HUKUK RETRIBUSI DALAM
PERIBAHASA ORANG MARONGGELA VS ORANG ISRAEL
Pengantar
Peribahasa
adalah saah satu jenis puisi yang mengandung arti dan nilai tertentu bagi sang
penutur dan juga bagi yang mendengarkannya. Peribahasa lahir dari kehidupan
masyarakat dan berkembang pada masyarakat itu juga. Adapun sifat dasar
peribahasa adalah sebagai filosofi hidup masyarakat yang diverbalkan atau juga
sebagai nasehat, pujian dan kritikan.
Pada tulisan singkat ini, saya akan
memaparkan dari hasil pencarian saya tentang peribahasa Orang Maronggela dan peribahasa yang terdapat dari Kitab Sastra Kebijaksanaan Israel. Titik berat
pencarian saya difokuskan pada penemuan hukum retribusi dalam peribahasa
bersangkutan. Apakah terdapat penegasan atau pengingkaran terhadap hukum retribusi.
Tulisan ini diawali dengan pengantar singkat, kemudia isi. Dalam bagian isi ini
akan dipaparkan secara singkat siapa itu orang Riung, bagaimana bunyi
peribahasa mereka, perbandingannya dengan peribahasa dalam kitab Keijaksanaan
Israle dan tentu diakhiri dengan refleksi dari penulis. Maka judul tulisan ini
adalah refleksi tentang peribahasa Orang Riung dan Orang Israel.
Orang Riung
Berbicara tentang orang berarti yang kita
pahami adalah sekelompok individu. Orang Riung merujuk pada sekelompok individu
atau masyarakat yang berasal dan atau tinggal di Riung, sedangkan Riung adalah
nama suatu etnis yang ada di kabupaten Ngada, NTT. Secara geopolitik Riung terintegrasi ke dalam kabupaten Ngada,
namun secara etnis Ia lebih mirip ke kebudayaan Manggarai.
Dalam filsafat budaya dikatakan bahwa di
mana ada manusia pasti akan muncul kebudayaan, sebab kebudayaan itu hasil dari
olah pikir, yang sebagian diwujudkan dalam bentuk verbal literer maupun artefak
serta gaya hidup tertentu. Peribahasa tentu adalah bagian dari budaya yang
mewujud dalam kata. Kebudayaan orang Riung telah menetaskan banyak
kebijaksanaan dalam bentuk peribahasa. Berikut saya akan memaparkan salah satu
peribahasa Orang Riung.
Peribahasa Riung ;
contoh peribahasa
Ata
kolo olo kolo muzi,
Alak
le Mori Keraeng,
Puak
wuan sepuk sokon,
Maat
da’i zera puan,
Taun
taan.
Peribahasa jenis ini bisa disamakan dengan
peribahasa dalam bentuk kalimat lain tapi mengungkapakan hal yang sama :
Aikle
ata tuka zua kewong telu,
Koe
pentang dean, taun taan.
Dalam bentuk yang lebih singkat terdiri
dari dua kata saja, misalnya: “kolo olo
kolo muzi” arti harafiahnya: ke depan, ke belakang. Suatu ungkapan yang
menggambarkan orang yang tidak memilki pendirian, selalu berubah-ubah. “zua telu” (tiga empat), tidak fokus “pusi
kedu’ (menyerungkan dan mencabut kembali). Inilah hal-hal yang tidak
disukai tentu akan mendatangkan bencana bagi si pelaku.
Makna peribahasa
Pesan
dari kalimat bijak di atas sederhana saja sebenarnya, bahwa manusia harus hidup
jujur, tetap konsisten pada pendirian, tidak menyembuyikan kebenarana. Di
hadapan Tuhan sebagai hakim yang adil, manusia dituntut untuk hidup jujur, baik
terhadap Tuhan maupun sesama. Sikap mendua atau sikap ‘muka belakang’ tidak disenangi oleh sesama dan bahkan akan dihukum
oleh Tuhan. Hal ini dipralelkan dengan
bunyi kata bijak dalam sastra Israel seperti yang terungkap
Peribahasa Dalam
Kitab Kebijaksanaan Israel
Contoh Amsal 11:19
Siapa berpegang
pada kebenaran yang sejati akan hidup,
Tetapi siapa mengejar kejahatan,
menuju kematian.
Makna Amsal 11:19
Bunyi kalimat ini adalah sebagai suatu hukum moral
universal, bahwa hidup itu selalu ada alasan serta konsekwensinya. Yang berlaku
baik atau benar pasti akan mendapat kebahagiaan, diberkti Tuhan, dicintai oleh
sesama. Hal ini dikontraskan dengan orang yang berlaku jahat, pasti mendapatkan
ganjaran buruk, berupa kebinasaan, dibenci oleh Tuhan dan sesama.
Hukum Retributuif
Jelas sekali dua peribahasa di atas
menunjukan hukum retribusi, yang jahat mendapat kesusahan dan yang baik mendapat
berkat. Konsep ini sebenarnya berlaku universal dan menjadi suatu kebenaran
umum yang diterima. Pembalasan akan perbuatan seseorang terjadi selama dia masi
hidup, maka ketika kita berjumpa dengan orang jahat pasti dia dikuculkan, dan
orang baik dipuji (reward and
punishment).
Orang
tidak sangat memfokuskan di kehidupan setalah saat ini sebab tidak ada konsep
kehidupan setelah kehidupan sekarang, hanya ada kepercayaan akan eksistensi
leluhur yang sudah meninggal dan jiwa mereka bersatu di suatu tempat yang
namanya Lau Wura. Konsep Lau Wura ini sama dengan Hades dalam tradisi Yunani atau Sheol dalam konsep orang Yunani. Sejauh
yang saya pahami kedua konsep ini mau menerangkan bahwa ada suatu tempat dimana
semua jiwa orang yang telah meninggal akan ke sana, entah jiwa yang baik
ataupun yang jahat. Menarik untuk direfleksikan bahwa pembalasan akan kebaikan
dan kejahatan seseorang itu terjadi selama Ia masih hidup di dunia ini, bukan
nanti ketika Ia mati.
Penutup
Hukum
retribusi itu beraku universal. Banyak orang membahasakan dalam bentuk kalimat
bijak berupa pepatah dan peribahasa. Hal ini adalah hasih refleksi orang-orang
setempat sebagai suatu keyakinan yang mana keyekinan ini harus diteruskan ke
generasi berikutnya. Anak-anak seharusnya mengikuti nasehat orang tua yang di
sana terimplisit banyak bentuk hukum retributif.
Ulasan
di atas telah memperlihatkan dua contoh peribahasa dari orang Riung dan orang
Israel. Bahwa peribahasa yang berkembang di Timur Tengah saat itu juga terdapat
di budaya-budaya lokal, maka adalah sangat baik jika para generasi saat ini mengindahkannya
dan mengaplikasikan dalam tindakan mereka.
Buku bacaan:
1. Alkitab, Weieden, Wim van der., Seni Hidup, Yogyakarta, 1995.
2. Bertolomeus Bolong, OCD, Drs. Cyrilus Sungga S., Tuhan Dalam Pintu Pazir, Ende,1999.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar