Menjadi Pastor?
Jujur, ini pengalaman personalku. Aku masih tetap menjadi manusia. Aku bahkan semakin menemukan diriku bahwa aku adalah manusia. Menjadi pastor bagiku adalah usaha untuk berpura-pura tidak menjadi manusia lagi. Karena menjadi pastor berarti beralih dari kenyataan dunia ini, bersembunyi dari fakta-fakta yang seharusnya dihadapi. Menjadi pastor itu adalah seni berpura-pura.
Sejak bergabung ke biara
OCD 2012 lalu, aku merasa terpenjara. Memang ini pilihan bebas. Bukan atas
kehendak siapa-siapa tetapi atas pilihan bebas saya atas kehendak saya, atas
kemauan saya untuk bergabung menjadi Karmelit. Menjadi seorang biarawan Karmel
tidak susah sebenarnya, para frater dan pastor hanya diminta untuk menjalani
aturan yang tertera dalam konstitusi. Konstitusi adalah dewa, bahkan menggeser
peran Tuhan. Konstitusi mengatur hingga hal-hal privat, semua terkendali, semua
terarah dan semua terbuka. Konstitusi itu sangat rational, dapat dipahami,
setiap canon selalu ada penjelasan yang rational. Dan kami diminta untuk
menaati konstitusi, semakin hidup sesuai konstitusi semakin karmelitlah orang
tersebut.
Aku terus berefleksi,
benarkah hidup sekejam itu. Benarkah itu bisa menjanjikan kebahagiaan.?
Benarkah bahwa keselamatan akhir zaman terjamin dengan menjalani secara buta
konstitusi biara? Tidak! Ini kebodohan yang sangat besar. Aku tahu, ini adalah
aturan yang tidak memanusiawikan. Banyak hal dikekang dengan tawaran suatu
idelisme tetang surga yang menyenangkan. Tidak boleh punya milik pribadi, semua barang
biara menjadi milik bersama dan digunakan untuk kepentingan bersama. Ini
semacam komunisme. Tidak boleh punya
isteri, karena adaya isteri akan menghambat pelayanan kepada banyak umat. Kebebasan
apapun harus disesuaikan dengan konstitusi, jadi anda tidak bisa menjadi
terlalu hebat dan tidak boleh juga menjadi terlalu lemah, harus seimbang walau
anda ingin lebih dan walau anda lemah.
Tujuh tahun ini aku
jalani, segala sesuatu diikuti seperti seharusnya. Banyak hal yang aku lakukan
hanya sebagai asal-asalan saja agar posisiku terjamin. Machievelli, benar juga:
kita boleh menggunakan berbagai cara, yang penting posisi kita aman. Tujuh
tahun penuh derita, kehilangan masa mudahku, kehilangan cinta seorang gadis,
kehilangan orientasi hidup. Yah aku diindoktrinasi, diiming-iming dengan surga
yang mungkin utopis itu. Persoalan sekarang aku terjebak dalam pilihan yang
tidak membebaskanku ini. Yah, dalam biara semua terjamin, makanan, pakaian,
rumah, sarana prasarana semua terjamin. Tetapi apakah hati terjamin.? Aku yakin
banyak yang tersiksa dengan kehidupan biara. Banyak yang berpura-pura baik,
padahal dalam hati semua berbanding terbalik, semua tidak sesuai dengan apa
yang diidealkan dalam biara. Aku tersiksa, saat ini dan di sini, walau aku
terkadang tidak yakin apakah di luar sana kebebasan lebih besar daripada dalam
biara..? itu tidak penting, yang paling penting bahwa aku tidak manusia lagi,
aku sudah menjadi malaikat hidup di bumi ini. Aku sudah menjadi terlalu suci
untuk tidak bisa berbuat dosa lagi, aku sudah menjadi terlalu hebat untuk tidak
berbuat salah lagi. Apakah itu manusiawi?
Manusia adalah binatang
yang berakal budi kata Aristoteles. Jadi semua aspek dari diri manusia secara
personal itu sama dengan binatang, hanya manusia diberikan akal budi saja.
Itulah yang membedakan dirinya dari binatang. Karena manusia itu adalah
binatang maka dia masih memiliki kehendak untuk kawin dan dikawinkan, masih
punya insting untuk hidup bersama, bahkan diberi ratio lagi dia tahu bagaimana
cara untuk menjaga spesiesnya dengan cara yang rational. Manusia butuh cinta,
hubungan dengan orang lain. Pertanyaan sekarang mengapa manusia yang adalah
binatang berakal budi ini malah dibatasi lagi untuk tidak menikah, untuk
tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang
dikehandakinya? Menjadi pastor itu membatasi esensi manusiawi. Dan tidak
manusiawi.
Di akhir tahun
2018 ini aku berjanji bahwa aku akan berusaha untuk menemukan kamanusiaanku
lagi, apapun yang terjadi. Kebebasan adalah ketika aku berani untuk mengakhiri
kepura-puraan ini, ketika aku mengatakan stop terhadap topeng kehidupan,
terhadap sandiwara yang coba aku mainkan. Kehidupan yang benar dan seharunya
bagiku adalah ketika aku bukan menjadi seorang calon pastor lagi. Apapun yang
terjadiiiii…….
Penfui, Sabtu, 29-12-2018
Sintuz Bezy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar