Sabtu, 16 Oktober 2021

Menjadi Pastor???

 

Menjadi Pastor?


    Jujur, ini pengalaman personalku. Aku masih tetap menjadi manusia. Aku bahkan semakin menemukan diriku bahwa aku adalah manusia. Menjadi pastor bagiku adalah usaha untuk berpura-pura tidak menjadi manusia lagi. Karena menjadi pastor berarti  beralih dari kenyataan dunia ini, bersembunyi dari fakta-fakta yang seharusnya dihadapi. Menjadi pastor itu adalah seni berpura-pura.

Sejak bergabung ke biara OCD 2012 lalu, aku merasa terpenjara. Memang ini pilihan bebas. Bukan atas kehendak siapa-siapa tetapi atas pilihan bebas saya atas kehendak saya, atas kemauan saya untuk bergabung menjadi Karmelit. Menjadi seorang biarawan Karmel tidak susah sebenarnya, para frater dan pastor hanya diminta untuk menjalani aturan yang tertera dalam konstitusi. Konstitusi adalah dewa, bahkan menggeser peran Tuhan. Konstitusi mengatur hingga hal-hal privat, semua terkendali, semua terarah dan semua terbuka. Konstitusi itu sangat rational, dapat dipahami, setiap canon selalu ada penjelasan yang rational. Dan kami diminta untuk menaati konstitusi, semakin hidup sesuai konstitusi semakin karmelitlah orang tersebut.

Aku terus berefleksi, benarkah hidup sekejam itu. Benarkah itu bisa menjanjikan kebahagiaan.? Benarkah bahwa keselamatan akhir zaman terjamin dengan menjalani secara buta konstitusi biara? Tidak! Ini kebodohan yang sangat besar. Aku tahu, ini adalah aturan yang tidak memanusiawikan. Banyak hal dikekang dengan tawaran suatu idelisme tetang surga yang menyenangkan.  Tidak boleh punya milik pribadi, semua barang biara menjadi milik bersama dan digunakan untuk kepentingan bersama. Ini semacam komunisme.  Tidak boleh punya isteri, karena adaya isteri akan menghambat pelayanan kepada banyak umat. Kebebasan apapun harus disesuaikan dengan konstitusi, jadi anda tidak bisa menjadi terlalu hebat dan tidak boleh juga menjadi terlalu lemah, harus seimbang walau anda ingin lebih dan walau anda lemah.

Tujuh tahun ini aku jalani, segala sesuatu diikuti seperti seharusnya. Banyak hal yang aku lakukan hanya sebagai asal-asalan saja agar posisiku terjamin. Machievelli, benar juga: kita boleh menggunakan berbagai cara, yang penting posisi kita aman. Tujuh tahun penuh derita, kehilangan masa mudahku, kehilangan cinta seorang gadis, kehilangan orientasi hidup. Yah aku diindoktrinasi, diiming-iming dengan surga yang mungkin utopis itu. Persoalan sekarang aku terjebak dalam pilihan yang tidak membebaskanku ini. Yah, dalam biara semua terjamin, makanan, pakaian, rumah, sarana prasarana semua terjamin. Tetapi apakah hati terjamin.? Aku yakin banyak yang tersiksa dengan kehidupan biara. Banyak yang berpura-pura baik, padahal dalam hati semua berbanding terbalik, semua tidak sesuai dengan apa yang diidealkan dalam biara. Aku tersiksa, saat ini dan di sini, walau aku terkadang tidak yakin apakah di luar sana kebebasan lebih besar daripada dalam biara..? itu tidak penting, yang paling penting bahwa aku tidak manusia lagi, aku sudah menjadi malaikat hidup di bumi ini. Aku sudah menjadi terlalu suci untuk tidak bisa berbuat dosa lagi, aku sudah menjadi terlalu hebat untuk tidak berbuat salah lagi. Apakah itu manusiawi?

Manusia adalah binatang yang berakal budi kata Aristoteles. Jadi semua aspek dari diri manusia secara personal itu sama dengan binatang, hanya manusia diberikan akal budi saja. Itulah yang membedakan dirinya dari binatang. Karena manusia itu adalah binatang maka dia masih memiliki kehendak untuk kawin dan dikawinkan, masih punya insting untuk hidup bersama, bahkan diberi ratio lagi dia tahu bagaimana cara untuk menjaga spesiesnya dengan cara yang rational. Manusia butuh cinta, hubungan dengan orang lain. Pertanyaan sekarang mengapa manusia yang adalah binatang berakal budi ini malah dibatasi lagi untuk tidak menikah, untuk tidak  melakukan perbuatan-perbuatan yang dikehandakinya? Menjadi pastor itu membatasi esensi manusiawi. Dan tidak manusiawi.

Di akhir tahun 2018 ini aku berjanji bahwa aku akan berusaha untuk menemukan kamanusiaanku lagi, apapun yang terjadi. Kebebasan adalah ketika aku berani untuk mengakhiri kepura-puraan ini, ketika aku mengatakan stop terhadap topeng kehidupan, terhadap sandiwara yang coba aku mainkan. Kehidupan yang benar dan seharunya bagiku adalah ketika aku bukan menjadi seorang calon pastor lagi. Apapun yang terjadiiiii…….

 

Penfui, Sabtu, 29-12-2018

Sintuz Bezy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Perihal Hidup: Sejak awal 2023, saya sudah disibukkan dengan satu pekerjaan baru yakni penyelenggara Pemilu persisnya panwaslu desa (PKD...