Rabu, 16 Desember 2020

Sastra Kebijaksanaan Israel dan Teologi Katolik

 

  KAITAN ANTARA

SASTRA KEBIJAKSANAAN ISRAEL DENGAN TEOLOGI KRISTIANI

Pengantar

Pada video terkahir dari Romo saya menemukan sintesis atau kesimpulan dari perkuliahan kita selama satu semester ini. Ada beberapa hal mendasar yang dibicarakan di 13 kali pertemuan kita, pertama tentang hukum retribusi atau pembalasan di bumi. Secara sederhana mau mengatakan bahwa dalam seluruh kitab kebijaksanaan Israel diusung satu tema yang selalu sama yakni teori pembalasan di bumi. Bawasannya semua perbuatan manusia itu akan mendapat balasanya, jika Ia berbuat baik maka balasannya adalah kebaikan pula atau berkat dan jika perbuatannya jahat tentu balasannya adalah kejahatan atau kutuk. Sesuai dengan pepatah kuno yang berbunyi “bermain api terbakar, bermain air basah” “siapa menabur angin akan menuai badai”. Jadi segala perbuatan akan ada balasan. Namun yang menarik dari kitab kebijaksanaan Israel ini bahwa balasan itu bukan nanti di akhirat, balasan itu justeru langsung dialami sekarang selama hidupnya di dunia ini. Implikasinya ialah orang akan mudah menilai seseorang lain hanya dari nasibnya, jika orang tersebut sukses, kaya dan memiliki kedudukan sosial yang tinggi pasti itu orang baik dan terberkati, sementara sebaliknya orang yang miskin, tersingkirkan pasti Ia terkutuk. Walaupun kemudian teori ini dilawan oleh penulis kitab Ayub, bawasannya penderitaan tidak selamanya diakibatkan karena dosa dan kutuk. Namun gagasannya tetap sama tentang teori pembalasan di bumi.

Kedua, absennya konsep eskatologi. Tidak banyak dibahas tentang kehidupan di akhirat, atau kehidupan setelah kematian. Tidak ada gambaran tentang surga, neraka ataupun api penyucian seperti yang kita kenal dalam teologi Katolik sekarang. Benarlah apa yang dikatakan oleh Romo dalm soal di atas bahwa ini adalah teologi tentang cipataan. Orang pada zaman itu memang tidak terlalu memikirkan hal-hal eskatologis. Saya merefleksikan absenya konsep eskatologis ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti, ambiguitas tentang kebangkitan, sebagian percaya ada kebangkitan yang lainya tidak percaya. (Mat 22:23-34, Mar 12:18-28, Luk 20:27-39). Faktor berikut kemungkinan para penulis masi berfokus atas hal-hal duniawi.

Walaupun demikian tidak menutup kemungkinan sumbangan besarnya terhadap teologi Kristiani. Teologi bicara tentang Tuhan, bukan berarti hanya toh mengulas tentang siapa itu Tuhan, lebih dari itu berbicara juga tentang apa hubungan Tuhan dan manusia serta ciptaan lainnya. Pada paper ini saya akan mempresntasikan bagaimana sumbangan Sastra Kebijaksanaan Israel bagi teologi Kristen atau bagaimana menghubungkan suatu pembahasan yang hanya berkonsern pada hal-hal duniawi dan suatu pembahasan lain lagi yang justeru berkonsern pada hal-hal ilahi.  

Teologi Kristiani

            Teologi sendiri berarti suatu disiplin ilmu yang mempelajari tentang Allah dari kata dasar theos= Allah dan logos=ilmu atau wacana sering disebut ilmu agama wacana yang berdasarkan nalar mengenai agama, spiritualitas dan Tuhan. Dengan demikian teologi Kristiani adalah ilmu yang memperlajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama. Teologi meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan Tuhan. Para teolog berupaya menggunakan analisis dan argumen-argumen rational untuk mendiskusikan, menafsirkan dan mengajar dalam salah satu bidang dari topik-topik agama. Teologi memampukan seseorang untuk lebih memahami tradisi keagamaannya sendiri ataupun tradisi keagamaan lainya, menolong membuat perbandingan antara berbagai tradisi, melestarikan memperbarui suatu tradisi tertentu, menolong peyebaran suatu tradisi, menerapkan sumber-sumber dari suatu tradisi dalam suatu situasi atau kebutuhan masa kini, atau untuk berbagai alasan lainnya.  

Sumbangan Sastra Kebijaksanaan Israel Kepada Teologi Kristiani

            Beberapa sumbangan sastra kebijaksanaan Israel bagi teologi Kristiani :

a.      Kristologi

Dalam Kitab Amsal 8:22-36  kebijaksanaan itu dipersonifikasi oleh penulis. kebijaksanaan bukan lagi sebagai seperangkat pengetahuan tetapi sudah menjelma menjadi pribadi. Pribadi ini memiliki hubungan dengan Allah dan juga dengan manusia. Dalam hubungannya dengan Allah Ia dibentuk, diciptakan oleh Allah, dilahirnkan oleh Allah, Konsep ini jika disbandingkan dengan teologi Katolik ada kemiripan.  Yesus dalam Injil Yohanes adalah San Sabda/Logos yang menjelma (inkarnasi) menjadi pribadi manusia (Yoh 1:1,14).  Ia hadir pada saat penciptaan. Konsep ini juga persis sama dengan teologi Yohanes dalam Injilnya yang menyatakan bahwa Yesus itu pada prainkarnasi sudah ada bersama Allah dan ambil bagian dalam penciptaan semesta ini (Yoh 1:2-3).  

Dalam hubungannya dengan manusia Kebijaksanaan yang sudah dipersonifikasi dalam kitab Amsal tadi sebagai Guru bagi manusia, siapa yang terbuka terhadap pengajarannya akan hidup bahagia, bijak, dan yang menolaknya akan masuk ke dalam lingkaran maut. Teologi Kristen menampilkan Yesus sebagai guru atau Rabi/Rabuni. Sebab Yesus datang untuk mewartakan tentang Kerajaan Allah, mengajarkan ajaran Kasih maka ia disebut guru (Bdk.Yoh 1:38, 3:2, 4:31, 11:28).

b.      Keadilan Allah

Saya berpikir tema tentang keadilan Allah ini sangat penting dan tentu ada hubungannya dari Perjanjian Lama terkusus dari sastra kebijaksanaan Israel dengan Perjanjian Baru atu teologi Katolik. Berbicara mengenai keadilan Allah tidak terlepas dari hubunganya dengan penderitaan. Dalam hukum retributif dikatakan bahwa penderitaan itu akibat dari dosa, sebenarnya hal ini merujuk ke kisah manusia pertama dalam kitab Kejadian 3:1-24, dimana Allah menghukum Adam dan Eva setelah mereka memakan buah terlarang, menarik bahwa bukan hanya Adam dan Eva yang dihukum melainkan juga keturunan mereka. Dosa Adam dan Eva inilah dalam Gereja Katolik disebut dosa asal. Pembaptisan menjadi moment seorang Katolik membebaskan diri dari dosa asal.

Kita kembali ke tema bawasannya orang yang melakukan dosa akan menanggung akibatnya, Allah katakana bahwa untuk Eva dan keturunannya mereka akan mengalami sakit bersalin setiap kali proses kelahiran, untuk Adam dan keturunannya mereka harus bekerja keras demi menghidupi keluarganya. Artiya memang manusia mengelami penderitaan di dunia ini diakibatkan oleh dosa. Jadi dosa mengakibatkan penderitaan, membuat kerenggangan hubungan antara Allah dan manusia itu sendiri. Saya merefleksikan bahwa dalam ayat-ayat hukum retributuf di sastra kebijaksanaan Israel ini terdapat penegasan-penegasan atas paham penderitaan dakibatkan oleh dosa.

Pertanyaan besarnya adalah apakah semua penderitaan diakibatkan oleh dosa? Jika melihat realitas zaman sekarang ini banyak orang yang menderita bukan semata-mata karena dosa, ada yang diakobatkan oleh orang lain, ada yang diakibatkan oleh struktur sosial yang tidak baik, ada yang terlahir sebagai penderita. Tidak semua penderitaan diakibatkan oleh dosa. Ayub membuktikan itu, Ia orang yang sangat taat tapi toh menderita. Dalam kitab-kitab perjanjian baru direfleksikan bahwa dosa itu tidak selalu langsung mengakibatkan penderitaan. Walaupun kita lihat banyak orang yang berdosa justeru hidup baik dan banyak orang yang taat kepada Allah justeru hidup susah. Dosa dipahami sebagai suatu sikap atau tindakan yang melawan Allah dan perintah-perintahNya. Akibat dari dosa akan ada pembalasan di akhirat nanti, maka dalam teologi Katolik kita mengenal tentang konsep surga sabagai tempat bagi orang-orang benar (Wahyu 21:3) dan neraka sebagai tempat bagi orang yang jahat (KGK 1033), serta api penyucian tempat peralihan atau pemurnian seorang yang ada potensi untuk selamat (KGK 1030).

Keadilan Allah memang tidak bisa diukur dengan kosep manusia, bahwa Allah adil jika menghukum mereka yang melanggar perintahnya di bumi ini, sebab dari fakta justeru orang jahat tetap hidup baik. Keadilan Allah boleh bisa dirasakan setelah kehidupan ini bahwa orang jahat akan masuk neraka dan orang baik akan masuk surga. Santo Paulus coba beteologi tentang keadilan Allah ini, dalam Roma 11:19-21 terlihat jelas. Atau dalam Injil Matius 7:21-23 menunjukan Yesus yang menyatakan sekelompok orang tertentu yang walaupun berteriak Bapa, tapi tidak melakukan kehendak Allah tetap akan dibuang ke neraka. Dan tentu yang lebih menarik dari Roma 2:6-8, Allah akan membalas semua orang menurut perbuatannya. Hidup kekal bagi yang baik.

Kesimpulan

            Pembelelajaran tentang sastra kebijaksanaan Israel sangatlah bermanfaat bagi kehidupan saya. Ini adalah ajaran yang sangat praktis dan aplikatif bukan ajaran teologis sulit. Dalam sastra kitab kebijaksanaan Israel saya menemukan kumpulan pepatah, kata bijak sederhana yang mengatur tingkah laku untuk keseharian hidup saya. Walaupun demikian sastra kebijaksanaan Israel juga menyumbang untuk teologi Katolik yang saya Imani, teristimewa untuk dua konsep teologi Katolik sesuai pencarian saya di atas yakni tentang Kristologi dan Keadilan Allah.

Daftar Pustaka

            Lembaga Alkitab Indonesia, Anggota IKAPI, Alkitab, Jakarta: LAI, 1996

            Ryadi, Eko., Yesus Kristus Tuhan Kita, Yogyakarta: Kanisius, 2011

            Sunarko, Adrianus., Kristologi, Tinjauan Historis-Sistematik, Jakarta: Obor, 2017

            Weiden, Wim van der., Seni Hidup, Sastra Kebijaksanaan Perjanjian Lama, Yogyakarta: Kanisius, 1995

Sabtu, 12 Desember 2020

Kalah Tapi Puas

Diskusi Seputaran Pilkada Ngada     

 

            

Sintus     : APRB
Vian      :Ya... kemungkinan besar...
sintus    :30 persen taung aw mkas, na menag gi, bagi lima paslon ni,, satu klaw su pedapat 30 na menang
Vian    : Aku dukung ITO loko...kali pae bisa.. kita pae bersatu....tpi ya itulah demokrasi
Sintus    : kita mesti paham politik yg sesungguhnya mekas.... jgan sektarian begitu.. ketidakmenganan                Credo bukan karena salah orang Riung tidak bersatu...klaw pandangan begitu sama saja dgn              pengamat politik amburadul.... kemenangan APRB juga bukan karena Bajwa bersatu.... lalu apa          fakto2 yg mendukung kemenangan dan mengakibakan kekalahan? kaw kala pernah dengar vox         populi, vox dei, kau paham bahwa suara masyarakat itu adalah suara Tuhan.... nah ini menandakan             bahwa suarau yg diberikan oleh masyrakat berasal dari hati nuraninya dan luhur, klaw ada        karena dapat uang itu masalah lain, tapi mayoritas memilih karena tergerak suara hatinya... suarau         hati itu dibentuk karena ia melihat visi mis calon yg ia pilih dll... Jadi tolong edukasi masyrakat,,,              kekalahan Credo bukan karena masyarakat Riugn tidak bersatu,,, jangan bikin mempermalukan                 kita orang Riung yang berpikir kritis.... beri edukasi politik yang baik, klaw tidak kau hanya terus memupuk kesempitan berpikir orang Riung... tolog mekas sebagai orang Riung kau mesti jadi contoh dalam pandanganmu... jangn terseret opini sektarian...    hahahahahahahah
Vian :Terima kasih Bpk. Dosen Filsafat Sosial Politik...🙏 Benar mekas tapi ikatan primordial dan sektarian itu pasti ada jga...sekalipun yg ideal itu seperti yg kita pelajari dlm ranah akademik..
SIntus : en mekas, kita tahu bahwa Credo ini seasal dgn kita, putra daerah... cuman tidakk cukup dalam politik jika kita memilih seseorng hanya karena ia sama asal dengan kita... sbb itu akan bahaya, misalkan org yg seasal tidak lebih baik dari org luar, akhrnya kita yg terkena getahnya.  saya mungkin tidak mempersoalkan pilihan oran, siapapun pilihan anda itu adalah suara hatimu,, kamu pilih credo juga adalah suara hatimu..... yg mesti kita lawan sekarang adalah pandanga orn yg menghubungkan kekalahan kredo dgn tidak bersatunya org Riung... klaw sampe pandangan begitu berarti kita sedang menelanjangi diri kita...
Vian : Begini mekas.... setidaknya dlm sejarah sejak kabupaten Ngada berdiri baru kali ini ada orang Riung yang maju...
Sintus    :bukan baru kali ini mekas.... pemilu lalu juga ada namanya Ano Aser dgn paket Frenly,, tapi kalah oleh paktnya marianus sae... dari sejk itu kita bisa mengukur perkembagan politik di Riung,, bawasannya walaupun ada putera daerah tidak serta merta bahwa org riugn akan meilihnya... jargonn politik yg sering dibangun misalnya OOOw kita ini tidak diperhatikan, pembangunan hanya kepada org bajawa, dll... benarkah demikian? itu hanya isu politik saja... setiap kepala daerah terpilih tetep dia mesti dan sudah memperhatikan semua wilayah kepemimpinannya... mungkin sana sini masi ada yg belum sempurna itu biasa.......... nah mekas,,, sampe kapanpun dan jika ada lagi tokoh dari riung yg naik tidak akan ada yg namanya semua orng riung akan memilihnya.........       ikatan dengan calon bupati dan wakil bupati itu bukan hanya ikatan kesukuan (primordialsme kultural), tapi ada juga ikatan partai, org riugn yg memilih aprb karena satu partai... ada juga karena ikatan pandangan politik, ada juga ikatan visi misi pembangunan, ada juga mungin ikatan asall-usul leluhur, ada ikatan tempat kerja... jadi ikatan yg terjadi dalam politik bukan saja ikatan suku.... nah sy tetap pada pandangan bahwa kekalahan credo tidak boleh disalahkan oleh karen org riugn tidak bersatu.... berarti cara pandang org tersebut hanya merujuk pada ikatan suku, itulah kesempitannya....
Vian : Bukan karena kesempitan...tpi memang fenomena sektarian jga menjadi salah satu bagian yg tak terpisahkan dlm politik praksis...
Sintus : iya mekas itu memang ada dalam politik dan terjadi.... cuman mari kita selamtkan wajah Riung mekas...  manamungkin kita mempersalahkan lagi kita pung orang sendiri. masa kita bilang lagi "eww kalin yg tidak pilih credo tu salah", "ew kita ini tidak bersatu", memang kita tidak akan bersatu dalam politik.... sy tidak perdebatkan yg sudah terjadi, post factum... bahwa ia memilihi ini itu,,,, tidak,, bukan itu point saya..... yg saya rujuk adalah, realitas setelah pemilihan ini... sekarang org gampang saling mempersalahkan,,,, kita pemerhati kemanusiaan, mesti netral mekas, selamatkan situasi,,, jgn sampe saat kau ketemu org yg tidak pilih credo kau juga marah dia,,, ew itu gara2 kamu yg tidak pilih cred maka ia kalah... lihat apa konsekwensi nya nnti,,, bisa ada pertikaian.... mari berpikir liberal, serta kritis, empiric, dan progresif.... jgn ke belkang lagi,, tapi ke depan...kau berani se ndo soek teka pak le nggaku... hahaha
VIan : erima kasih..la... setidaknya menyegarkan kembali materi filsafat politik..
memangnya selama ini kau punya loyo kh.......  wekaan aku kirim sa artikel ziu nggau mekaskali mesti baca wena ziu komentar ke saya ewwww..... zaa kimu mekas..
Kmi kebanyakan berpastoral....
Vian    ustru ini pastoral yg nyata ni... Sebagai agen pastoral bgaimana pandangamu ttg politik,, klaw mau bawa diri sebagai pendukun Credo, kau mungkin TDK bisa pergi ke pendukung nya aprb... Lalu bgmana supaya kau bisa diterim oleh mereka,, nah cara pandang seorg agen pastoral mesti netral dan demi humanisme
x

Kamis, 03 Desember 2020

Bajawa

 

Ngoronale Astyn

Astyn. Aku pertama kali mengenalnya di Bogenga Bajawa. Saat aku menjalani masa novisiat di tempat itu. Bajawa terkenal sebagai kota dingin, berada di ketinggian ribuan kaki dari permukaan laut. Suhu dingin mempengaruhi kultur Bajawa. Dialeg mereka sangat kasar. Perkampungan yang berbentuk melingkar dan watak orang-orangnya yang kelihatan keras. Namun siapa yang tahu bahwa Bajawa tempat gadis-gadis manis berada? Yah, aku mengenal seorang gadis Bajawa kali ini begitu special.

Astyn, orang menyapanya dengan nama ini. Saya mengenalnya dengan nama Astyn Meo, nama yang khas orang Bajawa. Beberapa dari kami frater novis memiliki kebiasaan yang sulit saya katakan apa? Kami berlomba-lomba untuk pacaran, sebab bagi kami pacaran itu tanda bahwa kami benar-benar laki-laki pemberani.  Sebagian dari kami sebenarnya tidak terlalu peduli dengan apa yang namanya pacaran ini sebab mereka sudah mengenal diri mereka. Menjadi pastor berarti siap untuk tidak menikah, dan masa frater adalah latihan bagaimana mengatur jarak dengan lawan jenis dan membangun hubungan positif.

Aku adalah salah satu dari frater novis angkatan 2014/2015 yang terbius dengan gaya hidup  yang aneh ini. Aku tahu bahwa pacaran itu tidak boleh bagi seorang frater tetapi saya tetap pacaran sebab beberapa teman saya juga pacaran. Adapun teman-teman saya saat itu yang pacaran ialah Manto berpacarana dengan  si cewek Ngoronale seasal dengan Astyn. Teman yang lainnya juga memiliki pasangan namun jarak jauh. Sebut saja Johan pacaran dengan Nia, Ayub pacaran dengan Eca. Hahaha sorry teman-teman saya hanya menyusun kembali memori ini sebab saya ingat kalian semua. Tidak ada maksud apapun tetapi saya menulis apa adanya sejauh yang kuketahui dan alami.

Kami selalu mencari-cari kesempatan untuk bertemu dengan pasangan masing-masing. Aku baru benar-benar pacaran dengan Astyn setelah masa Novisiat saya selesai, yakni pada masa profess yang sedikit longgar daripada masa novisiat. Aku tahu bahwa Astyn memang pernah pacaran dengan kaka tingkat saya sebelumnya, namun kali ini Astyn tidak memiliki pacar dan itu adalah kesempatan yang bagus bagi saya. Prinsip saya ialah tidak merebut milik orang, aku akan pacaran dengan orang yang benar-benar juga menyukaiku dan orang tersebut tidak memiliki pasangan lain selainku. Astyn memang lagi jomblo entah mengapa.  Hahaha, aku memang suka dia, namun ruang ini membatasi kami berdua. Tetapi akan selalu ada jalan yang tepat untuk apa yang namanya cinta. Kami saat itu tidak diijinkan memiliki HP pribadi. Satu saja andalan agar bisa berhubungan dengan Astyn adalah melalui surat. Akupun melakukan hal itu, kurangkaikan kata-kata cintaku pada secarik kertas dan akan diberikan kepada Astyn melalui temannya. Hahaha nasib ewww.. astyn ternyata membalas salamku dan itu menjadi tanda yang baik, hubungan kami akan berjalan baik dan lancar.

Saat itu Pater Remi adalah magister kami, dan diakon Flory bertugas di biara novisiat sedangkan superior kami adalah Pater John/Flafi. Fr Top saat itu adalah fr Agus. Kami hidup seperti biasa selayaknya formator dan formandi. Astyn adalah salah satu anggota OMK (orang muda karmel) mereka sangt akativ mengikuti kegiatan-kegiatan di baiara OCD Bogenga. Hingga suatu kesempatan kami menuju ke tempat yang bernama Late di sana kami akan menanam pagar keliling sebab tempat itu adalah lahan baru milik OCD yang dihibahkan atau mungkin dibeli dari masyarakat setempat. Kesempatan inilah menjadi saat yang tepat bagiku untuk PDKT dengan Astyn. Astyn dan teman-teman OMK lainya ikut bersama kami ke tempat yang bernama Late ini.

Dalam setiap kesempatan kami selalu menyendiri dari teman-teman lain. Aku memang merasa begitu gugup dan takut diketahui oleh pater magisterku. Namun aku membawa diri biasa saja, aku menanyakan Astyn tentang sekolahnya dan apakah ada pacar lain. Astyn meresponku dengan hangat, hal ini memberikan saya harapan, dalam situasi yang begitu sempit itu saya berusaha agar bisa dekatan dengan Astyn. Hubungan kami nerjalan baik walau tidak bisa dikatakan pacaran yang sesungguhnya denga standar pacaran biasa tetapi bagiku saat itu adalah pacaran.  Teman-teman seangnkatanku mengetahui bahwa aku memang memiliki hubungan special dengan Astyn tetapi mereka merahasiakan dari pater magister.

Suatu hari Minggu pagi. Perayaan ekaristi kali itu dipimpin oleh Pater Remi, dan usai misa seperti biasa itu adalah waktu bagi para frater untuk rekreasi hingga jam 12 siang. Setiap Minggu setelah misa juga adalah kesempatan bagi OMK untuk melakukan kegiatan mereka yang bertempat di biara.  Astyn sangat aktiv di kelompok OMK mereka. Dia keliatan sebagai senior di kelompok OMK tersebut. Saya suka saja kepada Astyn sebab orangnya sangat pendiam tetapi lebih dari itu dia cantik dan menarik. Astyn yang berkulit putih ini dihiasi senyuman yang sangat menarik, saya yakin siapa saja bisa terpesona dengan sekali menatapnya. 

Ahaha, sebelum ke cerita inti, sebenarnya aku pernah beberapa kali bertemu Astyn. Aku ingat hari itu aku meminjam HP milik teman saya Damian. Beliau baru saja keluar dari frater untuk  beberapa alasan, soreh itu dia datang ke biara dan aku meminjam HPnya. Melalui sms singkat aku meminta Astyn datang ke biara sebab aku tidak mungkin bisa keluar dari biara. Satu-satunya jalan adalah memintanya datang. Kami janjian untuk bertemu di depan kapela novisiat. Astyn datang sesuai dengan harapan dan janjinya. Aku begitu kaget ternyata Ia membawa saudaranya yang seumuran dengannya. Aku tidak ingat mereka menggunakan motor apa, tapi Ia memang datang bersama saudaranya. Ketika tiba aku langsung menarik tangannya dan mengajaknya masuk ke dalam kapela sebab aku gugup saja dengan saudaranya. Iapun menurutiku, kami ngobrol di dalam Kapela. Oh Tuhan maafkan aku, Astyn kelihatan begitu gugup entah apa yang dibayangkannya. “aku suka kamu Astyn”, hahaha raut wajahnya beruba seketika menjadi merah, ia kaget dan tidak tahu mau bilang apa, tapi dia terima ungkapan perasaan saya.

bersambung..........

Maronggela, 07/05/2020

Kamar Fr Top biara Aspiran OCD

Komunitas Ne'e

 

Untuk Sahabat Ne’e

Tulisan ini kupersembahkan kepada tiga sahabat baikku, yang baru minggat.

         

“Manusia adalah mahluk sosial. Para sosiolog sering mengumandangkan hal ini. Siapa yang tidak tahu bahwa manusia adalah mahluk sosial? Semua kita tahu dan tidak dapat dipungkiri karena ini adalah fakta dan kenyataan. Manusia adalah mahluk sosial (ens sociale).”

          Pablo tercengang dengan selembar kertas di genggamannya. Kebetulan saja pagi tadi Pablo memilih jalan belakang menuju kampus. Hmm, ternyata itu catatan tercecer milik anak Filsafat. Karena Pablo melihat ada gambar Sokrates di begian belakang kertas. Katanya orang tua itu adalah bapak filsafat. Kertas tercecer rupanya dari gerombolan tadi.

Anak Filsafat, yah Pablo sering menyebut gerombolan itu sebagai anak Filsafat. Mereka mudah sekali dikenal, sebab mereka sering bergerombolan menuju kampus. Jalan bersama-sama sebagai saudara seperjuangan, itulah mereka, bukan karena apa2 tapi mereka keluar dari rumah yang sama. Yah, anak filsafat tapi juga biarawan. Sebagai biarawan wajarlah mereka harus berkomunitas, bukti persaudaraan mereka juga ilalah ketika ke kampus selalu bersama, dan fakultas sasaran para biarawan calon imam ini adalah filsafat, sebab filsafat menjadi pelajaran wajib bagi calon imam.

Satu-satunya ilmu sekuler yang wajib dipelajari oleh calon imam adalah filsafat. Siapa saja calon imam, dia harus belajar filsafat. Sejak awal perkembangannya sebenarnya Kekristenan tidak pernah jauh dari filsafat. Teologi Kristen juga banyak dipengaruhi filsafat Yunani, bahkan saat ini dipengaruhi oleh filsafat Jerman. Bagi orang Katolik, fides et ratio itu penting. Iman membutuhkan pemahaman, dan pemahaman yang mendalam hanya dalam iman. Anselmus Canterbury sudah mengumandangkannya. Hehehe

Namun bukan soal siapa pemilik kertas tersebut, tetapi isi tulisannya. Santiago bukan pelajar filsafat tetapi itu bukan menjadi masalah untuk memahami tulisan pendek ini.

“Aku anak FISIP” gumamnya dalam hati. Persoalan sosial itulah pembahasan kami setiap hari dalam kelas.

          Perlahan Santiago merenung dan memahami penggalan baris demi baris. Tidak susah, yang paling inti adalah bahwa “manusia itu mahluk sosial”. Sejak lahir manusia sudah disebut mahluk sosial, (ens sociale). Ini fakta, tak ada seorangpun yang tidak dilahirkan dari seorang ibu, dan ibupun tak bisa mengandung serta melahirkan tanpa peran serta seorang ayah (kecuali rekayasa). Secara natural, sejak lahir memang manusia adalah mahluk sosial. Berbagai kebutuhan dasar hanya dapat terpenuhi jika berinteraksi dengan orang lain. Sosilaitas bisa terbangun karena interaksi sosial, subyek yang satu membutuhkan subyek yang lain, dalam memenuhi berbagai kebutuhan dasar, seperti kebutuhan hidup, makanan, minuman, pakaian dsb. Semua bisa terpenuhi hanya karena manusia adalah mahluk sosial.

 “Ini yang saya pahami” gumam Pablo.

          Setelah berjalan sepuluh meter dari tempat ia menemukan kertas di atas, Pablo berjumpa dengan seorang pelajar yang kebingungan. Ternyata Dialah pemilik kertas. Pablo langsung menunjukkan kertas tersebut kepadanya.

“Huuuh. Syukurlah pencarianku tidak sia2. Aku menemukan kertas penuh kenangan ini” sambar Marlina penuh kegirangan. “Ini halamaan tengah dari tulisanku, aku terlalu buru-buru ke kampus tadi, hingga kertas jatuh berhamburan, dan sudah aku pungut semua, tertinggal satu yang belum, ternyata kamu yang menemukan. Trima  kasih yah.”

Marlina mendapatkan tulisan itu dari Ansy. Kebetulan Marilina hobby membaca cerpen. Marlina sering mendapatkan banyak cerpen dari Ansy si cowok anak Filsafat yang katanya calon imam itu. Tulisan itu tidak pernah diselesaikan oleh Santiago, sebab malam tadi Santiago begitu kesal, dan stress dengan keputusan yang dibuat oleh formator.. pater superior rumah bina. Walau tidak sempat selesai tapi karena janjinya kepada Marlina untuk menuliskan cerpen yah, daripada Marlina tidak percaya kepada saya, mendingan saya kasih saja cerita yang belum selesai ini.

Malam tadi, beberapa teman Santiago, harus meninggalkan rumah bina ini. Padahal mereka adalah teman dekat, sahabat dari komunitas ne’e. Ne'e adalah istilah baru yang dibuat beberapa hari terakhir. Padahal semua akan sirna, semua harus dijaga dalam kondisi yang aman. Santiago sulit menyebut nama-nama mereka, sebab Santiago tahu bahwa orang juga tahu siapa mereka. Santiago kesal dengan keputusan, mengapa mereka harus dikeluarkan dari komunitas ? apa alasan mereka? Apa salahnya ? tapi itu sudah terlambat, mereka sudah dikeluarkan. Sadisya adalah ketika mer................


sintuz bezy

Penfui, Kupang 19/02/19





Ghan Weton

 

NILAI  SOSIAL DALAM RITUS GHAN WETON

DI KAMPUNG MBAZANG KABUPATEN NGADA

SKRIPSI

OLEH: HERMANUS NGGAWAL

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk sosial hal ini tampak dalam kenyataan hidupnya. Ia tidak dapat hidup dalam dirinya sendiri sebab kehadirannya dalam dunia pada dasarnya merupakan hasil dari relasi antara manusia dan manusia serta manusia dengan Penciptanya. Sosialitas manusia diungkapkan dalam berbagai bentuk seperti relasi antara pribadi dengan pribadi, pribadi dan kelompok serta pribadi dengan lingkungannya.[1]

Aneka bentuk pengungkapan sosialitas manusia tersebut hendak menegaskan bahwa pribadi manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia menjalin relasi dengan orang lain untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Oleh karena manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara sempurna, maka dia membangun kerja sama dengan sesamanya. Dengan demikian, manusia bisa mencapai kesejahteraan dalam hidup.[2]

Hal ini berlaku juga bagi masyarakat Mbazang-Riung Barat yang mana salah satu bentuk pengungkapan sosialitas tampak dalam ritus ghan weton. Ritus ghan weton merupakan upacara khas masyarakat Riung Barat pada umumnya dan masyarakat Mbazang pada khususnya. Dalam upacara ghan weton, warga kampung mengadakan perayaan syukur bersama atas hasil panen. Hasil panen yang dimaksudkan di sini adalah padi. Weton dalam bahasa Indonesia berarti jewawut. Pada zaman dahulu, jewawut merupakan makanan pokok masyarakat Riung pada umumnya dan masyarakat Mbazang pada khususnya. Berhubung jewawut sudah punah, maka upacara ghan weton diganti dengan acara makan padi baru. Mereka mengundang kerabat dan kenalan dari berbagai wilayah untuk mengambil bagian dalam perayaan syukur tersebut. Ungkapan syukur direalisasikan dalam acara makan bersama.

Upacara ini dimulai dengan pemberitahuan yang disampaikan oleh dor (ketua adat). Ketua adat menginformasikan kepada warga kampung bahwa acara ghan weton akan segera dilaksanakan. Pemberitahuan ini dilakukan dengan tujuan supaya warga kampung menyiapkan segala sesuatu untuk menyukseskan upacara ghan weton. Salah satu persiapan yang dilakukan oleh mereka adalah mengundang kerabat dan kenalan yang ada di wilayah lain. Dengan demikian, upacara ghan weton menjadi momen bagi warga kampung untuk membangun relasi dengan sesamanya.

Keberadaan manusia dalam suatu wilayah tidak terlepas dari orang lain. Dalam rangka mempererat kesatuan antar sesama manusia yang membentuk koloni-koloni atau asosiasi-asosiasi. Ketika manusia berada dalam  suatu asosiasi, tentu atmosfer kehidupan mereka harus ditata secara baik. Maka dari itu, manusia membutuhkan seorang pemimpin untuk mengatur kehidupan anggota-anggota yang ada di dalamnya.  Hidup manusia akan menjadi teratur jikalau ada orang di antara mereka yang bersedia untuk memobilisasi sistem sosial kemasyarakatan. Manusia  tidak sekadar sebagai makhluk sosial, tetapi juga makhluk politis. Sebagai makhluk politis, manusia hidup dalam suatu kelompok atau organisasi. Benar apa yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa manusia adalah hewan politik yang berada pada level yang tertinggi.[3] Dengan kata lain, manusia itu tidak hanya mengikuti naluri tetapi juga dilengkapi dengan akal budi. Akal budi memampukan manusia untuk berkomunikasi. Dalam berkomunikasi, manusia membutuhkan bahasa sebagai mediumnya. Mengenai hal ini, Aristoteles berujar sebagai berikut. Dengan demikian, jelaslah bahwa manusia adalah seekor hewan politis di dalam derajat yang lebih tinggi daripada lebah atau hewan-hewan lainnya yang suka berkelompok. Alam menurut teori kita tidak membuat sesuatu yang sia-sia; dan manusia adalah satu-satunya hewan yang diperlengkapi dengan kemampuan bahasa.[4]

Sosialitas manusia yang termanifestasi dalam ritus ghan weton tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Mbazang-Riung Barat. Bahwasanya, dalam mengaktualisasikan sosialitasnya, manusia membangun komunikasi antara satu dengan yang lain. Komunikasi adalah medium riil bagi manusia untuk mengejawantahkan sosialitasnya. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, bahasa mempunyai peranan yang sangat penting. Bahasa menjadi unsur pembeda antara manusia dan binatang. Binatang tidak mengenal bahasa. Bahasa hanya dimiliki oleh manusia. Atas dasar inilah manusia dilihat sebagai mahluk yang lebih tinggi derajatnya daripada hewan infrahuman.

            Ritus ghan weton yang terdapat dalam kebudayaan masyarakat Mbazang-Riung Barat sungguh menampilkan esensi manusia sebagai pribadi sosial. Derasnya arus globalisasi membuat manusia lupa akan inti terdalam dari dirnya, yakni sebagai makhluk sosial. Manusia merasa diri hebat dan tidak peduli dengan orang lain. Komunikasi antarindividu diabaikan. Akibatnya, hubungan kekerabatan antarsesama manusia menjadi renggang. Menanggapi persoalan ini, ritus ghan weton menjadi jalan keluar untuk memulihkan kembali hubungan antarindividu khususnya masyarakat Mbazang. Dalam ritus ghan weton, relasi antarsesama manusia menjadi unsur yang paling hakiki sebab dalam ritus tersebut terdapat dimensi sosial manusia itu sendiri yang intinya adalah memberi dan menerima yang akan mempererat tali persaudaraan.

Kebudayaan di mana saya terlibat dan di dalamnya saya bertumbuh tidak pernah “berbisik” melainkan sungguh-sungguh berbicara keras dan berteriak.[5] Dengan adanya kemajuan dan perkembangan teknologi yang begitu pesat, upacara ghan weton tetap eksis dan terus dipertahankan. Buktinya, masyarakat Kampung Mbazang-Riung Barat masih melanjutkan tradisi ghan weton. Hal ini hendak menegaskan bahwa upacara ghan weton memiliki sumbangsih yang sangat berharga bagi kehidupan sosial kemasyarakatan.

Ghan weton menjadi sebuah sejarah yang mesti diketahui dan dipertahankan oleh generasi-generasi sekarang dan yang akan datang. Perintah sejarah mengajak kita untuk bertahan diri dan dinamis membentuk identitas bangsa dalam menghadapi serbuan nilai dan budaya lain dari luar![6] Oleh karena itu, penulis ingin menggali makna sosial yang terkandung dalam upacara ghan weton dengan judul Makna Sosial Dalam Ritus Ghan Weton Di Kampung Mbazang Desa Bentengtawa 1 Kecamatan Riung Barat Kabupaten Ngada.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas dan untuk menjamin terarahnya penelitian ini, maka penulis merumuskan beberapa permasalahan yang menjadi bahan kajian dalam tema penulisan penelitian ini antara lain:

1.      Bagaimana gambaran  kehidupan masyarakat Kampung Mbazang di Desa Benteng Tawa 1, Kecamatan Riung Barat, Kabupaten Ngada, Flores?

2.      Bagaimana praksis ritus ghan weton dalam tradisi lokal masyarakat Kampung Mbazang di Desa Benteng Tawa 1, Kecamatan Riung Barat, Kabupaten Ngada, Flores?

3.      Bagaimana nilai sosial dari praksis ritus ghan weton?

1.3 Tujuan Penelitian

Dalam tulisan ini penulis berusaha mewawancarai dan berdiskusi dengan para informan serta mengumpulkan dan mendalami beberapa karya untuk menjawab persoalan yang telah dirumuskan diatas. Beberapa tujuan yang ditargetkan dalam penulisan adalah:

1.      Upaya menjawab permasalahan sebagaimana termuat dalam rumusan-rumusan permasalahan.

2.      Penulisan ini dilakukan dalam rangka memenuhi sebagian syarat sebagai acuan dalam pengkajian proposal.

3.      Penelitian di Kampung Mbazang merupakan suatu upaya dari penulis sebagai “ahli waris” budaya setempat untuk berani mendokumentasikan dan mewujudkan nilai-nilai budaya yang berdaulat dan selaras zaman.

1.4 Manfaat Atau Kegunaan Penulisan

Berdasarkan harapan penulis agar proposal sederhana ini mendatangkan manfaat sebagai berikut;

1.      Proposal ini dapat menjadi model dan modal bagi penelitian lanjutan bagi para pemerhati budaya, filsafat dan agama.

2.      Karya ini dapat memberikan percikan inspirasi, memupuk minat dan memperdalam kecintaan akan warisan para leluhur dengan melakukan kajian budaya yang mendalam sebagai upaya melestarikan tradisi lokal. Sekaligus penelitian ini dapat menjadi masukan yang arif dalam rangka menciptakan, membangun dan mempertahankan tatanan hidup bersama yang harmonis yang bertolak dari sumber daya kulturalnya.

3.      Hasil kajian ini dapat menjadi sumbangan yang berarti dalam rangka mendokumentasikan warisan leluhur dan pengembangan ketahanan budaya demi penghayatan kehidupan yang beradab dan bernilai sosial yang bersumber pada tradisi setempat yang selaras zaman tanpa terkikis oleh pengaruh globalisasi.

4.      Kajian budaya ini dapat membantu pengembangan dan pembentukan wawasan berpikir akademik yang komprehensif, selektif dan kualitatif seraya memungkinkan penulis untuk lebih dekat dengan salah satu anasir budaya peninggalan leluhur serta dimampukan untuk bersikap dan bertindak bijak dan kritis menghadapai isu-isu yang bertebaran.

1.5 Metode Penulisan

          Penulis memulai tulisan ini dengan menggunakan metode kualitatif yang sangat relevan untuk suatu kajian budaya dalam bentuk wawancara. Jenis penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang sangat ditentukan oleh kualitas penelitian di lapangan yakni praksis Ritus Ghan Weton di kampung Mbazang serta alur kehidupan yang turut membentuknya. Wawancara adalah metode non gambar atau teknik pengambilan data dengan proses tanya jawab antara penulis dnegan informan untuk mendapatkan data secara lisan. Penulis berusaha mencari, mendatangi selanjutnya mewawancarai dan berdiskusi dengan para informan yang diyakini memiliki pengetahuan yang memadai tentang adat Mbazang.

          Selain metode wawancara, penulis juga menggunakan metode pustaka yang setidak-tidaknya dapat membantu penulis menjelaskan term-term adat agar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan juga menegaskan kebenaran dari hasil penelitian penulis.

1.6 Sistematika Penulisan

          Penulis berusaha merangkum karya ini kedalam lima bab. Masing-masing bab menggambarkan pokok-pokok penulisan sebagai berikut: bab pertama adalah bab pendahuluan. Bab ini berisikan gambaran awal atau latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematikan penulisan. Bab kedua merupakan gambaran mengenai keadaan faktual masyarakat Mbazang, desa Benteng Tawa 1 Kecamatan Riung Barat, Kabupaten Ngada, Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Beberapa hal yang dipaparkan dalam gambaran wilayah penelitian ini meliputi beberapa unsur antara lain keadaan geografis, sistem mata pencaharian, sistem bahasa, sistem pemerintahan lokal, sistem perkawinan adat, sistem kesenian, sistem kuliner dan sistem religi.

          Bab ketiga memuat ulasan mengenai keberadaan dan praksis ritus Ghan Weton di kampung Mbazang, desa Benteng Tawa 1 Kecamatan Riung Barat, Kabupaten Ngada, Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Berkaitan dengan keberadaan dan praksis ritus Ghan Weton diulas beberapa hal yakni definisi etimologis dari konsep Ghan Weton dan tahap-tahap dalam ritus Ghan Weton yang memuat tahap persiapan, pelaksanaan dan tahap akhir.

          Bab keempat merupakan pembuktian hipotesa. Bab ini memuat hasil interpretasi penulis yang dituangkan secara deskriptif mengenai nilai sosial dalam ritus Ghan Weton sebagai mana yang menjadi judul dari kajian atau penulisan skripsi ini. Penulis berusaha mengulas tentang nilai sosial dalam ritus Ghan Weton yang meliputi nilai sosial religius, nilai sosial ekonomi, nilai sosial perkawinan serta dilengkapi dengan refleksi kultural.

          Bab kelima merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan, catatan kritis dan saran atas temuan dari penulisan skripsi ini.

BAB II

                                                GAMBARAN UMUM MBAZANG

2.1Keadaan Geografis

Secara geografis Mbazang adalah sebuah kampung di Kecamatan Riung Barat Kabupaten Ngada, Flores. Mbazang terletak di bagian Barat kota Bajawa. Mbazang berbatasan dengan; bagian timur, berbatasan dengan Maronggela, bagian barat berbatasan dengan Rio Minsi, bagian utara berbatasan dengan Warunembu, bagian selatan berbatasan dengan Damu. Kampung Mbazang umumnya terdiri dari bukit dan lembah subur yang memberikan harapan hidup bagi penduduknya. Mbazang juga mengenal dua jenis musim, yaitu musim hujan (dari bulan November sampai dengan April ), dan musim kemarau (dari bulan Mei sampai dengan Oktober).

            Suhu rata-rata di kampung Mbazang pada musim hujan berkisar antara 200C sampai 290C, dan pada musim panas berkisar antara 280C sampai 320C. Sedangkan di daerah pantai, suhu udara berkisar antara 260C sampai 300C, dan pada musim kemarau berkisar rata-rata 290C sampai 340C.

Jumlah penduduk di Kampung Mbazang pada tahun 2013 berjumlah 250 jiwa, dengan jumlah laki-laki 110 jiwa dan perempuan sebanyak 140 jiwa.[7]

2.2  Sistem Mata Pencaharian

Sebagai masyarakat agraris pada umumnya orang Mbazang hidup dengan bercocok tanam, baik disawah maupun di ladang. Orang Mbazang adalah orang yang sangat rajin dan tekun dalam mengolah tanah, sehingga persediaan kebutuhan hidup mereka tetap ada. Tanah-tanah mereka ditanam dengan tanaman palawija seperti singkong atau umbi-umbian, pisang, jagung, kopi, cengkeh dan juga padi. Dalam  Sistem pengolahan tanah masyarakat masih menggunakan alat tradisional tetapi juga ada yang mengguanakan teknologi modern. Misalkan dalam mengolah sawah banyak orang masih menggunakan kerbau dan ada juga yang sudah menggunakan alat modern seperti hand traktor.

Sistem perekonomian masyarakat  Mbazang cukup memadai, sehingga hasil panen tidak hanya untuk dikonsumsi sendiri tetapi ada yang dijual. Selain bertani masyarakat Mbazang  juga beternak untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga maupun untuk kebutuhan pasar. Ternak yang dipelihara oleh masyarakat Mbazang adalah kuda (zaran), kerbau (kaba), sapi (sapi) dalam jumlah tertentu yang disesuaikan dengan ketersediaan lahan dan pangan. Adapun ternak lain yang dipelihara oleh masyarakat Mbazang seperti ayam (manuk), bebek (bebek), anjing (kao), kambing (mbe) babi (wawi). Ternak-ternak yang dipelihara pada saatnya juga akan digunakan untuk keperluan adat seperti pembangunan rumah adat, acara kematian, perkawinan (pola dadang ranalaki) dan sebagainya. Hewan-hewan ritual yang terutama antara lain kerbau (kaba), babi (wawi), dan ayam (manuk).

2.3  Sistem Bahasa

            Bahasa merupakan alat komunikasi timbal balik antar manusia baik dalam situasi resmi maupun dalam situasi biasa. Bahasa dihasilkan oleh seseorang dengan penuh kesadaran lewat suatu bunyi yang beraturan dan mengandung pengertian. Keteraturan dan keterkandungan makna dalam bahasa membentuk suatu integrasi yang harmonis antara pikiran, perasaan dan kemauan.[8]

            Ada dua bahasa komunikasi yang digunakan orang Ruing umumnya dan orang Mbazang khususnya yakni bahasa daerah Riung dan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia digunakan untuk digunakan komunikasi dalam situasi resmi sedangkan bahasa Riung digunakan dalam komunikasi harian dan ritus keagamaan serta upacara adat.[9] dalam hubungan dengan fungsi bahasa, bahasa Riung berfungsi sebagai alat ekspresi seni (pantun, peribahasa) dan sebagai bahasa adat serta bahasa doa.[10]

            Hampir setiap daerah di Riung mempunyai dialeknya sendiri. Secara umum dapat dikelompokan menjadi sepuluh dialek daerah yakni: dialek Maronggele dan Muntin, Wate dan Ria, Terong dan Rawuk, Wangka, Riung, Mbarungkeli, Bekek dan Lengkosambi, Mbazang dan Damu, dan Turaloa.

            Bahasa Riung dengan dialek-dialeknya itu, selain digunakan sebagai bahasa pergaulan, juga sebagai simbol berupa pantun atau pribahasa, serta ada juga bahasa adat dalam bentuk kata-kata bijak tertentu berupa puisi yang syarat makna dan hanya digunakan dalam seremonial adat atau ritus keagamaan.[11]

2.4  Sistem Pemerintahan Lokal

2.4.1 Ulu Golo

         Ulu Golo adalah sebutan untuk seorang pemimpin, kepala suku, kepala kampung. Ulu Golo adalah pemimpin tertinggi woe golo (anggota masyarakat suku). Ulu Golo dipilih oleh woe golo dari anggota masyarakat mawa (suku) yang bergabung dalam satu woe golo. Ulu golo dipilih tidak melalui garis keturunan melainkan orang yang mempunyai kecakapan dan kebijaksanaan lebih dari orang lain dalam satu Woe golo.

2.4.2  Gaen Wongko

Gaen Wongko merupakan badan penasihat dalam suku. Tugas dari Gaen Wongko adalah menyelesaikan berbagai konflik baik yang terjadi antar individu maupun antar kelompok dalam satu suku atau antara suku yang satu dengan suku yang lainnya. Gaen Wongko bertindak sebagai hakim adat untuk memutuskan berbagai perkara atau konflik yang terjadi dalam masyarakat adat.

2.4.3 Tuang Tana 

Tuang tana (tuan tanah), nama lainnya adalah door. Door adalah jabatan semacam mentri agraria atau mentri pertanian dalam satu struktur pemerintahan adat dalam satu Woe Wongko. Dor mempunyai kuasa penuh untuk mengatur adat istiadat yang berkaitan dengan siklus kehidupan suku. Tugas utama Dor adalah Sake wono sekon (menentukan kapan pesta adat diadakan) dan Reti Tana (mengatur pembagian tanah garapan setiap musim tanam).

2.4.4  Gelarang

 Gelarang  adalah wakil atau mandataris Ulu Golo. Jika Ulu Golo berhalangan maka tugas dan tanggung jawab diambil alih oleh Gelarang.

2.4.5 Punggawa

Punggawa adalah mandor yang bertugas untuk mengadakan pembagian kerja sekaligus mengawasi kelancaran pekerjaan dalam suatu kegiatan bersama masyarakat mawa atau suku. Dia mengamankan semua kebijakan yang dibuat bersama masyarakat suku agar dapat berjalan dengan baik dan membawa manfaat bagi masyarakat suku. Orang yang menjadi Punggawa adalah orang yang memiliki keberanian, kemampuan berorganisasi, tegas dan memiliki semangat kerja yang tinggi.

2.4.6 Berambang

Berambang  adalah badan keamanan suku (berambang = dada). Nama lainnya adalah kao-zaran (kao = anjing, zaran = kuda). Tugasnya membela kepentingan suku terhadap ancaman pihak luar, yang dalam sistem pemerintahan sekarang ini menjadi tugas tentara dan polisi.

2.4.7 Tango Ronan

Tango ronan adalah semacam nujum suku atau pelihat musim yang dalam istilahnya adalah wunga fangor. Dia mempunyai kemampuan untuk melihat posisi matahari, bulan dan bintang. Hasil penglihatannya disampaikan kepada Door sebagai dasar untuk membuat keputusan dan kebijakan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat suku.

2.4.8 Sadhi Wene-Rebo

            Sadhi wene-rebo adalah nama umum untuk dukun dalam suku, yang bertugas untuk menangani masalah kesehatan masyarakat suku. Dia dipercaya karena memiliki kemampuan atau keahlian alamiah untuk bisa mendeteksi sebab-sebab penyakit yang dialami masyarakat suku dan mampu menyembuhkannya.

2.4.9 Ghawas Ata

Ghawas ataadalah semacam spion dari suku, bisa juga berfungsi sebagai badan keamanan yang menjaga ketahanan suku. Mereka bertugas memperhatikan kalau-kalau ada pihak luar atau pihak dalam yang membahayakan kesatuan dan perdamaian suku.

2.4.10  Woe Wongko

Woe wongko atau Anak Kampung  adalah golongan rakyat jelata pada umumnya. Yang termasuk dalam golongan ini adalah orang-orang pendatang yang menetap di salah satu suku. Tugas mereka adalah sebagai seorang  bawahan.

2.5 Sistem Perkawinan Adat

2.5.1 Tawa aza lalan daler ale wae    

Secara harafiah nama tahap ini berarti: tertawa di jalan waktu saling bertemu atau berpapasan. Tahap ini adalah tahap dimana pemuda dan pemudi saling mengenal. Selanjutnya pemuda tersebut melaporkan perkenalan tersebut kepada orang-tuanya. Setelah itu orang tua pemuda segera mencari orang yang akan berperan sebagai jembatan (awa lalan atau lawe zarun), lalu sang jembatan pergi menyampaiakan kepada orang –tua wanita awal perkenalan mereka. Dalam jangka waktu tiga hari, sang jembatan menanti jawaban setuju atau tidak dari orang tua wanita.

2.5.2 Reze Bewe Ngai Lezon

          Secara harafiah nama tahap ini berarti: merencanakan hari-malamnya. Setelah mendapat jawaban dari orang-tua wanita bahwa mereka setuju, maka pada tahap ini, jembatan dan orang-tua wanita merencanakan dan menentukan waktu untuk melaksanakan tahap berikutnya.

2.5.3 Timbi Keba Taan Warat

Secara harafiah nama tahap ini berarti: penahan angin, tutup badai. Tahap ini dapat dilaksanakan ketika sang gadis dan orang-taunya menyetujui atau menerima lamaran dari seorang pemuda. Pada tahap ini, jembatan bersama keluarga laki-laki datang ke keluarga wanita dan membuat lamaran secara resmi.  Sejak saat ini, keluarga wanita disebut dengan istilah Mbaru Kapo dan Uma Nozong. Bahan pembicaraan utama dalam pertemuan ini adalah bete ketak go sot lezon ngai bewen (Para gaen). Ketika sudah ada kesepakatan antara kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan), maka pada tahap selanjutnya orang-tua laki-laki harus membawa 4 buah kelapa, 2 ekor ayam, 1 bila parang, sirih dan pinang. Untuk membalasnya orang tua wanita akan menyiapkan beras 1 pedo/doke, gelang (ponto) 1 pasang.

2.5.4 Para Gaen/Sot Gaen

Pada tahap ini Mbaru Kapo (keluarga wanita) dan Uma Nozong bersama para tua adat meresmikan dan merestui perjodohan, serta merencanakan tahap selanjutnya. Barang bawaan dari pihak laki-laki untuk tahap selanjutnya adalah ayam, kelapa, sirih pinang, 1 ekor kambing, 1 ekor kuda. Dengan dijalankan tahap ini maka kedua keluarga menjadi weta weru nara weru (saudara-saudari baru). Pada tahap ini ditentukan pola dadang (barang-barang yang akan dibawakan oleh pihak laki-laki untuk pihak perempuan). Barang balasan dari pihak perempuan adalah 2 ekor babi, 5 lembar kain adat, 1 karung beras untuk para Gaen, sedangkan untuk sot gaen adalah babi 1 ekor dan 2 lembar kain adat.

2.5.5 Langki Sambi

Secara harafiah nama tahap ini adalah: pasung yang terbuat dari sejenis kayu, dan kayu yang digunakan adalah kayu Sambi. Makna dari tahap ini yaitu untuk memperkuat/mempererat  ikatan kekeluargaan berdasarkan hubungan Wina Wai Rana Laki. Untuk menjalankan tahap ini, keluarga laki-laki harus membawa ulun kebat (1 ekor kebau dan 2 ekor kuda), dan paa susu (1 ekor kuda).

2.5.6 Mawa Sepi

Mawa sepi bukan termasuk dalam urusan dalam Wina Wai Rana Laki namun harus ditangani, kalau saat menjalankan proses Wina Wai Rana Laki pasangan muda-mudi sudah mempunyai satu orang anak. Maka denda (sanksi) kepada pihak laki-laki adalah membayar satu ekor kuda kepada keluarga perempuan. Hal ini mau menunjukkan bahwa anak sulung tersebut termasuk dalam keluarga wanita, meski dalam kenyataannya tinggal bersama keluarga laki-laki.

2.5.7 Bakok Porak

Sebuatan lain untuk tahap ini adalah podho padhong, manuk palas, atau wau ata. Tahap ini mau menunjukan bahwa keluarga (baru) tersebut sudah mandiri dan dewasa dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Keluarga baru keluar dari rumah orang-tua wanita, dihantar oleh segenap anggota keluarga wanita menuju keluarga laki-laki. Dalam arak-arakkan menuju rumah laki-laki, saudara kandung dari wanita (biasanya yang sulung) berjalan menuju rumah laki-laki sambil memikul manuk palas(ayam bakar yang ditusuk pada ujung tombak) bahu. Barang barang yang dibawa pada saat pola dadang umumnya disesuaikan dengan kesepakatan antara kedua belah pihak (keluarga laki-laki dan keluarga wanita) pada tahap sot gaen. Barang-barang ini tidak boleh diambil oleh siapapun dari barang bawaan anak mantu, dan jumlahnya tergantung dari sisa pola dadangyang masih harus dibawa oleh keluarga laki-laki.

2.5.8 Hak dan Peluang

Orang yang sudah menyelesaikan atau melalui semua tahap wina wai rana laki, memiliki hak dan peluang untuk melakukan hal-hal berikut:[12]

      Pertama :Rotas teto,yaitu wewenang untuk membuka dan memulai suatu ritus awal dalam mengerjakan kebun adat. Kedua :Sau uma meze, yaitu wewenang untuk bisa membuka dan mengerjakan kebun adat.Menyelengarakan paras, dan dalam paras seorang berhak untuk ha teriakan yang menyebutkan lambang suku.

Setelah menyelenggarakan paras 7 atau 5 kali, dia berhak weri ngadu watu, ngau kazu dan ngadu more.

2.6 Sistem Kesenian

            Orang Mbazang dengan relasinya dengan alam memiliki nilai estetika yang amat tinggi dan luhur. Karena itu dalam pembuatan rumah adat, para pembuatnya tidak sekedar tukang biasa tetapi seorang seniman. Mereka ini biasa diberi nama khusus dengan sebutan “tangan pandai” ( sadhi bis’a).

Dalam pembuatan rumah adat sendiri biasanya orang Mbazang mementaskan beragam pementasan seni, mulai dari seni sastra, seni ukir, seni musik, sampai seni tari. Dari fenomen ini mau menampilkan bahwa kesenian orang Mbazang bukan jenis kesenian yang monoton untuk satu jenis seni saja. Dalam pementasannya sungguh menampakan ekspresi seni yang bersifat komprehensif yakni adanya saling ketergantungan dan keterkaitan sebagai satu kesatuan dalam keragaman.

            Orang Mbazang juga mementaskan seni sastra  yang terungkap melalui puisi-puisi lokal yang mempunyai makna sebagai nasihat-nasihat dan petunjuk-petunjuk hidup orang Mbazang yang disebut petu nenang.

            Ada satu tarian dikampung Mbazang yang masih popular hingga saat ini adalah tarian Tia Raga. Dalam tarian ini perempuan memakai kebaya, sarung tenun (lipa tala), selendang yang bercorak adat, dan mbol (tempat penyimpanan siri dan pinang). Sedangkan pakayan yang digunakan oleh laki-laki yaitu lensu, baju putih lengan panjang, sarung tenun, selendang. Tujuan dari tarian ini adalah untuk menjemput  tamu- tamu besar seperti tamu-tamu Negara atau pemerintah.

            Totalitas sistem kesenian  yang melingkupi seni sastra, seni ukir, seni musik dan seni tari merupakan “lumbung” bagi makna dan nilai-nilai luhur budaya. Karena itu, dalam menggali, mengungkapkan dan menginterpretasikan nilai sosial dalam ritusghan weton, penulis tetap akan smenghubungkanya dengan sistem keseniaan yang dimiliki masyarkat Mbazang yang niscaya mengandung nilai yang sama. Hal ini dimungkinkan sebab totalitas budaya dalam beragam aspeknya memiliki keterhubungan dan kesalingterkaitan satu dengan yang lain karena diciptakan dan dijalankan oleh manusia itu sendiri.

2.7 Sistem Kuliner

         Seperti daerah-daerah lain di Indinesia, masyarakat Mbazang juga memiliki Kuliner khas yang dapat menarik banyak orang untuk mencicipinya. Makanan paling Khas orang Mbazang adalah ute zozong (sayur pisang). Ute zozong adalah campuran beberapa jenis sayuran seperti daun singkong, daun papaya dan mengus (lemak babi yang disimpan dalam bambu) hingga ahirnya menghasilkan makanan khas yang paling lezat bagi orang Mbazang.

         Selain ute zozong masyarakat Mbazang memiliki makanan Khas lainnya seperti weton (jewawut). Jewawut adalah makanan yang sangat disukai oleh masyarakat Mbazang karena proses pengolahannya sangat mudah dan tidak rumit. Cara memasaknya yakni sama seperti memasak nasi begitupun cara pengolahannya. Makanan khas lainnya yaitu Tampe (jagung jagung iris). Tampe  adalah makanan khas yang terbuat dari jagung muda. Proses pengolahannya yaitu: Jagung muda diiris menggunakan pisau, lalu dibungkus dengan daun jagung muda dan dipanggang diatas bara api. Ketika daun jagung berwarna kuning sebagai tanda bahwa Tampe sudah matang.

2.8 Sistem Religi

Kata “agama” berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti kumpulan ajaran yang diturun-temurunkan menjadi sutu kepercayaan.[13] Agama juga diartikan sebagai suatu ungkapan kepercayaan, ketaatan, dan harapan masyarakat atau sekelompok manusia terhadap sesuatu kekuatan mutlak yang menjadi asal dan tujuan sebuah kehidupan seluruh makhluk. Kekuatan itu diyakini sebagai sesuatu yang mampu menentukan nasib semua manusia dan alam semesta.

            Bertolak dari paham ini maka kita dapat menarik sintesis bahwa agama berkaitan dengan Tuhan yang memiliki kekuatan Ilahi yang melampaui dan mengatasi segala kekuatan. Orang Mbazang juga memiliki religi lokal. Religi lokal bertahan karena ia mengungkapkan harapan dan kepercayaan terhadap kekuatan yang dapat menjamin keberlansungan hidup mereka (Konsep tentang Yang Tertinggi) dengan syarat tetap memelihara kepercayaan lokalnya. Orang Mbazang menyapa yang tertinggi dengan sebutan Mori Kraeng. Dan roh-roh yang lebih rendah dari Mori Kraeng adalah: Mbore Noang, Zing Setang, Wua Kazu, Angin Sat, Puti Pezuk, Nitu, Mata Wae, Ulung Temok, Manu Ngge, dan Pontianak. Orang Mbazang juga menghormati atau memuji leluhur yang sering mereka lakukan dengan doa-doa dan upacara-upacara adat tertentu. Namun leluhur bukanlah Allah mereka, melainkan mereka percaya bahwa leluhur berada paling dekat dengan Wujud Tertinggi.

            Dalam menyinggung tentang penyembahan kepada Wujud Tertinggi (Mori Kraeng) atau roh-roh yang lebih rendah, Paul Arndt mengemukakan secara garis besar tentang persembahan dan tempat persembahan, atau sesajian, serta pesta.[14] Tempat persembahan yang umumnya digunakan adalah mata air, batu besar, dan pohon besar. Sementara itu tempat persembahan yang sering digunakan hampir dalam seluruh siklus kehidupan orang Mbazang adalah Ngadu dan Nambe.

            Ngadu adalah semacam tiang yang ditanam pada posisi tegak lurus ditengah kampung. Fungsinya sebagai salah satu tempat pemujaan, juga sebagai lambang kebesaran atau status sosial, serta lambang pemersatu suku. Bersamaan dengan ngadu, biasanya ada nambe, yaitu batu berbentuk bulat cerpen dengan diameter kurang lebih satu setengah meter. Diatas nambe inilah orang Mbazang menempatkan bahan persembahan. Selain ngadu dan nambe, tempat persembahan lain adalah kazu teno (nama kayu) yang khusus untuk dikebun. Disekitar kazu teno inijuga ada batu dan tiang batu yang tidak terlalu tinggi.

            Mengenai persembahan dapat dikatakan bahwa orang Mbazang umumnya membawa persembahan dalam bentuk daging yaitu babi, ayam, bahan yanag dipersembahkan hanya menggunakan hatinya. Dewasa ini orang Mbazang telah menjadi penganut 100% kepercayaan Katolik Roma. Meski demikian tidak berarti adanya pemusnaan terhadap praksis religi lokal tetapi justru pihak gereja menjadikannya sebagai kekayaan Gereja setempat. Upaya ini dilakukan dengan dialog agama dan budaya yang di Asia lebih dikenal dengan term inkulturasi. Penerapan nilai sosial ghan weton yang terbenam didalamnya tidak terlepas dari paham lokal tentang yang Ilahi. Oleh karena itu peneliti juga menggali, mengungkapkan dan menginterpretasi nilai-nilai sakralis dan spiritualitas yang memiliki keterhubungan dengan dan yang berasal dari yang Ilahi.

 

BAB III

PRAKTIK RITUS GHAN WETON

DI KAMPUNG MBAZANG DESA BENTENG TAWA 1 KEC. RIUNG BARAT

KAB. NGADA

3.1 Konsep Ritus Ghan Weton

3.1.1 Ritus

The New Dictionary of Catholic Spirituality[15] menguraikan istilah “ritus” berasal dari bahasa Latin “ritus”. Ketika menjadi khazanah bahasa inggris, ritus ini diartikan dengan kata “rite” dan “ritual”. “Rite” memuat konsep ritus sebagai kata kerja; praksis sebuah upacara atau sebuah perayaan keagamaan (a religious ceremony or a ceremonial act) dan “ritual” mengartikan ritus sebagai “tubuh” upacaranya (a body of ceremony).

Namun dalam konsep yang lebih umum ritus selalu dihubung-hubungkan dengan gejala-gejala yang mempunyai ciri-ciri mistik. Seremoni lebih mengungkapkan relasi horizontal sedangkan ritus lebih menekankan relasi vertikal.[16] Pada sisi yang lain, ritus dalam masyarakat tradisisonal bertujuan untuk menguatkan rasa kebersamaan diantara anggota (sub) klan. Didalamnya perasaan solidaritas kelompok diafirmasi dan ditingkatkan, menjauhkan individu-individu dari kehidupan profan dan mengangkat mereka pada suasana dimana mereka merasakan ada kontak dengan kekuatan yang lebih tinggi.

Jadi, ritus memiliki peranan yang amat penting dalam hidup bermasyarakat. Ia mengarahkan manusia untuk mampu melihat dirinya dalam konteks yang lebih luas dan menyadari ketidakberdayaannya ditengah dunia. Ritus mampu mengarahkan dan mempersatukan manusia  menuju kepada hal-hal yang Sakral, Yang Kudus dan Yang Ilahi.

3.1.2 Ghan

            Berdasarkan asal katanya, ghan berarti makan. Arti etimologis ini jika dihubungkan dengan manusia dan kaitannya dengan ritus ghan weton bermakna makan bersama pada saat acara adat. Makan bersama adalah sebuah simbol yang mengandung relasi persaudaraan antara manusia khususnya relasi sesama manusia dalam masyarakat kampung Mbazang. Pada saat makan bersama semua orang dalam Kampung Mbazang dari yang tua sampai yang muda wajib hadir. Makan bersama dilakukan di tengah halaman kampung (natar wongko) dan dipandu oleh salah satu tetua adat (gaen wongko). Semua makanan dibagi sama rata oleh gaen wongko.[17]

3.1.3 Weton

Weton (jewawut) adalah salah satu makanan khas masyarakat Riung umumnya dan Masyarakat Mbazang khususnya. Weton adalah tanaman sejenis padi berbiji kecil dengan diameter sekitar 1 mili meter. Para leluhur pada zaman dahulu kala bertahan hidup hanya dengan membudidaya weton dan dijadikan sebagai makanan pokok mereka. Keberadaan tanaman weton (jewawut) mulai ditinggalkan dan langka seiring membaiknya ekonomi masyarakat.

Setelah masyarakat mengenal tanaman padi barulah weton ditinggalkan. Saat ini masih ada sebagian sebagian kecil masyarakat yang membudidayakan weton namun bukan untuk menjadikannya bahan makanan tetapi sekadar dipelihara.[18]

3.1.4 Ritus Ghan Weton

            Ritus Ghan Weton (makan jewawut) adalah upacara adat yang ditandai dengan makan jewawut bersama seluruh masyarakat Mbazang. Upacara adat ini merupakan suatu perayaan ucapan syukur kepada Tuhan (Mori kraeng) sebagai wujud tertinggi yang telah memberikan anugerah kepada petani berupa hasil panen yang berlimpah, menyambut hasil panen yang baru dan melepas pergikan hasil panen yang lama (Ghan te weru inung te nele), dan menjauhkan dari penyakit serta pembaharuan manusia dalam setiap keluarga sekaligus menjalin ikatan dan relasi yang permanen antara manusia yang masih hidup dengan para leluhur (Mbo Nusi).

Namun pada saat ini dalam acara Ghan Weton  makanan yang disajikan bukan lagi Weton (jewawut) melainkan padi (beras). Alasan yang melatarbelakangi pergeseran weton ke padi yakni sebagai berikut: pertama: Dari segi pembudidayaan, tanaman jewawut terasa lebih sulit dan proses pemeliharaan dan pengelolaan. Kedua: Dari segi kebutuhan , hanya sebagian orang yang mengkonsumsi Weton sedangkan minat untuk mengkonsumsi beras (padi) sangat banyak.[19] 

3.2 Tahap-Tahap Dalam Ritus Ghan Weton

3.2.1 Tahap Persiapan

3.2.1.1  Reze Mbazan

            Pada tahap ini Dor mengajak seluruh masyarakat untuk melakukan suatu musyawarah atau pertemuan besama yang dilaksanakan di mboang meze (rumah door). Dalam pertemuan ini akan dibahas mengenai waktu pelaksanaan syukur panen (ghan weton). Pertemuan ini dipimpin lansung oleh tuan tana atau Dor sebagai kepala suku. Sebab dorlah yang berhak dan sangat berperan dalam mengatur serta menetukan tanggal pelaksanaan semua rangkaian upacara sepanjang tahun termasuk ghan weton.[20]

 3.2.1.2 Fakong

Fakong artinya menyebarkan informasi kepada semua masyarakat (woe wongko) hasil pertemuan di Mboang Meze (rumah door) Informasi ini diumumkan oleh door (ketua adat) dari tengah kampung berupa teriakan: Oooo...woe wongko, riwu dadi, ata ghae sait anak loe, neang wena le ulu sait lau wai, neang pata sia murin wongko, zenge le dki miu, puan gokat kita tara galak. Artinya: Wahai..semua masyarakat sekampung, dari yang tua sampai yang muda, dari pusat kampung sampai ujung kampung, diinformasikan kepada kita semua bahwa dor (ketua adat) telah menetapkan bahwa lusa kita akan tara galak (membuat kentongan).[21]

3.2.2 Tahap Pelaksanaan

3.2.2.1 Tara Galak

Tara galak  adalah membuat kentongan dengan bahan dasar dari bambu. Kegiatan tara galak diawali dengan doa adat yang dipimpin oleh dor. Syair doa tersebut adalah sebagai berikut

Mori Kraeng

Eta okan

Lonto langit

Awa tana

Mori Keraeng

Eta nee awa

Pae manga kudi kau

Rapa ata manga

Ziu le Nggau

Zari lezong kendong

Kami riwu wongko

Ko tara galak

Kami pain na miu

Mbo Nusi, Mbo Muri

Mai ndaing pabir

Gze mberek ngai kami

Legang apang te pande le nggami

Ngoeng lone nai Miu.

Miu zing setang

Mata wae Ulung Temok

Mbore Noang

Ghan wi paro elang kami inti

Zaa ziu susah ziu nggami.

Terjemahan :

Mori Keraeng

Kuasa-Mu menguasai seluruh ciptaan

Kuasa-Mu menguasai Langit

Kuasa-Mu menguasai bumi

Mori Keraeng

Engkau menguasai jagat raya di atas dan bumi.

Karena segala yang ada

Ada dalam Kuasa-Mu

Hari ini

Kami umat-Mu

Membuat kentongan untuk bersukur kepada-Mu

Atas hasil panen yang kami peroleh

Kami mohon kepada Mori Kraeng dan Mbo Nusi

Untuk hadir bersama kami

Agar apa yang kami lakukan dapat berkenan di hati-Mu

Setan dan segala yang jahat

Penguasa laut dan darat

Sumber segala penderitaan

Dijauhkan dari kami

Jangan berikan kami kesusahan[22]

Setelah Door selesai memanjatkan doa di lanjutkan dengan kegiatan Tara Galak sampai selesai. Setelah selesai Tara Galak semua masyarakat wajib membawa kentongan kerumah masing-masing dengan jumlah  Galak perorang satu (1) buah.

3.2.2.2 Wean Uma

            Wean Uma adalah tahap lanjutan dari Tara Galak. Pada tahap ini semua masyarakat wajib turun ke kebun masing-masing sambil membawa kentongan yang sudah dibuat pada hari sebelumnya. Sesampai di kebun sang pemilik kebun wajib mengisi bulir-bulir padi dalam kentongan yang dirusak oleh hama tikus dan dibawah ke Uma Meze (kebun Door). Sebelum menuju ke kebun Door semua pemilik kebun wajib membuat ketupat yang disebut dengan Toke Rupang (nasi bambu). Sebelum melakukan Toke Rupang sang pemilik kebun pergi menuju Ponto Ni’i (tempat untuk memberikan sesajian kepada nenek moyang) dengan membawa seekor ayam dan melantukan doa kepada Mori Keraeng melalui Pintu Manuk (omong ayam). Untaian doa yang dipanjatkan yakni sebagai berikut:

Mori Keraeng

Kau dun tana

Kau dun langit nee tala wulan

Tiku talo kaok talo

Kau dun kaba

Kau dun zaran

Kau dun wawi

Kau dun manuk

Kau dun woza

Kau dun keo

Kau dun talo taa

Talo le mata retas

Talo le mata poso

 Dai sara poka

Puan sara poka

Wawi koe tunu

Kaba sara poka

Woza sara sughi

Pae lawang deki

Kau dun kami wae tara more

Kau dun kami tana tara niing

Kami kudi anak manuk

Dun piong le Nggau.

Terjemahan

Mori Keraeng

Engkaau ciptakan bumi

Engkau ciptakan langit, bulan dan bintang

Dengan segala Keagungannya.

            Engkau ciptakan kerbau

Engkau ciptakan kuda

Engkau ciptakan babi

Engkau ciptakan ayam

Engkau ciptakan padi

Engkau ciptakan padi

Engkau ciptakan jagung

Dengan melimpah

Bagi suku Retas

Bagi suku Poso

Walaupun hewan terus dibunuh

Tidak pernah musnah

Babi terus dibunuh

Padi terus diambil

Tidak pernah habis

Engkau member kami air untuk hidup

Engkau member kami tanah untuk tinggal

Kami bagaikan anak ayam

Diciptakan dan dipelihara oleh-Mu.

Setelah selesai memanjatkan doa, sang pemilik kebun mengambil sebuah ketupat dan membawa kentongan (Galak) dan pergi berkumpul di Uma Meze (kebun Door).

3.2.3 Tahap Akhir

3.2.3.1 Podo Galak

Setelah bekumpul di Uma Meze semua masyarakat memasuki tahap selanjutnya yakni Podo Galak. Podo Galak adalah mengantar kentongan ke Wae Lulu (tempat untuk mengumpulkan kentongan). Selama dalam perjalanan menuju Wae Lulu semua masyarakat wajib menyanyikan syair-syair adat diiringi dengan bunyi kentongan. Syair-syair yang sering dinyanyikan yaitu: padut lau watu, rising tora niki (mari kita saling membantu, menolong sesama kita selagi kita masih diberi kesempatan napas kehidupan oleh Sang Kuasa), lau kebeng mbaluk, tari nendong nai(apapun kesulitan dalam hidup kita selalu menghadapinya dengan senyuman). Syair ini dinyanyikan sampai di Wae Lulu.

3.2.3.2 Kelak Galak

            Pada tahap ini, semua galak (kentongan) di belah di Wae Lulu (tempat persembahan sesajian kepada nenek moyang). Galak yang dibelah disusun keliling ponto ni’i  dengan tujuan untuk melindungi para leluhur didalam ponto ni’i. Pada tahap ini diadakan sebuah ritual yakni menyingkapkan batu pada ponto ni’i untuk melihat tanda-tanda kehidupan manusia di tahun mendatang. Tanda-tanda itu ditunjukan melalui kehadiran semut. Ada beberapa jenis semut yang berada dibawah batu ponto ni’i dan masing-masing kehadirannya memberikan simbol yang berbeda bagi kehidupan manusia ditahun yang akan datang. Jenis semut-semut yang dimaksud yaitu: semut merah (pedus wara) sebagai simbol gagal panen, semut besar (maka) sebagai simbol penghasilan berlimpah di tahun mendatang, dan semut hitam (kemor) sebagai simbol wabah penyakit yang akan menyerang kehidupan manusia. Setelah selesai melihat tanda-tanda kehidupan dibalik ponto Nii dilanjutkan dengan Rame Loe (tarian dalam lingkaran kecil).

 

3.2.3.3 Moreng

            Moreng adalah sebuah tarian tradisional masyarakat Kampung Mbazang. Tarian ini dilaksanakan saat menyambut musim panen weton dan didalamnya mengungkapkan kegembiraan atas hasil panen yang berlimpah.Tariannya berbentuk lingkaran yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Saat menari semua menghentakan kaki dan gerakan kepala sambil menyanyikan syair-syair yang berisi nasihat dan pesan bagi kehidupan masyarakat dalam kampung agar kehidupan mereka lebih baik dari hari sebelumnya. Moreng biasa dimulai dari pukul 19.00 malam –pukul 05.00 pagi. Setelah selesai moreng (menari) semua masyarakat berkumpul dirumah dor (ketua adat) untuk makan minum bersama dan ketua adat (dor) menyampikan pesan dan nasihat kepada seluruh masyarakat Kampung Mbazang untuk menjalani kehidupan selanjutnya dengan berpatokan pada aturan adat yang sudah disepakati bersama.

3.2.3.4 Irong

           Irong adalah puncak dari ritus Ghan Weton. Dalam tahap ini semua masyarakat kampung Mbazang (Woe Wongko) dari yang tua sampai yang muda berkumpul di Mboang Meze (rumah Door) untuk membahas kegiatan-kegitan selama pelaksanaan Ghan Weton. Door akan meminta kritik dan saran dari masyarakat selama kegiatan dilaksanakan. Pada tahap ini Door juga menyampaikan pesan-pesan kepada Woe Wongko untuk hidup lebih rukun dan damai ditahun yang akan datang. Pesan-pesan tersebut yaitu sebagai berikut:

Pertama: Aku zaak Ndulu watu tudu aku gai watu tangi

            Arti harafiahnya: Kita sebagai Woe Wongko jangan mengikuti atau melewati batu yang membuat kita terantuk, melainkan menginginkan batu yang dapat mengangkat kita ketempat yang lebih tinggi. Peribahasanya yakni tidak mau mendengaratau mengikuti hasutan orang, melainkan menginginkan nasihat atau petuah yang baik dan berguna.

 Kedua Wenang Awa kempo kurun sake kaer pande lawe, tuke eta nelo nunuk keto kako nago naras

            Arti harafiahnya setia dan tanggung jawab terhadap hal kecil merupakan modal untuk dapat diserahi tanggung jawab yang lebih besar.

Ketiga  Zaka Zaran bakok loang awa pota, nganing ngoat-ngoat dok sowak bokan

            Arti harafiahnya Kalau mendapatkan tugas dan tanggung jawab yang penuh resiko, harus dilaksanakan dengan hati-hati agar dapat berhasil dan tidak mencelakan diri karena pelaksanaan tugas tersebut.

Keempat More Olo Pongkor wi wongko, tiwu wi wae, tana zaa ghusu-ghasa, watu zaa mbeasena

            Arti harafiahnya Hidup mesti penuh dengan daya cinta kepada tanah air khususnya kampung halaman kita dan dihiasi dengan rasa persaudaraan.

kelima Diren Le Mai kek rawu rek

            Arti harafiahnya Fajar harapan telah menyingsing mari kita tanggalkan kekelaman masa silam.

Keenam  Kakot wi pakot pekon pulur, seli wi nggerik keli repis

            Arti harafiahnya Mari kita bersatu padu demi meningkatkan kekuatan dalam menghadapi semua tugas dan tanggung jawab dalam kehidupan ini.

            Setelah Door selesai menyampaikan pesan-pesan kepada Woe Wongko tahap selanjutnya yakni doa bersama di Mboang Meze untuk memohon ampun kepada Mori Keraeng dan Mbo Nusi (nenek moyang) atas kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh Woe Wongko selama masih berziarah di dunia ini. Untaian doa tersebut yakni sebagai berikut:

Mori Keraeng

Eta okan

Lonto langit

Awa tana

Mori Keraeng

Eta nee awa

Lee ne ale

Pae manga Kudi Kau

Rapa ata manga

Ziu le Nggau

            Nia le Nggau Mori Keraeng

            Kami pae taku rempe

            Sala kami

            Nia le Mori Keraeng

            Pae sala nia le Mori Keraeng

Aku pae takat

Kau bak aku takat taun

O ba apang pinga le Mori Keraeng

Aku pae sala

            Sombang Mori Keraeng

            Aku lagi ge pae sala

            Ata sare rempe

            Ome kia ome Mori Keraeng

            Tantu kia nee Mori Keraeng sama dedek

Zari kita pae ome kia

Ome sange rempe

Lagi le baa pang

Pinga le eta mai ne awa mai

Le mai nee ale mai

Nee mori Keraeng ata mesan sot

            O Mori ata ndong rapa ata manga

            Kau pongga aku

            Le kudi na aku mai lone Kau

            Paing sombang

Miu zing setang

Mata Wae Ulung Temok

Mbore Noang

Ghan wi paro elang kami inti

Zaa ziu susa ziu nggami

 

Terjemahannya:

Mori Keraeng

Kuasa-Mu menguasai seluruh ciptaan

Kuasa-Mu menguasai langit

Kuasa-Mu menguasai bumi

Mori Keraeng

Engkau menguasai jagat raya di atas dan di bumi

Kuasa dari ujung timur sampai ujung barat

Tak ada satu makhluk punsetara dengan-Mu

Karena segala yang ada

Ada dalam kuasa-Mu

            Teserah pada-Mu Mori

            Kami tidak berlaku jahat

            Kalau kami memang bersalah

            Terserah pada-Mu Mori

            Engkau sumber pengampunan

Kami tidak bersalah

Namun orang tetap mencela

Terserah pada-Mu Mori

Kami tidak bersalah

            Ampunilah kami Mori

Kami sungguh tidak bersalah

            Sekarang kami ditindas

             Ditindas oleh si jahat

            Dia menyamakan diri dengan Mori

Kami tidak berdaya ya Mori

Terus ditimpa penderitaan

Dihadang malapetaka

Terserah pada-Mu penguasa

Kuasa dari ujung timur sampai ujung barat

Karena hanya Mori Mahatahu

            O penguasa segala makhluk

            Engkau menghukum aku

            Aku dating pada-Mu

            Mohon ampun atas kesalahanku

Setan dan segala yang jahat

Penguasa laut dan darat

Sumber segala penderitaan

Dijauhkan dari pada kami

Jangan berikan kami kesusahan.

BAB IV

NILAI  SOSIAL DALAM RITUS GHAN WETON DI KAMPUNG MBAZANG DESA BENTENGTAWA 1, KEC. RIUNG BARAT, KAB. NGADA

4.1 Konsep Nilai Sosial

4.1.1 Konsep Nilai

          Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) nilai adalah sifat-sifat yang penting atau yang berguna bagi manusia.[23] Disisi lain, nilai juga dapat dijelaskan sebagai sesuatu yang menyenangkan atau identik dengan apa yang diinginkan oleh manusia. Jadi nilai adalah sesuatu yang dapat membawa kebaikan dalam kehidupan manusia.[24] Dalam pengertian lain nilai adalah hal konkrit yang menjadi sasaran praktis bagi kehidupan manusia yang melekat dalam dirinya dan berguna bagi orang lain. Nilai juga dapat memelihara eksistensi manusia sehingga manusia tetap pada tatanan kemanusiaan.[25]

          The Oxford  Advanced Learner’s Dictionary of current English [26] menjelaskan konsep nilai daari bahasa Latin: “valere” dan bahasa Inggris: “value”. Artinya: pertama: Kualitas dari kegunaan suatu benda, kedua: Keberhargaan sesuatu jika dibandingkan dengan sesuatu yang lain. Didalam “Dictionary of Sociologi a Related Science” dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda itu  yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok (the believe capacity of any object to satisfy a human desire). Jadi secara ontologism nilai itu adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek. Dengan kata lain nilai adalah hakekat dari segala sesuatu yang menyebabkan satu hal pantas dihormati, dikagumi, dikejar dan dimiliki.[27] Dalam perspektif etika, nilai berhubungan dengan suatu keutamaan dan kewajiban untuk melakukan sesuatu yang baik dan menghindaari kejahatan. Maka, setiap budaya dapat didekati  sebagai objek yang menawarkan elemen penting bagi system pengetahuan dan system kepercayaan yang dimiliki suatu komunitas budaya.

4.1.2 Konsep Sosial

          Kata sosial berasal dari kata latin “Socius” yang berarti kawan, sahabat, teman sehingga dalam konteks yang lebih kata sosial diartikan sebagai sifat yang mendorong manusia untuk hidup dengan manusia lain sebagai teman dalam pengembangan diri. Kenyataan universal membuktikan bahwa pada hakikatnya manusia adalah mahkluk sosial. Ini membuktikan pula kepada publik bahwa manusia itu tidak bisa hidup tanpa keterlibatan orang lain. Sebagai contoh; manusia itu senatiasa dilahirkan. Ia tidak bisa terlahir dari dirinya sendiri. Dengan demikian, sifat ketergantungan inilah yang membuktikan bahwa manusia merupakan individu yang sosial. Gabriel Marcel membahaskan menjadi ada (manusia) selalu berarti ada bersama orang lain (esse ialah co-esse).[28] Oleh karena itu para filsuf pun sampai pada sebuah “kesepakatan” menempatkan sosialitas sebagai  kodrat manusia (ens sociale).[29] Hal serupa dapat kita hubungkan dengan keeksistensian kita sebagai mahkluk yang berbudaya. Artinya manusia dituntut untuk menyadari serta menghidupi nilai-nilai yang terkandung dalam budayanya. Untuk itu, manusia membutuhkan sesamanya agar kekayaan-kekayaan yang terkandung dalam budayanya dapat diintegrasikan kepada sesama.

            Kebudayaan dewasa ini dipengaruhi oleh suatu perkembangan yang amat pesat, dan manusia modern sadar akan hal ini. Lebih dari itu manusia dewasa ini  masih tetap sadar akan kebudayaannya. Kesadaran ini merupakan suatu kepekaan yang mendorong manusia agar dia secara kritis menilai kebudaayn yang sedang berlangsung.[30] kebudayaan-kebudayaan baru. Mempertanhankan dan menerima kebudayaan yang ada merupakan tanggungjawab manusia masa kini. Dalam kehidupan kita sebagai anggota masyarakat istilah sosial selalu dikaitkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan manusia dalam masyarakat, seperti kehidupan kaum miskin di kota, kehidupan kaum berada, kehidupan nelayan dan sebagainya. Nilai sosial juga sering diartikan sebagai suatu sifat yang mengarah pada rasa empati terhadap kehidupan manusia sehingga memunculkan sifat tolong menolong dari yang kuat terhadap yang lemah, mengalah terhadap orang lain sehingga sering dikatakan manusia mempunyai jiwa sosial yang tinggi.

        Dari pengertian-pengertian diatas maka dapat dijelaskan bahwa sosial merupakan rangkaian norma, moral, nilai dan aturan yang bersumber dari kebudayaan suatu masyarakat atau komuniti yang digunakan sebagai acuan dalam berhubungan antar sesama manusia dalam masyarakat atau komunitas. Sehingga dengan demikian sosial haruslah mencakup lebih daari seorang individu yang terikat pada satu kesatuan interaksi, karena lebih dari seorang individu berarti terdapat hak dan kewajiban dari masing-masing individu yang saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya.

4.1.3 Konsep Nilai Sosial

            Berdasarkan uraian diatas maka konsep nilai sosial dapat dirumuskan menjadi mutu atau kualitas pada sesuatu yang mempengaruhi manusia dalam aspeknya yang terdalam yakni dalam relasinya dengan sesama.  Manusia merupakan makluk sosial dan juga makhluk budaya.[31] Sebagai makhluk sosial, tentunya manusia selalu hidup bersama dalam interaksi dan iterdependensi dengan sesamanya. Oleh karena itu, manusia tidaklah mungkin dapat memenuhi kebutuhannya tanpa adanya bantuan orang lain, baik itu berupa jasmaniah (segi-segi ekonomis) maupun rohani (segi spiritual). Jadi nilai sosial merupakan nilai yang khas bagi praksis kehidupan manusia dan merupakan ukuran sesungguhnya bagi manusia dalam kehidupannya dengan sesama. Orang yang tidak memiliki nilai sosial adalah orang yang tidak pantas untuk hidup dalam suatu komunitas atau kelompok masyarakat. dengan kata lain, kewajiban untuk memiliki nilai sosial ini berasal dari kenyataan bahwa nilai-nilai sosial ini menyangkut kehidupan manusia secara keseluruhan. Nilai sosial meliputi segala aspek dalam kehidupan manusia, maka kewajiban sosial itu sebetulnya datang, lahir dan berakar dalam kemanusiaan manusia itu sendiri dan bukan dari yang lain di luar dirinya.

4.2 Nilai Sosial Dalam Ritus Ghan Weton

4.2.1  Nilai Sosial Religius

            Setiap ritus yang ada dalam kepercayaan lokal tentu memiliki muatan nilai baik nilai sosial, nilai religious atau pun nilai moral. Gambaran-gambaran religius adalah gambaran kolektif yang mengungkapkan realitas kolektif, upacara merupakan cara bertidak yang terlaksana ditengah-tengah kelompok yang berkumpul itu, dan yang dipersiapan untuk membangkitkan, melestarikan atau menciptakan kembali keadaan mental tertentu dalam kelompok.[32] Sebagai sistem, gambaran kolektif religius memberikan kepada kita pandangan dasar tentang asal usul kebudayaan.

          Mereka disebut kolektif karena mereka mengekspresikan dan melambangkan suatu keadaan mental kekaguman yang tumbuh dari kehidupan sosial yang intensif, upacara-upacara dan persembahan. Pada titik ini masyarakat membangunkan dalam diri anggotanya suatu perasaan Keilahian. Ritus Ghan weton merupakan sebuah ritual makan bersama yang diadakan guna mensyukuri hasil panen yang diperoleh  masyarakat Mbazang. Ritus Ghan Weton juga merupakan sebuah upacara adat  yang didalamnya memuat unsur kesakralan karena didalamnya mengandung nilai religius. Ketika masyarakat berkumpul bersama dalam acara Ghan Weton mereka berdoa bersama untuk memuliakan Mori Kraeng sebagai ucapan syukur atas hasil panen yang mereka peroleh. Ritus ini juga memuat nilai sosial karena dalam upacara dan pelaksanaannya terdapat nilai-nilai sosial seperti nilai kebersamaan, kekeluargaan dan persaudaraan. Sedangkan nilai religiusnya ialah kepercayaan akan partisipasi dan campur tangan dari Yang Maha Kuasa atau Allah yang dalam masyarakat Riung disebut Mori Kraeng, atas campur tangan-Nya dalam setiap kehidupan masyarakat Mbazang khususnya dalam proses penanaman atau dalam lingkup pertanian. Dalam nilai religius ini tampaknya masyarakat Mbazang mengungkapkan syukur melalui doa dan tuturan adat kepada Mori Kraeng yang di ucapkan oleh Door sebagai kepala suku atau ketua adat. Hasil panen yang dipesembahan dalam doa yakni beras, babi dan ayam. Tuturan doa adat tersebut yakni sebagai berikut:

            O poso Wongko

            Nitu wae

            Woza nee wawi nee telo manuk

            Aku paing na poso wongko, Nitu Wae

            Zaa olo mai nuzan

            Kami manga napa zat

            Kami manga ghoe uma

            Waling kami tungi uma nee dia-dia

                        Tadang-tadang koka sangka

                        Nee bisik darat

                        Ulu wea iko lone

                        Nee kami dia weki lawe ngalit

            Ndo kami paong ziu nggau ata mame

            Ziu Nggau ata taa

            Lone kau Mbo Nusi

            Lengkang kami ghoe uma sait deki

            Pae laza teto miki sumpot

            Ghoe sait lada dupus

            O miu Mbo Nusi loke zoe

            Mai soka mai sok

            Mai sok mai tambang

            Mai tenter woda

            Rapa ata ghoe le nggami ndo

            Le miu soek ngai Mori

                        Miu Mbo Nusi loke zoe

                        Lawe wki dia ngalit

                        Teka wi laba

                        Mai wi saghing

                        Ghoe ghogho na’ang pening

                        Mori Keraeng anak tala

                        Mai ziu nggami ghan inung

                        Ata ghoe le nggami

                        Lengkang kami more.[33]

 

 

            Terjemahan :

O Poso Wongko

Nitu Wae

Kami persembahkan untuk-Mu beras, babi dan telur ayam

Minta pada-Mu penguasa air, penguasa jagat

Agar hujan datang pada musimnya

Karena kami masih berkumpul bersama

Untuk merayakan hasil panen kami

            Jauhkanlah binatang perusak

            Jauhkanlah segala hama penyakit

            Agar usaha kami berhasil

            Kami selamat jiwa dan badan

Kami berikan untuk-Mu

Persembahan hasil usaha kami

Pada-Mu Leluhur

Agar kami dapat mengerjakan kebun selanjutnya

Tiada sakit menimpa

Sampai akhir kerja kami

            O Leluhur

            Berikanlah kami kelimpahan

            Berikanlah kami kepuasan

            Atas semua pekerjaan kami

            Karena kamu dekat dengan Mori.

Wahai Leluhur

Berikanlah keselamatan jiwa dan badan

Berikanlah keberuntungan

Berikanlah keberhasilan

Semua usaha dan karya kami.

Mori Keraeng

Berikanlah kami makanan dan minuman

Melalui karya dan usaha kami

Supaya kami dapat bertahan hidup.

             Tuturan doa diatas merupakan jenis doa permohonan. Para peserta ritual memohon hasil panen yang berlimpah (aku paing na Poso Wongko, Nitu wae ) dari yang Ilahi dan para leluhur (O miu mbo nusi loke zoe) serta menjauhkan mereka dari segala sakit dan penyakit (pae laza teto miki sumpot). Doa ini juga merupakan jenis doa syukuran atas hasil panen yang diperoleh atas bekat Mori Keraeng (Mori Keraeng anak tala, mai ziu nggami ghan inung, ata ghoe le nggami) karena sebagai manusia mereka sadar bahwa hasil yang diperoleh bukan hasil kerja keras mereka melainkan ada campur tangan dari yang Kuasa dalam semua aktivitas mereka.

4.2.2 Nilai Sosial Ekonomi

4.2.2.1 Nilai Memberi

           Dalam ritus Ghan Weton nilai lain yang muncul ialah nilai sosial ekonomi yaitu nilai memberi. Memberi berarti menyerahkan, membagi dan atau menyampaikan.[34] Tindakan memberi ini tampak dalam tahap akhir upacara Ghan Weton yaitu tahap Moreng yang mana setiap keluarga yang masih berhubungan darah dan juga para tamu yang hadir dalam upacara Ghan weton untuk saling memberi hasil panenannnya. Seperti contoh, salah satu keluarga memberikan hasil pertaniannya seperti beras dan keluarga yang satunya memberikan hasil pertenakannya seperti ayam.

Nilai memberi ini menjadi kental dan dihidupi terus oleh masyarakat Mbazang khususnya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-hari, nilai memberi ini tampak dalam setiap bentuk kemurahan hati dari setiap masyarakat Mbazang. Karena adanya rasa kekeluargaan dan persaudaraan, orang lain tidak dilihat sebagai yang lain dan benar-benar lain atau asing tetapi lebih merupakan sebagai saudara atau keluarga dan kehadirannya dalam relasi sosial mesti saling membantu dalm setiap kesusahan.

4.2.2.2 Nilai Persatuan

         Nilai persatuan juga hadir dalam ritus Ghan Weton yang menghadirkan rasa persaudaraan dan kekeluargaan dan nilai persatuan ini tampak dalam ungkapan “Kau ghao kami kolo lone”[35] yang berarti rangkulah kami. Nilai persatuan merupakan suatu hal yang sangat diharapkan dan perlu dijaga dalam kehidupan masyarakat Mbazang, kususnya dalam kehidupan sehari-hari sebagai suatu masyarakat. selain itu juga tampil harapan untuk tetap bersatu dan seperjuangan dalam membangun kampung halaman.

4.2.3 Nilai Sosial Perkawinan

4.2.3.1 Pengertian Perkawinan

Perkawinan adalah hubungan yang didalamnya tiap-tiap individu bertumbuh dalam kekuatan moral, kekuatan untuk melihat apa yang benar dan baik, dan dalam kematangan.[36]  Perkawinan adalah perikatan yang suci, yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat, bertetangga berjalaan dengan baik sesuai dengan ajaran dan kepercayaan agama masing-masing.

Perkawinan juga diartikan sebagai ikatan jasmani dan rohani yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang bahagia, sejahtera dan rukun sesuai dengan anjuran agama. Perkawinan adalah perjalanan hidup berumah tangga untuk mencapai kehidupan yang diidam-idamkan. Perkawinan bukanlah hal semata-mata hanya hal bersetubuh atau memenuhi hasrat seksual antara seorang pria dan seorang wanita, tetapi untuk saling memelihara dan memberi semangat hidup. Dalam pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.

             Perkawinan dipandang sebagai suatu usaha untuk mewujudkan kehidupan yang berbahagia yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, untuk maksud tersebut diperlukan adanya peratuaran yang akan menentukan persyaratan apa yang harus dipenuhi. Jadi menurut UU No. 1 tahun1974 ialah bahwa para pihak yang besangkutan , karena perkawinan formil merupakan suami isteri yang baik bagi mereka dalam hubungannya satu sama lain maupun bagi mereka dalam hubungannya dengan masyarakat lain.

Pengertian ikatan batin dalam perkawinan berarti bahwa dalam batin suami isteri yang bersangkutan terkandung niat yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama sebagai suami istri dengan tujuan membentuk dan membina keluarga bahagia dan kekal abadi. Makna perkawinan dalam hubungan antara pria dan wanita bukan hanya sebatas ikatan lahiriah semata, melainkan “suatu persekutuan yang saling mengikat, yang cocok agar mereka saling memberi kehangatan dan rasa betah, memuaskan dambaan seksual pasangan sebagaimana menghasilkan keturunan dan memungkinkan pendidikan anak”.[37]

4.2.3.2 Perkawinan Dalam Ritus Ghan Weton  

             Dalam ritus Ghan Weton juga terdapat nilai sosial perkawinan. Pada momen ini pihak keluarga dari laki-laki (anak wina) dan pihak keluarga dari perempuan (anak rana) akan dipertemukan di Mboang Meze (rumah adat) untuk membahas tentang anak mereka yang sedang menjalin hubungan asmara. Orang yang bersangkutan wajib hadir pada momen ini (pria dan wanita yang menjalin hubungan asmara). Dalam pertemuan ini akan terjadi relasi keakraban dalam persaudaraan mempererat ikatan persaudaraan antara kelurga laki-laki dan keluarga perempuan. Setelah mendapat pesetujuan dari kedua belah pihak, (orang tua laki-laki dan orang perempuan), maka tahap selanjutnya yakni pasangan muda itu akan memasuki rumah baru (Tuke Mboang). Hewan kurban yang dibawa dalam acara ini yakni babi dan ayam. Darah babi dan ayam akan dioleskan pada pintu rumah serta tiang induknya sambil mendaraskan doa adat yang dipimpin oleh ketua adat (Door). Untaian doa tersebut yakni sebagai berikut:[38]

Kami pae kesuk pael pool

 Neang le Ndiwal nee Lobak

Pavor nee Dazang

Mendu nee Mat

Tepot nee tilir

             Kami tana kau Mori

            Kaleng kau bok aur

            Kami roko niing golo

            Roko tiku wae

            Weki dia ngalit lawe

Kau Mori Keraeng Mesan Pain

Kami roko niing Mboang

Zaa laza riong

Zaa miki sumpot

Dia rapang nggami

Daat rapang ata

Data rapang puti pezuk

Ata ziu nggami laza

             Mata Wae Ulung Temok

             Nitu tana Poso Wongko

            Miu kolo wea

            Rapang nggami sangga kolo lone

            Weki lawe ngalit dia

Terjemahan:

Kami tidak berbuat curang

Sejak Ndiwal dan Lobak

Pavor dan Dazang

Sejak awal diciptakan

Sampai akhir hidup kami

 Kami tanya pada-Mu Mori Keraeng

            Mohon jawaban-Mu

            Kami mau tinggal didalam rumah ini

            Menjalankan aktivitas hidup kami

             Mohon keselamatan jiwa dan badan

Kepada-Mu Mori yang satu-satunya, kami mohon

Kami mau tinggal dalam rumah ini

Biarlah penderiataan jangan menimpa kami

Janganlah setan mencelakakan kami

Biarlah keselamatan jadi milik kami

Penderitaan jauh dari kami

Kejahatan adalah perbuatan setan

Asal segala kebinasaan

            Penguasa segala yang ada

            Penyelamat suku dan rumah kami.

             Jauhkan kejahatan dari rumah kami

             Biarlah milik kami hanyalah yang baik

             Agar kami selamat jiwa dan badan.

Inti dari tuturan doa diatas adalah memohon kepada  Mori Keraeng agar kehidupan keluarga tetap harmonis  dan mempererat relasi persaudaraan antara sesama dalam masyarakat.

4.3 Refleksi Kultural:

            Ghan Weton adalah suatu upacara adat di kampung Mbazang, Kec. Riung Barat. Orang Mbazang menyebutnya sebagai ritus ghan weton sebab upacara tersebut dilakukan sekali setahun sesui dengan kalender adat yang sudah disepakati. Kata ghan weton sendiri artinya ialah makan jewawut yaitu suatu tanaman padi-padian sebagai pengganti padi. Sebelum masyrakat Mbazang mengenal tanaman padi, bahan makanan harian mereka adalah weton (jewewut). Walaupun ada pergeseran pola makanan (bahan dasar makanan) tetapi weton tetap dipelihara. Saat ini tanaman weton hampir punah sebab tidak ada yang membudidayakannya lagi. Untuk kebutuhan ghan weton diganti dengan padi, jadi bahan dasar makanan pada upacara tersebut bukan lagi weton tetapi padi yang dimasak menjadi nasi.

Upacara ghan weton sebenarnya adala upacara syukur panen, ketika masyarakat mendapatkan panenan yang melimpah mereka akan melakukan upacara syukuran. Syukuran ini dialamatkan kepada pertama-tama  Yang Ilahi (Mori Kraeng), sebab panenan melimpah semata-mata adalah berkat dari Mori Kraeng, pemberiannya dan anugerahnya. Perlulah masyarakat Mbazang melakukan upacara syukuran sebagai ucapan terima kasih kepada  Sang Pemberi Hidup. Selain ucapan syukur kepada Mori Kraeng, tetapi juga ucapan syukur kepada para leluhur yang telah meninggal (Mbo Nusi, Wura Bapu), sebab masyarkata Mbazang yakin bahwa para leluhur ini adalah pengantara manusia dan Yang Ilahi. Para leluhur atau Mbo Nusi, selalu ada bersama dan menemani keseharian hidup Orang Mbazang walau dalam wujud yang tidak bisa dilihat oleh mata telanjang manusia. Panenan yang melimpah juga diyakini sebagai dan campur tangan mbo nusi. Maka pada saat melakukan upacara ghan weton selalu ada doa yang dialamtkan kepada leluhur.

Dari fakta yang ada upacara ghan weton tidaklah dilakukan oleh perorangan atau masing-masing individu namun dilakukan secara bersama dalam suatu kolektivitas yaitu semua masyarakat Mbazang, bahkan ghan weton menjadi upacara wajib untuk semua masyarakat. Adapun mekanisme upacara seperti yang telah diulas pada halaman-halaman sebelumnya. Ghan weton menyiratkan berbagai nilai salah satunya nilai sosial yang bisa digali dan dihidupi demi keberlangsungan upacara. Nilai sosial tersebut mencakup nilai sosial religius, nilai sosial ekonomis dan nilai sosial perkawinanan.

            Nilai sosial adalah hal-hal baik, ideal atau tujuan serta cita-cita yang menjadi pegangan bersama karena nilai tersbut benar, baik dan indah untuk suatu kehidupan bersama. Dalam konteks tulisan ini nilai sosial adalah suatu ideal hidup bersama masyarakat Mbazang yang ditemukan salah satu melalui upacara ghan weton. Nilai sosial religius dari ghan weton yaitu karena dalam upacara tersebut selalu ada doa dan harapan yang dialamatkan kepada Mori Kraeng demi persatuan dan kesatuan anggota suku. Sedangkan nilai sosial ekonomis alasannya karena dalam upacara tersebut ada kegiatan dimana antara anggota suku saling member makanan mereka. Dan yang terakhir nilai sosial perkawinan sebab dalam upacara ghan weton diatur juga system perkawinan yang memperkokoh kedua belah pihak.

            Dari nilai-nilai sosial ini asumsi penulis, hal tersebutlah yang menjadikan upacara ghan weton tetap dilakukan dan diwarisi secara turun-temurun. Yang terpenting dari upacara terbut bukanlah mekanismenya tetapi nilai yang tersirat di balik itu. Nilai sosial menadi pegangan bagi masyarakat yang benar-benar sadar budaya.

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

            Manusia adalah mahluk sosial, sebab sejak dilahirkan manusia selalu harus berinteraksi dengan orang lain. Interaksi dengan orang lain menandakan bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri, manusia hanya ada dan akan selalu ada karena orang lain. Dalam kebersamaan dengan orang lain terciptalah kelompok-kelompok hidup bersama, ciptakan instansi dan organisasi serta ciptakan budaya.  

            Masyarakat Mbazang sebagai mahluk sosial tinggal di suatu daerah yang bernama Mbazang dan membentuk perkampungan serta kebudayaan yang menjadi ideal serta patokan tingkah laku orang Mbazang. Ghan Weton sebagai salah satu dari hasil kebudayaan ciptaan masyarakat Mbazang masih eksis hingga kini sebab terkandung banyak nilai. Nilai yang paling menonjol dari praktek ghan weton justeru adalah nilai sosial. Sebagai ciptaan sosial dan darinya juga diciptakan nilai sosial. Upacara ghan weton memang bukanlah milik masyarakat Mbazang semata tetapi juga dipraktekkan pada masyarakat –masyarakat lain sekitar kampung Mbazang. Upacara ghan weton melibatkan banyak orang dan bahkan hanya akan menjadi upacara jika  itu dilakukan dalam kebersamaan.

            Dari fakta terbukti bahwa banyak anggota masyarakat yang entah karena tahu dan mau ataupun juga diakibatkan oleh kurangnya edukasi cultural maka terjadi penyelewengan terhadap ghan weton sebagai upacara. Pertama adalah digantinya weton menjadi padi/nasi. Hal ini adalah polemic dan juga pertanyaan yang tidak selesai bagi kaum muda, sebenarnya apa dan bagaiaman itu weton sebab yang ada hanyalah padi/nasi? Tumbuhan weton saat ini sudah hampir punah dari masyarakat Mbazang, masikah upacara itu disebut ghan weton, sementara yang ada adalah ghan baku. Tantangan kedua ialah penyelewengan dalam detail-detail upacara, kekurangseriusan masyarakat memaknai ghan weton sehingga menjadi hambar dan hampir saja kehilangan nilai. Hal ini harus diperhatikan oleh semua anggota masyarakat. Upaya untuk melesetarikan budaya lokal harus segera dilakukan. Para pelajar diharapkan meneliti dan menginventaris budaya Mbazang ini demi pengenalan di masa depan.

            Sebagai bukti keprihatinan penulis terhadap budaya lokal maka diputuskan untuk meneliti dan menginventarisir dalam sebuah tulisan skripsi yang diberi judul Makna Sosial Dari Praktik Ritual Ghan Weton Pada Masyarakat Mbazang, Kec. Riung Barat, Kab. Ngada-NTT.

5.2 Catatan Kritis

            Penulis sadar bahwa hasil penelitian dan temuan penulis yang diungkapakn melalui karya ini belumlah sempurna. Di sana sini masih banyak kekurangan yang belom bisa ditambahkan. Maka penulis memohon kepada para pakar budaya dan siapa saja yang memahami secara mendalam budaya Mbazang untuk memberi masukan dan kritik yang membangun.

5.3 Saran

            Saran penulis pertama kepada para tokoh budaya agar memberi edukasi cultural terhadap generasi mudah demi kelangsungan eksistensi upacara-upacara. Para tokoh budaya yang dimaksud ialah tua-tua adat yang masih hidup. Edukasi tersbut berupa cara hidup dan cerita-cerita lisan tentang alasan serta konsekwensi mengapa masyarkat Mbazang harus berbudaya dan tidak boleh melanggar berbagai tuntutan yang disepakati.

            Kerja keras ini tidak hanya dilimpahkan kepada tua-tua adat, tetapi kapada generasi muda teristimewa kaum terpelajar seperti mahasiswa yang berasal dari Mbazang supaya selalu ada waktu untuk meneliti dan menulis tentang kebudayaan Mbazang, tentu orang yang mencintai budaya adalah orang yang mencintai diri sendiri sebab diri kita dibesarkan dalam lingkungang budaya di mana kita hidup.

            Saran kepada masyrakat Mbazang pada umumnnya. Budaya adalah budaya anda, baik dan buruknya adalah hasil dari apa yang anda lakukan. Pada dasarnya manusia selalu ingin hal-hal baik dan benar, anda sebagai masyarakat Mbazang pencinta budaya juga praktisi budaya agar mempraktekkanya secara baik sehingga member kesan yang baik terhadap generasi kemudia.


DAFTAR PUSTAKA

Kamus:

Bagus, Lorens.,  Kamus Filsafat,  Jakarta: Gramedia, 1994

Buku-Buku:

Arndt, Paul., Aus der Mythologie und Religion der Riunger, Netherland: Overgedruckt uit het

Tijdschrift voor Ind. Taal, Land-en Volkenkunde Deel LXXXV, Afl. 3, 1935

Bakker, Anton., Antropologi Mertafisik, Yogyakarta: Kanisius, 2000

Bertens, K., Etika, Jakarta, Gramedia, Pustaka Utama 1993

Bertens, K. Filsafat Barat Modern. Prancis Jilid II Ed. Revisi dan perluasan,  Jakarta:

Gramedia, 2001

Bolong, Bertolomeus dan Cyrilus Sunggal., Tuhan Dalam Pintu Pazir, Tinjauan Filosofis

Tetang Tuhan Dalam Kepercayaan Asli Orang Riung, Flores, Ende: Penerbit Nusa Indah, 1999

Dhavamony, Mariasuasi., Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1995

Downey, Michael (ed.)., The New Dictionary of Catholic Spirituality, Minesota: The Liturgical,

1993

 

Homes, Anne.,  Perubahan Pria Dan Wanita Dalam Gereja Dan Masyarakat, Yogyakarta:

Kanisius, 1992

Heuken, A., “Agama”, dalam Ensiklopedi Gereja, Jakarta: Ichtiar Baru, 1995

Hornby, A. S., The Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, New York:

Oxford University Press, 1974

Kebung, Konrad., Filsafat Berpikir Orang Timur (Indonesia, Cina dan India), Jakarta: Prestas

Pustaka, 2006

Kebung, Konrad., Manusia Dan Diri Yang Utuh Ende: Nusa Indah, 2006

Kusno B. S., Pengantar Tata Bahasa Indonesia, Bandung: Rosda Karya,1990

Mudji Sutrisno, Ranah-Ranah Kebudayaan Yogyakarta: Kanisius, 2009

Norbert Jegalus, FIlsafat Sosial (bahan Ajar), Kupang: Fakultas Filsafat Unwira, 2018

Sadly, Hasan., Ensiklopedi Umum,  Yogyakarta: Kanisius, 1987

Salim, Agus., KBBI, Edisi II, Tim Penyusun Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa, Jakarta

Balai Pustaka, 1990

 

Sihotang, Kasdin., Filsafat Manusia. Upaya Membangkitkan Humanisme, Yogyakarta:

Kanisius, 2009

Pasaribu, Saut., (Penerj.), Politik Aristoteles Jakarta: Narasi Pustaka-Promothea, 2016

 

Peschke, Karl-Heinz., Christian Ethics. Moral Theology In The Light of Vatican II. Vol. II,

Bangalore: Theology Publication In India St. Peter’s Pontifical Seminary, 1992

 

Peursen, C. A. Van.,  Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 1988

 


NAMA-NAMA INFORMAN

Bpk. Yoakim Waling, Wawancara 23 september 2018, tersimpan dalam alat rekam.

 

Bapak Wilfridus Lando, Wawancara, Mbazang, 19 Juli 2018. Tersimpan di data pribadi.

 

Bpk. Gabriel Songka, Wawancara, 11 Juli 2018 di Rato, tersimpan di file.

 

 

Bpk. Siprianus Tuak, Wawancara 23, Februari, 2019, tersimpan di file.

 

Bpk. Siprianus Tuak, wawancara 23 Februari 2019, tersimpan di file.

 

Bpk. Yosep Sole, wawancara 25 november 2018, tersimpan dalam alat rekam.

 

 

Bpk. Yosep Sole, wawancara 25 november 2018, tersimpan dalam alat rekam.

 

Bpk. Gabriel Songka, Wawancara, 11 Juli 2018 di Rato, tersimpan di file.

 

 



[1] Anton Bakker, Antropologi Mertafisik, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 35-39

[2] Prof. Dr. Konrad Kebung, Ph.D., Filsafat Berpikir Orang Timur (Indonesia, Cina dan India), (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011), hlm. 248

[3] Saut Pasaribu (Penerj.), Politik Aristoteles (Jakarta: Narasi Pustaka-Promothea, 2016), hal. 3.

 

[4]Ibid., hal. 6

[5] Dr.Konrad Kebung, SVD, Manusia Dan Diri Yang Utuh (Ende: Nusa Indah, 2006), hal. 98. 

[6] Mudji Sutrisno, SJ, Ranah-Ranah Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hal. 29.

                [7] Bpk. Yoakim Waling, Wawancara 23 september 2018, tersimpan dalam alat rekam.

                [8]  Kusno B. S., Pengantar Tata Bahasa Indonesia, (Bandung: Rosda Karya,1990), hlm. 1

                [9] Bertolomeus  Bolong OCD dan Cyrilus Sunggal., Tuhan Dalam Pintu Pazir, Tinjauan Filosofis Tetang Tuhan Dalam Kepercayaan Asli Orang Riung, Flores, (Ende:Penerbit Nusa Indah, 1999), Hlm. 22.

                [10] Bapak Wilfridus Lando, Wawancara, Mbazang, 19 Juli 2018. Tersimpan di data pribadi.

                [11] Bertolomeus  Bolong OCD.,Op., Cit, hlm.23.

                [12] Bpk. Gabriel Songka, Wawancara, 11 Juli 2018 di Rato, tersimpan di file.

                [13] Heuken, A. S.J., “Agama”, dalam Ensiklopedi Gereja, (Jakarta: Ichtiar Baru, 1995), hlm. 104.

                [14] Paul Arndt, SVD, Aus der Mythologie und Religion der Riunger, (Netherland: Overgedruckt uit het Tijdschrift voor Ind. Taal, Land-en Volkenkunde Deel LXXXV, Afl. 3, 1935), hlm. 366.

                [15]Michael Downey (ed.), The New Dictionary of Catholic Spirituality (Minesota: The Liturgical, 1993), hlm. 832

                [16]Mariasuasi Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 175

[17] Bpk. Siprianus Tuak, Wawancara 23, Februari, 2019, tersimpan di file.

[18] Bpk. Siprianus Tuak, wawancara 23 Februari 2019, tersimpan di file.

[19] Bpk. Yosep Sole, wawancara 25 november 2018, tersimpan dalam alat rekam.

[21] Bpk. Yosep Sole, wawancara 25 november 2018, tersimpan dalam alat rekam.

[22] Bpk. Gabriel Songka, Wawancara, 11 Juli 2018 di Rato, tersimpan di file.

 

                [23] Agus Salim, KBBI, Edisi II, Tim Penyusun Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa, Jakarta Balai Pustaka, 1990, hal. 690

                [24] K. Bertens, Etika, Jakarta, Gramedia, Pustaka Utama 1993 hlm. 139

                [25] Hasan Sadly, Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 749

                [26] A. S. Hornby, The Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (NewU York: Oxford University Press, 1974), hlm. 950

                [27] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1994), hlm. 713

[28] K. Bertens, Filsafat Barat Modern. Prancis Jilid II Ed. Revisi dan perluasan, (Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. 75

[29] Kasdin Sihotang, Filsafat Manusia. Upaya Membangkitkan Humanisme, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 102

                [30]Prof. Dr. C. A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 16.

                [31] Dr. Norbert Jegalus, FIlsafat Sosial (bahan Ajar), (Kupang: Fakultas Filsafat Unwira,2018), hlm. 2

[32] Djuretna A. Imam Muhni, Moral Religi Menurut Emile Durkheim & Henri Bergson, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 47.

[33] Paul Arndt, SVD, Op. Cit.,hlm. 379

                [34] Agus Salim,Op.,Cit. hlm. 107

[36] Anne Homes, Perubahan Pria Dan Wanita Dalam Gereja Dan Masyarakat, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 159.

[37] Karl-Heinz Peschke, Christian Ethics. Moral Theology In The Light of Vatican II. Vol. II, (Bangalore: Theology Publication In India St. Peter’s Pontifical Seminary, 1992), hlm. 470

[38] Paul Arndt, SVD.,Op. Cit., hlm 367.

  Perihal Hidup: Sejak awal 2023, saya sudah disibukkan dengan satu pekerjaan baru yakni penyelenggara Pemilu persisnya panwaslu desa (PKD...