Kamis, 02 September 2021

Filsafat Nama Orang Maronggela

 

FILSAFAT NAMA ORANG MARONGGELA

Oleh Klpk 1 (frs, Guce, Sintus, Aris)

Pengantar :

Sebagai individu otonom dan juga sekaligus mahluk sosial manusia saling terhubung demi kepenuhan hidupnya, namun masing-masing individu tetap berbeda satu dengan yang lain. Salah satu dari sunsur pembeda adalah nama diri (proper name). Nama diri (proper name) itu spesifik, pembeda dari nama orang lain tetapi juga tanda pengenal. Dari namanya orang lain bisa mengetahui siapa dirinya, darimana asalnya, apa agamanya. Memanggil nama seseorang berarti memanggil totalitas dirinya. Menghargai nama seseorang berarti menghargai existensi orang tersebut. Tetapi menghina nama seseorang, yang terhina adalah pribadi secara utuh dari orang bersangkutan. Menyebut namanya secara sopan itu menjadi suatu bentuk penghargaan terhadap dirinya.

Banyak orang yang berusaha untuk berbuat baik sesuai ukuran masyarakat dan agama agar ketika meninggalkan dunia ini nanti nama baiknya dihargai. Ada pepatah kuno berbunyi “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meniggalkan nama.” Nama baik identik dengan prilaku baik, yang identik dengan kebenaran dan terpuji, sehingga tidak tercela semasa hidupnya.

Dalam berbagai kebudayaan, nama mengandung arti yang penting. Banyak suku mempertahankan sebagian tradisi dengan salah satunya melalui nama-nama yang diberikan pada anggota keluarganya, bahkan pemberian nama selalu disertai dengan kegiatan ritual baik bersifat agamis maupun bersifat kultural. Tujuannya adalah untuk keselamatan jiwa si pemilik nama. Tidak jarang pula ketika nama yang diberikan kepada seseorang tidak cocok, nama itu membawa malapetaka, misalnya pemilik nama sakit-sakitan. Melakukan ritual pemberian nama secara baik selalu mengandung makna tersendiri bagi orang-orang yang menganut budaya tersebut.

Masyarakat dari kebudayaan Maronggela sebenarnya memiliki filsafat hidup/pandangan hidup (way of life) sebagai pegangan dan norma tingkah laku. Berkaitan dengan nama, masyarakat kebudayaan Maronggela juga mayakini bahwa nama itu berdimensi masa lalu dan masa depan. Masa lalu berarti nama memang diambil dari nama kakek atau nenek sang bayi sebagai kenangan terhadap mereka, dan dimensi masa depan berarti ada harapan agar sang bayi bertumbuh sesuai nama yang diberikan kepadanya. Lebih dari itu, jika ditinjau dari cara pemberian nama (Pi’i Pato’) terkandung unsur-unsur lain juga yakni nama yang disematkan kepada seseorang berarti juga disetujui oleh entitas tertinggi yakni Mbo’ Muri (Tuhan) dan Mbo’ Nusi (leluhur). Nama itu suci sebab ada korban hewan yang dibuthkan saat upacara pemberian nama tersebut. Ketika bertanya “apalah arti sebuah nama” , nama mempunyai makna terhadap setiap pribadi. Setiap orang memiliki nama. Nama merupakan perwujutan, pengejawantahan sekaligus menjadi identitas pribadi seseorang.

Sesuai dengan latar belakang di atas maka beberapa rumusan masalah yang terungkap dalam bentuk pertanyaan berikut menjadi penuntun dalam merangakai tulisan ini. Adapun hal-hal yang dipermasalahkan ialah : Pertama, siapa itu Orang Maronggela ? Kedua, Bagaimana praktik ritual Pii Pato(pemberian nama)? Ketiga, Apa  makna filosofis dari nama dalam ritual Pi’i Pato’ pada masyarakat Maronggela?

Orang Maronggela

Maronggela adalah salah satu kampung yang didiami oleh penduduk dari Suku Warukia, terletak di Desa Wolomeze dan menjadi pusat ibu kota Kecamatan Riung Barat (saat ini), Kabupaten Ngada- NTT. Maronggela juga sebenarnya tempat hasil translokasi (perpindahan) dari kampung sebelumnya yang disebut Warukia. Sedangkan Orang Maronggea berarti penduduku atau masyarakat tertentu yang mendiami kampung Maronggela. Dari unsur politis berarti masyrakat yang tinggal di kampung Maronggela, bagian dari kecamatan Riuang Barat dan dari unsur kultural menandakan orang yang menghidupi budaya Maronggela.


orang yg dituakan
Upacara Pi’i Pato’

Secara etimologis Pi’i Pato’ terdiri dari dua kata, yakni Pi’i dan Pato’. Pi’i artinya nama namun nama yang dimaksud hanya dalam pengertian Pi’i Pato’ dan Pato’ artinya pemberian (nama). Kedua kata tersebut merupkan padanan mempertegas makna. Pi’i Pato’ secara harafiah berarti pemberian nama. Namun arti Pi’i Pato’ lebih luas dari sekedar pemberian nama, yaitu suatu upacara atau ritus inisiasi yang melingkupi banyak hal seperti waktu, tempat, bahan serta persiapan-persiapan menjelang upacara tersebut. Pi’i Pato’ adalah suatu rangakaina upacara pemberian nama kepada seorang warga suku yang belum bernama. Umumnya kepada bayi yang baru lahir sebab mereka terlahir belum bernama. Upacara ini terjadi lima hari setelah bayi dilahirkan, dengan puncak upacara ialah pemberian nama. Leluhur diikut sertakan, harus menyebutkan doa-doa adat, memenuhi persyaratan-persyaratan seperti hewan kurban dan lainya, dibutuhkan keterlibatan om tanta (Paman dan Bibi dari anak bayi terbut), ka’e aze’ (keluarga dari orang tua bayi), woe wongko’ (warga suku). Setiap anak yang terlahir dari orang tua berbudaya Maronggela diberi nama keluarga suku Maronggela.   

Filsafat Nama Orang Maronggela

Filsafat nama dalam hal ini berarti suatu pandangan hidup, atau pemikiran reflektif dan logis tentang makna nama, apa itu nama, mengapa harus ada nama? Pentingnya suatu nama, terlebih lagi ditinjau dari ritual pemberian nama yang khas. Baik nama untuk Yang Ilahi, nama untuk menyebut hal-hal yang terdapat pada kosmos ini serta nama bagi pribadi-pribadi tertentu. Pandangan tentang nama itu adalah keyakinan atas makna nama, pertama-tama bukan soal arti etimologis dari nama tetapi dari cara mendapatkannya. Dengan mengobservasi serta menganalisis ritual pemberian nama dalam budaya Maronggela, penulis menemukan makna dari nama seseorang bagi pribadinya juga tentu bagi lingkungan budaya di mana dia hidup. Sebab nama itu unik bukan hanya sebagai tanda pengenal, tetapi nama adalah lambang pribadi, totalitas atau karakteristik dari orang bersangkutan sesuai dengan namanya.

1. Nama Sebagai Kenangan Akan Leluhur

Warga Suku Maronggela juga sangat menghormati leluhur, baik itu yang sudah meninggal begitu lama ataupun orang-tua, kakek nenek yang barusan meninggal, suatu keyakinan Orang Maronggela bahwa relasi tidak pernah berakhir dengan peristiwa kematian. Dalam setiap kesempatan upacara adat warga selalu memberi sesajian kepada leluhur sebagai bukti ikatan kekeluargaan. Persaudaraan tidak pernah hilang karena alasan kematian sekalipun.  Sebab kematian bagi Orang Maronggela tidak berarti dia tidak ada lagi seperti ungkapan Epikurus, tetapi kematian  hanyalah peralihan ke alam lain (sia mbo’ nusi loke zoe’ dia nini’ kita, dia zaga kita, pae’ pedo’ kita).

Nama sebagai kenangan akan leluhur. Orang Maronggela meyakini bahwa nama itu harus diambil dari nama leluhur demi mengenang mereka, kenangan bukan hanya karena mereka adalah leluhur lebih daripada itu bahwa leluhur atau nenek moyang selalu diagungkan karena kehebatan-kehebatan mereka, kecerdasan, atau wibawa serta tokoh yang dihormati dan disegani. Orang Maronggela selalu membanggakan berbagai kehebatan leluhur mereka, (nuuk sia mbo’ nusi).

Kenangan akan leluhur diformat dalam suatu upacara Pi’i Pato’, leluhur siapa yang harus dikenang disetujui oleh leluhur tersebut dengan melihat tanda pada pinang.  Filsafat nama menurut Pi’i Pato’ sebagai kenangan akan leluhur berarti melalui ritual tersebut orang tua si bayi akan mengetahui siapa leluhur yang akan dikenang melalui nama anak mereka.

orang tua si bayi.

2. Nama Sebagai Harapan Akan Masa Depan

Manusia memang mahluk yang berharap. Hidupnya didorong oleh harapan. Orang bisa bangun tidur, dan kemudian siap beraktivitas, juga karena punya harapan akan hidup yang lebih baik. Ketika kesulitan menerpa, harapan pula yang mampu menyelamatkan manusia. Yang diperlukan disini adalah kejernihan di dalam memahami harapan. Darimana datangnya harapan?Apa inti dari harapan? Bagaimana mengelola harapan, supaya ia bisa menjadi daya dorong kehidupan, dan bukan sumber kekecewaan? Hakikat pemberian nama kepada bayi sebagai sebuah harapan agar bayi tersebut selamat, mendapat kebahagiaan, atau kemuliaan dan menjadi orang baik. Nama yang diberikan kepada si bayi dimaksudkan sebagai doa permohonan kepada Yang Ilahi untuk kepentingan si bayi pula. Selanjutnya diungkapkan, bahwa nama-nama tersebut biasanya merupakan nama yang antara lain menunjukkan, kebijaksanaan, dan kepandaian. Melalui nama yang diberikan, orang tua mengharapkan agar anaknya kelak  menjadi orang yang sesuai dengan makna yang terkandung dalam nama atau sebaik orang yang memiliki nama tersebut.

Adapun nama sebagai harapan itu pertama-tama terlihat dari bunyi syair pintu pazir pi’i pato’ dan kedua dari nama tersebut. Pertama dari bunyi syair pintu pazir pii pato’ adalah sebagai berikut : Raza ata nai mogha,s Raza ata nai lawe’,  Zaga anak kendo’,  Ziu nggia lawe’ weki di’a ngalit,  Lengkang muzin awan za’a laza teto’,  Muzin awan more’ lawe’,  Zari ata laki mosa,  Ndirung tikus logo welong,  Zaga weki ngalit nggia  Neang wenang lezong kendo’ Saing wi muzi awa’n. (artinya: Raja yang baik hati dan lemah lembut jagalah anak ini, berilah dia kesehatan dan nama baik, sehingga di kemudian hari dia tidak tertimpa sakit derita, punya kehidupan yang baik, menjadi orang yang kaya raya  atau berkecukupan, kami juga mohon jagalah dia sejak hari ini hingga selamanya). Dengan upacara pemberian nama Pi’i Pato’ diharapkan bahwa anak tersebut menjadi seperti yang didoakan terisitimewa menjadi orang yang sehat dan punya nama baik di kemudian hari (weki di’a ngalit lawe’).

Kedua, nama sebagai harapan itu dilihat dari pilihan nama anak tersebut. Mengapa harus diberi sesuai nama dari kelaurganya yaitu kakek atau nenek anak tersebut, hal ini mengandung harapan bahwa si bayi harus bertumbuh menjadi seperti tokoh ideal (ideal type) yakni kakek atau neneknya. Mereka dikatakan tokoh ideal sebab orang-orang tersebut sangat berjasa bagi kelaurga dan selalu diceritakan sebagai tokoh-tokoh yang hebat dan pencetus budaya dalam suku. Maksud pemberian nama agar bayi (anak wara) melanjutkan popularitas, kualitas-kualitas hidup orang yang diambil namanya.

3. Nama Sebagi Perestuan Yang Ilahi Dan Leluhur

Berdimensi religius dalam tulisan ini berarti ngalit itu dalam proses mendapatkannya selalu ada campur tangan Yang Ilahi. Nampo’ ngalit  selalu ada restu Yang Ilahi. Ketika pinang sisi yang satu terbuka dan sisi yang lain tertutup, itu tanda persetujuan dari leluhur. Maka nama itu sangat dihargai, sehingga orang dari Maronggela tidak berani menyebut nama seseorang secara langsung, apalagi menyebut nama orang yang lebih tua. Penyebutan selalu diperhalus, bukan disamar tetapi diperhalus, misalnya nama Bogo akan disebut Mbos, atau Laos akan disapa Dao. Ini bukti penghargaan terhadap nama dilihat dari sakralitasnya.

Analisis tentang dimensi religius dalam nama Orang Maronggela terdapat dari Pintu Pazir Pi’i Pato’ terdapat kata-kata yang berbunyi “Lezong kendo kami pi’i pato, ’Kami ko ziu’ ngalit ziu anak kendo’,  Lezo’ lima taun kia manga lonto tana’, Kia zari le Nggau, Kau bot ngalit anak kendo’.” (artinya: hari ini kami melakuak upacara Pi’i Pato’, kami akan memberikan nama baru bagi anak ini, sebab sudah lima hari dia berada bersama kami tanpa nama, dia adalah ciptaanMu dan Engkaulah yang akan menyetujui namannya). Nama menurut Pi’i Pato’ berdimensi religius sebab nama diyakini sebagai pemberian Mori Kraeng, manusia yang menawarkan tetapi Mori Kraeng yang menyetujui dan tanda persetujuan Mori Kraeng atas nama anak tersebut itu bisa dilihat melalui petunjuk pinang.

4. Nama Sebagai Tanda Sosial

Adapun beberapa nilai sosial dari sebuah nama yaitu :

Nilai Pencitraan. Nama merupakan konsep esensial yang berhubungan dengan identitas. Dari konsep ini muncul istilah penamaan dan nama baik. Nama diberikan berdasarkan asal-usul dan pencitraan terhadap nama dimaksud. Oleh karena itu, orang yang menggunakan nama/ mewarisi nama berkewajiban moral untuk tetap menjaga nama tersebut agar tidak tercela. Dalam budaya Maronggela, hal nama baik terarah pada pepatah berikut Weki lawe’ngalit   di’a (artinya: Badan sehat dan nama baik).

Sehubungan dengan itu, orang Maronggela berkewajiban moral untuk hidup taat norma sosial budaya agar peribahasa “Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama” dapat tewujud. Nama itu harus bebas dari citra buruk (stereotip) sehingga layak untuk diwariskan ke generasi berikutnya.

Nilai Ekonomis. Salah satu ukuran hidup baik ialah kekayaan material. Untuk memperoleh kekayaan dimaksud diperlukan usaha. Setiap usaha/ kerja untuk mendapatkan hasil senantiasa diletakkan di atas dasar keluhuran akhlak dan kemurnian budi. Nilai  ekonomis yang tersirat di balik makna sosiologis tutur Pintu Pazir Pi’i Pato’ tersurat  pada larik berikut ini. (lengkang muzi awan zari ata laki mosa), semua karya dan usahanya berhasil. Nilai tersebut menuntun orang Maronggela untuk menjadi individu pekerja keras dengan selalu mengedepankan cara-cara yang bermartabat. Pandangan mengenai dihalalkannya cara untuk memperoleh hasil yang menguntungkan merupakan hal yang ditabukan dengan masyarakat Maronggela.

Filsafat nama menurut Pi’i Pato’ sebagai tanda sosial dilihat dari nama itu sendiri, Orang Maronggela tidak mengena fam secara eksplisit tetapi tetap nama memang menunjukan bahwa anak tersebut berasal dari keluarga yang bersangkutan. Sebagai tanda sosial selain tersirat dalam Pintu Pazir di atas namun dari fakta upacara Pi’i Pato’  tersebut dimana menghadirkan banyak orang (woe wongko’) itu menandakan sosialitas dari nama, nama memiliki pengaruh untuk orang banyak sebab mendengar namanya yang dihadirkan adalah pribadi dengan nama tersebut.

anak 
5. Nama Sebagai Gambaran Karakter Seseorang

            Karakter atau sifat dasar adalah kualitas hidup yang melekat pada diri seseorang sejak lahir, karakter tidak bisa dirubah seketika, misalnya seorang pemarah berarti karakternya pemarah. Karakter yang ideal adalah karakter yang baik, membangun dan bermanfaat untuk kehidupan sosial, semua Orang Maronggela menginkan agar berkarakter baik bagi anak-anaknya.

            Filsafat nama menurut Pi’i Pato’ sebagai gambaran karakter diartikan bahwa nama tersebut secara etimologis berarti nama suatu tanaman atau binatang tertentu dengan kualitas-kualitasnya. Pribadi bersangkutan akan hidup sesuai karakter namanya, misalnya nama Pogol berkarakter keras, kuat dalam pendirian, tidak mudah goyah dan membarkan diri dikendalikan oleh orang lain jika itu demi kebaikan bersama.

Penutup

            Nama adalah tanda, pengenal dan penegas identitas menjawabi pertanyaan siapa.    Nama juga sebagai ekspresi unsur primordial dari mana asal seseorang dan apa agamanya, semua bisa diketahui hanya melalui nama.  Selain sebagai penanda nama adalah pembeda bahwa seorang tertentu bukan yang lain, bahkan melampaui semuanya nama justeru dipersonalisasi sehingga menghina nama seseorang yang terhina justeru pribadi bersangkutan dan memuji nama seseorang yang merasa senang adalah pribadi orang tersebut. Sesuai ungkapan Masslow bahwa pada dasarnya manusia ingin dipuji dan ingin nama baiknya dikenang sehingga tidak heran kalau banyak orang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk mencari gelar, popularitas demi nama baik.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan berbagai metode serta analisis data ditemukan keunikan tradisi pemberina nama pada masyarakat Maronggela yang disebut Pi’i Pato’. Lebih jauh dari itu ternyata tradisi pemberian nama tersirat banyak nilai filosofisnya, sehingga nama memang sangat sakral. Nama itulah yang dihidupi dan diteruskan ke generasi-generasi mendatang. Makna filosofis nama bagi Orang Maronggela didapatkan dari bagaimana melakukan upacara pemberian nama. Ada beberapa makna filosofis yang penulis sebut sebagai filsafat nama yaitu: nama sebagai kenangan akan leluhur, nama sebagai harapan, nama sebagai tanda sosial, nama sebagai gambaran karakter seseorang dan nama sebagai  perestuan Yang Ilahi.

Filsafat nama pada tulisan ini adalah lebih pada filsafat Timur yakni pandangan hidup (pandangan tentang nama) adalah keyakinan-keyakin rational/logis Orang Maronggela tentang apa itu nama, mengapa harus mempraktekkan pemberian nama dan mengapa nama harus diambil dari nama leluhur dalam suku. Filsafat nama ini seharusnya tetap dilestarikan dan tetap diwarisi turun-temurun bagi orang Maronggela, terlebih dalam melawan arus globalisasi yang ditandai dengan weternisasi nama, seolah-olah nama Orang Barat lebih baik. Filsafat nama perlu diajarkan kepada generasi berikut melalui ajaran lisan maupun tulisan. Dan pentinglah untuk menginventarisasi ajaran tentang filsafat nama dalam suatu karya tertentu. Maka berdasarkan pengalaman empiris penulis dan hasil wawancara yang mendalam penulis bisa mempertanggunjawabkan secara rational filsafat nama pada kebudayaan Maronggela dalam suatu karya tulis yaitu filsafat nama menurut Pi’i Pato’ pada kebudayaan Maronggela, Kec. Riung Barat, Kab. Ngada-NTT.

 Sekian.




 

  Perihal Hidup: Sejak awal 2023, saya sudah disibukkan dengan satu pekerjaan baru yakni penyelenggara Pemilu persisnya panwaslu desa (PKD...