Kamis, 21 Oktober 2021

Nietzsche, Benarkah Tuhan Sudah Mati?

 

Benarkah Tuhan Sudah Mati?

Pengatar

    Saya memberi judul refleksi filosofis-teologis ini dengan kalimat tanya ‘benarkah Tuhan sudah mati’. Mendengar ungkapan Tuhan sudah mati tentu kita langsung berpikir tentang filsafat Nietzsche. Ungkapan ini menandakan suatu penolakan terhadap adanya Tuhan (ateisme). Ateisme itu sendiri dalam sejarah  filsafat sebenarnya sudah popular sejak zaman Yunani dengan tokohnya ialah Epikurus. Epikurus megkomparasikan antara Tuhan dan penderitaan, karena penderitaan tetap ada dimuka bumi ini maka Tuhan tidak ada.[1]  Ada juga tokoh-tokoh popular lain yang menolak keberadaan Tuhan seperti David Hume dengan filsafat empirisnya dan juga Imanuel Kant serta beberapa lainnya.

        Nietzsche tentu tokoh moderen paling popular. Filsafatnya sangat mempengaruhi banyak pemikir sesudahnya termasuk Jean Paul Sartre yang juga seorang pemikir ateis. Nietzche bahkan dijuluki sebagai orang yang menjungkir-balikan metafisika barat. Magnis Suseno dalam bukunya yang berjudul 13 Model Pendekatan Etika, bahkan memberi judul untuk artikelnya tentang Nietzsche adalah “Friedrich Nietzsche: Dekonstruksi Kemunafikan”.[2] Hal ini menandakan bahwa filsafat Nietzsche tidak boleh diremehkan. Tulisan berikut ini adalah hasil refleksi saya atas filsafat Nietzsche sebab saya menganggap konsepnya tetang Kematian Tuhan dan Nihilisme sangat perlu untuk diketahui tentu juga sebagai suatu kritik pedas terhadap agama Kristiani dan itulah yang mendewasakan iman orang Kristiani.

        Saya memulai refleksi ini dengan ulasan sederhana atas dua konsep Nietzsche yakni tentang kematian Tuhan dan Nihilisme lalu menjawabi pertanyaan tentang apa pengaruhnya bagi agama lalu diakhiri dengan tawaran bagaimana orang beragama mesti menyikapinya. Tentu ini bukan suatu analisis akademis yang kaku tetapi hanya sebagai rangkuman dari hasil bacaan pribadi saya.

Kematian Tuhan Dan Nihilisme

        Bagi saya secara personal gugatan yang paling mendewasakan iman dan sangat mendesak untuk ditindaklanjuti oleh teologi adalah dari Friedrich Wilhem Nietzsche, melalui pemikirannya tentang Tuhan Sudah Mati dan  nihilisme. Banyak orang menggunakan konsep ini untuk menyerang agama. Tuhan sudah mati menjadi suatu pukulan keras terhadap inti keberimana orang beragama sebab bagaimana mungkin suatu agama bisa eksis tanpa Tuhan. Sulit dibayangkan jika Tuhan yang adalah sumber dan arah tujuan hidup manusia itu ternyata tidak ada. Ini adalah tantangan bagi orang beragama. Tentang nihilisme itu sendiri yakni situasi dimana tidak ada nilai sama sekali. Moralitas menjadi hampa bisa menimbulkan chaos. Nitzsche justeru menciptakan konsep yang menghasilkan nihilisme.

Tuhan Sudah Mati

        Dikisahkan tentang seorang sinting yang memasang lenteranya di siang hari lalu lari ke pasar dan berteriak tanpa henti ‘aku mencari Tuhan’ tentu Ia ditertawakan oleh orang-orang di pasar sebab bagi Nietzsche tentu orang-orang tersebut tahu bahwa Tuhan memang tidak ada, si Sinting mengatakan bahwa kitalah yang membunuhnya. Setyo Wibowo dalam bukunya yang berjudul Gaya Filsafat Nietzsche menuliskan bahwa bukan Nietzsche yang membunuh Tuhan tetapi kita semua. Nietzsche hanya mengafirmasi saja bukan pelaku tunggal.[3]

        Menarik bahwa kita disadarkan tentang inti keberimanan kita, Tuhan seperti apa yang menjadi pegangan kita. Tuhan antropomorfik yang sangat diwarnai oleh pandangan manusia?

Nihilisme

    Jika Tuhan mati maka hukum moral tidak ada lagi, kita menjadi bebas-sebebasnya. Bukankah ini adalah awal dari nihilisme. Kekosongan atau ketiadaan pegangan hidup akan menjadikan manusia menciptakan pegangan sendiri, sehingga saat ini banyak orang yang jatuh pada hedonisme, bahkan juga pada radikalisme agama yang bagi saya secara personal tentu hal itu adalah hasil dari tafsiran manusia yang kaku akan teks-teks agamanya. Nihilisme juga menjadikan orang ateis, apatis dengan kehidupannya, ada beberapa yang memilih untuk agnostik tidak peduli akan keberadaan Tuhan. Pada intinya nihilisme juga menjadi tantangan berat bagi agama.

Langkah Mendasar Yang Perlu Dilakukan

        Langkah mendasar yang perlu dilakukan dalam tulisan saya ini bukan semata-mata adalah suatu antithesis dari dua konsep di atas namun ini sebagai reaksi progresif yang mesti teologi Kristiani atau orang beriman tanggapi setelah ditelanjangi oleh Nietzsche. Bagi saya dua konsep di atas sangat mempengeruhi teologi Kristen. Teologi adalah ilmu tentang Tuhan, orang bertanya, mereflesikan secara rational tentang Eksistensi Tuhan, pengaruh Tuhan bagi kehidupannya dan hasil karya Tuhan. Tuhan dalam teologi Kristen dilihat sebagai sesuatu yang melampaui diri manusia, tetapi juga Ia yang personal dan menjelma menjadi manusia. Tuhan Kristen begitu agung sekaligus begitu dekat dengan manusia.

        Pernyataan Tuhan sudah mati, membangunkan orang beragama dari tidur dogmatisnya, mereka sadar dan tergerak untuk mencari tahu lebih dalam apa yang dimaksudkan dengan Tuhan sudah mati, mengapa Nietzache mengungkapakannya, Tuhan seperti apa yang Nietzsche maksudkan, maka pemikiran seorang beragama semakin luas, hal ini seperti yang telah diulas oleh Magnis Suseno dalam bukunya yang berjudul Menalar Tuhan. Bagi Magnis Suseno, Nietzsche melihat Tuhan secara negatif sebagai penampung orang-orang lemah, agama yang adalah intitusi yang dibangun oleh orang-orang beriman dilihat sebagai tempat pelarian dari berbagai tanggun jawab kehidupan, tameng berbagai nafsu manusia yang begitu rendah, agama sebagai saluran kebencian kerdil dan lain sebagainya.[4]

        Lanjutan dari tulisan Magnis Suseno, bahwasannya Nietzsche mengabaikan banyak hal positif dari kepercayaan akan adanya Tuhan, seperti pengorbanan untuk berbuat baik bagi orang lain atas nama Tuhan, kegembiraan dan sukacita oleh karena keberhasilan yang semata sebagai berkat Tuhan, bahkan orang beragama Kristen juga terbuka terhadap Nietzsche itu sendiri, masukan yang mendewasakan dan lain sebagainya.[5]  Usulan saya secara personal bagi perkembangan iman dan teologi Kristen tentu adalah “perbaikan akan nilai bahasa religius”. Saya tentu mengafirmasi tulisan Dr. Theo Huijbers dalam bukunya yang berjudul Mencari Allah. Baginya bahasa religius memang masih kurang dalam mengungkapkan Allah, inilah yang perlu diperhatikan, sebab Allah selalu lebih dari apa yang orang ungkapkan tentang-Nya. Meski kita mengungkapkan bahwa Allah itu baik, tetapi realitas Allah lebih dari itu.[6]

        Tidak ada kata penutup, tetapi hanya suatu usulan personal bagi perkembangan teologi saat ini mesti lebih memperbaiki tentang bahasa religius, hal ini bisa membuktikan bahwa kritikan Nietzsche juga bermula dari bahasa religius yang antropomorfik, maka persoalan Tuhan sudah mati dan nihilisme bisa diluruskan dan punya jawaban yang progresif dari pihak agama.

 PART ONE!

PART TWO......


[1] Internet Encyclopedia of Philosophy, https://iep.utm.edu/epicur/. Diakses pada 16 Oktober 2021, jam 10.00 am.

[2] Frans Magnis Susenoa; 13 Model Pendekatan Etika, Bunga Rampai Teks-Teks Etika dari Plato Sapai Dengan Nietzche, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 219

[3] A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, (Yogyakarta: Kanisius, 2017), hlm. 349

[4] Frans Mgnis Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta : Kanisius, 2018), hlm. 81-82

[5] Ibid., hlm. 83-85

[6] Dr. Theo Huijbers, Mencari Allah, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 285-298

 

1 komentar:

  1. Terima kasih untuk yg sempat berkunjung. Tulisan ini hanyalah refleksi singkat saya atas filsafat Nietzsche yg kebetulan berhubungan dengan ateisme, dan tentu akan ada part two sebagai lanjutan refleksi singkat ini..

    BalasHapus

  Perihal Hidup: Sejak awal 2023, saya sudah disibukkan dengan satu pekerjaan baru yakni penyelenggara Pemilu persisnya panwaslu desa (PKD...