Senin, 26 Oktober 2020

Hukum Retribusi Orang Maronggela

 

HUKUK RETRIBUSI DALAM

PERIBAHASA ORANG MARONGGELA VS ORANG ISRAEL

Pengantar

            Peribahasa adalah saah satu jenis puisi yang mengandung arti dan nilai tertentu bagi sang penutur dan juga bagi yang mendengarkannya. Peribahasa lahir dari kehidupan masyarakat dan berkembang pada masyarakat itu juga. Adapun sifat dasar peribahasa adalah sebagai filosofi hidup masyarakat yang diverbalkan atau juga sebagai nasehat, pujian dan kritikan.

Pada tulisan singkat ini, saya akan memaparkan dari hasil pencarian saya tentang peribahasa Orang Maronggela dan peribahasa yang terdapat dari Kitab Sastra Kebijaksanaan Israel. Titik berat pencarian saya difokuskan pada penemuan hukum retribusi dalam peribahasa bersangkutan. Apakah terdapat penegasan atau pengingkaran terhadap hukum retribusi. Tulisan ini diawali dengan pengantar singkat, kemudia isi. Dalam bagian isi ini akan dipaparkan secara singkat siapa itu orang Riung, bagaimana bunyi peribahasa mereka, perbandingannya dengan peribahasa dalam kitab Keijaksanaan Israle dan tentu diakhiri dengan refleksi dari penulis. Maka judul tulisan ini adalah refleksi tentang peribahasa Orang Riung dan Orang Israel.

Orang Riung

Berbicara tentang orang berarti yang kita pahami adalah sekelompok individu. Orang Riung merujuk pada sekelompok individu atau masyarakat yang berasal dan atau tinggal di Riung, sedangkan Riung adalah nama suatu etnis yang ada di kabupaten Ngada, NTT. Secara geopolitik  Riung terintegrasi ke dalam kabupaten Ngada, namun secara etnis Ia lebih mirip ke kebudayaan Manggarai.

Dalam filsafat budaya dikatakan bahwa di mana ada manusia pasti akan muncul kebudayaan, sebab kebudayaan itu hasil dari olah pikir, yang sebagian diwujudkan dalam bentuk verbal literer maupun artefak serta gaya hidup tertentu. Peribahasa tentu adalah bagian dari budaya yang mewujud dalam kata. Kebudayaan orang Riung telah menetaskan banyak kebijaksanaan dalam bentuk peribahasa. Berikut saya akan memaparkan salah satu peribahasa Orang Riung.

Peribahasa Riung ;

contoh peribahasa

Ata kolo olo kolo muzi,

Alak le Mori Keraeng,

Puak wuan sepuk sokon,

Maat da’i zera puan,

Taun taan.

Peribahasa jenis ini bisa disamakan dengan peribahasa dalam bentuk kalimat lain tapi mengungkapakan hal yang sama :

Aikle ata tuka zua kewong telu,

Koe pentang dean, taun taan.

Dalam bentuk yang lebih singkat terdiri dari dua kata saja, misalnya: “kolo olo kolo muzi” arti harafiahnya: ke depan, ke belakang. Suatu ungkapan yang menggambarkan orang yang tidak memilki pendirian, selalu berubah-ubah. “zua telu” (tiga empat), tidak fokus  “pusi kedu’ (menyerungkan dan mencabut kembali). Inilah hal-hal yang tidak disukai tentu akan mendatangkan bencana bagi si pelaku.

Makna peribahasa

            Pesan dari kalimat bijak di atas sederhana saja sebenarnya, bahwa manusia harus hidup jujur, tetap konsisten pada pendirian, tidak menyembuyikan kebenarana. Di hadapan Tuhan sebagai hakim yang adil, manusia dituntut untuk hidup jujur, baik terhadap Tuhan maupun sesama. Sikap mendua atau sikap ‘muka belakang’ tidak disenangi oleh sesama dan bahkan akan dihukum oleh Tuhan.  Hal ini dipralelkan dengan bunyi kata bijak dalam sastra Israel seperti yang terungkap

Peribahasa Dalam Kitab Kebijaksanaan Israel

Contoh Amsal 11:19

            Siapa berpegang pada kebenaran yang sejati akan hidup,

            Tetapi siapa mengejar kejahatan, menuju kematian.

Makna Amsal 11:19

            Bunyi kalimat ini adalah sebagai suatu hukum moral universal, bahwa hidup itu selalu ada alasan serta konsekwensinya. Yang berlaku baik atau benar pasti akan mendapat kebahagiaan, diberkti Tuhan, dicintai oleh sesama. Hal ini dikontraskan dengan orang yang berlaku jahat, pasti mendapatkan ganjaran buruk, berupa kebinasaan, dibenci oleh Tuhan dan sesama.

Hukum Retributuif

Jelas sekali dua peribahasa di atas menunjukan hukum retribusi, yang jahat mendapat kesusahan dan yang baik mendapat berkat. Konsep ini sebenarnya berlaku universal dan menjadi suatu kebenaran umum yang diterima. Pembalasan akan perbuatan seseorang terjadi selama dia masi hidup, maka ketika kita berjumpa dengan orang jahat pasti dia dikuculkan, dan orang baik dipuji (reward and punishment).

 Orang tidak sangat memfokuskan di kehidupan setalah saat ini sebab tidak ada konsep kehidupan setelah kehidupan sekarang, hanya ada kepercayaan akan eksistensi leluhur yang sudah meninggal dan jiwa mereka bersatu di suatu tempat yang namanya Lau Wura. Konsep Lau Wura ini sama dengan Hades dalam tradisi Yunani atau Sheol dalam konsep orang Yunani. Sejauh yang saya pahami kedua konsep ini mau menerangkan bahwa ada suatu tempat dimana semua jiwa orang yang telah meninggal akan ke sana, entah jiwa yang baik ataupun yang jahat. Menarik untuk direfleksikan bahwa pembalasan akan kebaikan dan kejahatan seseorang itu terjadi selama Ia masih hidup di dunia ini, bukan nanti ketika Ia mati.

Penutup

            Hukum retribusi itu beraku universal. Banyak orang membahasakan dalam bentuk kalimat bijak berupa pepatah dan peribahasa. Hal ini adalah hasih refleksi orang-orang setempat sebagai suatu keyakinan yang mana keyekinan ini harus diteruskan ke generasi berikutnya. Anak-anak seharusnya mengikuti nasehat orang tua yang di sana terimplisit banyak bentuk hukum retributif.

            Ulasan di atas telah memperlihatkan dua contoh peribahasa dari orang Riung dan orang Israel. Bahwa peribahasa yang berkembang di Timur Tengah saat itu juga terdapat di budaya-budaya lokal, maka adalah sangat baik jika para generasi saat ini mengindahkannya dan mengaplikasikan dalam tindakan mereka.

Buku bacaan: 

1. Alkitab, Weieden, Wim van der., Seni Hidup, Yogyakarta, 1995. 

2. Bertolomeus Bolong, OCD, Drs. Cyrilus Sungga S., Tuhan Dalam Pintu Pazir, Ende,1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Perihal Hidup: Sejak awal 2023, saya sudah disibukkan dengan satu pekerjaan baru yakni penyelenggara Pemilu persisnya panwaslu desa (PKD...