.
Berbagai bentuk sesuai kekhasan budaya masing-masing.
2.3.1
Nama Dalam Filsafat Cina (pembetulan nama (cheng-ming))
Satu
dari kunci untuk mengelolah kebajikan dasar manusia yang ditekankan oleh
konghucu adalah pemakaian yang benar kata-kata (cheng-min) yang biasanya
merujuk pada “pembetulan nama”. Pemekaian
yang benar berarti kata harus sesaui dengan realitas yang dinamai. Meskipun
pemakaian yang benar kata-kata dapat dikenakan kepada semua pemakaian bahasa,
tetapi dalam konghucuisme pemakain yang benar pertama-tama dikenakan pada
tindakan-tindakan dan hubungan manusia. Jadi ketika Pemimpin Agung Ching
bertanya kepada Konghucu tentang pemeritahan, Konghucu menjawab, “Biarkanlah
penguasa adalah seorang penguasa, bawahan seorang bawahan, ayah seoragn ayah,
putera seoragn putera”. Hal ini berarti penguasa harus memerintah secara benar,
yaitu tindakannya harus sesuai dengan tujuan tindakan yang mencerminkan makna
kata penguasa. Demikian pula, hal itu
serupa dengan menjadi seorang ayah secara benar. Ayah harus membangun reasi
denga putera-puterinya dengan cara-cara ideal yang sedungguhnya merupakan
bagian dari makna kata ayah.
Jadi
membetulkan nama berarti bukan memilih kata-kata yang tepat untuk melukiskan
sesuatu, tetapi menyesuaikan karakter dan tindakan seseorang dengan cita-cita
normative yang terkandung dalam nama-nama relasi fundamental manusia. Bagi
seorang putra yang harus menjadi seorang putra secara benar, hubungannya dengan
oran tua harus memenuhi cita-cita hsiao. Bagi
seorang sahabat yang menjadi seorang sahabat secara benar, harus relasinya
memenuhi ideas kesetiaan. Jadi, ketika nama dibetulkan, semua hubungan manusia
akan sejalan dengan ideal yang terkandung dalam nama itu. Inilah sebabnya
mengapa masyarakat akan harmonis dan rakyat akan bahagia menurut Konghucuisme,
ketika nama-nama dibetulkan.[6]
2.3.2
Nama Dalam Tradisi Kristen
Dalam
tradisi Kristen nama itu sangat berarti. Karena diambil dari nama orang-orang
kudus, yaitu para leluhur yang telah meninggal dunia namun yang telah
menunjukan kualitas hidup yang patut dicontohi. Bagi orang Kristen mereka ini
adalah orang-orang yang dekat dengan Tuhan. Kedekatan dengan Tuhan dibuktikan
dalam kata-kata dan perbuatan mereka. Oleh karena itulah mereka pantas disebut
suci atau kudus dan layak ditiru perbuatannya. Dengan mengambil nama
orang-orang kudus melalui upacara permandian maka anak yang akan menjadi dewasa
itu diharapkan untuk hidup seturut teladan para kudus tersebut.
2.3.3
Nama Dalam Budaya Maronggela
Orang
Maronggela juga sangat menghargai nama dan berusaha hidup sesuai nama. Nama
justeru sangat penting sebagai gambaran siapa diri seseorang dan apa statusnya dalam
suku Maronggela. Nama bagi Orang Maronggela (Riung) berdimensi dua, yakni
dimensi masa lalu dan masa depan. Nama memiliki dimenci masa lalu artinya nama,
mengenangkan sesuatu atau seseorang dari masa lalu. Sehingga dalam ritual Pii Pato, orang Maronggela selalu member
nama anak mereka dengan menggunakan nama orang tua mereka. Tidak dapat dipungkiri bahwa ini juga akan
mempegaruhi bahasa, harian orang Maronggela, anak laki-laki akan dipanggil Ema’ (yaitu bapak), dan anak perempuan
dipanggil Nde’ (artinya: ibu).[7]
Seperti tradisi orang Ngadha sesuai ulasan
Paul Arndt, SVD bahwa menfitnah seseorang atau merusak nama baik seseorang
adalah suatu perbuatan yang rendah. Jika terjadi pemfinahan maka melalui
doa-doa diharapakan agar para leluhur menghukum orang-orang tersebut agar bibir
mereka yang beracun dirobek dan lidah mereka yang tajam dibelah![8]
Misalnya
Ga’en Wongko’ (Tua adat, orang yang
sangat dihargai dalam kampung karena memiliki wibawa dalam beberapa aspek
kehidupan berbudaya). Nama Ga’en Wongko ini
hanya dialamatkan kepada orang-orang tua yang memang sudah sampai pada tahap
tertentu. Tidak semua orang yang sudah tua disbut Gaen Wongko.
Dalam
memperoleh nama orang Maronggela harus melewati ritual inisiasi yang disebut Pii Pato. Setelah Pii Pato maka nama itu secara defenitif melekat pada sang bayi
sampai akir hayatnya. Kecuali san bayi mengalami sakit. Ketika nama yang
diberikan tidak sesuai biasanya sang bayi akan menangis terus menerus, dan
orang tua atau orang Maronggela pada
umumnya akan mengetahui baha nama yang diberikan tidak sesuai, atau seharusnya
sang bayi tidak diberikan nama seperti yang baru diberikan. Namanya akan
diganti,sang bayi akan berhenti menagis ketika nama yang baru tersebut cocok
dengannya.
2.4
Budaya Maronggela
Maronggela secara etimologis adalah
komposisi antara kata Maro yang
berarti tempat istirahat dan Nggela yaitu
nama dari seseorang. Jadi Maronggela adalah tempat istirahat seseorang yang
bernama Nggela.[9]
Koentjaraningrat menulis orang-orang Flores itu gabungan dari 8 suku yang
terbentang sepanjang pualu tersebut. Saat ini suku-suku tersebut mudah kita
kenal karena umumnya satu suku akan menjadi satu kabupaten. Setiap kabupaten
umumnya penduduk mayoritas dari suku tertentu. Maka ada terbagi menjadi 1)
orang Manggarai, 2) Orang Riung, 3) Orang Ngada/Bajawa, 4) Orang Nagekeo, 5)
Orang Ende, 6) Orang Lio, 7) Orang Sikka dan 8) Larantuka.[10]
Budaya jika ditambah awalan ke- dan
akhiran –an, menjadi kebudayaan. Kata kebudayaan berasalh dari bahasa Sanskerta
budhayah sebagai jamak dari budhi yang berarti akal budi. Budaya
berarti daya dari budi, yang merupakan cipta, rasa, karsa dan rasa. Kebudayaan
berarti hasil dari cipta, rasa, karsa.[11]
Kebudayaan lalu diartikan sebagai
keseluruhan proses dan hasil perkembangan manusia yang disampaikan dari
generasi ke generasi untuk kehidupan manusiawi yang lebih baik. Dari sini
didapatkan tiga point penting: 1) Kebudayaan adalah segala perkembangan dan
kemajuan masyarakat, 2) Kebudayaan adalah hasil bersama, dan 3) Kebudayaan
adalah hhumanisasi yaitu proses peningkatan hidup yang lebih baik dalam
lingkungan masyarakat manusiawi.[12]
Kebudayaan
Maronggela menandakan segala perkembagan hasil bersama yang telah ada dan
diturunkan kepada generasi penerus, berupa sastra seni, hasil-hasil ekonomi,
teknik sosial serta gagasan dan nilai yang terdapat dalam diri manusia
Maronggela. Pii Pato juga termasuk
dalam warisan yang tetap terpelihara dan diharapkan akan terus dijaga sebagai
suatu asset penting bagi orang Maronggela, teristimewa dalam hal bagaimana
memahami nama.
2.4.1
Religiositas
Masyarakat dari
kebudayaan Maronggela sudah memiliki kepercayaan terhadap wujud tertinggi.
Mereka temukan itu dalam pohon-pohon besar atau dalam hal lain yang berbau
gaib. Ini bisa disebut sebagai animism. Adapun nama-nama untuk menyebut wujud
tertinggi seperti Mbo Muri (secara hurufiah diterjemahkan sebagai mbo=nenek atau kakek yang sudah tua, muri=
yaitu Tuhan), tapi kata ini selalu diterjemahkan dengan Tuhan Allah. Selain
nama Mbo
Muri ada juga sapaa lain untuk wujud tertinggi seperti Poso
Wongko.s
Masyarakat
Maronggela melalui syair-syair adat atau melalui Pintu Pazir (doa adat),
sering menyebut nama wujud tertinggi ini. Selain penyembahan terhadap wujud tertinggi
masyarakat Maronggela juga percaya pada arwah nenek moyang, mereka lalu member
sesajian kepada nenek moyang. Sebab bagi orang Maronggela nenek moyang walaupun
mati secara fisik tetapi tetap hidup dan nama meraka tetap dikenang, mereka ada
di sekelilng dan sangat mengintervensi dinamika kehidupan masyarakat
Maronggela.
2.4.2
Bahasa Maronggela
Menurut Andre Martinent “bahasa adalah sebuah alat komunikasi untuk
menganalisis pengalaman manusia, secara berbeda di dalam setiap masyarakat,
dalam satuan-satuan yang mengandung isi semantis dan pengungkapan bunyi, yaitu
monem. Pengungkapan bunyi tersebut pada gilirannya diartukulasikan dalam satuan-satuan pembeda dan berurutan,
yaitu fonem, yang jumlahnya tertentu dalam setiap bahasa, yang kodrat maupun
kesalingterkaitannya berbeda juga di dalam setiap bahasa.”[13]
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahasa diartikan sebagai “ suatu sistem
lambang bunyi yang abitrer, yang digunakan oleh anggota
suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan
diri.Bahasa Indonesia adalah gabungan dari berbagai bahasa daerah di seantero
Nusantara ini, selain berasal dari bahasa Melayu dan bahasa Sansekerta.
Defenisi
lain dari bahasa adalah sebagai sebuah sistem komunikasi yang membuat manusia
dapat bekerja sama. Defenisi ini menekankan fungsi sosial dari bahasa, dan
fakta bahwa manusia menggunakannya untuk mengekspresikan dirinya sendiri, dan
untuk memanupulasi obeyk dalam lingkungannya.
Ada
dua bahasa yang digunakan dalam keseharian hidup orang Maronggela. Bahasa
Indonesia dan bahasa Maronggela sendiri. Bahasa Indonesia dipakai untuk
kepentingan komunikasi dengan orang dari luar etnis, juga dipakai pada
saat-saat resmi. Sedangkan bahasa daerah digunakan bagi sesama anggota etnis,
dalam komunikasi harian mereka maupun dalam ritus keagamaan serata upacara
adat. BahasaMaronggela berfungsi sebagai alat ekspresi seni (pantun,
peribahasa), sebagai bahasa adat dan sebagai
bahasa doa.
Bahasa
Maronggela berbeda dialeknya dengankampung-kampung lain di daerah Riung Barat
atau etnis Riung secara keseluruhannya.
Secara umum dapat dikelompokkan menjadi sepuluh daerah, yang dapat ditemukn di etnis RIung; dialek
Maronggela dan Muntin, Wate dan Ria, Teong dan Nampe, Terong dan Rawuk, Wangka, Riung, Mbarungkeli, Bekek, Lengkosambi, Mbazang dan Damu, dan
Turaloa.
Bahasa Maronggela dengan
dialek-dialeknya itu, selain digunakan sebagia bahasa pergaulan, juga sebagai
simbol berupa pantun atau peribahasa, ada juga dalam bentuk kata-kata bijak
tertentu berupa puisi yangsyarat makna dan hanya digunakan dalam
seremonial adat atau ritus keagamaan. Adapun contoh kata-kata bijak seperti yang
diterangkan oleh P. Bertolomeus Bolong dalam bukunya, Tuhan dalam Pintu Pazir.
2.4.3
Struktur Sosial
Struktur sosial yang dimaksud ialah struktur kekuasaan
orang Maronggela. Pemegang kekuasaan tertinggi ialah UluGolo
(Kepala suku, pemimpin
tertinggi di kampung Maronggela), yang menempati tingkat ke dua ialah Ga’en Wongko’(pemuka masyarakat), satu
tingkat di bawahnya ialah yang disebut Gelarang(wakil
dari Ulu Golo)[14].
Adapun juru bicara dalam kampung Maronggela itu disebut Pabisara. Satu tingkat dibawah Pabisara
disapa sebagai Dor (jabatan ini
biasa dipegang oleh orang yang mengetahaui masalah pertanahan dan memahami adat serta budaya dalam suku. Dorjuga yang bertugas untuk mengatur
jadwal tahaunan di kampung Maronggela, misalnya kapan Ghan Weton[15],
kapan Larik dan berbagai acara adat
lainnya.
Ada
pemegang kekuasaan di bawah tingkatan dor
yaitu berambang, arti harafiahnya
ialah dada. Dialah selaku badan keamanan kampung. Berambang kalau dalam Negara kita sama dengan polisi atau tentara.
Kemudian ada tingkat berikut ialah tangan
onar. Dia bertugas sebagai ahli nujum. Meramal tantang musim dengan melihat
tanda-tanda bintang atau bulan. Ada paetugas kesehatan dalam eetnis Maronggela
itu disebut sandi wne’- rbo. Tugasnya
seperti dokter bisa mendetksi atau menganalisis sakit-sakit yang diderita oleh
aggota suku. Dalam kegiatan kerja ada yang menjadi pembaginya dan juga pengamat
serta vasilitataor pekerjaan itu yang dinamakan Punggawa. Dia tugasnay sebanding dengan ketua sub dalam
proyek-proyek. Punggawadipilih bukan
berdasarkan suatu musyawarah suku namun langsung ditentukan oleh kepala suku.
Selain punggawa yang dipilih langsung oleh ulu golo ada juga badan pengaman kampung yang lain yang disebut ngawas ata, dia semacam FBI dalam bangsa
Amerika. Tugasnya sebagai suatu agen rahasia yang memata-matai musuh dari luar
etnis.dan tingktana yang paling bawah dalam etnis Maronggela disebut woe golo/woe wongko. Mereka adalah
rakyat jelata. Para pendatang dari luar etnis juga masuka dalam golonagan ini.
2.4.4 Sistem Perkawinan
Orang Maronggela mengenal sistem perkawinan patrilinear, artinya menurut
garis keturunan bapa. Hal ini yang menyebabkan anak perempuan selalu
dinomorduakan di Maronggela.Yang memegang hak dalam keluarga
adalah anak laki-laki banyak peran yang dilakaukan oleh anak laki-laki, mulai
dari kepemimipinan dalam suku, serta kepala keuarga dll.
2.5
Makna Filosofis Pii Pato (Pemberian
Nama)
2.5.1
Arti Pii Pato
Secara etimologis Pii Pato terdiri dari dua kata, yakni Pii dan Pato. Pii artinya nama
dan Pato artinya pemberian (nama).
Kedua kata tersebut merupkan padanan mempertegas makna. Sedangkan Pintu Pazir Pii Pato merupakan jenis Pintu Pazir yang didoakan pada ritus
pemberian nama bagi seorang bayi.
Pii
yang
adalah nama, nama itu sangat penting sehingga cara mendapatkannya harus melalui
ritual Pii Pato. Pmebahasan tentang
apa itu nama sudah tertera dalam halaman sebelumnya. Bahwa nama mengandung dua
dimensi masa lalu dan masa kini. Sebagai dimensi masa lalu, nama itu diambil
dari nama nenek atau kakek (orang tua sang bayi, calon yang akan diberi nama).
Ini mengingatkan bahwa leluhur tetap berpengaruh dalam kehidupan
Pii
Pato
adalah suatu ritus inisiasi pemberian nama kepada seorang bayi. Pemberian nama
terhadap bayi terjadi lima hari setelah bayi dilahirkan. Dan mendapatkan nama
menjadi hak bagi sang bayi sebagai penegasan bahwa dia memang berasal dari suku
Maronggela. Setiap anak yang terlahir di Maronggela daan orang tua berasala
dari Maronggela wajib diberi nama.
Konjaraningrat
dalam penelitiannya tentang tradisi pemberian nama dalam budaya Orang Batak
Toba dalam pemilihan nama memilih nama nenek moyang yang mempunyai keunggulan
dan sifat kepahlawanan. Atau nama-nama tumbuhan atau tempat yang berari sangat
baik, yang bisa mengangkat derajat si pemakai nama ke derajat yang lebih tinggi,
menjadi pembesar, orang terkenal, orang kaya dan orang mempunyai banyak anak.
Menurut mereka nama itu memilki arti yang menentukan nasib si pemilkinya di
hari depan. Demikian menurut keyakinan dan pengalaman orang-orang tua sering
nama itu sesuai sekali dengan pemilkinya, dengan melihat kehidupan sehari—hari
atau sifat pengaharainya.[16]
Ritual
serta makna suatu nama bagi masyarakat Toba di atas tersebut sebagin besar sama
dengan dalam tradisi Maronggela. Adapun ritulanya terjadi lima hari setelah
kelahiran sebab (mawa lima). Setelah
kematian nanti, kenduri (buin bobok) akan
dilakukan pada hari ke lima juga. Maka angka lima mengandung nilai tertentu
bagi masyarakat suku Maronggela.
2.5.2
Makna Pii Pato
Pii
Pato sangat bermakna bagi masyarakat Maronggela. Sebagai
warisan leluhur yang kaya dan syarat nilai filosofisnya. Pii Pato atau pemberian nama itu berbati bahwa nama sangat berharga
bagi masyarakat Maronggela, untuk mendapatkannya harus melalui ritual yang
disebut Pii Pato ini. Nama itu begitu
diluhurkan sebab dalam Pii Pato.
Pii Pato yang
adalah pemberian nama. Dari kata Pii yaitu
nama dan Pato atau pemberian. Pertama
tentang Pii. Nama dalam bahawa
Maronggela disebut ngalit, sedangkan kata Pii
lebih diartikan sebagai suatu kegiatan pemberian nama dimana dibtuhkan
pinang muda yang dibelah dua, sebagai sarana pengesahan nama tersebut. Jadi Pii adalah pemberian nama melalui
pinang.
Berbagai nilai bisa
dipetik dengan menjalani ritual Pii Pato.
Ada nilai sosoilogis sebab Pii Pato terlaksana
dengan dihadiri banyak orang warga kampung adat dan tua-tua adat. Saat itulah
nilai kekeluargaan, sosialitas dibangun. Kehadiran semua warga suku membuktikan
bahwa ada nilai sosialnya.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Peneliti menggunakan metode
kualitataf, yaitu suatu metode yang berangkat dari realitas dan landasan teory
untuk mendapat suatu pemahaman baru tetang fenomena yang sedang diteliti.
Dengan langkah-langkah mendeskripsikan secara deskritif analitis
sedalam-dalamnya, Bersifat
deskriptif analitis, terlihat dari caranya mengumpulkan dan merekap data
yang bukan dicatat dalam bentuk angka namun penjelasan sejelas-jelas dan
sedalam-dalamnya.
Dalam penelitian ini penulis
menggunakan metode kualiatatif, dengan sasaran terbesar untuk memahami secara
mendalam filsafat nama dalam suatu kehidupan bermasyarakat dan berbudaya,
dengan fokus utama yakni tentang refeleksi filosofis dari ritual Pii Pato, serta filsafat nama dalam budaya masyarakat Maronggela di
Kabupaten Ngada. Peneliti berusaha untuk menggali sedalam-dalamnya tentang
makna itu dengan berbasis pada informan serta dengan suatu pra-anggapan yang
sudah peneliti dapatkan dari filsafat Cina. Makna nama yang dimaksud antara
lain, makna sosiologis, menjawabi pertanyaan apa penting sebuah nama dalam
kehidupan sosial seseorang dari suku Maronggela. Kedua makna historis,
menjawabi pertanyaan asal-usul nama
orang Maronggela, serta ketepatan nama yang harus diberikan kepada seorang bayi
calon anggota suku di Maronggela. Ketiga makna teologis, bagaimana pentingnya
nama dalam keterhubungannya dengan Yang Ilahi.
3.2 Lokasi Penelitiann
Penelitian
terjadi di kampung Maronggela, salah satu kampung yang membentuk desa Wolomesze
di Kecamatan Riung Barat, Kabupaten Ngada
provinsi NTT. Adapun alasan dasar menjawabai pertanyaan mengapa harus di
kampong Maronggela, yaitu: 1). Tradisi pemberian nama yang unik seperti yang
akan diuraikan hanya terdapat di sedikit kampung dan Maronggela salah satunya.
2). Banyak kekayaan lokal dari kampung Maronggela yang belum dieksplorasi
kepada kalayak umum salah satunya tetang pentingnya nama . 3) sebagai aset atau
infentarisasi data untuk generasi kemudian sehingga pengetahuan tentang makna
nama itu tetap terpelihara. 4) alasan lain yaitu karena Maronggela adalah
kampong asal peneliti, sehingga segala detail ritual pemberian nama kepada
seorang anak peneliti tahu sacara baik walau tidak memahami makna dan bahasa
adatnya.
3.3
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang
lingkup penelitian adalah suatu batasan penelitian sehingga tidak menyebar
terlalu luas dan, membantu peneliti untuk fokus hanya kepada batasan itu. Nah
ruanglingkup penelitian ini sebenarnya sudah dirumuskan dalam pertanyaan dasar
yaitu: 1) Bagaimana gambaran umum tentang Maronggela, terisitimewa dari aspek
kebudayaannya. 2) apa makna ritual Pii
Pato(pemberian nama) bagi masyarakat Maronggela, dalam bagian ini juga akan
diuraikan bagaimana ritual tersebut dilakukan. 3) Apa bunyi filsafat nama bagi
orang Maronggela?
Berdasarkan
data yang diperoleh dari informan dan juga input dari para pemikir, peneliti
mencari benang merahnya, lalu dihubungkan dengan teori yang ada, sehingga bisa
dipertanggungjwabkan secara rational.
3.4
Jenis dan Sumber Data
Jenis
dan sumber data dalam penelitina ini adalah berupa adalah data kualitatitif
berupa informasi-informasi atau kata-kata dan kalimat-kalimat yang memuat
hal-hal menyangkut Pii PatoData-data
yang diperoleh ialah melalui wawancara dengan para tua adat yang diyakini
memiliki wibawa dalam suku Maronggela atau mereka yang tahu pasti tetang budaya
Maronggela secara eksplisit. Ini menjadi data primer.
Selain dari wawancara, data diperoleh
juga melalui beberapa kajian pustaka dimana penjelasan tentang Maronggela sudah
dijelaskan oleh penulis terdahulu. Dalam menjelaskan tetang nilai-nilai penulis
juga tetap bertolak dari beberapa buku sumber yang membahas tetang topik yang
sama. Ini menjadi data sekunder.
3.5
Teknik Penentuan Informan
Informan
adalah orang-orang tua yang sudah lama bergelut dengan dinamisme kebudayaan
Maronggela, bahkan beberapa adalah pemimpin suku yang biasa melakukan ritual Pii Pato. Para informan tentu memiliki
kredibilatas informasi serta wibawa episteme atas obyek yang sedang diteliti
yaitu.
3.6
Instrumen Penelitian
Instrumen utama
penelitian kualitatif ini adalah manusia, yaitu peneliti sendiri. Dalam hal ini
peneliti berdiskusi dengan informan kunci yang berpengetahuan luas. Peneliti
melakukan pengamatan, wawancara dan diskusi. Instrumen pedoman wawancara,
fasilitas perekaman, dan pencatatan data.
Pedoman
wawancara akan dilakukan dalam bahasa daerah setempat, dengan
menggunakan rincian-rincian
pertanyaan yang memadai teristimewa dapat membantu peneliti dalam mengadakan
wawancara. Peneliti telah mempersiapkan beberapa pertanyaan pokok dalam
wawancara dan diskusi dengan para informan yang dianggap mempunyai integritas
diri yang baik. Rincian-rincian itu masih bersifat alternatif dan sementara,
karena disesuaikan dengan waktu, tempat, dan keadaan pada saat
pelaksanaannya.
3.7
Teknik Pengumpulan Data
Data
diperoleh melalului wawancara yang insentif dengan key informan. Hasil wawancara dicatat sebagai infentaris dalam
menganalisa data nanti. Berbagai cara wawancara yang peneliti lakukakan, yaitu
melalui wawancara langsung dan wawancara tidak langsung. Wawancara langsung
yaitu peneliti bertemu dan berbicara serta memeberri berbagai pertanyaan di
bawah epat mata. Tetepi juga wawancara tidak langsung yaitu melalui media
sosial yang ada, seseprti via telpon, SMS, email Facebook dan Whats Upp. Dengan
sasaran key informan atau darimana
data itu didapat ilaha orang-orang yang punya kridibilitas. Adapun wawancara
baik langsung maupun tidak langsung dilakukan dengan serius dan menggali
informasi dengan berdiskusi lebih lanjut.
Selain
data yang didapat melalui wawancara langsung dan tidak langsung, data tentang Pii Pato juga didapatkan melalui
berbagai buku serta jurnal yang berbicara tentang budaya Maronggela. Sumber
pustaka dari peneliti terdahulu walau bukan berbicara secara spesifik topic
yang sama, namun ada kemiripan secara garis besar.
Semua data yang diperoleh
dikumpulkan dalam jurnal harian peneliti, dalam rekaman serta terjaga baik demi
lancrnya penelitian.
3.8
Teknik Analisa Data
3.8.1
Interpretasi
Dengan
berpedoman pada bahan-bahan yang ada baik itu hasih wawancara, hasil pengamatan
terlibat, kajian pustaka dan kajian-kajian yang lain yang telah mendukung tema
yang telah digarap, maka penulis berusaha untuk mendalami ritus Pii Pato, serta merefleksikannya secara
filosofis untuk menemukan filsafat nama yang dianut dalam Masyarakat
Maronggela, Kecamatan Riung Barat, Kabupaten Ngada.
3.8.2
Koherensi Intern
Untuk
mendapat suatu interpretasi yang tepat menganai topic yang diteliti, maka
penulis akan memperhatikan secara akurat elemen-elemen yang terkait di
dalamnya. Semuanya disusun dalam kerangka yang logis dan sistematis.
3.8.3
Deskripsi
Penulis akan berusaha
mendalami dan memahami konsep para ahli berhubungan dengan topik yang dipilih
melalui kajian pustaka sebagai refrensi. Dengan itu penulis berusaha
membahasakan topic yang digarap dengan bantuan pemikiran filsafat dalam hal ini
filsafat Cina tentang nama, serta bantuan dari sumber-sumber buku lain atau kamus
dan ensilklopedi.
3.8.4
Holistik
Kajian ini dilihat
secara menyeluruh adalah pembahasan tentang Filsafat Nama, yang terimplisit
melalui ritus pemberia nama (Pii Pato), dalam
Masyarakat Maronggela. Penulis yakin hal ini akan dibuktikan dalam penelitian
lebih lanjut.
3.9
Teknik Menyajikan Hasil Analisis Data
Penyajian hasil
analisis data kualitatif ini akan dideskripsikan selain dalam bentuk naratif
(informal), juga dengan cara menginterpretasi dan merefleksikan hasil
penelitian.
3.10
Jadwal Kegiatan:
Kegiatan penelitian ini
akan dilakukan selama enam bulan mulai dari tanggal 29 Oktober 2018 sampai
taggal 28 Mei 2019, yang terbagi atas enma bagian:
Pertama, tahap persiapan
Pada
tahap ini penulis mempersiapkan daftar pertanyaan dan menentukan para informan
yang akan diwawancarai. Tahap persiapan ini dimulai tanggal 29 Oktober 2018
sampai tanggal 2 Desember 2018, selama
lima hari.
Kedua, tahap pelaksanaan:
Tahap
pelaksanaan yang dimaksud adalah tahap memulai wawancara. Pada tahap ini
penulis memulai wawancara orang-orang yang memiliki pengetahuan yang memadai
tentang tema yang digarap ini. Tahap pelaksanaan dimulai selama satu satu bulan
atau lebih yang dimulai dari tanggal 3 Desember 2018 sampai tanggal 6 Januari
2018.
Ketiga, tahap penyusunan hasil
penelitian sementara
Pada
tahap ini penulis mulai menyusun dan merangkum semua hasil penelitian ini dalam
bentuk satu karya yang belum “finish”. Dengan cara ini penulis coba menemukan
inti penelitian penulis yang kemudian akan diperkenalan kepada kalayak. Tahap
ini terjadi dalam kurun waktu dua bulan yang dimulai tanggal 8 Januari sampai
14 Februari 2018.
Keempat, tahap laporan hasil
penelitian
Pada
tahap ini penulis memaparkan hasil penelitian sementara dan penulis berusaha
meyakinkan para pembimbing agar menerima hasil penelitian ini dan selanjutnya
bersedia membimbing penulisan dalam proses penulisan skripsi. Tahap ini
dilaksanakan pada tanggal 28 Februari 2019.
Kelima, Penyusunan Skripsi
Setelah
hasil penelitian sementara ini disetujui oleh penguji melalui seminar proposal,
penulis mulai melangkah ke tahap berikut yaitu tahap penyusunan skripsi. Tahap
ini terjadi selama dua bulan lebih, yang dimulai pada tanggal 1 Maret sampai
pada tanggal 20 Mei.
Keenam tahap pemaparan hasil
penyusunan skripsi
Pada
tanggal 30 Mei, semua hasil penelitian sudah rampung dan siap untuk diuji
kebenarannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Adams, Cindy., Bung Karno Penyambung Lidah
Rakyat Indonesia, Terj. Syamsu Hudi, Jakarta:
Yayasan Bung Karno, 2014 edisi revisi
Ø Arndt,
SVD, Paul., Agama Orang Ngadha; Dewa, Roh-roh, Manusia dan Dunia (vol. 1), (Paulus
Sabon Nama, penerj.), Maumere: Candraditya,
2005
Ø Bagus,
Lorens., Kamus Filsafat, Jakarta:
Gramedia, 2000
Ø Bolong,
OCD, Bertolomeus dan Drs. Cyrilus Sungga S., Tuhan Dalam Pintu Pazir; Tinjaun
Filosofis Tentang Tuhan Dalam Kepercayaan Asli Orang Riung, Flores, Ende:
Nusa Indah, 1999
Ø Jegalus,
MA, Nobertus., Filsafat Kebudayaan (diktat),
Kupang: Fakultas Filsafat Unwira, 2007
Ø Koentjaraningrat,
Prof. Dr., Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1999
Ø Koller,
John M., Filsafat Asia, (Donatus Sermada pnej.), Maumere: Ledalero, 2010
Ø Setiawan,
Hendro., Manusia Utuh, Sebuah Kajian Atas Pemikiran Abraham Maslow, Yogyakarta:
Kanisius, 2014
Ø Sihotang, Kasdin.,
Filsafat
Manusia, upaya membangkitkan humansme, Yogyakarta: Kanisius, 2009,
cet-8, 2017
Ø Simandjuntak,
B. A., Upacara Kelahiran Pada Orang Batak Toba, 49-70, dalam Koentjaraningrat editor, Ritus
Peralihan Di Indonesia, Jakarta:
PN Balai Pustaka, 1985
Ø Sujarwa,
M. Hum, Drs., Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Ø (Wawancara,
Minggu 11-11-2018, via telpon), Narasumber bapak : David No’
DAFTAR QUESTIONER
1. Bagaimana
asal-usul orang Maronggela?
2. Bagaimana
bahasa yang digunakan pada masyarakat Maronggela?
3. Bagaimana
struktur kepemimpinan pada budaya Marongggela?
4. Bagaimana
penghargaan terhadap Tuhan pada kebudayaan Maronggela?
5. Bagaimana
penghargaan terhadap sesama pada kebudayaan Maronggela?
6. Apa
itu ritus Pii Pato (pemberian nama)?
Bagaiamana mekanisme ritual Pii Pato dilaksanakan?
7. Siapa
yang wajib mengikuti ritus Pii Pato ?
8. Kapan
ritual Pii Pato terbeut dilaksanakan?
9. Dimanakah
tempat yang cocock untuk melakukan ritual Pii
Pato?
10. Apa
saja hewan korban yang dibutuhkan?
11. Apa
makna nama bagi orang dari kebudayaan Maronggela?
12. Bagaimaankah
penghargaan terhadap sebuah nama pada masyarakat Maronggela?
13. Apa
makna religius dari nama?
14. Apa
makna sosial dari nama?
15. Apa
makna nama bagi pribadi bersangkutan?
[1] A. Mangunhardjana, Isme-Isme
Dalam Etika, dari A sampai Z, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm.5
[2] John M. Koller, Filsafat
Asia, (Donatus Sermada pnej.), (Maumere: Ledalero, 2010), hlm.548-549
[3] Kasdin Sihotang,
Filsafat Manusia, Upaya Membangkitkan Humansme, (Yogyakarta: Kanisius,
2009, cet-8, 2017), hlm. 45
[4] Lorens bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 242-243
[6]John M. Koller,
Loc.Cit.
[7] Bertolomeus Bolong, OCD dan Drs.
Cyrilus Sungga S., Tuhan Dalam Pintu Pazir; Tinjaun Filosofis Tentang Tuhan Dalam
Kepercayaan Asli Orang Riung, Flores, (Ende: Nusa Indah, 1999), hlm.
91-92
[8] Paul Arndt, SVD, Agama
Orang Ngadha; Dewa, Roh-roh, Manusia dan Dunia (vol. 1), (Paulus Sabon
Nama, penerj.), (Maumere: Candraditya, 2005), hlm. 80-81
[9] Menurut cerita rakyat yang
berkembang di kalangan orang Maronggela, dahulu sebelum masyarakat sekarang
berpindah ke lembah mereka masih menetap di kampong yang namanya Warukia. Ada
tradisi berburu. Dari Warukia yang di ketinggian menuju lembah. Seseorang bernama
Nggela sering setelah berburu istirahat di lembah bukit Poso itu, nah
masyarakat karena tahu pasti bahwa Nggela setiap usai berburu selalu
beristirahat di tempat tersebut mereka lalu membuat kesimpulan bahwa itu adalah
tempat istirahatnya Nggela, yang dalam bahasa setempat disebut Maronggela.
(Wawancara, Minggu 11-11-2018, via telpon), Narasumber bapak : David No’.
[10] Prof. Dr. Koentjaraningrat, Manusia
dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1999), hlm. 190
[11] Nobertus Jegalus, MA, Filsafat
Kebudayaan (diktat), (Kupang: Fakultas Filsafat Unwira, 2007), hlm. 11
[12] Ibid, hlm. 14
[13] Andre Martinent., Elements
de Linguistique Generale (Paris,
Librairie Armand COLIN, 1980)., terjemahan Indonesia, Ilmu Bahasa Pengantar.,( Yogyakarta, Kanisius,
1987). hlm.32.
[16] B.A Simandjuntak, Upacara
Kelahiran Pada Orang Batak Toba, 49-70, dalam Koentjaraningrat editor, Ritus
Peralihan Di Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1985), hlm. 63-64
Wooowww luar biasa kak fr..semangat terus untuk proposal dan skripsinya..smga Tuhan Yesus Memberkati Selalu.Amin😇
BalasHapusoke oke,,, sedang dalam penulisan skripsini
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus