FILSAFAT NAMA ORANG
MARONGGELA
Oleh Klpk 1 (frs, Guce, Sintus, Aris)
Pengantar :
Sebagai
individu otonom dan juga sekaligus mahluk sosial manusia saling terhubung demi
kepenuhan hidupnya, namun masing-masing individu tetap berbeda satu dengan yang
lain. Salah satu dari sunsur pembeda adalah nama diri (proper name). Nama diri (proper
name) itu spesifik, pembeda dari nama orang lain tetapi juga tanda
pengenal. Dari namanya orang lain bisa mengetahui siapa dirinya, darimana asalnya,
apa agamanya. Memanggil nama seseorang berarti memanggil totalitas dirinya.
Menghargai nama seseorang berarti menghargai existensi orang tersebut. Tetapi
menghina nama seseorang, yang terhina adalah pribadi secara utuh dari orang
bersangkutan. Menyebut namanya secara sopan itu menjadi suatu bentuk
penghargaan terhadap dirinya.
Banyak
orang yang berusaha untuk berbuat baik sesuai ukuran masyarakat dan agama agar
ketika meninggalkan dunia ini nanti nama baiknya dihargai. Ada pepatah kuno
berbunyi “Gajah mati meninggalkan gading,
harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meniggalkan nama.” Nama
baik identik dengan prilaku baik, yang identik dengan kebenaran dan terpuji,
sehingga tidak tercela semasa hidupnya.
Dalam
berbagai kebudayaan, nama mengandung arti yang penting. Banyak suku
mempertahankan sebagian tradisi dengan salah satunya melalui nama-nama yang
diberikan pada anggota keluarganya, bahkan pemberian nama selalu disertai
dengan kegiatan ritual baik bersifat agamis maupun bersifat kultural. Tujuannya
adalah untuk keselamatan jiwa si pemilik nama. Tidak jarang pula ketika nama
yang diberikan kepada seseorang tidak cocok, nama itu membawa malapetaka,
misalnya pemilik nama sakit-sakitan. Melakukan ritual pemberian nama secara
baik selalu mengandung makna tersendiri bagi orang-orang yang menganut budaya
tersebut.
Masyarakat
dari kebudayaan Maronggela sebenarnya memiliki filsafat hidup/pandangan hidup (way of life) sebagai pegangan dan norma
tingkah laku. Berkaitan dengan nama, masyarakat kebudayaan Maronggela juga
mayakini bahwa nama itu berdimensi masa lalu dan masa depan. Masa lalu berarti
nama memang diambil dari nama kakek atau nenek sang bayi sebagai kenangan
terhadap mereka, dan dimensi masa depan berarti ada harapan agar sang bayi
bertumbuh sesuai nama yang diberikan kepadanya. Lebih dari itu, jika ditinjau
dari cara pemberian nama (Pi’i Pato’) terkandung unsur-unsur lain juga yakni
nama yang disematkan kepada seseorang berarti juga disetujui oleh entitas
tertinggi yakni Mbo’ Muri (Tuhan) dan Mbo’ Nusi (leluhur). Nama itu suci sebab
ada korban hewan yang dibuthkan saat upacara pemberian nama tersebut. Ketika
bertanya “apalah arti sebuah nama” ,
nama mempunyai makna terhadap setiap pribadi. Setiap orang memiliki nama. Nama
merupakan perwujutan, pengejawantahan sekaligus menjadi identitas pribadi
seseorang.
Sesuai dengan latar belakang di atas maka beberapa rumusan masalah yang terungkap dalam bentuk pertanyaan berikut menjadi penuntun dalam merangakai tulisan ini. Adapun hal-hal yang dipermasalahkan ialah : Pertama, siapa itu Orang Maronggela ? Kedua, Bagaimana praktik ritual Pi’i Pato’ (pemberian nama)? Ketiga, Apa makna filosofis dari nama dalam ritual Pi’i Pato’ pada masyarakat Maronggela?
Orang Maronggela
Maronggela
adalah salah satu kampung yang didiami oleh penduduk dari Suku Warukia,
terletak di Desa Wolomeze dan menjadi pusat ibu kota Kecamatan Riung Barat
(saat ini), Kabupaten Ngada- NTT. Maronggela juga sebenarnya tempat hasil
translokasi (perpindahan) dari kampung sebelumnya yang disebut Warukia.
Sedangkan Orang Maronggea berarti penduduku atau masyarakat tertentu yang
mendiami kampung Maronggela. Dari unsur politis berarti masyrakat yang tinggal
di kampung Maronggela, bagian dari kecamatan Riuang Barat dan dari unsur
kultural menandakan orang yang menghidupi budaya Maronggela.
![]() |
orang yg dituakan |
Secara
etimologis Pi’i Pato’ terdiri dari
dua kata, yakni Pi’i dan Pato’. Pi’i artinya nama namun nama yang dimaksud
hanya dalam pengertian Pi’i Pato’ dan
Pato’ artinya pemberian (nama). Kedua kata
tersebut merupkan padanan mempertegas makna. Pi’i Pato’ secara
harafiah berarti pemberian nama. Namun arti Pi’i
Pato’ lebih luas dari sekedar pemberian nama, yaitu suatu upacara atau
ritus inisiasi yang melingkupi banyak hal seperti waktu, tempat, bahan serta
persiapan-persiapan menjelang upacara tersebut. Pi’i Pato’ adalah suatu rangakaina upacara
pemberian nama kepada seorang warga suku yang belum bernama. Umumnya kepada
bayi yang baru lahir sebab mereka terlahir belum bernama. Upacara ini terjadi
lima hari setelah bayi dilahirkan, dengan puncak upacara ialah pemberian nama. Leluhur diikut sertakan, harus
menyebutkan doa-doa adat, memenuhi persyaratan-persyaratan seperti hewan kurban
dan lainya, dibutuhkan keterlibatan om
tanta (Paman dan Bibi dari anak bayi terbut), ka’e aze’ (keluarga dari orang tua bayi), woe wongko’ (warga
suku). Setiap anak yang terlahir dari orang tua berbudaya Maronggela diberi nama
keluarga suku Maronggela.
Filsafat Nama Orang Maronggela
Filsafat
nama dalam hal ini berarti suatu pandangan hidup, atau pemikiran reflektif dan
logis tentang makna nama, apa itu nama, mengapa harus ada nama? Pentingnya
suatu nama, terlebih lagi ditinjau dari ritual pemberian nama yang khas. Baik
nama untuk Yang Ilahi, nama untuk menyebut hal-hal yang terdapat pada kosmos
ini serta nama bagi pribadi-pribadi tertentu. Pandangan tentang nama itu adalah
keyakinan atas makna nama, pertama-tama bukan soal arti etimologis dari nama
tetapi dari cara mendapatkannya. Dengan mengobservasi serta menganalisis ritual
pemberian nama dalam budaya Maronggela, penulis menemukan makna dari nama
seseorang bagi pribadinya juga tentu bagi lingkungan budaya di mana dia hidup.
Sebab nama itu unik bukan hanya sebagai tanda pengenal, tetapi nama adalah
lambang pribadi, totalitas atau karakteristik dari orang bersangkutan sesuai
dengan namanya.
1. Nama Sebagai Kenangan Akan Leluhur
Warga Suku Maronggela juga sangat menghormati leluhur, baik itu yang sudah meninggal begitu lama ataupun orang-tua, kakek nenek yang barusan meninggal, suatu keyakinan Orang Maronggela bahwa relasi tidak pernah berakhir dengan peristiwa kematian. Dalam setiap kesempatan upacara adat warga selalu memberi sesajian kepada leluhur sebagai bukti ikatan kekeluargaan. Persaudaraan tidak pernah hilang karena alasan kematian sekalipun. Sebab kematian bagi Orang Maronggela tidak berarti dia tidak ada lagi seperti ungkapan Epikurus, tetapi kematian hanyalah peralihan ke alam lain (sia mbo’ nusi loke zoe’ dia nini’ kita, dia zaga kita, pae’ pedo’ kita).
Nama
sebagai kenangan akan leluhur. Orang Maronggela meyakini bahwa nama itu harus
diambil dari nama leluhur demi mengenang mereka, kenangan bukan hanya karena
mereka adalah leluhur lebih daripada itu bahwa leluhur atau nenek moyang selalu
diagungkan karena kehebatan-kehebatan mereka, kecerdasan, atau wibawa serta
tokoh yang dihormati dan disegani. Orang Maronggela selalu membanggakan berbagai
kehebatan leluhur mereka, (nuuk sia mbo’
nusi).
Kenangan
akan leluhur diformat dalam suatu upacara Pi’i
Pato’, leluhur siapa yang harus dikenang disetujui oleh leluhur tersebut
dengan melihat tanda pada pinang.
Filsafat nama menurut Pi’i Pato’
sebagai kenangan akan leluhur berarti melalui ritual tersebut orang tua si bayi
akan mengetahui siapa leluhur yang akan dikenang melalui nama anak mereka.
![]() |
orang tua si bayi. |
2. Nama Sebagai Harapan Akan Masa Depan
Manusia
memang mahluk yang berharap. Hidupnya didorong oleh harapan. Orang bisa bangun
tidur, dan kemudian siap beraktivitas, juga karena punya harapan akan hidup
yang lebih baik. Ketika kesulitan menerpa, harapan pula yang mampu
menyelamatkan manusia. Yang diperlukan disini adalah kejernihan di dalam
memahami harapan. Darimana datangnya harapan?Apa inti dari harapan? Bagaimana
mengelola harapan, supaya ia bisa menjadi daya dorong kehidupan, dan bukan
sumber kekecewaan? Hakikat pemberian nama kepada bayi sebagai sebuah harapan
agar bayi tersebut selamat, mendapat kebahagiaan, atau kemuliaan dan menjadi
orang baik. Nama yang diberikan kepada si bayi dimaksudkan sebagai doa
permohonan kepada Yang Ilahi untuk kepentingan si bayi pula. Selanjutnya
diungkapkan, bahwa nama-nama tersebut biasanya merupakan nama yang antara lain
menunjukkan, kebijaksanaan, dan kepandaian. Melalui nama yang diberikan, orang
tua mengharapkan agar anaknya kelak
menjadi orang yang sesuai dengan makna yang terkandung dalam nama atau
sebaik orang yang memiliki nama tersebut.
Adapun nama sebagai harapan itu pertama-tama terlihat dari
bunyi syair pintu pazir pi’i pato’ dan
kedua dari nama tersebut. Pertama dari
bunyi syair pintu pazir pii pato’ adalah
sebagai berikut : Raza ata nai mogha,s Raza ata
nai lawe’, Zaga anak kendo’, Ziu nggia lawe’ weki di’a ngalit, Lengkang muzin awan za’a laza teto’, Muzin awan more’ lawe’, Zari ata laki mosa, Ndirung tikus logo welong, Zaga weki ngalit nggia Neang wenang lezong kendo’ Saing wi muzi
awa’n. (artinya:
Raja yang baik hati dan lemah lembut jagalah anak ini, berilah dia kesehatan
dan nama baik, sehingga di kemudian hari dia tidak tertimpa sakit derita, punya
kehidupan yang baik, menjadi orang yang kaya raya atau berkecukupan, kami juga mohon jagalah
dia sejak hari ini hingga selamanya). Dengan upacara pemberian nama Pi’i Pato’ diharapkan bahwa anak
tersebut menjadi seperti yang didoakan terisitimewa menjadi orang yang sehat
dan punya nama baik di kemudian hari (weki
di’a ngalit lawe’).
Kedua, nama sebagai harapan itu
dilihat dari pilihan nama anak tersebut. Mengapa harus diberi sesuai nama dari
kelaurganya yaitu kakek atau nenek anak tersebut, hal ini mengandung harapan
bahwa si bayi harus bertumbuh menjadi seperti tokoh ideal (ideal type) yakni
kakek atau neneknya. Mereka dikatakan tokoh ideal sebab orang-orang tersebut
sangat berjasa bagi kelaurga dan selalu diceritakan sebagai tokoh-tokoh yang
hebat dan pencetus budaya dalam suku. Maksud pemberian nama agar bayi (anak
wara) melanjutkan popularitas, kualitas-kualitas hidup orang yang diambil
namanya.
