“Ekspresi jiwa yang sedang merana”
Absurditas…….
Apa aku harus menyerah? Tidak oh… tidak. Aku tidak
menyerah terhadap keadaan, masih ada pilihan kedua, masih ada pilihan keempat,
masih ada pilihan kelima, masih ada pilihan keseribu satu. Selagi masih
bernafas selama itulah pilihan tetap ada, sejauh itulah perubahan masih
mungkin. Walau itupun tidak menuntun kepada penemuan makna, paling tidak
pilihan baru mengajarkan betapa berharganya pilihan yang sudah ditinggalkan.
Semakin kuatlah manusia, mengapa itu terjadi? Keberanian untuk memutuskan yang
keduakalinya menjadi seuautu yang sangat diapresiasi.
Apa arti
menjadi seorang manusia jika itu hanya untuk menyenangkan orang lain. Apa arti
menjadi ayah yang tekun bekerja hanya supaya isteri dan anaknya tidak
mengatakan tak bertanggunjawab. Apa arti menjadi seorang ibu yang siap sedia
melayani keluarga hanya karena tidak ingin dikatakan tak paham apa arti menjadi
ibu oleh suami dan anak-anak? Apa arti menjadi seorang anak jika hanya hidup
untuk menyenangkann orang tuanya? Bermenunglah saudara……Apa yang saya katakana
ini nyata, ketika semua kehilangan nilai, ketika absurditas melanda kita,
ketika nihilisme memorakmorandakan situasi batin kita. Ketidak bermakanaan, yah
ketidakbermaknaan yang terjadi.
Benarkah
manusia terlahir untuk menjalani hukuman? Dosa Adam yang kita tanggung? Tidak …
ini dosa generasi kita.
Dunia sudah
semakin jauh berkembang bahkan melupakan manusia. Nilai universal
dipertentangkan dan tidak ada nilai universal. Apa yang ada, pluralitas nilai,
realtivisme kebenaran. Tidak ada instansi tertentu yang berhak menentukan
kebenaran. Gradasi nilai kehilangan pemiliknya. Masing-masing individu dan
kelompoknya menganggap diri benar dan itu yang diperjuangkan dalam politik
identitas. Relativisme kebenaran itu nyata, apa gunanya lagi belajar? Jika semua
hanyalah sia-sia. Pengkotbah dalam hal ini benar. Segala sesuatu sia-sia
belaka. Segala sesuatu sia-sia belaka.
Ini bukan
jeritan suara tertekan, tapi ini adalah ekspresi meaningless. Bukan juga kejahatan terencana tetapi ini pengalaman
eksistensial, entah percaya atau tidak. Segala sesuatu tidak bermakna lagi.
Pesimis???? Tidak!!!! Terlampau optimis
mengejar suatu hal padahal tidak bermakna. Hehehe. Kebingungan yang ada,
hedonisme, materialisme, mengekang eudaimonisme, idealisme. Kenyamanan tatan
menyembunyikan berjuta kebobrokan. Cinta akan ketidakbenaran itulah kita. Lalu
apa? Apa? Dan Apa?
Ketiadaan,
kehampaan, kekosongan, absurditas.
Kreativitas
hanya terjadi ketika orang tidak sedang dalam depresi. Banyak yang berkreasi
sesuai bidangnya disaat suasana dan situasi mendukung, yaitu ketiadaan tekanan.
Tekanan adalah pengalaman psikologis dimana seseorang tidak merasa bebas dengan
apa yang sedang dialaminya. Nah, keativitas tidak terjadi dalam depresi.
Tekanan bisa dating dari luar, dari lingkungan dan sosialitas yang merasuki
jiwa seseorang sehingga membuat dirinya depresi. Namun tekanan juga muncul dari
lubuk hati terdalam masing-masing individu, ketika apa yang dilakukan tidak sesuai
dengan tuntutan, ketika apa yang diinginkan tidak memenuhi harapan. Ketika
itulah tekanan menekan. Krerativitas menjadi sirna, segala sesuatu sia-sia.
Sisipus tidak pernah sampai kepuncak Olimpus, lantas batu itu kembali ke
lembah. Sisipus baru saat ini banyak.
Pilihan
kedua adalah keberania Sisipus untuk mendorong sekali lagi batu itu ke puncak.
Sispus menjadi kuat.
Putuskanlah
untuk yang kedua kalinya, jikapun keputusan itu salah anda sudah mengalami
dalam hidupmu bahwa ada suatu hari aku salah memutuskan. Bukankah semua absurd?
Tetapi mengapa Sisipus masih terus berusaa menggulingka batu itu ke puncak? Dia
tentu tidak bodoh, dia adalah seorang dewa, dia tentu tidak bisa disebut tak
bijaksana, dia adalah raja pengetahuan tentang apa itu kebijaksanaan.
Satu hal
yang membuat Sisipus terus berjuang adalah agar mebuat dirinya semakin kuat,
ototnya terus berisi. Semakin kualah dirinya mengahdapi ketidak bermaknaan
hidup ini. Dia tidak pernah bisa mati karena esensi kekekalannya, tidak dapat
menghidari dari hukuman itu, sebab kemanapun dia pergi tetap ada hukuman di
sana.
Oleh: Sintuz Bezy.
Penfui, 08-11-2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar