Sabtu, 16 Oktober 2021

Ekspresi Jiwa yg sedang merana

 

“Ekspresi jiwa yang sedang merana”

Absurditas…….

    Apa aku harus menyerah? Tidak oh… tidak. Aku tidak menyerah terhadap keadaan, masih ada pilihan kedua, masih ada pilihan keempat, masih ada pilihan kelima, masih ada pilihan keseribu satu. Selagi masih bernafas selama itulah pilihan tetap ada, sejauh itulah perubahan masih mungkin. Walau itupun tidak menuntun kepada penemuan makna, paling tidak pilihan baru mengajarkan betapa berharganya pilihan yang sudah ditinggalkan. Semakin kuatlah manusia, mengapa itu terjadi? Keberanian untuk memutuskan yang keduakalinya menjadi seuautu yang sangat diapresiasi.

          Apa arti menjadi seorang manusia jika itu hanya untuk menyenangkan orang lain. Apa arti menjadi ayah yang tekun bekerja hanya supaya isteri dan anaknya tidak mengatakan tak bertanggunjawab. Apa arti menjadi seorang ibu yang siap sedia melayani keluarga hanya karena tidak ingin dikatakan tak paham apa arti menjadi ibu oleh suami dan anak-anak? Apa arti menjadi seorang anak jika hanya hidup untuk menyenangkann orang tuanya? Bermenunglah saudara……Apa yang saya katakana ini nyata, ketika semua kehilangan nilai, ketika absurditas melanda kita, ketika nihilisme memorakmorandakan situasi batin kita. Ketidak bermakanaan, yah ketidakbermaknaan yang terjadi.

          Benarkah manusia terlahir untuk menjalani hukuman? Dosa Adam yang kita tanggung? Tidak … ini dosa generasi kita.

          Dunia sudah semakin jauh berkembang bahkan melupakan manusia. Nilai universal dipertentangkan dan tidak ada nilai universal. Apa yang ada, pluralitas nilai, realtivisme kebenaran. Tidak ada instansi tertentu yang berhak menentukan kebenaran. Gradasi nilai kehilangan pemiliknya. Masing-masing individu dan kelompoknya menganggap diri benar dan itu yang diperjuangkan dalam politik identitas. Relativisme kebenaran itu nyata, apa gunanya lagi belajar? Jika semua hanyalah sia-sia. Pengkotbah dalam hal ini benar. Segala sesuatu sia-sia belaka. Segala sesuatu sia-sia belaka.

          Ini bukan jeritan suara tertekan, tapi ini adalah ekspresi meaningless. Bukan juga kejahatan terencana tetapi ini pengalaman eksistensial, entah percaya atau tidak. Segala sesuatu tidak bermakna lagi. Pesimis???? Tidak!!!! Terlampau  optimis mengejar suatu hal padahal tidak bermakna. Hehehe. Kebingungan yang ada, hedonisme, materialisme, mengekang eudaimonisme, idealisme. Kenyamanan tatan menyembunyikan berjuta kebobrokan. Cinta akan ketidakbenaran itulah kita. Lalu apa? Apa? Dan Apa?

          Ketiadaan, kehampaan, kekosongan, absurditas.

          Kreativitas hanya terjadi ketika orang tidak sedang dalam depresi. Banyak yang berkreasi sesuai bidangnya disaat suasana dan situasi mendukung, yaitu ketiadaan tekanan. Tekanan adalah pengalaman psikologis dimana seseorang tidak merasa bebas dengan apa yang sedang dialaminya. Nah, keativitas tidak terjadi dalam depresi. Tekanan bisa dating dari luar, dari lingkungan dan sosialitas yang merasuki jiwa seseorang sehingga membuat dirinya depresi. Namun tekanan juga muncul dari lubuk hati terdalam masing-masing individu, ketika apa yang dilakukan tidak sesuai dengan tuntutan, ketika apa yang diinginkan tidak memenuhi harapan. Ketika itulah tekanan menekan. Krerativitas menjadi sirna, segala sesuatu sia-sia. Sisipus tidak pernah sampai kepuncak Olimpus, lantas batu itu kembali ke lembah. Sisipus baru saat ini banyak.

          Pilihan kedua adalah keberania Sisipus untuk mendorong sekali lagi batu itu ke puncak. Sispus menjadi kuat.

          Putuskanlah untuk yang kedua kalinya, jikapun keputusan itu salah anda sudah mengalami dalam hidupmu bahwa ada suatu hari aku salah memutuskan. Bukankah semua absurd? Tetapi mengapa Sisipus masih terus berusaa menggulingka batu itu ke puncak? Dia tentu tidak bodoh, dia adalah seorang dewa, dia tentu tidak bisa disebut tak bijaksana, dia adalah raja pengetahuan tentang apa itu kebijaksanaan.

          Satu hal yang membuat Sisipus terus berjuang adalah agar mebuat dirinya semakin kuat, ototnya terus berisi. Semakin kualah dirinya mengahdapi ketidak bermaknaan hidup ini. Dia tidak pernah bisa mati karena esensi kekekalannya, tidak dapat menghidari dari hukuman itu, sebab kemanapun dia pergi tetap ada hukuman di sana.

 

Oleh: Sintuz Bezy.

Penfui, 08-11-2018

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Perihal Hidup: Sejak awal 2023, saya sudah disibukkan dengan satu pekerjaan baru yakni penyelenggara Pemilu persisnya panwaslu desa (PKD...