NILAI
SOSIAL DALAM RITUS GHAN WETON
DI KAMPUNG MBAZANG KABUPATEN NGADA
SKRIPSI
OLEH: HERMANUS NGGAWAL
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk
sosial hal ini tampak dalam kenyataan hidupnya. Ia tidak dapat hidup dalam
dirinya sendiri sebab kehadirannya dalam dunia pada dasarnya merupakan hasil
dari relasi antara manusia dan manusia serta manusia dengan Penciptanya.
Sosialitas manusia diungkapkan dalam berbagai bentuk seperti relasi antara pribadi
dengan pribadi, pribadi dan kelompok serta pribadi dengan lingkungannya.[1]
Aneka bentuk pengungkapan
sosialitas manusia tersebut hendak menegaskan bahwa pribadi manusia adalah
makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia menjalin relasi dengan orang lain
untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Oleh karena manusia tidak dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya secara sempurna, maka dia membangun kerja sama
dengan sesamanya. Dengan demikian, manusia bisa mencapai kesejahteraan dalam
hidup.[2]
Hal ini berlaku juga bagi
masyarakat Mbazang-Riung Barat yang mana salah satu bentuk pengungkapan
sosialitas tampak dalam ritus ghan weton.
Ritus ghan weton merupakan upacara
khas masyarakat Riung Barat pada umumnya dan masyarakat Mbazang pada khususnya.
Dalam upacara ghan weton, warga
kampung mengadakan perayaan syukur bersama atas hasil panen. Hasil panen yang
dimaksudkan di sini adalah padi. Weton dalam
bahasa Indonesia berarti jewawut. Pada zaman dahulu, jewawut merupakan makanan
pokok masyarakat Riung pada umumnya dan masyarakat Mbazang pada khususnya.
Berhubung jewawut sudah punah, maka upacara ghan
weton diganti dengan acara makan padi baru. Mereka mengundang kerabat dan
kenalan dari berbagai wilayah untuk mengambil bagian dalam perayaan syukur
tersebut. Ungkapan syukur direalisasikan dalam acara makan bersama.
Upacara ini dimulai
dengan pemberitahuan yang disampaikan oleh dor
(ketua adat). Ketua adat menginformasikan kepada warga kampung bahwa acara ghan weton akan segera dilaksanakan.
Pemberitahuan ini dilakukan dengan tujuan supaya warga kampung menyiapkan
segala sesuatu untuk menyukseskan upacara ghan
weton. Salah satu persiapan yang dilakukan oleh mereka adalah mengundang
kerabat dan kenalan yang ada di wilayah lain. Dengan demikian, upacara ghan weton menjadi momen bagi warga
kampung untuk membangun relasi dengan sesamanya.
Keberadaan manusia dalam
suatu wilayah tidak terlepas dari orang lain. Dalam rangka mempererat kesatuan
antar sesama manusia yang membentuk koloni-koloni atau asosiasi-asosiasi.
Ketika manusia berada dalam suatu
asosiasi, tentu atmosfer kehidupan mereka harus ditata secara baik. Maka dari
itu, manusia membutuhkan seorang pemimpin untuk mengatur kehidupan
anggota-anggota yang ada di dalamnya.
Hidup manusia akan menjadi teratur jikalau ada orang di antara mereka
yang bersedia untuk memobilisasi sistem sosial kemasyarakatan. Manusia tidak sekadar sebagai makhluk sosial, tetapi
juga makhluk politis. Sebagai makhluk politis, manusia hidup dalam suatu
kelompok atau organisasi. Benar apa yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa
manusia adalah hewan politik yang berada pada level yang tertinggi.[3]
Dengan kata lain, manusia itu tidak hanya mengikuti naluri tetapi juga
dilengkapi dengan akal budi. Akal budi memampukan manusia untuk berkomunikasi.
Dalam berkomunikasi, manusia membutuhkan bahasa sebagai mediumnya. Mengenai hal
ini, Aristoteles berujar sebagai berikut. Dengan demikian, jelaslah bahwa
manusia adalah seekor hewan politis di dalam derajat yang lebih tinggi daripada
lebah atau hewan-hewan lainnya yang suka berkelompok. Alam menurut teori kita
tidak membuat sesuatu yang sia-sia; dan manusia adalah satu-satunya hewan yang
diperlengkapi dengan kemampuan bahasa.[4]
Sosialitas manusia yang
termanifestasi dalam ritus ghan weton tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Mbazang-Riung Barat. Bahwasanya,
dalam mengaktualisasikan sosialitasnya, manusia membangun komunikasi antara
satu dengan yang lain. Komunikasi adalah medium riil bagi manusia untuk
mengejawantahkan sosialitasnya. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, bahasa
mempunyai peranan yang sangat penting. Bahasa menjadi unsur pembeda antara
manusia dan binatang. Binatang tidak mengenal bahasa. Bahasa hanya dimiliki
oleh manusia. Atas dasar inilah manusia dilihat sebagai mahluk yang lebih
tinggi derajatnya daripada hewan infrahuman.
Ritus
ghan weton yang terdapat dalam
kebudayaan masyarakat Mbazang-Riung Barat sungguh menampilkan esensi manusia
sebagai pribadi sosial. Derasnya arus globalisasi membuat manusia lupa akan
inti terdalam dari dirnya, yakni sebagai makhluk sosial. Manusia merasa diri
hebat dan tidak peduli dengan orang lain. Komunikasi antarindividu diabaikan.
Akibatnya, hubungan kekerabatan antarsesama manusia menjadi renggang.
Menanggapi persoalan ini, ritus ghan
weton menjadi jalan keluar untuk memulihkan kembali hubungan antarindividu
khususnya masyarakat Mbazang. Dalam ritus ghan
weton, relasi antarsesama manusia menjadi unsur yang paling hakiki sebab
dalam ritus tersebut terdapat dimensi sosial manusia itu sendiri yang intinya
adalah memberi dan menerima yang akan mempererat tali persaudaraan.
Kebudayaan di mana saya
terlibat dan di dalamnya saya bertumbuh tidak pernah “berbisik” melainkan
sungguh-sungguh berbicara keras dan berteriak.[5]
Dengan adanya kemajuan dan perkembangan teknologi yang begitu pesat, upacara ghan weton tetap eksis dan terus
dipertahankan. Buktinya, masyarakat Kampung Mbazang-Riung Barat masih
melanjutkan tradisi ghan weton. Hal
ini hendak menegaskan bahwa upacara ghan
weton memiliki sumbangsih yang sangat berharga bagi kehidupan sosial
kemasyarakatan.
Ghan weton menjadi sebuah sejarah
yang mesti diketahui dan dipertahankan oleh generasi-generasi sekarang dan yang
akan datang. Perintah sejarah mengajak kita untuk bertahan diri dan dinamis
membentuk identitas bangsa dalam menghadapi serbuan nilai dan budaya lain dari
luar![6]
Oleh karena itu, penulis ingin menggali makna sosial yang terkandung dalam
upacara ghan weton dengan judul Makna
Sosial Dalam Ritus Ghan Weton Di Kampung Mbazang Desa Bentengtawa 1 Kecamatan
Riung Barat Kabupaten Ngada.
1.2
Perumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan
latar belakang diatas dan untuk menjamin terarahnya penelitian ini, maka
penulis merumuskan beberapa permasalahan yang menjadi bahan kajian dalam tema
penulisan penelitian ini antara lain:
1.
Bagaimana
gambaran kehidupan masyarakat Kampung
Mbazang di Desa Benteng Tawa 1, Kecamatan Riung Barat, Kabupaten Ngada, Flores?
2.
Bagaimana
praksis ritus ghan weton dalam
tradisi lokal masyarakat Kampung Mbazang di Desa Benteng Tawa 1, Kecamatan
Riung Barat, Kabupaten Ngada, Flores?
3.
Bagaimana
nilai sosial dari praksis ritus ghan
weton?
1.3
Tujuan Penelitian
Dalam tulisan ini penulis
berusaha mewawancarai dan berdiskusi dengan para informan serta mengumpulkan
dan mendalami beberapa karya untuk menjawab persoalan yang telah dirumuskan
diatas. Beberapa tujuan yang ditargetkan dalam penulisan adalah:
1.
Upaya
menjawab permasalahan sebagaimana termuat dalam rumusan-rumusan permasalahan.
2.
Penulisan ini
dilakukan dalam rangka memenuhi sebagian syarat sebagai acuan dalam pengkajian
proposal.
3.
Penelitian di
Kampung Mbazang merupakan suatu upaya dari penulis sebagai “ahli waris” budaya
setempat untuk berani mendokumentasikan dan mewujudkan nilai-nilai budaya yang
berdaulat dan selaras zaman.
1.4
Manfaat Atau Kegunaan Penulisan
Berdasarkan harapan
penulis agar proposal sederhana ini mendatangkan manfaat sebagai berikut;
1.
Proposal ini
dapat menjadi model dan modal bagi penelitian lanjutan bagi para pemerhati
budaya, filsafat dan agama.
2.
Karya ini
dapat memberikan percikan inspirasi, memupuk minat dan memperdalam kecintaan
akan warisan para leluhur dengan melakukan kajian budaya yang mendalam sebagai
upaya melestarikan tradisi lokal. Sekaligus penelitian ini dapat menjadi
masukan yang arif dalam rangka menciptakan, membangun dan mempertahankan
tatanan hidup bersama yang harmonis yang bertolak dari sumber daya kulturalnya.
3.
Hasil kajian
ini dapat menjadi sumbangan yang berarti dalam rangka mendokumentasikan warisan
leluhur dan pengembangan ketahanan budaya demi penghayatan kehidupan yang
beradab dan bernilai sosial yang bersumber pada tradisi setempat yang selaras
zaman tanpa terkikis oleh pengaruh globalisasi.
4.
Kajian budaya
ini dapat membantu pengembangan dan pembentukan wawasan berpikir akademik yang
komprehensif, selektif dan kualitatif seraya memungkinkan penulis untuk lebih
dekat dengan salah satu anasir budaya peninggalan leluhur serta dimampukan
untuk bersikap dan bertindak bijak dan kritis menghadapai isu-isu yang
bertebaran.
1.5
Metode Penulisan
Penulis memulai tulisan ini dengan menggunakan metode kualitatif yang
sangat relevan untuk suatu kajian budaya dalam bentuk wawancara. Jenis
penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang sangat ditentukan oleh
kualitas penelitian di lapangan yakni praksis Ritus Ghan Weton di kampung
Mbazang serta alur kehidupan yang turut membentuknya. Wawancara adalah metode
non gambar atau teknik pengambilan data dengan proses tanya jawab antara
penulis dnegan informan untuk mendapatkan data secara lisan. Penulis berusaha
mencari, mendatangi selanjutnya mewawancarai dan berdiskusi dengan para
informan yang diyakini memiliki pengetahuan yang memadai tentang adat Mbazang.
Selain
metode wawancara, penulis juga menggunakan metode pustaka yang setidak-tidaknya
dapat membantu penulis menjelaskan term-term adat agar dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan juga menegaskan kebenaran dari hasil
penelitian penulis.
1.6
Sistematika Penulisan
Penulis berusaha merangkum karya ini kedalam lima bab. Masing-masing bab
menggambarkan pokok-pokok penulisan sebagai berikut: bab pertama adalah bab
pendahuluan. Bab ini berisikan gambaran awal atau latar belakang penulisan,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metode penulisan dan
sistematikan penulisan. Bab kedua merupakan gambaran mengenai keadaan faktual
masyarakat Mbazang, desa Benteng Tawa 1 Kecamatan Riung Barat, Kabupaten Ngada,
Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Beberapa hal yang dipaparkan dalam
gambaran wilayah penelitian ini meliputi beberapa unsur antara lain keadaan
geografis, sistem mata pencaharian, sistem bahasa, sistem pemerintahan lokal,
sistem perkawinan adat, sistem kesenian, sistem kuliner dan sistem religi.
Bab
ketiga memuat ulasan mengenai keberadaan dan praksis ritus Ghan Weton di
kampung Mbazang, desa Benteng Tawa 1 Kecamatan Riung Barat, Kabupaten Ngada,
Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Berkaitan dengan keberadaan dan praksis
ritus Ghan Weton diulas beberapa hal yakni definisi etimologis dari konsep Ghan
Weton dan tahap-tahap dalam ritus Ghan Weton yang memuat tahap persiapan,
pelaksanaan dan tahap akhir.
Bab
keempat merupakan pembuktian hipotesa. Bab ini memuat hasil interpretasi
penulis yang dituangkan secara deskriptif mengenai nilai sosial dalam ritus
Ghan Weton sebagai mana yang menjadi judul dari kajian atau penulisan skripsi
ini. Penulis berusaha mengulas tentang nilai sosial dalam ritus Ghan Weton yang
meliputi nilai sosial religius, nilai sosial ekonomi, nilai sosial perkawinan
serta dilengkapi dengan refleksi kultural.
Bab kelima merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan, catatan kritis dan saran atas temuan dari penulisan skripsi ini.
BAB II
GAMBARAN
UMUM MBAZANG
2.1Keadaan
Geografis
Secara geografis Mbazang
adalah sebuah kampung di Kecamatan Riung Barat Kabupaten Ngada, Flores. Mbazang
terletak di bagian Barat kota Bajawa. Mbazang berbatasan dengan; bagian timur,
berbatasan dengan Maronggela, bagian barat berbatasan dengan Rio Minsi, bagian
utara berbatasan dengan Warunembu, bagian selatan berbatasan dengan Damu.
Kampung Mbazang umumnya terdiri dari bukit dan lembah subur yang memberikan
harapan hidup bagi penduduknya. Mbazang juga mengenal dua jenis musim, yaitu
musim hujan (dari bulan November sampai dengan April ), dan musim kemarau (dari
bulan Mei sampai dengan Oktober).
Suhu
rata-rata di kampung Mbazang pada musim hujan berkisar antara 200C
sampai 290C, dan pada musim panas berkisar antara 280C
sampai 320C. Sedangkan di daerah pantai, suhu udara berkisar antara
260C sampai 300C, dan pada musim kemarau berkisar
rata-rata 290C sampai 340C.
Jumlah penduduk di Kampung
Mbazang pada tahun 2013 berjumlah 250 jiwa, dengan jumlah laki-laki 110 jiwa
dan perempuan sebanyak 140 jiwa.[7]
2.2 Sistem Mata Pencaharian
Sebagai masyarakat
agraris pada umumnya orang Mbazang hidup dengan bercocok tanam, baik disawah
maupun di ladang. Orang Mbazang adalah orang yang sangat rajin dan tekun dalam
mengolah tanah, sehingga persediaan kebutuhan hidup mereka tetap ada.
Tanah-tanah mereka ditanam dengan tanaman palawija seperti singkong atau
umbi-umbian, pisang, jagung, kopi, cengkeh dan juga padi. Dalam Sistem pengolahan tanah masyarakat masih
menggunakan alat tradisional tetapi juga ada yang mengguanakan teknologi
modern. Misalkan dalam mengolah sawah banyak orang masih menggunakan kerbau dan
ada juga yang sudah menggunakan alat modern seperti hand traktor.
Sistem perekonomian
masyarakat Mbazang cukup memadai,
sehingga hasil panen tidak hanya untuk dikonsumsi sendiri tetapi ada yang
dijual. Selain bertani masyarakat Mbazang
juga beternak untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga maupun untuk
kebutuhan pasar. Ternak yang dipelihara oleh masyarakat Mbazang adalah kuda (zaran), kerbau (kaba), sapi (sapi) dalam
jumlah tertentu yang disesuaikan dengan ketersediaan lahan dan pangan. Adapun
ternak lain yang dipelihara oleh masyarakat Mbazang seperti ayam (manuk), bebek (bebek), anjing (kao),
kambing (mbe) babi (wawi). Ternak-ternak yang dipelihara
pada saatnya juga akan digunakan untuk keperluan adat seperti pembangunan rumah
adat, acara kematian, perkawinan (pola
dadang ranalaki) dan sebagainya. Hewan-hewan ritual yang terutama antara
lain kerbau (kaba), babi (wawi), dan ayam (manuk).
2.3 Sistem Bahasa
Bahasa
merupakan alat komunikasi timbal balik antar manusia baik dalam situasi resmi
maupun dalam situasi biasa. Bahasa dihasilkan oleh seseorang dengan penuh
kesadaran lewat suatu bunyi yang beraturan dan mengandung pengertian.
Keteraturan dan keterkandungan makna dalam bahasa membentuk suatu integrasi
yang harmonis antara pikiran, perasaan dan kemauan.[8]
Ada
dua bahasa komunikasi yang digunakan orang Ruing umumnya dan orang Mbazang
khususnya yakni bahasa daerah Riung dan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia
digunakan untuk digunakan komunikasi dalam situasi resmi sedangkan bahasa Riung
digunakan dalam komunikasi harian dan ritus keagamaan serta upacara adat.[9]
dalam hubungan dengan fungsi bahasa, bahasa Riung berfungsi sebagai alat
ekspresi seni (pantun, peribahasa) dan sebagai bahasa adat serta bahasa doa.[10]
Hampir
setiap daerah di Riung mempunyai dialeknya sendiri. Secara umum dapat
dikelompokan menjadi sepuluh dialek daerah yakni: dialek Maronggele dan Muntin,
Wate dan Ria, Terong dan Rawuk, Wangka, Riung, Mbarungkeli, Bekek dan
Lengkosambi, Mbazang dan Damu, dan Turaloa.
Bahasa
Riung dengan dialek-dialeknya itu, selain digunakan sebagai bahasa pergaulan,
juga sebagai simbol berupa pantun atau pribahasa, serta ada juga bahasa adat
dalam bentuk kata-kata bijak tertentu berupa puisi yang syarat makna dan hanya
digunakan dalam seremonial adat atau ritus keagamaan.[11]
2.4 Sistem Pemerintahan Lokal
2.4.1
Ulu Golo
Ulu Golo adalah sebutan untuk seorang
pemimpin, kepala suku, kepala kampung. Ulu
Golo adalah pemimpin tertinggi woe
golo (anggota masyarakat suku). Ulu
Golo dipilih oleh woe golo dari
anggota masyarakat mawa (suku) yang
bergabung dalam satu woe golo. Ulu golo dipilih tidak melalui garis
keturunan melainkan orang yang mempunyai kecakapan dan kebijaksanaan lebih dari
orang lain dalam satu Woe golo.
2.4.2 Gaen
Wongko
Gaen
Wongko merupakan badan penasihat dalam suku. Tugas dari Gaen Wongko adalah menyelesaikan
berbagai konflik baik yang terjadi antar individu maupun antar kelompok dalam
satu suku atau antara suku yang satu dengan suku yang lainnya. Gaen Wongko bertindak sebagai hakim adat
untuk memutuskan berbagai perkara atau konflik yang terjadi dalam masyarakat
adat.
2.4.3
Tuang Tana
Tuang tana (tuan tanah),
nama lainnya adalah door. Door adalah jabatan semacam mentri
agraria atau mentri pertanian dalam satu struktur pemerintahan adat dalam satu Woe Wongko. Dor mempunyai kuasa penuh untuk mengatur adat istiadat yang
berkaitan dengan siklus kehidupan suku. Tugas utama Dor adalah Sake wono sekon
(menentukan kapan pesta adat diadakan) dan Reti
Tana (mengatur pembagian tanah garapan setiap musim tanam).
2.4.4 Gelarang
Gelarang adalah wakil atau
mandataris Ulu Golo. Jika Ulu Golo berhalangan maka tugas dan
tanggung jawab diambil alih oleh Gelarang.
2.4.5
Punggawa
Punggawa adalah mandor yang
bertugas untuk mengadakan pembagian kerja sekaligus mengawasi kelancaran
pekerjaan dalam suatu kegiatan bersama masyarakat mawa atau suku. Dia mengamankan semua kebijakan yang dibuat bersama
masyarakat suku agar dapat berjalan dengan baik dan membawa manfaat bagi
masyarakat suku. Orang yang menjadi Punggawa
adalah orang yang memiliki keberanian, kemampuan berorganisasi, tegas dan
memiliki semangat kerja yang tinggi.
2.4.6
Berambang
Berambang adalah badan keamanan suku (berambang = dada). Nama lainnya adalah kao-zaran (kao = anjing, zaran =
kuda). Tugasnya membela kepentingan suku terhadap ancaman pihak luar, yang
dalam sistem pemerintahan sekarang ini menjadi tugas tentara dan polisi.
2.4.7
Tango Ronan
Tango ronan adalah semacam nujum suku
atau pelihat musim yang dalam istilahnya adalah wunga fangor. Dia mempunyai kemampuan untuk melihat posisi
matahari, bulan dan bintang. Hasil penglihatannya disampaikan kepada Door sebagai dasar untuk membuat
keputusan dan kebijakan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat suku.
2.4.8 Sadhi Wene-Rebo
Sadhi
wene-rebo adalah nama umum untuk dukun dalam suku, yang bertugas
untuk menangani masalah kesehatan masyarakat suku. Dia dipercaya karena
memiliki kemampuan atau keahlian alamiah untuk bisa mendeteksi sebab-sebab
penyakit yang dialami masyarakat suku dan mampu menyembuhkannya.
2.4.9
Ghawas Ata
Ghawas ataadalah semacam spion dari
suku, bisa juga berfungsi sebagai badan keamanan yang menjaga ketahanan suku.
Mereka bertugas memperhatikan kalau-kalau ada pihak luar atau pihak dalam yang
membahayakan kesatuan dan perdamaian suku.
2.4.10 Woe
Wongko
Woe wongko atau Anak Kampung adalah golongan
rakyat jelata pada umumnya. Yang termasuk dalam golongan ini adalah orang-orang
pendatang yang menetap di salah satu suku. Tugas mereka adalah sebagai
seorang bawahan.
2.5
Sistem Perkawinan Adat
2.5.1
Tawa aza lalan daler ale wae
Secara harafiah nama
tahap ini berarti: tertawa di jalan waktu saling bertemu atau berpapasan. Tahap
ini adalah tahap dimana pemuda dan pemudi saling mengenal. Selanjutnya pemuda
tersebut melaporkan perkenalan tersebut kepada orang-tuanya. Setelah itu orang
tua pemuda segera mencari orang yang akan berperan sebagai jembatan (awa lalan atau lawe zarun), lalu sang
jembatan pergi menyampaiakan kepada orang –tua wanita awal perkenalan mereka.
Dalam jangka waktu tiga hari, sang jembatan menanti jawaban setuju atau tidak
dari orang tua wanita.
2.5.2 Reze Bewe Ngai Lezon
Secara harafiah nama tahap ini berarti: merencanakan hari-malamnya.
Setelah mendapat jawaban dari orang-tua wanita bahwa mereka setuju, maka pada
tahap ini, jembatan dan orang-tua wanita merencanakan dan menentukan waktu
untuk melaksanakan tahap berikutnya.
2.5.3 Timbi Keba Taan Warat
Secara harafiah nama
tahap ini berarti: penahan angin, tutup badai. Tahap ini dapat dilaksanakan
ketika sang gadis dan orang-taunya menyetujui atau menerima lamaran dari
seorang pemuda. Pada tahap ini, jembatan bersama keluarga laki-laki datang ke
keluarga wanita dan membuat lamaran secara resmi. Sejak saat ini, keluarga wanita disebut
dengan istilah Mbaru Kapo dan Uma Nozong. Bahan pembicaraan utama
dalam pertemuan ini adalah bete ketak go
sot lezon ngai bewen (Para gaen).
Ketika sudah ada kesepakatan antara kedua belah pihak (laki-laki dan
perempuan), maka pada tahap selanjutnya orang-tua laki-laki harus membawa 4
buah kelapa, 2 ekor ayam, 1 bila parang, sirih dan pinang. Untuk membalasnya
orang tua wanita akan menyiapkan beras 1 pedo/doke,
gelang (ponto) 1 pasang.
2.5.4 Para Gaen/Sot Gaen
Pada tahap ini Mbaru Kapo (keluarga wanita) dan Uma Nozong bersama para tua adat
meresmikan dan merestui perjodohan, serta merencanakan tahap selanjutnya.
Barang bawaan dari pihak laki-laki untuk tahap selanjutnya adalah ayam, kelapa,
sirih pinang, 1 ekor kambing, 1 ekor kuda. Dengan dijalankan tahap ini maka kedua
keluarga menjadi weta weru nara weru
(saudara-saudari baru). Pada tahap ini ditentukan pola dadang (barang-barang yang akan dibawakan oleh pihak laki-laki
untuk pihak perempuan). Barang balasan dari pihak perempuan adalah 2 ekor babi,
5 lembar kain adat, 1 karung beras untuk para Gaen, sedangkan untuk sot
gaen adalah babi 1 ekor dan 2 lembar kain adat.
2.5.5
Langki Sambi
Secara harafiah nama
tahap ini adalah: pasung yang terbuat dari sejenis kayu, dan kayu yang
digunakan adalah kayu Sambi. Makna dari tahap ini yaitu untuk
memperkuat/mempererat ikatan
kekeluargaan berdasarkan hubungan Wina
Wai Rana Laki. Untuk menjalankan tahap ini, keluarga laki-laki harus
membawa ulun kebat (1 ekor kebau dan
2 ekor kuda), dan paa susu (1 ekor
kuda).
2.5.6 Mawa Sepi
Mawa
sepi bukan termasuk dalam urusan dalam Wina Wai Rana Laki namun harus
ditangani, kalau saat menjalankan proses Wina
Wai Rana Laki pasangan muda-mudi sudah mempunyai satu orang anak. Maka
denda (sanksi) kepada pihak laki-laki adalah membayar satu ekor kuda kepada
keluarga perempuan. Hal ini mau menunjukkan bahwa anak sulung tersebut termasuk
dalam keluarga wanita, meski dalam kenyataannya tinggal bersama keluarga
laki-laki.
2.5.7 Bakok Porak
Sebuatan lain untuk tahap
ini adalah podho padhong, manuk palas, atau
wau ata. Tahap ini mau menunjukan
bahwa keluarga (baru) tersebut sudah mandiri dan dewasa dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan. Keluarga baru keluar dari rumah orang-tua wanita, dihantar oleh
segenap anggota keluarga wanita menuju keluarga laki-laki. Dalam arak-arakkan
menuju rumah laki-laki, saudara kandung dari wanita (biasanya yang sulung)
berjalan menuju rumah laki-laki sambil memikul manuk palas(ayam bakar yang ditusuk pada ujung tombak) bahu. Barang
barang yang dibawa pada saat pola dadang
umumnya disesuaikan dengan kesepakatan antara kedua belah pihak (keluarga
laki-laki dan keluarga wanita) pada tahap sot
gaen. Barang-barang ini tidak boleh diambil oleh siapapun dari barang
bawaan anak mantu, dan jumlahnya tergantung dari sisa pola dadangyang masih harus dibawa oleh keluarga laki-laki.
2.5.8
Hak dan Peluang
Orang yang sudah
menyelesaikan atau melalui semua tahap wina
wai rana laki, memiliki hak dan peluang untuk melakukan hal-hal berikut:[12]
Pertama :Rotas teto,yaitu wewenang untuk membuka dan memulai suatu ritus awal dalam
mengerjakan kebun adat. Kedua :Sau uma
meze, yaitu wewenang untuk bisa membuka dan mengerjakan kebun
adat.Menyelengarakan paras, dan dalam
paras seorang berhak untuk ha teriakan yang menyebutkan lambang
suku.
Setelah menyelenggarakan paras 7 atau 5 kali, dia berhak weri ngadu watu, ngau kazu dan ngadu more.
2.6
Sistem Kesenian
Orang
Mbazang dengan relasinya dengan alam memiliki nilai estetika yang amat tinggi
dan luhur. Karena itu dalam pembuatan rumah adat, para pembuatnya tidak sekedar
tukang biasa tetapi seorang seniman. Mereka ini biasa diberi nama khusus dengan
sebutan “tangan pandai” ( sadhi bis’a).
Dalam pembuatan rumah
adat sendiri biasanya orang Mbazang mementaskan beragam pementasan seni, mulai
dari seni sastra, seni ukir, seni musik, sampai seni tari. Dari fenomen ini mau
menampilkan bahwa kesenian orang Mbazang bukan jenis kesenian yang monoton
untuk satu jenis seni saja. Dalam pementasannya sungguh menampakan ekspresi
seni yang bersifat komprehensif yakni adanya saling ketergantungan dan
keterkaitan sebagai satu kesatuan dalam keragaman.
Orang
Mbazang juga mementaskan seni sastra
yang terungkap melalui puisi-puisi lokal yang mempunyai makna sebagai
nasihat-nasihat dan petunjuk-petunjuk hidup orang Mbazang yang disebut petu nenang.
Ada
satu tarian dikampung Mbazang yang masih popular hingga saat ini adalah tarian
Tia Raga. Dalam tarian ini perempuan memakai kebaya, sarung tenun (lipa tala), selendang yang bercorak
adat, dan mbol (tempat penyimpanan
siri dan pinang). Sedangkan pakayan yang digunakan oleh laki-laki yaitu lensu,
baju putih lengan panjang, sarung tenun, selendang. Tujuan dari tarian ini
adalah untuk menjemput tamu- tamu besar
seperti tamu-tamu Negara atau pemerintah.
Totalitas
sistem kesenian yang melingkupi seni
sastra, seni ukir, seni musik dan seni tari merupakan “lumbung” bagi makna dan
nilai-nilai luhur budaya. Karena itu, dalam menggali, mengungkapkan dan
menginterpretasikan nilai sosial dalam ritusghan
weton, penulis tetap akan smenghubungkanya dengan sistem keseniaan yang
dimiliki masyarkat Mbazang yang niscaya mengandung nilai yang sama. Hal ini
dimungkinkan sebab totalitas budaya dalam beragam aspeknya memiliki
keterhubungan dan kesalingterkaitan satu dengan yang lain karena diciptakan dan
dijalankan oleh manusia itu sendiri.
2.7
Sistem Kuliner
Seperti
daerah-daerah lain di Indinesia, masyarakat Mbazang juga memiliki Kuliner khas
yang dapat menarik banyak orang untuk mencicipinya. Makanan paling Khas orang
Mbazang adalah ute zozong (sayur
pisang). Ute zozong adalah campuran
beberapa jenis sayuran seperti daun singkong, daun papaya dan mengus (lemak babi yang disimpan dalam
bambu) hingga ahirnya menghasilkan makanan khas yang paling lezat bagi orang
Mbazang.
Selain ute zozong masyarakat Mbazang memiliki
makanan Khas lainnya seperti weton (jewawut).
Jewawut adalah makanan yang sangat disukai oleh masyarakat Mbazang karena
proses pengolahannya sangat mudah dan tidak rumit. Cara memasaknya yakni sama
seperti memasak nasi begitupun cara pengolahannya. Makanan khas lainnya yaitu Tampe (jagung jagung iris). Tampe
adalah makanan khas yang terbuat dari jagung muda. Proses
pengolahannya yaitu: Jagung muda diiris menggunakan pisau, lalu dibungkus
dengan daun jagung muda dan dipanggang diatas bara api. Ketika daun jagung
berwarna kuning sebagai tanda bahwa Tampe
sudah matang.
2.8
Sistem Religi
Kata “agama” berasal dari
Bahasa Sansekerta yang berarti
kumpulan ajaran yang diturun-temurunkan menjadi sutu kepercayaan.[13]
Agama juga diartikan sebagai suatu ungkapan kepercayaan, ketaatan, dan harapan
masyarakat atau sekelompok manusia terhadap sesuatu kekuatan mutlak yang
menjadi asal dan tujuan sebuah kehidupan seluruh makhluk. Kekuatan itu diyakini
sebagai sesuatu yang mampu menentukan nasib semua manusia dan alam semesta.
Bertolak
dari paham ini maka kita dapat menarik sintesis bahwa agama berkaitan dengan Tuhan yang memiliki kekuatan Ilahi yang
melampaui dan mengatasi segala kekuatan. Orang Mbazang juga memiliki religi
lokal. Religi lokal bertahan karena ia mengungkapkan harapan dan kepercayaan
terhadap kekuatan yang dapat menjamin keberlansungan hidup mereka (Konsep
tentang Yang Tertinggi) dengan syarat tetap memelihara kepercayaan lokalnya.
Orang Mbazang menyapa yang tertinggi dengan sebutan Mori Kraeng. Dan roh-roh yang lebih rendah dari Mori Kraeng adalah: Mbore Noang, Zing Setang, Wua Kazu, Angin Sat, Puti Pezuk, Nitu, Mata
Wae, Ulung Temok, Manu Ngge, dan Pontianak.
Orang Mbazang juga menghormati atau memuji leluhur yang sering mereka lakukan
dengan doa-doa dan upacara-upacara adat tertentu. Namun leluhur bukanlah Allah
mereka, melainkan mereka percaya bahwa leluhur berada paling dekat dengan Wujud
Tertinggi.
Dalam
menyinggung tentang penyembahan kepada Wujud Tertinggi (Mori Kraeng) atau roh-roh yang lebih rendah, Paul Arndt
mengemukakan secara garis besar tentang persembahan dan tempat persembahan,
atau sesajian, serta pesta.[14]
Tempat persembahan yang umumnya digunakan adalah mata air, batu besar, dan
pohon besar. Sementara itu tempat persembahan yang sering digunakan hampir
dalam seluruh siklus kehidupan orang Mbazang adalah Ngadu dan Nambe.
Ngadu adalah semacam tiang yang ditanam pada posisi tegak lurus ditengah
kampung. Fungsinya sebagai salah satu tempat pemujaan, juga sebagai lambang
kebesaran atau status sosial, serta lambang pemersatu suku. Bersamaan dengan ngadu, biasanya ada nambe, yaitu batu berbentuk bulat cerpen dengan diameter kurang
lebih satu setengah meter. Diatas nambe inilah
orang Mbazang menempatkan bahan persembahan. Selain ngadu dan nambe, tempat
persembahan lain adalah kazu teno
(nama kayu) yang khusus untuk dikebun. Disekitar kazu teno inijuga ada batu dan tiang batu yang tidak terlalu
tinggi.
Mengenai
persembahan dapat dikatakan bahwa orang Mbazang umumnya membawa persembahan
dalam bentuk daging yaitu babi, ayam, bahan yanag dipersembahkan hanya
menggunakan hatinya. Dewasa ini orang Mbazang telah menjadi penganut 100% kepercayaan Katolik Roma. Meski demikian tidak berarti adanya
pemusnaan terhadap praksis religi lokal tetapi justru pihak gereja
menjadikannya sebagai kekayaan Gereja setempat. Upaya ini dilakukan dengan
dialog agama dan budaya yang di Asia lebih dikenal dengan term inkulturasi.
Penerapan nilai sosial ghan weton
yang terbenam didalamnya tidak terlepas dari paham lokal tentang yang Ilahi.
Oleh karena itu peneliti juga menggali, mengungkapkan dan menginterpretasi
nilai-nilai sakralis dan spiritualitas yang memiliki keterhubungan dengan dan
yang berasal dari yang Ilahi.
BAB III
PRAKTIK RITUS GHAN WETON
DI KAMPUNG MBAZANG DESA BENTENG TAWA
1 KEC. RIUNG BARAT
KAB. NGADA
3.1
Konsep Ritus Ghan Weton
3.1.1
Ritus
The New Dictionary of Catholic Spirituality[15] menguraikan istilah “ritus” berasal dari bahasa Latin “ritus”.
Ketika menjadi khazanah bahasa inggris, ritus ini diartikan dengan kata “rite” dan “ritual”. “Rite” memuat
konsep ritus sebagai kata kerja; praksis sebuah upacara atau sebuah perayaan
keagamaan (a religious ceremony or a ceremonial act) dan “ritual” mengartikan ritus sebagai
“tubuh” upacaranya (a body of ceremony).
Namun dalam konsep yang
lebih umum ritus selalu dihubung-hubungkan dengan gejala-gejala yang mempunyai
ciri-ciri mistik. Seremoni lebih mengungkapkan relasi horizontal sedangkan
ritus lebih menekankan relasi vertikal.[16]
Pada sisi yang lain, ritus dalam masyarakat tradisisonal bertujuan untuk
menguatkan rasa kebersamaan diantara anggota (sub) klan. Didalamnya perasaan
solidaritas kelompok diafirmasi dan ditingkatkan, menjauhkan individu-individu
dari kehidupan profan dan mengangkat mereka pada suasana dimana mereka
merasakan ada kontak dengan kekuatan yang lebih tinggi.
Jadi, ritus memiliki
peranan yang amat penting dalam hidup bermasyarakat. Ia mengarahkan manusia
untuk mampu melihat dirinya dalam konteks yang lebih luas dan menyadari ketidakberdayaannya
ditengah dunia. Ritus mampu mengarahkan dan mempersatukan manusia menuju kepada hal-hal yang Sakral, Yang Kudus
dan Yang Ilahi.
3.1.2
Ghan
Berdasarkan
asal katanya, ghan berarti makan.
Arti etimologis ini jika dihubungkan dengan manusia dan kaitannya dengan ritus ghan weton bermakna makan bersama
pada saat acara adat. Makan bersama adalah sebuah simbol yang mengandung relasi
persaudaraan antara manusia khususnya relasi sesama manusia dalam masyarakat
kampung Mbazang. Pada saat makan bersama semua orang dalam Kampung Mbazang dari
yang tua sampai yang muda wajib hadir. Makan bersama dilakukan di tengah
halaman kampung (natar wongko) dan
dipandu oleh salah satu tetua adat (gaen
wongko). Semua makanan dibagi sama rata oleh gaen wongko.[17]
3.1.3
Weton
Weton (jewawut) adalah salah satu
makanan khas masyarakat Riung umumnya dan Masyarakat Mbazang khususnya. Weton
adalah tanaman sejenis padi berbiji kecil dengan diameter sekitar 1 mili meter.
Para leluhur pada zaman dahulu kala bertahan hidup hanya dengan membudidaya weton dan dijadikan sebagai makanan
pokok mereka. Keberadaan tanaman weton (jewawut)
mulai ditinggalkan dan langka seiring membaiknya ekonomi masyarakat.
Setelah masyarakat mengenal tanaman padi
barulah weton ditinggalkan. Saat ini
masih ada sebagian sebagian kecil masyarakat yang membudidayakan weton namun bukan untuk menjadikannya
bahan makanan tetapi sekadar dipelihara.[18]
3.1.4 Ritus Ghan Weton
Ritus
Ghan Weton (makan jewawut) adalah upacara adat yang ditandai dengan makan
jewawut bersama seluruh masyarakat Mbazang. Upacara adat ini merupakan suatu
perayaan ucapan syukur kepada Tuhan (Mori kraeng) sebagai wujud tertinggi yang
telah memberikan anugerah kepada petani berupa hasil panen yang berlimpah,
menyambut hasil panen yang baru dan melepas pergikan hasil panen yang lama
(Ghan te weru inung te nele), dan menjauhkan dari penyakit serta pembaharuan
manusia dalam setiap keluarga sekaligus menjalin ikatan dan relasi yang
permanen antara manusia yang masih hidup dengan para leluhur (Mbo Nusi).
Namun pada saat ini dalam
acara Ghan Weton makanan yang disajikan bukan lagi Weton (jewawut) melainkan padi (beras).
Alasan yang melatarbelakangi pergeseran weton
ke padi yakni sebagai berikut: pertama:
Dari segi pembudidayaan, tanaman jewawut terasa lebih sulit dan proses
pemeliharaan dan pengelolaan. Kedua:
Dari segi kebutuhan , hanya sebagian orang yang mengkonsumsi Weton sedangkan minat untuk mengkonsumsi
beras (padi) sangat banyak.[19]
3.2 Tahap-Tahap Dalam Ritus Ghan Weton
3.2.1 Tahap Persiapan
3.2.1.1 Reze Mbazan
Pada
tahap ini Dor mengajak seluruh
masyarakat untuk melakukan suatu musyawarah atau pertemuan besama yang
dilaksanakan di mboang meze (rumah door). Dalam pertemuan ini akan dibahas
mengenai waktu pelaksanaan syukur panen (ghan
weton). Pertemuan ini dipimpin lansung oleh tuan tana atau Dor sebagai kepala suku. Sebab dorlah yang berhak dan sangat berperan
dalam mengatur serta menetukan tanggal pelaksanaan semua rangkaian upacara
sepanjang tahun termasuk ghan weton.[20]
3.2.1.2 Fakong
Fakong artinya menyebarkan informasi
kepada semua masyarakat (woe wongko)
hasil pertemuan di Mboang Meze (rumah
door) Informasi ini diumumkan oleh door (ketua
adat) dari tengah kampung berupa teriakan: Oooo...woe
wongko, riwu dadi, ata ghae sait anak loe, neang wena le ulu sait lau wai,
neang pata sia murin wongko, zenge le dki miu, puan gokat kita tara galak.
Artinya: Wahai..semua masyarakat sekampung, dari yang tua sampai yang muda,
dari pusat kampung sampai ujung kampung, diinformasikan kepada kita semua bahwa
dor (ketua adat) telah menetapkan
bahwa lusa kita akan tara galak
(membuat kentongan).[21]
3.2.2
Tahap Pelaksanaan
3.2.2.1
Tara Galak
Tara galak adalah membuat kentongan dengan bahan dasar
dari bambu. Kegiatan tara galak
diawali dengan doa adat yang dipimpin oleh dor.
Syair doa tersebut adalah sebagai berikut
Mori
Kraeng
Eta
okan
Lonto
langit
Awa
tana
Mori
Keraeng
Eta
nee awa
Pae
manga kudi kau
Rapa
ata manga
Ziu le
Nggau
Zari
lezong kendong
Kami
riwu wongko
Ko
tara galak
Kami
pain na miu
Mbo
Nusi, Mbo Muri
Mai
ndaing pabir
Gze
mberek ngai kami
Legang
apang te pande le nggami
Ngoeng
lone nai Miu.
Miu
zing setang
Mata
wae Ulung Temok
Mbore
Noang
Ghan
wi paro elang kami inti
Zaa
ziu susah ziu nggami.
Terjemahan :
Mori Keraeng
Kuasa-Mu menguasai seluruh ciptaan
Kuasa-Mu menguasai Langit
Kuasa-Mu menguasai bumi
Mori Keraeng
Engkau menguasai jagat raya di atas dan
bumi.
Karena segala yang ada
Ada dalam Kuasa-Mu
Hari ini
Kami umat-Mu
Membuat kentongan untuk bersukur kepada-Mu
Atas hasil panen yang kami peroleh
Kami mohon kepada Mori Kraeng dan Mbo Nusi
Untuk hadir bersama kami
Agar apa yang kami lakukan dapat berkenan
di hati-Mu
Setan dan segala yang jahat
Penguasa laut dan darat
Sumber segala penderitaan
Dijauhkan dari kami
Jangan berikan kami kesusahan[22]
Setelah Door selesai
memanjatkan doa di lanjutkan dengan kegiatan Tara Galak sampai selesai. Setelah selesai Tara Galak semua masyarakat wajib
membawa kentongan kerumah masing-masing dengan jumlah Galak perorang satu (1)
buah.
3.2.2.2
Wean Uma
Wean Uma adalah tahap lanjutan dari Tara
Galak. Pada tahap ini semua masyarakat wajib turun ke kebun masing-masing
sambil membawa kentongan yang sudah dibuat pada hari sebelumnya. Sesampai di
kebun sang pemilik kebun wajib mengisi bulir-bulir padi dalam kentongan yang
dirusak oleh hama tikus dan dibawah ke Uma Meze (kebun Door). Sebelum menuju ke
kebun Door semua pemilik kebun wajib
membuat ketupat yang disebut dengan Toke
Rupang (nasi bambu). Sebelum melakukan Toke
Rupang sang pemilik kebun pergi menuju Ponto
Ni’i (tempat untuk memberikan sesajian kepada nenek moyang) dengan membawa
seekor ayam dan melantukan doa kepada Mori Keraeng melalui Pintu Manuk (omong ayam). Untaian doa yang dipanjatkan yakni sebagai
berikut:
Mori
Keraeng
Kau
dun tana
Kau
dun langit nee tala wulan
Tiku
talo kaok talo
Kau
dun kaba
Kau
dun zaran
Kau
dun wawi
Kau
dun manuk
Kau
dun woza
Kau
dun keo
Kau
dun talo taa
Talo
le mata retas
Talo
le mata poso
Dai sara poka
Puan
sara poka
Wawi
koe tunu
Kaba
sara poka
Woza
sara sughi
Pae
lawang deki
Kau
dun kami wae tara more
Kau
dun kami tana tara niing
Kami
kudi anak manuk
Dun
piong le Nggau.
Terjemahan
Mori Keraeng
Engkaau ciptakan bumi
Engkau ciptakan langit, bulan dan bintang
Dengan segala Keagungannya.
Engkau
ciptakan kerbau
Engkau ciptakan kuda
Engkau ciptakan babi
Engkau ciptakan ayam
Engkau ciptakan padi
Engkau ciptakan padi
Engkau ciptakan jagung
Dengan melimpah
Bagi suku Retas
Bagi suku Poso
Walaupun hewan terus dibunuh
Tidak pernah musnah
Babi terus dibunuh
Padi terus diambil
Tidak pernah habis
Engkau member kami air untuk hidup
Engkau member kami tanah untuk tinggal
Kami bagaikan anak ayam
Diciptakan dan dipelihara oleh-Mu.
Setelah selesai memanjatkan doa, sang
pemilik kebun mengambil sebuah ketupat dan membawa kentongan (Galak) dan pergi berkumpul di Uma Meze (kebun Door).
3.2.3
Tahap Akhir
3.2.3.1
Podo Galak
Setelah bekumpul di Uma
Meze semua masyarakat memasuki tahap selanjutnya yakni Podo Galak. Podo Galak
adalah mengantar kentongan ke Wae Lulu (tempat
untuk mengumpulkan kentongan). Selama dalam perjalanan menuju Wae Lulu semua masyarakat wajib
menyanyikan syair-syair adat diiringi dengan bunyi kentongan. Syair-syair yang
sering dinyanyikan yaitu: padut lau watu,
rising tora niki (mari kita saling membantu, menolong sesama kita selagi
kita masih diberi kesempatan napas kehidupan oleh Sang Kuasa), lau kebeng mbaluk, tari nendong nai(apapun
kesulitan dalam hidup kita selalu menghadapinya dengan senyuman). Syair ini
dinyanyikan sampai di Wae Lulu.
3.2.3.2
Kelak Galak
Pada
tahap ini, semua galak (kentongan) di
belah di Wae Lulu (tempat persembahan
sesajian kepada nenek moyang). Galak yang
dibelah disusun keliling ponto ni’i dengan tujuan untuk melindungi para leluhur
didalam ponto ni’i. Pada tahap ini
diadakan sebuah ritual yakni menyingkapkan batu pada ponto ni’i untuk melihat tanda-tanda kehidupan manusia di tahun
mendatang. Tanda-tanda itu ditunjukan melalui kehadiran semut. Ada beberapa
jenis semut yang berada dibawah batu ponto
ni’i dan masing-masing kehadirannya memberikan simbol yang berbeda bagi
kehidupan manusia ditahun yang akan datang. Jenis semut-semut yang dimaksud
yaitu: semut merah (pedus wara)
sebagai simbol gagal panen, semut besar (maka)
sebagai simbol penghasilan berlimpah di tahun mendatang, dan semut hitam (kemor) sebagai simbol wabah penyakit
yang akan menyerang kehidupan manusia. Setelah selesai melihat tanda-tanda
kehidupan dibalik ponto Nii dilanjutkan
dengan Rame Loe (tarian dalam lingkaran
kecil).
3.2.3.3
Moreng
Moreng adalah sebuah tarian tradisional masyarakat Kampung Mbazang.
Tarian ini dilaksanakan saat menyambut musim panen weton dan didalamnya mengungkapkan kegembiraan atas hasil panen
yang berlimpah.Tariannya berbentuk lingkaran yang terdiri dari laki-laki dan
perempuan. Saat menari semua menghentakan kaki dan gerakan kepala sambil
menyanyikan syair-syair yang berisi nasihat dan pesan bagi kehidupan masyarakat
dalam kampung agar kehidupan mereka lebih baik dari hari sebelumnya. Moreng biasa dimulai dari pukul 19.00
malam –pukul 05.00 pagi. Setelah selesai moreng
(menari) semua masyarakat berkumpul dirumah dor
(ketua adat) untuk makan minum bersama dan ketua adat (dor) menyampikan pesan dan nasihat kepada seluruh masyarakat Kampung
Mbazang untuk menjalani kehidupan selanjutnya dengan berpatokan pada aturan
adat yang sudah disepakati bersama.
3.2.3.4
Irong
Irong adalah puncak dari ritus Ghan Weton. Dalam tahap ini semua
masyarakat kampung Mbazang (Woe Wongko)
dari yang tua sampai yang muda berkumpul di Mboang
Meze (rumah Door) untuk membahas
kegiatan-kegitan selama pelaksanaan Ghan
Weton. Door akan meminta kritik dan saran dari masyarakat selama kegiatan
dilaksanakan. Pada tahap ini Door juga
menyampaikan pesan-pesan kepada Woe
Wongko untuk hidup lebih rukun dan damai ditahun yang akan datang.
Pesan-pesan tersebut yaitu sebagai berikut:
Pertama: Aku zaak
Ndulu watu tudu aku gai watu tangi
Arti
harafiahnya: Kita sebagai Woe Wongko jangan
mengikuti atau melewati batu yang membuat kita terantuk, melainkan menginginkan
batu yang dapat mengangkat kita ketempat yang lebih tinggi. Peribahasanya yakni
tidak mau mendengaratau mengikuti hasutan orang, melainkan menginginkan nasihat
atau petuah yang baik dan berguna.
Kedua
Wenang Awa kempo kurun
sake kaer pande lawe, tuke eta nelo nunuk keto kako nago naras
Arti
harafiahnya setia dan tanggung jawab terhadap hal kecil merupakan modal untuk
dapat diserahi tanggung jawab yang lebih besar.
Ketiga Zaka
Zaran bakok loang awa pota, nganing ngoat-ngoat dok sowak bokan
Arti
harafiahnya Kalau mendapatkan tugas dan tanggung jawab yang penuh resiko, harus
dilaksanakan dengan hati-hati agar dapat berhasil dan tidak mencelakan diri
karena pelaksanaan tugas tersebut.
Keempat More Olo Pongkor wi wongko, tiwu wi wae,
tana zaa ghusu-ghasa, watu zaa mbeasena
Arti
harafiahnya Hidup mesti penuh dengan daya cinta kepada tanah air khususnya
kampung halaman kita dan dihiasi dengan rasa persaudaraan.
kelima Diren Le Mai kek rawu rek
Arti
harafiahnya Fajar harapan telah menyingsing mari kita tanggalkan kekelaman masa
silam.
Keenam Kakot
wi pakot pekon pulur, seli wi nggerik keli repis
Arti
harafiahnya Mari kita bersatu padu demi meningkatkan kekuatan dalam menghadapi
semua tugas dan tanggung jawab dalam kehidupan ini.
Setelah
Door selesai menyampaikan pesan-pesan
kepada Woe Wongko tahap selanjutnya
yakni doa bersama di Mboang Meze untuk memohon ampun kepada Mori
Keraeng dan Mbo Nusi (nenek moyang) atas kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh Woe Wongko selama masih berziarah di
dunia ini. Untaian doa tersebut yakni
sebagai berikut:
Mori Keraeng
Eta okan
Lonto langit
Awa tana
Mori Keraeng
Eta nee awa
Lee ne ale
Pae manga Kudi Kau
Rapa ata manga
Ziu le Nggau
Nia le Nggau Mori Keraeng
Kami pae taku rempe
Sala kami
Nia le Mori Keraeng
Pae sala nia le Mori Keraeng
Aku pae takat
Kau bak aku takat
taun
O ba apang pinga
le Mori Keraeng
Aku pae sala
Sombang Mori Keraeng
Aku lagi ge pae sala
Ata sare rempe
Ome kia ome Mori Keraeng
Tantu kia nee Mori Keraeng sama
dedek
Zari kita pae ome
kia
Ome sange rempe
Lagi le baa pang
Pinga le eta mai
ne awa mai
Le mai nee ale mai
Nee mori Keraeng
ata mesan sot
O Mori ata ndong rapa ata manga
Kau pongga aku
Le kudi na aku mai lone Kau
Paing sombang
Miu zing setang
Mata Wae Ulung
Temok
Mbore Noang
Ghan wi paro elang
kami inti
Zaa ziu susa ziu
nggami
Terjemahannya:
Mori Keraeng
Kuasa-Mu menguasai seluruh ciptaan
Kuasa-Mu menguasai langit
Kuasa-Mu menguasai bumi
Mori Keraeng
Engkau menguasai jagat raya di atas dan di bumi
Kuasa dari ujung timur sampai ujung barat
Tak ada satu makhluk punsetara dengan-Mu
Karena segala yang ada
Ada dalam kuasa-Mu
Teserah pada-Mu Mori
Kami tidak berlaku jahat
Kalau kami memang bersalah
Terserah pada-Mu Mori
Engkau sumber pengampunan
Kami tidak bersalah
Namun orang tetap mencela
Terserah pada-Mu Mori
Kami tidak bersalah
Ampunilah kami Mori
Kami sungguh tidak bersalah
Sekarang kami ditindas
Ditindas oleh si jahat
Dia menyamakan diri dengan Mori
Kami tidak berdaya ya Mori
Terus ditimpa penderitaan
Dihadang malapetaka
Terserah pada-Mu penguasa
Kuasa dari ujung timur sampai ujung barat
Karena hanya Mori Mahatahu
O penguasa segala makhluk
Engkau menghukum aku
Aku dating pada-Mu
Mohon ampun atas kesalahanku
Setan dan segala yang jahat
Penguasa laut dan darat
Sumber segala penderitaan
Dijauhkan dari pada kami
Jangan berikan kami kesusahan.
BAB IV
NILAI
SOSIAL DALAM RITUS GHAN WETON DI
KAMPUNG MBAZANG DESA BENTENGTAWA 1, KEC. RIUNG BARAT, KAB. NGADA
4.1
Konsep Nilai Sosial
4.1.1
Konsep Nilai
Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) nilai adalah sifat-sifat
yang penting atau yang berguna bagi manusia.[23]
Disisi lain, nilai juga dapat dijelaskan sebagai sesuatu yang menyenangkan atau
identik dengan apa yang diinginkan oleh manusia. Jadi nilai adalah sesuatu yang
dapat membawa kebaikan dalam kehidupan manusia.[24]
Dalam pengertian lain nilai adalah hal konkrit yang menjadi sasaran praktis
bagi kehidupan manusia yang melekat dalam dirinya dan berguna bagi orang lain.
Nilai juga dapat memelihara eksistensi manusia sehingga manusia tetap pada
tatanan kemanusiaan.[25]
The Oxford
Advanced Learner’s Dictionary of current English [26]
menjelaskan konsep nilai daari bahasa Latin: “valere” dan bahasa Inggris: “value”.
Artinya: pertama: Kualitas dari
kegunaan suatu benda, kedua: Keberhargaan
sesuatu jika dibandingkan dengan sesuatu yang lain. Didalam “Dictionary of Sociologi a Related Science”
dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai ada pada suatu benda
untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda itu yang menyebabkan menarik minat seseorang atau
kelompok (the believe capacity of any
object to satisfy a human desire). Jadi secara ontologism nilai itu adalah
sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek. Dengan kata lain nilai
adalah hakekat dari segala sesuatu yang menyebabkan satu hal pantas dihormati,
dikagumi, dikejar dan dimiliki.[27]
Dalam perspektif etika, nilai berhubungan dengan suatu keutamaan dan kewajiban
untuk melakukan sesuatu yang baik dan menghindaari kejahatan. Maka, setiap
budaya dapat didekati sebagai objek yang
menawarkan elemen penting bagi system pengetahuan dan system kepercayaan yang
dimiliki suatu komunitas budaya.
4.1.2
Konsep Sosial
Kata sosial
berasal dari kata latin “Socius” yang berarti kawan, sahabat, teman sehingga
dalam konteks yang lebih kata sosial diartikan sebagai sifat yang mendorong
manusia untuk hidup dengan manusia lain sebagai teman dalam pengembangan diri.
Kenyataan universal membuktikan bahwa pada hakikatnya manusia adalah mahkluk
sosial. Ini membuktikan pula kepada publik bahwa manusia itu tidak bisa hidup
tanpa keterlibatan orang lain. Sebagai contoh; manusia itu senatiasa dilahirkan.
Ia tidak bisa terlahir dari dirinya sendiri. Dengan demikian, sifat
ketergantungan inilah yang membuktikan bahwa manusia merupakan individu yang
sosial. Gabriel Marcel membahaskan menjadi ada (manusia) selalu berarti ada
bersama orang lain (esse ialah co-esse).[28]
Oleh karena itu para filsuf pun sampai pada sebuah “kesepakatan” menempatkan
sosialitas sebagai kodrat manusia (ens sociale).[29]
Hal serupa dapat kita hubungkan dengan keeksistensian kita sebagai mahkluk yang
berbudaya. Artinya manusia dituntut untuk menyadari serta menghidupi
nilai-nilai yang terkandung dalam budayanya. Untuk itu, manusia membutuhkan
sesamanya agar kekayaan-kekayaan yang terkandung dalam budayanya dapat
diintegrasikan kepada sesama.
Kebudayaan
dewasa ini dipengaruhi oleh suatu perkembangan yang amat pesat, dan manusia
modern sadar akan hal ini. Lebih dari itu manusia dewasa ini masih tetap sadar akan kebudayaannya.
Kesadaran ini merupakan suatu kepekaan yang mendorong manusia agar dia secara
kritis menilai kebudaayn yang sedang berlangsung.[30]
kebudayaan-kebudayaan baru. Mempertanhankan dan menerima kebudayaan yang ada
merupakan tanggungjawab manusia masa kini. Dalam kehidupan kita sebagai anggota
masyarakat istilah sosial selalu dikaitkan dengan hal-hal yang berhubungan
dengan manusia dalam masyarakat, seperti kehidupan kaum miskin di kota,
kehidupan kaum berada, kehidupan nelayan dan sebagainya. Nilai sosial juga
sering diartikan sebagai suatu sifat yang mengarah pada rasa empati terhadap
kehidupan manusia sehingga memunculkan sifat tolong menolong dari yang kuat
terhadap yang lemah, mengalah terhadap orang lain sehingga sering dikatakan
manusia mempunyai jiwa sosial yang tinggi.
Dari
pengertian-pengertian diatas maka dapat dijelaskan bahwa sosial merupakan
rangkaian norma, moral, nilai dan aturan yang bersumber dari kebudayaan suatu
masyarakat atau komuniti yang digunakan sebagai acuan dalam berhubungan antar
sesama manusia dalam masyarakat atau komunitas. Sehingga dengan demikian sosial
haruslah mencakup lebih daari seorang individu yang terikat pada satu kesatuan
interaksi, karena lebih dari seorang individu berarti terdapat hak dan
kewajiban dari masing-masing individu yang saling berinteraksi antara satu
dengan yang lainnya.
4.1.3
Konsep Nilai Sosial
Berdasarkan
uraian diatas maka konsep nilai sosial dapat dirumuskan menjadi mutu atau
kualitas pada sesuatu yang mempengaruhi manusia dalam aspeknya yang terdalam
yakni dalam relasinya dengan sesama.
Manusia merupakan makluk sosial dan juga makhluk budaya.[31]
Sebagai makhluk sosial, tentunya manusia selalu hidup bersama dalam interaksi
dan iterdependensi dengan sesamanya. Oleh karena itu, manusia tidaklah mungkin
dapat memenuhi kebutuhannya tanpa adanya bantuan orang lain, baik itu berupa
jasmaniah (segi-segi ekonomis) maupun rohani (segi spiritual). Jadi nilai
sosial merupakan nilai yang khas bagi praksis kehidupan manusia dan merupakan
ukuran sesungguhnya bagi manusia dalam kehidupannya dengan sesama. Orang yang
tidak memiliki nilai sosial adalah orang yang tidak pantas untuk hidup dalam
suatu komunitas atau kelompok masyarakat. dengan kata lain, kewajiban untuk
memiliki nilai sosial ini berasal dari kenyataan bahwa nilai-nilai sosial ini
menyangkut kehidupan manusia secara keseluruhan. Nilai sosial meliputi segala
aspek dalam kehidupan manusia, maka kewajiban sosial itu sebetulnya datang,
lahir dan berakar dalam kemanusiaan manusia itu sendiri dan bukan dari yang
lain di luar dirinya.
4.2
Nilai Sosial Dalam Ritus Ghan Weton
4.2.1 Nilai Sosial Religius
Setiap
ritus yang ada dalam kepercayaan lokal tentu memiliki muatan nilai baik nilai
sosial, nilai religious atau pun nilai moral. Gambaran-gambaran religius adalah
gambaran kolektif yang mengungkapkan realitas kolektif, upacara merupakan cara
bertidak yang terlaksana ditengah-tengah kelompok yang berkumpul itu, dan yang
dipersiapan untuk membangkitkan, melestarikan atau menciptakan kembali keadaan
mental tertentu dalam kelompok.[32]
Sebagai sistem, gambaran kolektif religius memberikan kepada kita pandangan
dasar tentang asal usul kebudayaan.
Mereka
disebut kolektif karena mereka mengekspresikan dan melambangkan suatu keadaan
mental kekaguman yang tumbuh dari kehidupan sosial yang intensif,
upacara-upacara dan persembahan. Pada titik ini masyarakat membangunkan dalam
diri anggotanya suatu perasaan Keilahian. Ritus Ghan weton merupakan sebuah
ritual makan bersama yang diadakan guna mensyukuri hasil panen yang
diperoleh masyarakat Mbazang. Ritus Ghan
Weton juga merupakan sebuah upacara adat
yang didalamnya memuat unsur kesakralan karena didalamnya mengandung
nilai religius. Ketika masyarakat berkumpul bersama dalam acara Ghan Weton mereka berdoa bersama untuk
memuliakan Mori Kraeng sebagai ucapan
syukur atas hasil panen yang mereka peroleh. Ritus ini juga memuat nilai sosial
karena dalam upacara dan pelaksanaannya terdapat nilai-nilai sosial seperti
nilai kebersamaan, kekeluargaan dan persaudaraan. Sedangkan nilai religiusnya
ialah kepercayaan akan partisipasi dan campur tangan dari Yang Maha Kuasa atau
Allah yang dalam masyarakat Riung disebut Mori
Kraeng, atas campur tangan-Nya dalam setiap kehidupan masyarakat Mbazang
khususnya dalam proses penanaman atau dalam lingkup pertanian. Dalam nilai
religius ini tampaknya masyarakat Mbazang mengungkapkan syukur melalui doa dan
tuturan adat kepada Mori Kraeng yang
di ucapkan oleh Door sebagai kepala suku atau ketua adat. Hasil panen yang
dipesembahan dalam doa yakni beras, babi dan ayam. Tuturan doa adat tersebut
yakni sebagai berikut:
O poso Wongko
Nitu wae
Woza nee wawi nee telo manuk
Aku paing na poso wongko, Nitu Wae
Zaa olo mai nuzan
Kami manga napa zat
Kami manga ghoe uma
Waling kami tungi uma nee dia-dia
Tadang-tadang koka sangka
Nee bisik darat
Ulu wea iko lone
Nee kami dia weki lawe
ngalit
Ndo kami paong ziu nggau ata mame
Ziu Nggau ata taa
Lone kau Mbo Nusi
Lengkang kami ghoe uma sait deki
Pae laza teto miki sumpot
Ghoe sait lada dupus
O miu Mbo Nusi loke zoe
Mai soka mai sok
Mai sok mai tambang
Mai tenter woda
Rapa ata ghoe le nggami ndo
Le miu soek ngai Mori
Miu Mbo Nusi loke zoe
Lawe wki dia ngalit
Teka wi laba
Mai wi saghing
Ghoe ghogho na’ang
pening
Mori Keraeng anak tala
Mai ziu nggami ghan
inung
Ata ghoe le nggami
Lengkang kami more.[33]
Terjemahan
:
O Poso Wongko
Nitu Wae
Kami persembahkan untuk-Mu beras, babi dan telur ayam
Minta pada-Mu penguasa air, penguasa jagat
Agar hujan datang pada musimnya
Karena kami masih berkumpul bersama
Untuk merayakan hasil panen kami
Jauhkanlah
binatang perusak
Jauhkanlah
segala hama penyakit
Agar
usaha kami berhasil
Kami
selamat jiwa dan badan
Kami berikan untuk-Mu
Persembahan hasil usaha kami
Pada-Mu Leluhur
Agar kami dapat mengerjakan kebun selanjutnya
Tiada sakit menimpa
Sampai akhir kerja kami
O
Leluhur
Berikanlah
kami kelimpahan
Berikanlah
kami kepuasan
Atas
semua pekerjaan kami
Karena
kamu dekat dengan Mori.
Wahai Leluhur
Berikanlah keselamatan jiwa dan badan
Berikanlah keberuntungan
Berikanlah keberhasilan
Semua usaha dan karya kami.
Mori Keraeng
Berikanlah kami makanan dan minuman
Melalui karya dan usaha kami
Supaya kami dapat bertahan hidup.
Tuturan doa diatas merupakan jenis doa
permohonan. Para peserta ritual memohon hasil panen yang berlimpah (aku paing na Poso Wongko, Nitu wae )
dari yang Ilahi dan para leluhur (O miu
mbo nusi loke zoe) serta menjauhkan mereka dari segala sakit dan penyakit (pae laza teto miki sumpot). Doa ini juga
merupakan jenis doa syukuran atas hasil panen yang diperoleh atas bekat Mori
Keraeng (Mori Keraeng anak tala, mai ziu
nggami ghan inung, ata ghoe le nggami) karena sebagai manusia mereka sadar
bahwa hasil yang diperoleh bukan hasil kerja keras mereka melainkan ada campur
tangan dari yang Kuasa dalam semua aktivitas mereka.
4.2.2
Nilai Sosial Ekonomi
4.2.2.1
Nilai Memberi
Dalam
ritus Ghan Weton nilai lain yang muncul ialah nilai sosial ekonomi yaitu nilai
memberi. Memberi berarti menyerahkan, membagi dan atau menyampaikan.[34]
Tindakan memberi ini tampak dalam tahap akhir upacara Ghan Weton yaitu tahap
Moreng yang mana setiap keluarga yang masih berhubungan darah dan juga para
tamu yang hadir dalam upacara Ghan weton untuk saling memberi hasil
panenannnya. Seperti contoh, salah satu keluarga memberikan hasil pertaniannya
seperti beras dan keluarga yang satunya memberikan hasil pertenakannya seperti
ayam.
Nilai memberi ini menjadi kental dan
dihidupi terus oleh masyarakat Mbazang khususnya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam kehidupan sehari-hari, nilai memberi ini tampak dalam setiap bentuk
kemurahan hati dari setiap masyarakat Mbazang. Karena adanya rasa kekeluargaan
dan persaudaraan, orang lain tidak dilihat sebagai yang lain dan benar-benar
lain atau asing tetapi lebih merupakan sebagai saudara atau keluarga dan
kehadirannya dalam relasi sosial mesti saling membantu dalm setiap kesusahan.
4.2.2.2
Nilai Persatuan
Nilai
persatuan juga hadir dalam ritus Ghan Weton yang menghadirkan rasa persaudaraan
dan kekeluargaan dan nilai persatuan ini tampak dalam ungkapan “Kau ghao kami kolo lone”[35] yang berarti rangkulah kami. Nilai
persatuan merupakan suatu hal yang sangat diharapkan dan perlu dijaga dalam
kehidupan masyarakat Mbazang, kususnya dalam kehidupan sehari-hari sebagai
suatu masyarakat. selain itu juga tampil harapan untuk tetap bersatu dan
seperjuangan dalam membangun kampung halaman.
4.2.3
Nilai Sosial Perkawinan
4.2.3.1
Pengertian Perkawinan
Perkawinan adalah hubungan yang
didalamnya tiap-tiap individu bertumbuh dalam kekuatan moral, kekuatan untuk
melihat apa yang benar dan baik, dan dalam kematangan.[36] Perkawinan
adalah perikatan yang suci, yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi
perintah dan anjuran Tuhan yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan
berumah tangga serta berkerabat, bertetangga berjalaan dengan baik sesuai
dengan ajaran dan kepercayaan agama masing-masing.
Perkawinan juga diartikan sebagai
ikatan jasmani dan rohani yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang bahagia, sejahtera dan rukun sesuai dengan anjuran agama.
Perkawinan adalah perjalanan hidup berumah tangga untuk mencapai kehidupan yang
diidam-idamkan. Perkawinan bukanlah hal semata-mata hanya hal bersetubuh atau
memenuhi hasrat seksual antara seorang pria dan seorang wanita, tetapi untuk
saling memelihara dan memberi semangat hidup. Dalam pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974
dikatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.
Perkawinan dipandang sebagai suatu usaha untuk
mewujudkan kehidupan yang berbahagia yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Oleh karena itu, untuk maksud tersebut diperlukan adanya peratuaran yang akan
menentukan persyaratan apa yang harus dipenuhi. Jadi menurut UU No. 1 tahun1974 ialah bahwa para pihak yang
besangkutan , karena perkawinan formil merupakan suami isteri yang baik bagi
mereka dalam hubungannya satu sama lain maupun bagi mereka dalam hubungannya
dengan masyarakat lain.
Pengertian ikatan batin dalam
perkawinan berarti bahwa dalam batin suami isteri yang bersangkutan terkandung
niat yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk dan membina keluarga bahagia dan kekal abadi. Makna perkawinan dalam
hubungan antara pria dan wanita bukan hanya sebatas ikatan lahiriah semata,
melainkan “suatu persekutuan yang saling mengikat, yang cocok agar mereka
saling memberi kehangatan dan rasa betah, memuaskan dambaan seksual pasangan
sebagaimana menghasilkan keturunan dan memungkinkan pendidikan anak”.[37]
4.2.3.2
Perkawinan Dalam Ritus Ghan Weton
Dalam ritus Ghan Weton juga terdapat nilai sosial perkawinan. Pada momen ini
pihak keluarga dari laki-laki (anak wina)
dan pihak keluarga dari perempuan (anak
rana) akan dipertemukan di Mboang
Meze (rumah adat) untuk membahas tentang anak mereka yang sedang menjalin
hubungan asmara. Orang yang bersangkutan wajib hadir pada momen ini (pria dan
wanita yang menjalin hubungan asmara). Dalam pertemuan ini akan terjadi relasi
keakraban dalam persaudaraan mempererat ikatan persaudaraan antara kelurga
laki-laki dan keluarga perempuan. Setelah mendapat pesetujuan dari kedua belah
pihak, (orang tua laki-laki dan orang perempuan), maka tahap selanjutnya yakni
pasangan muda itu akan memasuki rumah baru (Tuke
Mboang). Hewan kurban yang dibawa dalam acara ini yakni babi dan ayam.
Darah babi dan ayam akan dioleskan pada pintu rumah serta tiang induknya sambil
mendaraskan doa adat yang dipimpin oleh ketua adat (Door). Untaian doa tersebut yakni sebagai berikut:[38]
Kami pae kesuk
pael pool
Neang le Ndiwal nee Lobak
Pavor nee Dazang
Mendu nee Mat
Tepot nee tilir
Kami tana kau Mori
Kaleng
kau bok aur
Kami
roko niing golo
Roko
tiku wae
Weki
dia ngalit lawe
Kau Mori Keraeng
Mesan Pain
Kami roko niing
Mboang
Zaa laza riong
Zaa miki sumpot
Dia rapang nggami
Daat rapang ata
Data rapang puti
pezuk
Ata ziu nggami
laza
Mata Wae Ulung Temok
Nitu tana Poso Wongko
Miu
kolo wea
Rapang
nggami sangga kolo lone
Weki
lawe ngalit dia
Terjemahan:
Kami tidak berbuat curang
Sejak Ndiwal dan Lobak
Pavor dan Dazang
Sejak awal diciptakan
Sampai akhir hidup kami
Kami tanya pada-Mu Mori Keraeng
Mohon jawaban-Mu
Kami mau tinggal didalam rumah ini
Menjalankan aktivitas hidup kami
Mohon keselamatan jiwa dan badan
Kepada-Mu Mori yang satu-satunya, kami mohon
Kami mau tinggal dalam rumah ini
Biarlah penderiataan jangan menimpa kami
Janganlah setan mencelakakan kami
Biarlah keselamatan jadi milik kami
Penderitaan jauh dari kami
Kejahatan adalah perbuatan setan
Asal segala kebinasaan
Penguasa segala yang ada
Penyelamat suku dan rumah kami.
Jauhkan kejahatan dari rumah kami
Biarlah milik kami hanyalah yang baik
Agar kami selamat jiwa dan badan.
Inti dari tuturan doa diatas adalah
memohon kepada Mori Keraeng agar kehidupan keluarga tetap harmonis dan mempererat relasi persaudaraan antara
sesama dalam masyarakat.
4.3
Refleksi Kultural:
Ghan
Weton adalah suatu upacara adat di kampung Mbazang, Kec.
Riung Barat. Orang Mbazang menyebutnya sebagai ritus ghan weton sebab upacara tersebut dilakukan sekali setahun sesui
dengan kalender adat yang sudah disepakati. Kata ghan weton sendiri artinya ialah makan jewawut yaitu suatu tanaman
padi-padian sebagai pengganti padi. Sebelum masyrakat Mbazang mengenal tanaman
padi, bahan makanan harian mereka adalah weton
(jewewut). Walaupun ada pergeseran pola makanan (bahan dasar makanan)
tetapi weton tetap dipelihara. Saat
ini tanaman weton hampir punah sebab
tidak ada yang membudidayakannya lagi. Untuk kebutuhan ghan weton diganti dengan padi, jadi bahan dasar makanan pada
upacara tersebut bukan lagi weton tetapi
padi yang dimasak menjadi nasi.
Upacara ghan weton sebenarnya adala upacara syukur panen, ketika masyarakat
mendapatkan panenan yang melimpah mereka akan melakukan upacara syukuran. Syukuran
ini dialamatkan kepada pertama-tama Yang
Ilahi (Mori Kraeng), sebab panenan
melimpah semata-mata adalah berkat dari Mori
Kraeng, pemberiannya dan anugerahnya. Perlulah masyarakat Mbazang melakukan
upacara syukuran sebagai ucapan terima kasih kepada Sang Pemberi Hidup. Selain ucapan syukur
kepada Mori Kraeng, tetapi juga
ucapan syukur kepada para leluhur yang telah meninggal (Mbo Nusi, Wura Bapu), sebab masyarkata Mbazang yakin bahwa para
leluhur ini adalah pengantara manusia dan Yang Ilahi. Para leluhur atau Mbo Nusi, selalu ada bersama dan
menemani keseharian hidup Orang Mbazang walau dalam wujud yang tidak bisa
dilihat oleh mata telanjang manusia. Panenan yang melimpah juga diyakini sebagai
dan campur tangan mbo nusi. Maka pada
saat melakukan upacara ghan weton selalu
ada doa yang dialamtkan kepada leluhur.
Dari fakta yang ada upacara ghan weton tidaklah dilakukan oleh
perorangan atau masing-masing individu namun dilakukan secara bersama dalam
suatu kolektivitas yaitu semua masyarakat Mbazang, bahkan ghan weton menjadi upacara wajib untuk semua masyarakat. Adapun
mekanisme upacara seperti yang telah diulas pada halaman-halaman sebelumnya. Ghan weton menyiratkan berbagai nilai
salah satunya nilai sosial yang bisa digali dan dihidupi demi keberlangsungan
upacara. Nilai sosial tersebut mencakup nilai sosial religius, nilai sosial
ekonomis dan nilai sosial perkawinanan.
Nilai
sosial adalah hal-hal baik, ideal atau tujuan serta cita-cita yang menjadi
pegangan bersama karena nilai tersbut benar, baik dan indah untuk suatu
kehidupan bersama. Dalam konteks tulisan ini nilai sosial adalah suatu ideal
hidup bersama masyarakat Mbazang yang ditemukan salah satu melalui upacara ghan weton. Nilai sosial religius dari ghan weton yaitu karena dalam upacara
tersebut selalu ada doa dan harapan yang dialamatkan kepada Mori Kraeng demi persatuan dan kesatuan
anggota suku. Sedangkan nilai sosial ekonomis alasannya karena dalam upacara
tersebut ada kegiatan dimana antara anggota suku saling member makanan mereka.
Dan yang terakhir nilai sosial perkawinan sebab dalam upacara ghan weton diatur juga system perkawinan
yang memperkokoh kedua belah pihak.
Dari nilai-nilai sosial ini asumsi penulis, hal tersebutlah yang menjadikan upacara ghan weton tetap dilakukan dan diwarisi secara turun-temurun. Yang terpenting dari upacara terbut bukanlah mekanismenya tetapi nilai yang tersirat di balik itu. Nilai sosial menadi pegangan bagi masyarakat yang benar-benar sadar budaya.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Manusia adalah mahluk sosial, sebab sejak dilahirkan
manusia selalu harus berinteraksi dengan orang lain. Interaksi dengan orang
lain menandakan bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri, manusia hanya ada dan
akan selalu ada karena orang lain. Dalam kebersamaan dengan orang lain
terciptalah kelompok-kelompok hidup bersama, ciptakan instansi dan organisasi
serta ciptakan budaya.
Masyarakat Mbazang sebagai mahluk
sosial tinggal di suatu daerah yang bernama Mbazang dan membentuk perkampungan
serta kebudayaan yang menjadi ideal serta patokan tingkah laku orang Mbazang. Ghan Weton sebagai salah satu dari hasil
kebudayaan ciptaan masyarakat Mbazang masih eksis hingga kini sebab terkandung
banyak nilai. Nilai yang paling menonjol dari praktek ghan weton justeru adalah nilai sosial. Sebagai ciptaan sosial dan
darinya juga diciptakan nilai sosial. Upacara ghan weton memang bukanlah milik masyarakat Mbazang semata tetapi
juga dipraktekkan pada masyarakat –masyarakat lain sekitar kampung Mbazang. Upacara
ghan weton melibatkan banyak orang
dan bahkan hanya akan menjadi upacara jika itu dilakukan dalam kebersamaan.
Dari fakta terbukti bahwa banyak
anggota masyarakat yang entah karena tahu dan mau ataupun juga diakibatkan oleh
kurangnya edukasi cultural maka terjadi penyelewengan terhadap ghan weton sebagai upacara. Pertama
adalah digantinya weton menjadi
padi/nasi. Hal ini adalah polemic dan juga pertanyaan yang tidak selesai bagi
kaum muda, sebenarnya apa dan bagaiaman itu weton
sebab yang ada hanyalah padi/nasi? Tumbuhan weton saat ini sudah hampir punah dari masyarakat Mbazang, masikah
upacara itu disebut ghan weton, sementara
yang ada adalah ghan baku. Tantangan
kedua ialah penyelewengan dalam detail-detail upacara, kekurangseriusan
masyarakat memaknai ghan weton sehingga
menjadi hambar dan hampir saja kehilangan nilai. Hal ini harus diperhatikan
oleh semua anggota masyarakat. Upaya untuk melesetarikan budaya lokal harus
segera dilakukan. Para pelajar diharapkan meneliti dan menginventaris budaya
Mbazang ini demi pengenalan di masa depan.
Sebagai bukti keprihatinan penulis
terhadap budaya lokal maka diputuskan untuk meneliti dan menginventarisir dalam
sebuah tulisan skripsi yang diberi judul Makna Sosial Dari Praktik Ritual Ghan Weton
Pada Masyarakat Mbazang, Kec. Riung Barat, Kab. Ngada-NTT.
5.2 Catatan Kritis
Penulis sadar bahwa hasil penelitian dan temuan
penulis yang diungkapakn melalui karya ini belumlah sempurna. Di sana sini
masih banyak kekurangan yang belom bisa ditambahkan. Maka penulis memohon
kepada para pakar budaya dan siapa saja yang memahami secara mendalam budaya
Mbazang untuk memberi masukan dan kritik yang membangun.
5.3 Saran
Saran penulis pertama kepada para tokoh budaya agar
memberi edukasi cultural terhadap generasi mudah demi kelangsungan eksistensi
upacara-upacara. Para tokoh budaya yang dimaksud ialah tua-tua adat yang masih
hidup. Edukasi tersbut berupa cara hidup dan cerita-cerita lisan tentang alasan
serta konsekwensi mengapa masyarkat Mbazang harus berbudaya dan tidak boleh
melanggar berbagai tuntutan yang disepakati.
Kerja keras ini tidak hanya dilimpahkan kepada tua-tua
adat, tetapi kapada generasi muda teristimewa kaum terpelajar seperti mahasiswa
yang berasal dari Mbazang supaya selalu ada waktu untuk meneliti dan menulis
tentang kebudayaan Mbazang, tentu orang yang mencintai budaya adalah orang yang
mencintai diri sendiri sebab diri kita dibesarkan dalam lingkungang budaya di
mana kita hidup.
Saran kepada masyrakat Mbazang pada umumnnya. Budaya
adalah budaya anda, baik dan buruknya adalah hasil dari apa yang anda lakukan.
Pada dasarnya manusia selalu ingin hal-hal baik dan benar, anda sebagai
masyarakat Mbazang pencinta budaya juga praktisi budaya agar mempraktekkanya
secara baik sehingga member kesan yang baik terhadap generasi kemudia.
DAFTAR PUSTAKA
Kamus:
Bagus, Lorens.,
Kamus Filsafat, Jakarta:
Gramedia, 1994
Buku-Buku:
Arndt, Paul.,
Aus der Mythologie und Religion der Riunger, Netherland: Overgedruckt uit het
Tijdschrift voor
Ind. Taal, Land-en Volkenkunde Deel LXXXV, Afl. 3, 1935
Bakker, Anton., Antropologi Mertafisik, Yogyakarta:
Kanisius, 2000
Bertens, K., Etika, Jakarta, Gramedia, Pustaka Utama 1993
Bertens, K. Filsafat Barat Modern. Prancis Jilid II Ed.
Revisi dan perluasan, Jakarta:
Gramedia, 2001
Bolong, Bertolomeus dan Cyrilus Sunggal., Tuhan Dalam Pintu Pazir, Tinjauan
Filosofis
Tetang Tuhan Dalam Kepercayaan Asli
Orang Riung, Flores, Ende: Penerbit Nusa Indah, 1999
Dhavamony, Mariasuasi.,
Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius,
1995
Downey,
Michael (ed.)., The New Dictionary of Catholic Spirituality,
Minesota: The Liturgical,
1993
Homes,
Anne., Perubahan Pria Dan Wanita Dalam Gereja Dan Masyarakat, Yogyakarta:
Kanisius, 1992
Heuken, A., “Agama”, dalam Ensiklopedi Gereja,
Jakarta: Ichtiar Baru, 1995
Hornby, A. S., The Oxford Advanced Learner’s Dictionary of
Current English, New York:
Oxford University
Press, 1974
Kebung, Konrad., Filsafat Berpikir Orang Timur (Indonesia,
Cina dan India), Jakarta: Prestas
Pustaka, 2006
Kebung, Konrad., Manusia Dan Diri Yang Utuh Ende:
Nusa Indah, 2006
Kusno B. S., Pengantar Tata Bahasa Indonesia,
Bandung: Rosda Karya,1990
Mudji Sutrisno, Ranah-Ranah Kebudayaan Yogyakarta:
Kanisius, 2009
Norbert Jegalus, FIlsafat Sosial (bahan Ajar), Kupang:
Fakultas Filsafat Unwira, 2018
Sadly, Hasan., Ensiklopedi Umum, Yogyakarta: Kanisius, 1987
Salim, Agus., KBBI, Edisi II, Tim Penyusun Pusat
Pembinaan Pengembangan Bahasa, Jakarta
Balai Pustaka, 1990
Sihotang, Kasdin., Filsafat Manusia. Upaya Membangkitkan
Humanisme, Yogyakarta:
Kanisius, 2009
Pasaribu, Saut., (Penerj.), Politik Aristoteles Jakarta:
Narasi Pustaka-Promothea, 2016
Peschke, Karl-Heinz., Christian Ethics. Moral Theology In The
Light of Vatican II. Vol. II,
Bangalore: Theology Publication In India St. Peter’s
Pontifical Seminary, 1992
Peursen, C. A. Van., Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 1988
NAMA-NAMA INFORMAN
Bpk. Yoakim Waling, Wawancara 23
september 2018, tersimpan dalam alat rekam.
Bapak Wilfridus Lando, Wawancara, Mbazang, 19 Juli 2018. Tersimpan di data pribadi.
Bpk. Gabriel Songka, Wawancara,
11 Juli 2018 di Rato, tersimpan di file.
Bpk. Siprianus Tuak, Wawancara 23, Februari, 2019, tersimpan
di file.
Bpk. Siprianus Tuak, wawancara 23 Februari 2019, tersimpan di file.
Bpk. Yosep Sole, wawancara 25 november 2018, tersimpan dalam alat rekam.
Bpk. Yosep Sole, wawancara 25 november 2018, tersimpan dalam alat rekam.
Bpk. Gabriel Songka, Wawancara,
11 Juli 2018 di Rato, tersimpan di file.
[1] Anton Bakker, Antropologi
Mertafisik, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 35-39
[2] Prof. Dr. Konrad Kebung,
Ph.D., Filsafat Berpikir Orang Timur (Indonesia, Cina dan India), (Jakarta:
Prestasi Pustaka, 2011), hlm. 248
[3] Saut
Pasaribu (Penerj.), Politik Aristoteles (Jakarta: Narasi Pustaka-Promothea, 2016),
hal. 3.
[4]Ibid., hal. 6
[5] Dr.Konrad
Kebung, SVD, Manusia Dan Diri Yang Utuh (Ende: Nusa Indah, 2006), hal.
98.
[6] Mudji
Sutrisno, SJ, Ranah-Ranah Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hal. 29.
[9]
Bertolomeus Bolong OCD dan Cyrilus
Sunggal., Tuhan Dalam Pintu Pazir, Tinjauan Filosofis Tetang Tuhan Dalam
Kepercayaan Asli Orang Riung, Flores, (Ende:Penerbit Nusa Indah, 1999),
Hlm. 22.
[14] Paul Arndt, SVD, Aus
der Mythologie und Religion der Riunger, (Netherland: Overgedruckt uit
het Tijdschrift voor Ind. Taal, Land-en Volkenkunde Deel LXXXV, Afl. 3, 1935),
hlm. 366.
[15]Michael Downey (ed.), The
New Dictionary of Catholic Spirituality (Minesota: The Liturgical,
1993), hlm. 832
[17] Bpk. Siprianus Tuak, Wawancara 23,
Februari, 2019, tersimpan di file.
[18] Bpk. Siprianus Tuak, wawancara 23
Februari 2019, tersimpan di file.
[19] Bpk. Yosep Sole, wawancara 25
november 2018, tersimpan dalam alat rekam.
[21] Bpk. Yosep Sole, wawancara 25 november 2018, tersimpan dalam alat rekam.
[22] Bpk. Gabriel
Songka, Wawancara,
11 Juli 2018 di Rato, tersimpan
di file.
[23] Agus Salim,
KBBI,
Edisi II, Tim Penyusun Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa, Jakarta
Balai Pustaka, 1990, hal. 690
[26] A. S.
Hornby, The Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (NewU York: Oxford University Press, 1974),
hlm. 950
[28] K. Bertens, Filsafat
Barat Modern. Prancis Jilid II Ed. Revisi dan perluasan, (Jakarta:
Gramedia, 2001), hlm. 75
[29] Kasdin Sihotang, Filsafat
Manusia. Upaya Membangkitkan Humanisme, (Yogyakarta: Kanisius, 2009),
hlm. 102
[31] Dr. Norbert
Jegalus, FIlsafat Sosial (bahan Ajar), (Kupang: Fakultas
Filsafat Unwira,2018), hlm. 2
[32] Djuretna A.
Imam Muhni, Moral Religi Menurut Emile Durkheim & Henri Bergson,
(Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 47.
[33] Paul Arndt,
SVD, Op.
Cit.,hlm. 379
[36] Anne
Homes, Perubahan Pria Dan Wanita Dalam Gereja Dan Masyarakat, (Yogyakarta:
Kanisius, 1992), hlm. 159.
[37] Karl-Heinz Peschke, Christian
Ethics. Moral Theology In The Light of Vatican II. Vol. II, (Bangalore:
Theology Publication In India St. Peter’s Pontifical Seminary, 1992), hlm. 470
[38] Paul Arndt, SVD.,Op. Cit., hlm 367.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar