Senin, 12 April 2021

Cukup

 

CUKUP


Aku bukanlah seorang yang pandai merangakai kata. Tapi aku selalu mengekspresikan rasa melalui kata. Walau pada momen tertentu aku yakin bahwa kata tidak pernah cukup mewakili rasa. Masih sejuta yang tetap tersembunyi di balik dada ini. aku mungkin berusaha mengekspresikannya melalui music, cuman musikku pun seribu tingkat di bawah Mozart. Rasa ini tetaplah rasa, tidak seorangpun yang sungguh memahaminya selain diriku dan juga kadang-kadang Tuhan. Yah, aku mengatakannya kadanga-kadang sebab bagiku Tuhan tidak pernah sungguh peduli. Dia diam. Dia hanya ada kalau aku menganggapnya ada, dan akupun tidak pernah tahu apakah Dia masih tetap ada jika aku mengabaikannya.

Entah ada atau tidak, bagiku saat ini Tuhan absen. Mungkin ini terlalu naif untuk diungkapkan, tapi aku punya bukti kok. Tentu aku tidak mengikuti logika santo Thomas Aquias yang mengajukan lima jalan untuk mengerti Allah. Aku hanya punya satu bukti bahwa Tuhan itu diam. Apakah diam manandakan Dia tidak ada? Aku juga tidak tahu, namun diam juga bukan berarti Dia ada. Kesimpulan nakalku kadang menyamakan diam itu dengan ketiadaan. Yah, aku selalu berusaha merenungkannya tapi hingga kini hanyalah ketiadaan yang kutemukan. Para guruku sering bilang kalau Tuhan itu akan semakin sulit dipahami jika kita berusaha memahami-Nya. Lah, buat apa aku habiskan waktu mempelajari sesuatu yang akhirnya akupun tidak akan tahu? Katanya setelah kematian barulah kita paham semua yang menjadi misteri di dunia ini. kamu akan memahami neraka, surga, Tuhan, malaikat. Ternyata Tuhan hanya dipahami oleh orang yang sudah mati. Berati tidak relevan bagi kita yang masih hidup.

Merenungkan semua ini, mempertanyakan eksistensi Tuhan hingga menghantarkanku pada suatu titik keraguan akan keberadaannya. Keraguanku akan Tuhan ternyata membawa effek yang sangat besar bagi kehidupanku. Yah, Tuhan sebenarnya adalah inti dari kehidupanku, pusat dari panggilanku. Tuhan semestinya adalah penggerak yang menarikku ke dalam lingkaran Karmel ini. tuhan adalah alasan aku menjadi seorang biarawan hingga pada hari ini.   bayangkan seorang religious tanpa Tuhan, itu sama seperti teknologi tanpa sains, atau sama seperti marxisme tanpa Karl Marxs.

Hmmmm, kalau Tuhan memang bukan untuk dipahami, lantas apa manfaat akal? Bukankah iman tetap membutuhkan akal budi. Apakah tuhan yang berusaha aku pahami melalui akal akan berbeda dengan tuhan yang ada dalam hatiku? Simon Petrus L. Tjahjadi dalam bukunya tuhan para filsuf dan ilmuwan, menunjukan bahwa ada tuhan yang bisa ditemukan melalui akal. Namun tuhannya para filsuf dan ilmuwan ini kadang berbeda dengan Tuhan para agamawan. Para filsuf sering memahami tuhan sebagai sesuatu entitas yang di luar jangakauan nalar. Tuhan hanya direnugnkan ketika orang mencapai jalan buntu pikiran. Tuhan seolah tidak terlibat langsung dengan eksistensi manusia. Ada yang memahami Tuhan seperti pembuat arloji yang setelah menciptakan alam dan segala isinya lalu membiarkannya berjalan sendiri.

Itu semua pandangan mereka. Aku mungkin membacanya tapi tidak serta merta menerima sebagai keyakinan pribadiku. Dalam benakku tuhan tetap sebuah misteri, yang entah ada entah tidak. Kalau dia tidak ada mengapa begitu banyak yang mempercayanya ada?. Mengapa agama begitu yakin sebagai suatu institusi dengan Tuhan sebagai intinya. Apakah aku dikatakan  salah jika aku menentukan posisi yang tidak sesuai dengan pandangan agama? Apakah aku akan dikatakan pengkhianat agama jika aku berusaha mengimani Tuhan versiku? Lantas bukankah Tuhan versi agama-agama adalah juga hasil refleksi orang-orang terdahulu yang kemudia diwariskan lalu diterima.

          Satu hal yang masih tetap aku pikirkan ialah tentang bagaiaman aku harus mengatakannya kepada orang lain. Apa yang akan terjadi jika aku mengatakan kepada teman-temanku dan para pastor bahwa aku tidak menerima lagi cara memahami tuhan seprti yang kalian yakini. Bagaiamakah reaksi ibuku yang konservatif jika mengetahuai bahwa aku ragu akan tuhan? Mungkinkah mereka menganggapku aneh? Aku tidak peduli, sebab bagiku, kita boleh hidup di dunia yang sama tapi kita masing-masing bertanggung jawab dengen hidupnya, dengan apa yang dia Imani. Mungkin suatu saat aku akan sangat menyesal bahwa di masa lalu kehidupanku aku pernah meragukan Tuhan. Atau juga mungkin suatu saat aku malah bersyurkur terntaya aku tepat. Entahlah, itu masa depan yang tidak pernah aku tahu bagaiamana nantinya. Yang terpenting apa yang aku RASAKAN saat ini ialah (BEGINI). 

            … hey dear dy. Kamu tahu bahwa aku tidak pandai merengkai kata, maka mengertilah kalau aku tidak tahu bagaimana mengakhiri rangkain kalimat ini.

 

 

Jogja 11/04/2021

Sintus bezy.

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Perihal Hidup: Sejak awal 2023, saya sudah disibukkan dengan satu pekerjaan baru yakni penyelenggara Pemilu persisnya panwaslu desa (PKD...