3. Nama Sebagi Perestuan Yang Ilahi Dan Leluhur
Berdimensi
religius dalam tulisan ini berarti ngalit
itu dalam proses mendapatkannya selalu ada campur tangan Yang Ilahi. Nampo’ ngalit selalu ada restu Yang Ilahi. Ketika pinang
sisi yang satu terbuka dan sisi yang lain tertutup, itu tanda persetujuan dari
leluhur. Maka nama itu sangat dihargai, sehingga orang dari Maronggela tidak
berani menyebut nama seseorang secara langsung, apalagi menyebut nama orang
yang lebih tua. Penyebutan selalu diperhalus, bukan disamar tetapi diperhalus,
misalnya nama Bogo akan disebut Mbos, atau Laos akan disapa Dao. Ini
bukti penghargaan terhadap nama dilihat dari sakralitasnya.
Analisis
tentang dimensi religius dalam nama Orang Maronggela terdapat dari Pintu Pazir Pi’i Pato’ terdapat
kata-kata yang berbunyi “Lezong kendo
kami pi’i pato, ’Kami ko ziu’ ngalit ziu anak kendo’, Lezo’ lima taun kia manga lonto tana’, Kia
zari le Nggau, Kau bot ngalit anak kendo’.” (artinya: hari ini kami
melakuak upacara Pi’i Pato’, kami
akan memberikan nama baru bagi anak ini, sebab sudah lima hari dia berada
bersama kami tanpa nama, dia adalah ciptaanMu dan Engkaulah yang akan
menyetujui namannya). Nama menurut Pi’i
Pato’ berdimensi religius sebab nama diyakini sebagai pemberian Mori Kraeng, manusia yang menawarkan
tetapi Mori Kraeng yang menyetujui
dan tanda persetujuan Mori Kraeng atas
nama anak tersebut itu bisa dilihat melalui petunjuk pinang.
4. Nama Sebagai Tanda Sosial
Adapun
beberapa nilai sosial dari sebuah nama yaitu :
Nilai
Pencitraan. Nama
merupakan konsep esensial yang berhubungan dengan identitas. Dari konsep ini
muncul istilah penamaan dan nama baik. Nama diberikan berdasarkan asal-usul dan
pencitraan terhadap nama dimaksud. Oleh karena itu, orang yang menggunakan
nama/ mewarisi nama berkewajiban moral untuk tetap menjaga nama tersebut agar
tidak tercela. Dalam budaya Maronggela, hal nama baik terarah pada pepatah
berikut Weki lawe’ngalit di’a (artinya: Badan sehat dan nama
baik).
Sehubungan
dengan itu, orang Maronggela berkewajiban moral untuk hidup taat norma sosial
budaya agar peribahasa “Harimau mati
meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama” dapat tewujud. Nama
itu harus bebas dari citra buruk (stereotip) sehingga layak untuk diwariskan ke
generasi berikutnya.
Nilai
Ekonomis. Salah
satu ukuran hidup baik ialah kekayaan material. Untuk memperoleh kekayaan
dimaksud diperlukan usaha. Setiap usaha/ kerja untuk mendapatkan hasil
senantiasa diletakkan di atas dasar keluhuran akhlak dan kemurnian budi. Nilai ekonomis yang tersirat di balik makna
sosiologis tutur Pintu Pazir Pi’i Pato’ tersurat pada larik berikut ini. (lengkang muzi awan zari ata laki mosa), semua karya dan usahanya
berhasil. Nilai tersebut menuntun orang Maronggela untuk menjadi individu
pekerja keras dengan selalu mengedepankan cara-cara yang bermartabat. Pandangan
mengenai dihalalkannya cara untuk memperoleh hasil yang menguntungkan merupakan
hal yang ditabukan dengan masyarakat Maronggela.
Filsafat
nama menurut Pi’i Pato’ sebagai tanda
sosial dilihat dari nama itu sendiri, Orang Maronggela tidak mengena fam secara eksplisit tetapi tetap nama
memang menunjukan bahwa anak tersebut berasal dari keluarga yang bersangkutan.
Sebagai tanda sosial selain tersirat dalam Pintu
Pazir di atas namun dari fakta upacara Pi’i
Pato’ tersebut dimana menghadirkan
banyak orang (woe wongko’) itu
menandakan sosialitas dari nama, nama memiliki pengaruh untuk orang banyak
sebab mendengar namanya yang dihadirkan adalah pribadi dengan nama tersebut.
![]() |
anak |
Karakter atau sifat dasar adalah
kualitas hidup yang melekat pada diri seseorang sejak lahir, karakter tidak
bisa dirubah seketika, misalnya seorang pemarah berarti karakternya pemarah.
Karakter yang ideal adalah karakter yang baik, membangun dan bermanfaat untuk
kehidupan sosial, semua Orang Maronggela menginkan agar berkarakter baik bagi
anak-anaknya.
Filsafat nama menurut Pi’i Pato’ sebagai gambaran karakter
diartikan bahwa nama tersebut secara etimologis berarti nama suatu tanaman atau
binatang tertentu dengan kualitas-kualitasnya. Pribadi bersangkutan akan hidup
sesuai karakter namanya, misalnya nama Pogol
berkarakter keras, kuat dalam pendirian, tidak mudah goyah dan membarkan
diri dikendalikan oleh orang lain jika itu demi kebaikan bersama.
Penutup
Nama adalah tanda, pengenal dan penegas
identitas menjawabi pertanyaan siapa. Nama juga sebagai ekspresi unsur
primordial dari mana asal seseorang dan apa agamanya, semua bisa diketahui
hanya melalui nama. Selain sebagai
penanda nama adalah pembeda bahwa seorang tertentu bukan yang lain, bahkan
melampaui semuanya nama justeru dipersonalisasi sehingga menghina nama
seseorang yang terhina justeru pribadi bersangkutan dan memuji nama seseorang
yang merasa senang adalah pribadi orang tersebut. Sesuai ungkapan Masslow bahwa pada dasarnya manusia
ingin dipuji dan ingin nama baiknya dikenang sehingga tidak heran kalau banyak
orang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk mencari gelar, popularitas
demi nama baik.
Dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan berbagai metode serta
analisis data ditemukan keunikan tradisi pemberina nama pada masyarakat
Maronggela yang disebut Pi’i Pato’. Lebih
jauh dari itu ternyata tradisi pemberian nama tersirat banyak nilai
filosofisnya, sehingga nama memang sangat sakral. Nama itulah yang dihidupi dan
diteruskan ke generasi-generasi mendatang. Makna filosofis nama bagi Orang
Maronggela didapatkan dari bagaimana melakukan upacara pemberian nama. Ada
beberapa makna filosofis yang penulis sebut sebagai filsafat nama yaitu: nama
sebagai kenangan akan leluhur, nama sebagai harapan, nama sebagai tanda sosial,
nama sebagai gambaran karakter seseorang dan nama sebagai perestuan Yang Ilahi.
Filsafat
nama pada tulisan ini adalah lebih pada filsafat Timur yakni pandangan hidup
(pandangan tentang nama) adalah keyakinan-keyakin rational/logis Orang
Maronggela tentang apa itu nama, mengapa harus mempraktekkan pemberian nama dan
mengapa nama harus diambil dari nama leluhur dalam suku. Filsafat nama ini
seharusnya tetap dilestarikan dan tetap diwarisi turun-temurun bagi orang
Maronggela, terlebih dalam melawan arus globalisasi yang ditandai dengan
weternisasi nama, seolah-olah nama Orang Barat lebih baik. Filsafat nama perlu
diajarkan kepada generasi berikut melalui ajaran lisan maupun tulisan. Dan
pentinglah untuk menginventarisasi ajaran tentang filsafat nama dalam suatu
karya tertentu. Maka berdasarkan pengalaman empiris penulis dan hasil wawancara
yang mendalam penulis bisa mempertanggunjawabkan secara rational filsafat nama
pada kebudayaan Maronggela dalam suatu karya tulis yaitu filsafat nama menurut Pi’i Pato’ pada kebudayaan Maronggela,
Kec. Riung Barat, Kab. Ngada-NTT.
Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar