CUKUP
Aku bukanlah seorang yang pandai merangakai kata. Tapi aku selalu mengekspresikan rasa melalui kata. Walau pada momen tertentu aku yakin bahwa kata tidak pernah cukup mewakili rasa. Masih sejuta yang tetap tersembunyi di balik dada ini. aku mungkin berusaha mengekspresikannya melalui music, cuman musikku pun seribu tingkat di bawah Mozart. Rasa ini tetaplah rasa, tidak seorangpun yang sungguh memahaminya selain diriku dan juga kadang-kadang Tuhan. Yah, aku mengatakannya kadanga-kadang sebab bagiku Tuhan tidak pernah sungguh peduli. Dia diam. Dia hanya ada kalau aku menganggapnya ada, dan akupun tidak pernah tahu apakah Dia masih tetap ada jika aku mengabaikannya.
Entah ada atau tidak, bagiku saat ini Tuhan absen. Mungkin
ini terlalu naif untuk diungkapkan, tapi aku punya bukti kok. Tentu aku tidak
mengikuti logika santo Thomas Aquias yang mengajukan lima jalan untuk mengerti
Allah. Aku hanya punya satu bukti bahwa Tuhan itu diam. Apakah diam manandakan
Dia tidak ada? Aku juga tidak tahu, namun diam juga bukan berarti Dia ada.
Kesimpulan nakalku kadang menyamakan diam itu dengan ketiadaan. Yah, aku selalu
berusaha merenungkannya tapi hingga kini hanyalah ketiadaan yang kutemukan. Para
guruku sering bilang kalau Tuhan itu akan semakin sulit dipahami jika kita
berusaha memahami-Nya. Lah, buat apa aku habiskan waktu mempelajari sesuatu
yang akhirnya akupun tidak akan tahu? Katanya setelah kematian barulah kita
paham semua yang menjadi misteri di dunia ini. kamu akan memahami neraka, surga,
Tuhan, malaikat. Ternyata Tuhan hanya dipahami oleh orang yang sudah mati. Berati
tidak relevan bagi kita yang masih hidup.
Merenungkan semua ini, mempertanyakan eksistensi Tuhan
hingga menghantarkanku pada suatu titik keraguan akan keberadaannya. Keraguanku
akan Tuhan ternyata membawa effek yang sangat besar bagi kehidupanku. Yah,
Tuhan sebenarnya adalah inti dari kehidupanku, pusat dari panggilanku. Tuhan
semestinya adalah penggerak yang menarikku ke dalam lingkaran Karmel ini. tuhan
adalah alasan aku menjadi seorang biarawan hingga pada hari ini. bayangkan
seorang religious tanpa Tuhan, itu sama seperti teknologi tanpa sains, atau
sama seperti marxisme tanpa Karl Marxs.
Hmmmm, kalau Tuhan memang bukan untuk dipahami, lantas apa
manfaat akal? Bukankah iman tetap membutuhkan akal budi. Apakah tuhan yang
berusaha aku pahami melalui akal akan berbeda dengan tuhan yang ada dalam
hatiku? Simon Petrus L. Tjahjadi dalam bukunya tuhan para filsuf dan ilmuwan, menunjukan bahwa ada tuhan yang bisa
ditemukan melalui akal. Namun tuhannya para filsuf dan ilmuwan ini kadang
berbeda dengan Tuhan para agamawan. Para filsuf sering memahami tuhan sebagai
sesuatu entitas yang di luar jangakauan nalar. Tuhan hanya direnugnkan ketika
orang mencapai jalan buntu pikiran. Tuhan seolah tidak terlibat langsung dengan
eksistensi manusia. Ada yang memahami Tuhan seperti pembuat arloji yang setelah
menciptakan alam dan segala isinya lalu membiarkannya berjalan sendiri.
Itu semua pandangan mereka. Aku mungkin membacanya tapi tidak
serta merta menerima sebagai keyakinan pribadiku. Dalam benakku tuhan tetap
sebuah misteri, yang entah ada entah tidak. Kalau dia tidak ada mengapa begitu
banyak yang mempercayanya ada?. Mengapa agama begitu yakin sebagai suatu
institusi dengan Tuhan sebagai intinya. Apakah aku dikatakan salah jika aku menentukan posisi yang tidak
sesuai dengan pandangan agama? Apakah aku akan dikatakan pengkhianat agama jika
aku berusaha mengimani Tuhan versiku? Lantas bukankah Tuhan versi agama-agama
adalah juga hasil refleksi orang-orang terdahulu yang kemudia diwariskan lalu
diterima.
Satu hal yang masih tetap aku
pikirkan ialah tentang bagaiaman aku harus mengatakannya kepada orang lain. Apa
yang akan terjadi jika aku mengatakan kepada teman-temanku dan para pastor
bahwa aku tidak menerima lagi cara memahami tuhan seprti yang kalian yakini. Bagaiamakah
reaksi ibuku yang konservatif jika mengetahuai bahwa aku ragu akan tuhan? Mungkinkah
mereka menganggapku aneh? Aku tidak peduli, sebab bagiku, kita boleh hidup di
dunia yang sama tapi kita masing-masing bertanggung jawab dengen hidupnya,
dengan apa yang dia Imani. Mungkin suatu saat aku akan sangat menyesal bahwa di
masa lalu kehidupanku aku pernah meragukan Tuhan. Atau juga mungkin suatu saat
aku malah bersyurkur terntaya aku tepat. Entahlah, itu masa depan yang tidak
pernah aku tahu bagaiamana nantinya. Yang terpenting apa yang aku RASAKAN saat
ini ialah (BEGINI).
… hey dear dy. Kamu tahu bahwa aku
tidak pandai merengkai kata, maka mengertilah kalau aku tidak tahu bagaimana
mengakhiri rangkain kalimat ini.
Jogja
11/04/2021
Sintus
bezy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar