Oleh,
Krisantus
Yustus : 611 15 005
Fakultas Filsafat
Universitas Katolik Widya Mandira
Kupang
2016
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Kesatuan
masyarakat disebut sebagai satu kelompok etnik jika memiliki kesamaan
asal-usul/ sejarah, agama, budaya, dan kesamaan bahasa daerah. Unsur-unsur penciri
etnik ini dapat dikaji untuk memperoleh gambaran mengenai nilai-nilai yang
dianut yang menuntun perilaku mereka. Salah satu unsur yang menjadi penciri
etnik ialah bahasa. [1]
Dalam defenisi lain mengatakan bahwa secara abstrak,
kebudayaan terdiri dari serangkaian ciri-ciri yang menandai suatu masyarakat
maupun bentuk-bentuk ungkapannya dalam seni, sastra (bahasa), sistem symbol, sains,
teknologi, filsafat,
moralitas, agama dan sebagainya yang mengarah energi manusia ke arah perwujudan ciri-ciri yang menandai
masyarakat tersebut.[2] Dalam ciri yang terungkap ini kemudian juga akan
tertampak nilai-nilai yang menjadi alasan mengapa suatu kebudayaa tetap
terjaga.
Dari kedua defenisi di atas kita bisa
menarik suatu pengertian bahwa kalau kita berbicara tentang budaya dan
nilai-nilai yang terkandung dalamnya berarti kita berbicarara tentang bahasa
juga. Hubungan bahasa dan budaya ini dipertegas oleh White dan Dillingham, “Language is a part culture; the science of
linguistics is subdivision of culturlogy”. Pengertian ini tidak hanya menyiratkan hubungan
antara bahasa dan budaya, tetapi juga antara ilmu bahasa dengan ilmu budaya. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa, baik secara empirik maupun secara teoretis, bahasa dan budaya memiliki
hubungan ketercakupan. Bahasa
merupakan bagian dari kebudayaan.[3] Bahasa
adalah jelmaan kebudayaan.
Orang
Maronggela memperlihatkan ciri-ciri keetnikan yang ditandai oleh kesatuan
unsur-unsur budaya. Salah satu unsur yang menjadi penciri etnik Maronggela
ialah bahasa daerahnya. Bahasa dan
budaya tak bisa terpisahkan. Dalam menjalankan fungsinya sebagai
alat komunikasi, pemakaiannya merefleksikan pandangan penutur atau pemakai tentang (terhadap) apa yang dituturkan. Bahasa
secara fungsional tidak hanya sekedar alat komunikasi, tetapi juga sebagai
sarana berpikir yang sangat penting artinya dalam kebudayaan masyarakat Maronggela.
Atas dasar itulah bahasa daerah Maronggela kemudian dipandang sebagai inti kebudayaan
pada masyarakat Maronggela.
Masyrakat
Maronggela sebenarnya memakai
bahasa Riung dialeg Maronggela. Namun
karena dipengaruhi oleh berbagai alasan
terutama alasan politis yaitu dengan pembagain kampung dan mekarnya
kecamatan maka masing-masing kampung mengklaim bahwa bahasa yang mereka gunakan dalam percakapan
seharian mereka dalam etniknya adalaha
bahasa daerah mereka sendiri, demikian juga masyarakat Maronggela. Data ini dapat kita buktikan di lapangan bahwa selain bahasa Riung dialek Maronggela ada juga bahasa Riung yang
dialek
lain seperti bahasa
Riung dialek Wangka, bahasa Riung dialek Mbarungkeli, Bekek dsb.
Disamping sebagai alat komuniksi dan sebagai sarana
berpikir, bahasa daerah Maronggela sebenarnya juga sebagai sarana untuk menggambarkan
identitas dan eksistensi penutur sebagai seorang Maronggela. Disaat seseorang
berbicara dalam bahasa Maronggela berarti dengan sendirinya kita mengenal bahwa
dia adalah orang Maronggela. Kalaupun ada orang lain yang bukan dari dalam
daerah namun dia berbahasa daerah, tetap berarti dia masih memiliki hubungan
dengan daerah tersebut. Dalam hal ini ialah Maronggela.
Suatu fenomena yang menimpa masyarakat Maronggela saat
ini yaitu ketika
orang sudah jarang menggunakan bahasa daerahnya sendiri dalam komunikasi seharian mereka antar
sesama anggota etnis. Hal penyebab fenomena ini terjadi karena pengaruh bahasa Indonesia yang mendominasi percakapan masyarakat. Hal ini
sejalan dengan rumusan uangkapan
Frans Dahler Eka Budianta
dalam pengamatannya tentang bahasa nasional kita
mengatakan
bahwa,
dewasa
ini, bahasa telah mencapai tingkat abstraksi yang tinggi. Perbendaharaaan kata makin banyak, penyebaran bahasa Inggris secara
agresif. Di beberapa masyarakat, orang mulai merasakan ekses-ekses negatif dari
kejenuhan bahasa, karena bahasa
yang dulu timbul dalam fungsi untuk mewakili dan melambangkan kenyataan, atau dengan kata lain menggambarkan identitas dan
eksisitensi sekarang
malahan menjadi tabir penghalang antara manusia dengan kenyataan-kenyataan itu
sendiri.[4]
Peneliti merefleksikan dalam relevansinya dengan
masyarakat Maronggela bahwa orang Maronggela tidak mau hanya mengetahaui bahasa
daerahnya sendiri dan bahkan tida mau menggunakannya lagi karena dia akan
kesulitan dalam berelasi dengan orang–orang luar etnis dan juga susah untuk
menerima berbagai kebijakan pemerintah yang notabene menggunakan bahasa
Indonesia sebagai saran pelancar informasinya. Sementara kalau kita amati
perkembangan penduduk di Maronggela setiap tahunnya meningkat disamping karena
ada kelahiran baru terus tetapi yang paling terasa ialah adanya perpindahan orang-orang dari luar
etnis yang bukan masyarakat lokal dan menetap di Maronggela dengan berbagai alasan sebagai pegawai, pedagang atau
karena terikat suatu perkawinan dsb. Nah, dalam kegiatan komunikasi dengan mereka mau takmau orang
Maronggela harus menggunakan bahasa Indonesia. Ada juga hal lain yang memepengaruhi berkurangnya penggunaan
bahasa daerah Maronggela ialah dari
kalangan orang-orang terpelajar di Maronggela yang cendrung menggunakan Bahasa
Indonesia dan dianggap tidak asing lagi dan berubah menjadi baahsa bersama yang
akhirnya mendesak dan perlahan menghapus
bahasa daerah. Sehingga jangan heran kalau saat ini
bahasa daerah suda dinomor duakan, bahkan sampai dalam percakapan keseharian
orang Maronggela dengan sesama orang Maronggela. Dengan ini identitas orang
Maronggela dipertanyakan.
Bahasa tidak hanya sebagai perwakilan eksistensi penggambaran
identitas penutur tetapi juga simbol
interaksi.[5] Pada tempat ini peran bahasa sangat terasa, seperti yang
Paul Recourd ungkapkan dalam hermeneutikanya yang memandang teks sebagai
mediasi. Teks entah lisan atau tulisan sebagai mediasi antara aku dengan diri
sendiri yang disebut refleksi, sebagai mediasi antara aku dan dunia yang dinamakan
refrensi dan mediasi antara aku dan sesama sebagai komunnikasi. Teks hanya bisa
dikatakan sebagai mediasi hanya apabila bahasa ada. Teks yang dilengkapai
dengan bahasa ini dipandang sebagai mediasi yang kemudian menghantar orang pada
relasi. Kalau kita rumuskan sebagai berikut mula-mula ada aksi (inisiatif
individu) aksi ini merangsang reaksi dari lawan bicara. Aksi dan reaksi dilakukan
secara terus menerus itulah yang dinamakan interaksi. Interaksi yang akrab
kemudian melahirkan relasi.
Relasi yang dibangun baik dengan diri sendiri, sesama dan dunia dengan teks sebagai
mediasi ini telah ada dalam masyarakat Maronggela. Tetapi ada satu relasi yang
dibangun di etnik Maronggela yang belum Paul Recour ulas dalam hermenuetikanya
yaitu relasi antar masyarakat etnik maronggela dengan Wujud
Tertinggi. Relasi ini
nyata dalam bagi orang
Maronggela dalam doa–doa adatnya yang disebut sebagi Pintu Pazir.
Orang Maronggela sebagai sebuah
komunitas budaya memiliki pandangan-pandangan kolektif atau bersama mengenai ha-hal yang
dipandang baik dan bernilai, juga ha-hal yang dipandang buruk. Dikotomi baik dan tidak baik merupakan perwujudan nilai.
Hal ini secara saksama tersirat di balik pemakaian bahasa Maronggela, terutama
bahasa-bahasa adat dan bahasa ritual. Setiap komunitas memiliki pandangan yang
bersifat khusus intraetnik
dan yang bersifat universal
antaretnik. Pandangan yang bersifat universal ini antara lain berkaitan dengan
esensi keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia
dengan sesamanya, dan antara manusia dengan lingkungan alamnya. Hubungan ini
yang dalam konteks pemaknaan disebut sebagai makna religius, makna sosiologis,
dan makna ekologis. Hubungan yang merefleksikan keseimbangan dimaksud merupakan
esensi dari pewarisan budaya etnik antargenerasi. Pewarisan ke generasi berikut
(regenerasi) mutlak dilakukan guna pemertahanan nilai budaya etnik. Keseimbangan
dan keharmonisan hubungan tersebut terdapat juga di dalam masyarakat Maronggela. Salah satu sarana
pemeliharaan dan pemertahanan hubungan dimaksud berupa upacara adat ataupun
ungkapan-ungkapan yang dijadikan pedoman hidup. Ungkapan verbal yang menjadi
fokus bahasan dalam tulisan ini ialah tuturan Pintu Pazir Pii Pato.[6]
Fokus
analisisnya ialah makna dan nilai yang terkandung di dalam tuturan ritual
tersebut. Makna dan nilai itu merupakan sebagian dari pandangan orang maronggela tentang Wujud Tertinggi yang dibahasakan secara teleologisnya
ialah Tuhan,juga
tentang
leluhur, dan tentang manusia. Tuhan, agama, dan manusia merupakan konsep
universal dalam setiap agama dan aliran kepercayaan. Semua agama mengajarkan
hubungan antara ketiganya disertai keyakinan bahwa Tuhanlah pencipta alam
semesta, manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, dan agama
adalah sarana yang memungkinkan berlangsungnya hubungan antara manusia dengan penciptanya.
Atas dasar itulah maka manusia disebut sebagai homo religious dan homo
socious. Jika demikian, maka pengungkapan makna dan nilai di balik tuturan Pintu
Pazir Pii Pato
merupakan
upaya penting. Hal ini dimaksudkan untuk mempertahankan dan memberdayakan kekayaan
budaya tradisi orang Maronggela
yang berorientasi pada penguatan nilai-nilai kehidupan dalam dimensi “kini” dan
“nanti”. Tindakan budaya semacam inilah yang harus dikupas secara komprehensif
untuk memenuhi proposisi bahwa kehidupan kini harus lebih beradab daripada kehidupan
sebelumnya, dan yang akan datang harus lebih beradab daripada kehidupan saat
ini.
1.2 Rumusan
Masalah
Sesuai dengan latar belakang di atas maka beberapa
rumusan masalah yang terungkap dalam bentuk pertanyaan berikut menjadi penuntun
dalam proposal penelitian ini. Adapun hal-hal yang dipermasalhkan ialah :
1) Bagaimana
Gambaran Umum Maronggela ?
2) Bagaimana Pintu
Pazir Pii Pato dipraktekkan?
3) Apa
sajakah nilai yang tersirat di balik makna tuturan ritual Pintu Pazir Pii
Pato dalam masyarakat Maronggela?
1.3 Tujuan
Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah dan latar belakang yang telah dibahas di atas maka penyusunan proposal ini dibuat dengan tujuannya ialah sebagai berikut:
1)
Menemukan dan
memberikan makna bahasa tuturan ritual Pintu
Pazir Pii Pato dalam masyarakat
Maronggela ?
2)
Mengidentifikasi
dan memerikan sajakah nilai yang tersirat di balik makna tuturan ritual Pintu
Pazir Pii Pato dalam masyarakat
Maronggela?
1.4 Manfaat
Penelitian
1) Sebagai
sumbangan bagi Universitas Katolik Widya Mandira Kupang pada umumnya dan
Fakultas Filsafat pada khususnya dalam konteks mengenal budaya asli orang Maronggela teristimewa aspek
bahasa yang dalam proposal ini diteliti dalam syair adat Pintu Pazir Pii Pato, sekaligus menggugah hati para mahasiswa untuk
menggali budaya yang terdapat di daerahnya masing-masing dan menelaahnya
menurut disiplin ilmu yang didapatkannya. (bagi FFA)
2) Para
seminaris atau para calon imam boleh mendapatkan sekedar inspirasi dari
penelitian ini, demi persiapan diri menjadi pemimpin iman yang mengenal keunikan
dan latar belakang umat teristimewa
aspek bahasa karena itu yang menentukan siapa mereka. (bagi para seminaris)
3) Sebagai
sumbangan bagi orang Maronggela,
agar mereka semakin cinta akan bahasa
daerahnya yang ternyata mengandung berbagai makna dan nilai, baik nilai religius maupun nilai sosial
dan juga sebagai simbol interaksi baik yang vertikal, dengan yang Transenden maupun yang horizontal,
dengan sesama manusia.
4) Dapat
membantu peneliti sendiri untuk semakin mengenal warisan budaya masyarakat Maronggela serta melatih diri
untuk merefleksi fenomen-fenomen kemasyarakatan secara ilmiah.
BAB
II
KAJIAN TEORETIS
2.1 Gambaran Umum Tentang Maronggela
2.1.1Orang
Maronggela
Sebuah pepatah
berbunyi ”tak kenal maka tak sayang”. Pengandaianya ialah nahwa rasa sayang
timbul hanya jikalau kita mengenal siapa atau apa yang kita sayangi. Proses
mengenal adalah suatu proses yang menjangakua sekadar mengetahui. Saya mengenal
seseorang nilai rasanya lebih dalam
daripada sekedar saya mengetahui
seseorang.
Dalam proposal ini,Maronggela dala arti etnis
kultural dan dalam arti politis. Secara politis orang Maronggela adalah masyarakat yang
berasal dari atau tinggal di
kampung Maronggela Desa Wolomeze, Kecamatan Riung Barat Kabupataen Ngada. Sedangkan
dalam arti etnis cultural, orang Maronggela
adalah
masyarakat yang tinggal atau berasal dari wilayah budaya Maronggela.
2.1.2Asal-Usul
Orang Maronggela
Mengetahui
asal usul orang Maronggela ada
dua sumber yang dipakai Pertama dari penelitian Antropolog
Biljmer mengatakan bahwa “suku yang
berada di Pulau Flores, yaitu di Kabupaten Manggarai dan Riung di Kabupaten
Ngada memilliki ciri-ciri fisik yang menunjukan bahwa mereka lebih dekat ke ciri-ciri suku Deutro Melayu daripada suku-suku lain di
Flores yang lebih dekat ke ciri suku Proto Melayu yang tersebar di seluruh
kepulauan Indonesia.[7] Maronggela termasuk bagian dari Riung.
Pendapat ini
didukung oleh Paul Arndt, SVD. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa “ hanya
orang Riung, yang terletak di sebelah
utara dari Ngadha dan Nagekeo, sepertinya bagian dari Manggarai.
Kemiripan Riung dan Manggarai ditunjukan oleh bentuk perkampungan yang terdiri
dari rumah-rupmah bernbentuk bulat dengan atap berbentuk kerucut, dan yang lain
lagi rumah bersudut siku-siku. Bentuk rumah dan atap seperti itu hanya kita
jumpai di Manggarai. Di beberapa kampung dapat dijumpai
kedua bentuk rumah tersebut,
sedangkan di kampung Warukia
(sekarang Maronggela) dapat dijumpai tiga bentuk rumah.[8]
Kedua
dari cerita rakyat yang berkembang di daerah tersebut, mengisahkan bahwa :
orang Riung berasal dari pulau
Palue. Orang –orang Palue punya hobi
berburu. Mereka berburu ke
berbagai daerah yang memungkinkan mereka mendapat hasil buruan yang banyak. Sampailah
mereka ke suatu tempat yang namanya Wolomeze. [9] Melihat
tempatnya bagus dan padangnya masih menyembunyikan banyak binatang buruan,
para pemburu memutuskan untuk menetap. Inilah
cikal bakal lahirnya Riung. Dari Wolomeze kemudian pecah ke dua daerah baru. Daerah pertama,Wolomeze kemudian menyebar ke
Namut, ke
Denatana, ke Wanga dan sampai di Lenkosambi. Daerah
kedua,Wolomeze menyebar ke Retas, dari Retas ini mnyebar lagi ke Warukia, sampai Wate dan berakhir di Mbarungkeli.
Kampung-kampung ini yang kemudian
membentuk suatu etnis yaitu etnis Riung. Etnis Riung dulu terselimut dalam satu
kecamatan. Karena penduduk semakin bertambah maka kecamatan Riung mekar menjadi
tiga Kecamatan yaitu kec. Riung (di pesisir pantai), kec. Riung Barat
(pedalaman, berbatasan langsung dangan kab. Manggarai Timur), kec. Wolomeze
(dekat kec. Soa).[10]
2.1.3
Keadaan
Geografis
Maronggela adalah
nama sebuah kampung yang terletak di Desa Wolomeze, Kecamatan Riung Barat,
Kabupaten Ngada, Propinsi Nusa Tenggara Timur, dengan batas wilayahnya ialah;
sebelah barat berbatasan langsung dengan kampung Nampe, Desa Wolomeze 1,sebelah timur berbatasan
dengan kampung Munting Desa Ngara, sebelah selatan dengan kampung Namut Desa
Wolomeze II dan kampung Damu Desa Benteng Tawa.
Daerah Marongggela rata-rata
terdiri atas bukit dan lembah yang memungkinkan orang-orangnya bisa menaruh
harapan hidup.
2.1.4 Iklim
Seperti daerah-daerah lain di Riung Barat, Maronggela
juga mengenal dua musim dalam setahun yaitu
musim kemarau dari bulan Mei sampai dengan oktober, dan musim hujan dari bulan November sampai April. (dalam
Bolong dan Sungga,1999 :19).
Suhu rata-rata di daerah pegunungan pda musim hujan
berkisar sekitar antara 20 ͦ C sampai 29 0 C,
dan pada musim panas antara 28 ͦC sampai 32 ͦ C. Sedangkan
di daerah pantai, suhu udara pada musim hujan rata-rata 260
C sampai 30 ͦC dan pada musim kemarau rata-rata 29 ͦ C sampai 34 ͦ C.[11]
2.1.5 Kebudayaan
Kata kebudayaan berasala dari kata Sansekerta, yaitu buddahyah sebagai bentuk jamak dari buddhi atau akal. Menrurt E.B. taylor
2.1.5.1
Bahasa Maronggela
Menurut
Andre Martinent “bahasa adalah sebuah alat komunikasi
untuk menganalisis pengalaman manusia, secara berbeda di dalam setiap
masyarakat, dalam satuan-satuan yang mengandung isi semantis dan pengungkapan
bunyi, yaitu monem. Pengungkapan bunyi tersebut pada gilirannya
diartukulasikan dalam satuan-satuan
pembeda dan berurutan, yaitu fonem, yang jumlahnya tertentu dalam setiap
bahasa, yang kodrat maupun kesalingterkaitannya berbeda juga di dalam setiap
bahasa.”[12]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahasa
diartikan sebagai “ suatu sistem lambang bunyi
yang abitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja
sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Bahasa
Indonesia adalah gabungan dari berbagai bahasa daerah di seantero Nusantara
ini, selain berasal dari bahasa Melayu dan bahasa Sansekerta.
Defenisi lain dari bahasa adalah sebagai sebuah sistem
komunikasi yang membuat manusia dapat bekerja sama. Defenisi ini menekankan
fungsi sosial dari bahasa, dan fakta bahwa manusia menggunakannya untuk
mengekspresikan dirinya sendiri, dan untuk memanupulasi obeyk dalam lingkungannya.
Ada dua bahasa yang
digunakan dalam keseharian hidup orang Maronggela. Bahasa Indonesia dan bahasa Maronggela sendiri. Bahasa
Indonesia dipakai untuk kepentingan komunikasi dengan orang dari luar etnis,
juga dipakai pada saat-saat resmi. Sedangkan bahasa daerah digunakan bagi sesama
anggota etnis, dalam komunikasi harian mereka maupun dalam ritus keagamaan
serata upacara adat. BahasaMaronggela
berfungsi sebagai alat ekspresi seni (pantun, peribahasa), sebagai bahasa adat
dan sebagai bahasa doa.
Bahasa
Maronggela berbeda dialeknya dengankampung-kampung lain di daerah Riung Barat atau
etnis Riung secara keseluruhannya.
Secara umum dapat dikelompokkan menjadi sepuluh daerah, yang dapat ditemukn di etnis RIung; dialek
Maronggela dan Muntin, Wate dan Ria, Teong dan Nampe, Terong dan Rawuk, Wangka, Riung, Mbarungkeli, Bekek, Lengkosambi, Mbazang dan Damu, dan
Turaloa.
Bahasa Maronggela dengan dialek-dialeknya itu,
selain digunakan sebagia bahasa pergaulan, juga sebagai simbol berupa pantun atau peribahasa, ada
juga dalam bentuk
kata-kata bijak tertentu berupa
puisi yang syarat makna dan hanya
digunakan dalam seremonial adat atau ritus keagamaan. Adapun contoh kata-kata
bijak seperti yang diterangkan oleh P.Bertolomeus Bolong dalam bukunya, Tuhan dalam
Pintu Pazir.
2.1.5.2 Struktur Sosial
Struktur sosial yang dimaksud ialah struktur kekuasaan
orang Maronggela. Pemegang kekuasaan tertinggi ialah Ulu Golo (Kepala suku,
pemimpin tertinggi di kampung Maronggela), yang menempati tingkat ke dua ialah Ga’en Wongko’(pemuka masyarakat), satu
tingkat di bawahnya ialah yang disebut Gelarang (wakil
dari Ulu Golo)[13].
Adapun juru bicara dalam kampung Maronggela itu disebut Pabisara. Satu tingkat dibawah Pabisara
disapa sebagai Dor (jabatan ini
biasa dipegang oleh orang yang mengetahaui masalah pertanahan dan memahami adat serta budaya dalam suku. Dor juga yang bertugas untuk mengatur
jadwal tahaunan di kampung Maronggela, misalnya kapan Ghan Weton[14],
kapan Larik dan berbagai acara adat
lainnya.
Ada
pemegang kekuasaan di bawah tingkatan dor
yaitu berambang, arti harafiahnya
ialah dada. Dialah selaku badan keamanan kampung. Berambang kalau dalam Negara kita sama dengan polisi atau tentara.
Kemudian ada tingkat berikut ialah tangan
onar. Dia bertugas sebagai ahli nujum. Meramal tantang musim dengan melihat
tanda-tanda bintang atau bulan. Ada paetugas kesehatan dalam eetnis Maronggela
itu disebut sandi wne’- rbo. Tugasnya
seperti dokter bisa mendetksi atau menganalisis sakit-sakit yang diderita oleh
aggota suku. Dalam kegiatan kerja ada yang menjadi pembaginya dan juga pengamat
serta vasilitataor pekerjaan itu yang dinamakan Punggawa. Dia tugasnay sebanding dengan ketua sub dalam
proyek-proyek. Punggawa dipilih bukan
berdasarkan suatu musyawarah suku namun langsung ditentukan oleh kepala suku.
Selain punggawa yang dipilih langsung oleh ulu golo ada juga badan pengaman kampung yang lain yang disebut ngawas ata, dia semacam FBI dalam bangsa
Amerika. Tugasnya sebagai suatu agen rahasia yang memata-matai musuh dari luar
etnis.dan tingktana yang paling bawah dalam etnis Maronggela disebut woe golo/woe wongko. Mereka adalah
rakyat jelata. Para pendatang dari luar etnis juga masuka dalam golonagan ini.
2.1.5.3 Sistem perkawinan
Masyarakat
Bajawa dalam hal ini yang beretnis Bajawa memiliki sistem perkawinan matrilinear
Orang Maronggela megenal sistem perkawinan patrilinear,
artinya menurut garis keturunan bapa. Hal ini yang menyebabkan anak perempuan
selalu dinomorduakan di Maronggela. Yang memegang
2.1.5.4 Agama
Agama adalah fakta sosial yang ditemukan pada hampir
semua kelompok masyarakat.
Orang
Maronggela (penduduk asli) semua beragama Kristen Katolik. Jika aada yang
beragama non Kristen itu pendatang.
2.2 Arti Dan Praktek Pintu Pazir Pii Pato Dalam Masyarakat Maronggela
2.2.1
Arti
Pintu
Pazir Pii Pato
a) Arti
Pintu
Pazir
Secara nominal,
Pintu Pazir terdiri dari dua kata. Pintu brarati perkataan atau sabda yang
mengandung atau mangungkapkan harapan. Kata Pazir berarti keselamatan atau kebahagiaan. Dengan
itu, Pintu Pazir merupakan perkataan yang menyelamtakan, dalam arti bahwa kalau pesan, gagasan yang serta ajaran
yang terkandung dalam Pintu Pazir ini diikuti serta dihayati oleh para pewarisnya maka
akan mendatangkan keselamatan atau kebahagiaan hidup lahir batin (sekurang-kurngnya di dunia ini).[15]
Pintu Pazir sebenarnya ungkapan kepercayaan orang Riung terhadap
wujud tertinggi. Ini adalah kata –kata
keramat leluhur dalam bentuk doa, sebagai ekspresi pikiran dan hati mengenai
Mori (Tuhan) atas perannya dalam kehidpan
manusia, dan diwariskan secara turun temurun. Sebagai suatu warisan
Pintu Pazir tentu sarat makna. Terdapat
nilai kebenaran,
kebaikan, keinsafandan kekuatan tersendiri, demi kebahagiaan manusia
pewarisnya, baik secara individual maupun sosial.
Selain
b)
Arti Pi’i Pato
Secara etimologis Pii Pato terdiri dari dua kata, yakni Pii dan Pato. Pii
artinya nama dn Pato artinya pemberian(nama). Kedua kata tersebut merupkan
padanan mempertegas makna. Pintu Pazir Pii Pato merupakan jenis pintu pazir yang didoakan pada ritus pemberian
nama bagi seorang bayi.
2.2.2 Praktek Pintu Pazir dalam Masyarakat Maronggela
Upacara Pii Pato
dilaksanakan hari kelima setelah kelahiran bayi, bertempat di rumah orang tua
bayi. Pada awal ritus pemberian nama , bapa atau nenek dari bayi bersangkutan mngucapkan Pintu
Pazir ini. Korban yang diperlukan seekor
babi dan ayam, serta seberkas sirih pinang .
Dengan adanya nama bagi sang bayi maka sang bayi secarah resmi diterima
dalam lingkungan sukunya.
Tujuan dari
Pintu Pazir jenis ini adalah meminta Mori Kraeng[16] untuk merestui nama sang bayi dan
memohon kepadanya agar anak itu memperoleh umur yang panjang, sehat lahir
batin, memperoleh kemurahan hidup, dan kelak menjadi manusia yang baik dan
berguna bagi keluarga dan sukunya.
2.2.3 Untaian
Pintu Pazir Pii Pato
Ø Bahasa aslinya :
O Mori Kraeng
Raza meze Mori ata nai lawe Mori ata dia
Kau ata mbolok kami
Mori pae
sengkar mbear kami
Kami
paro elang
Kami
paing sombang lone Kau
Kami
paing kempe panggang anak kendo
Kempe
puti mbore angin sat
Raza
ata nai meze
Zaga
anak kendo
Ziu
nggi lawe weki dia ngalit
Lezong kendo
kami pii pato
Kami ko ziu nglit ziu anak kendo
Lezo
lima taun kia manga lonto tana
Kia zari le Nggau
Kau bot ngalit anak kendo
Lengkang muzin awan zaa laza teto
Muzin awan more lawe
Zari ata laki mosa Ndirung
tikus logo welong
Sa, zua, telu, pat, e….. lima.
Mori
ata ndong kita
Sanggeng-sanggen
pinga le Nggau
Mori
ata pae rani rintong
Mori
ata nai mbalung
Zaga
weki ngalit nggia
Neang
wena lezong kendong
Ø Arti harafiahnya :[18]
O Mori Kraeng
Raja Besar
Mori yang hati baik
Mori yang bijak
Kau yang mempersatukan kami
Mori tidak bongkar bangkir kami
Kami beri Engkau
Kami minta ampun dalam
Engkau
Kami minta lindung anak
ini
Lindung dari suanggi setan
Raja yang hati cinta
Raja yang hati baik
Jaga anak ini
Beri dia baik badan baik
sembuh nama
Hari ini kami pii pato (pesta
pemberian nama)
Kami mau kasi nama anak ini
Sudah lima hari dia ada di atas tana
Dia dijadikan olehMu
Engkau mnyetujui nama anak ini
Supaya kemudian nanti jangan sakit
Kemudian nanti hidup baik
Jadi orang kaya raya
Umur panjang
Satu, dua, tiga, empat, e.....lima.
Mori yang pegang dia
Semua-semua terserah
Engkau
Mori yang tidak
mara-mara
Mori yang hati lembut
Jaga badan nama dia
Sejak ini hari
Sampi salamanya.
Ø Terjemahan yang sudah diinterpretasi :
O Mori Kraeng
Raja
yang agung
Engkaulah
yang baik
Engkaulah
yang bijaksana
Egkaulah
engkaulah yang mempersatukan kami
Tuhan
tidak mencerai-beraikan kami
.
Kami persembahkan
kepada-Mu
Kami mohon ampun
pada-Mu
Kami mohon perlindungan
bagi anak ini
Dari segala
nafsu setan
Raja Mahacinta
Raja Mahamurah
Jagalah anak
kami
Berilah dia keselamatan
lahir batin.
Hari
ini kami rayakan (pesta pemberian nama)
Kami memberi
nama bagi anak ini
Sudah
lima hari dia berada di atas dunia ini
Engkaulah
yang menciptakannya
Restuilah
nama anak ini
Agar
di kemudian hari dia bebas dari derita
Hidupnya
sejahtera
Menjadi
orang yang berguna
Berumur
panjang
Satu,
dua, tiga, empat, e………lima.
`
Tuhanlah yang menguasai dia
Segala
sesuatu adalah kehendak-Mu
Tuhan
itu Mahamurah
Tuhan
itu lemah lembut
Sertailah
dia
Mulai
hari ini
Da
sepanjang hidupnya.
2.3 Makna Dan Nilai Bahasa Dalam Ritual Pintu Pazir Pii Pato
Makna artinya sesuatu yang dinyatakan oleh
suatu kalimat. Ada defenisi lain yang mengartikan makna sebagai pertautan
antara unsur-unsur dalam suatu bahasa. Makna merupakan esensi dari studi
bahasa. Jika demikian, maka pemakaian bahasa, termasuk tuturan ritual dipandang
sebagai sebuah bentuk ekspresi (entitas) yang memiliki atau mengandung makna.
Di
samping makna, pemakaian bahasa ritual menyiratkan nilai budaya di balik makna
dimaksud.
Nilai budaya bersifat abstrak yang
menjadi pedoman guyup tutur dan guyup budaya
prinsip
di dalam berperilaku. Nilai itu bukan berupa benda atau unsur dari benda,
melainkan sifat
dan
kualitas yang dimiliki objek tertentu yang dikatakan “baik”. Nilai-nilai yang
dianut oleh suatu masyarakat menggambarkan kepribadiannya, sebagaimana
dikemukakan oleh Notosusanto, “Kita tidak bisa berbicara tentang kepribadian
kalau kita tidak bertumpu pada nilai-nilai sebab yang menentukan kepribadian
kita ialah nilai-nilai kita, yang menentukan kepribadian seseorang adalah nilai-nilai
yang dianut dibandingkan dengan nilai-nilai orang lain. Demikian pula nilai-nilai
dari suatu masyarakat yang menentukan kepribadian masyarakat itu”.[19]
Nilai juga bisa disamakan dengan makna. Nilai atau
makna dimaksud berhubungan dengan kebudayaan, atau secara lebih khusus
berhubungan dengan dunia simbolik dalam kebudayaan. Menurut pandangan ini,
nilai terkait dengan pengetahuan, kepercayaan, simbol, dan makna. Pengetahuan
dan kepercayaan suatu komunitas etnik berwujud simbol-simbol bermakna. Simbol
kebahasaan yang bermakna dalam tuturan ritual membungkus gagasan dan keyakinan
kolektif yang dipandang bernilai.
Koentjaraningrat
mengatakan bahwa nilai budaya adalah
lapisan pertama dari
kebudayaan
yang ideal atau adat. Nilai-nilai budaya tersebut memberi konsep tentang
hal-hal yang paling bernilai dalam keseluruhan kehidupan masyarakat. Nilai
merupakan sebagai muatan mental dan kognitif yang menuntun individu atau pun masyarakat
dalam berperilaku. Menurut pengertian ini, nilai mengacu pada sesuatu yang berkualitas,
atau setidak-tidaknya dipandang baik sehingga layak untuk diacu. Nilai terdiri
atas konsep-konsep yang hidup dan tumbuh dalam alam pikiran suatu komunitas
yang erat kaitannya keluhuran budi dan nurani.
Menurut
Andre Martinent “bahasa adalah sebuah alat komunikasi
untuk menganalisis pengalaman manusia, secara berbeda di dalam setiap
masyarakat, dalam satuan-satuan yang mengandung isi semantis dan pengungkapan
bunyi, yaitu monem. Pengungkapan bunyi tersebut pada gilirannya
diartukulasikan dalam satuan-satuan
pembeda dan berurutan, yaitu fonem, yang jumlahnya tertentu dalam setiap
bahasa, yang kodrat maupun kesalingterkaitannya berbeda juga di dalam setiap
bahasa.”[20]
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) bahasa diartikan sebagai “
suatu sistem
lambang bunyi yang abitrer, yang digunakan oleh anggota
suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan
diri. Bahasa Indonesia adalah gabungan dari
berbagai bahasa daerah di seantero Nusantara ini, selain berasal dari bahasa
Melayu dan bahasa Sansekerta.
2.3.1 Makna
Pintu Pazir Pii Pato
Setiap kata,
kalimat, puisi atau ungkapan-ungkapan selalu tersirat makna. Begitupun dalam
untaian syair adat Pintu Pazir Pii Poto
juga tersembunyi makna yang menjadi alasan keberadaannya. Ada makna sakral religi
dan ada juga makna puitis tersirat dalamnya. Alasan inipulallah yang
memugkinkan masyarakat Maronggela tetap memeliharanya. Berkut peneliti akan
memaparkan makna dari Pintu pazir pii pato.
2.3.1.1 Makna Religius
Ada defenisi lain
yang mengungkapkan bahwa bahasa adalah simbol interaksi.[21]
Dengan bahasa sebagai media atau sarana maka komunikasai akan mungkin terjadi.
Komunakasi dengan menggunakan bahasa ini bersifat vertikal maupun horisontal.
Bersifat horisontal itu ialah menerangkan bahwa dengan bahasa kita bisa membangun relasi antara sesama kita.
Sementara besifat vertikal mengartikan bahwa dengan bahasa, memungkinkan kita
sebagai mahluk berdimensi religius dapat berdialog dengan Dia selaku Wujud
Tertinggi yang bagi masyarakat Maronggela dikenal dengan Mori Kraeng. Oleh sebab itu tuturan ritual Pintu pazir pii Pato sebenarnya
adalah juga suatu untaian doa yang diarahkan kepada Wujud
Tertinggi yang dalam bahasa Teologisnya
disebut Allah.
Mayrakat Maronggea sadar bahwa selain wujud-wujud lain yang
mererka hormati seperti Mbo’
Nusi atau nenek Moyang,
Mata Wae’ (terjemahan
harafiahnya disebut mata air, bukan merujuk pada tempat tetapi suatu wujud), Ulung Temok (penghulu sawah), Nitu Sat (sutu wujud yang disebut
penunggu hutan) ada suatu wujud yang melampuai semuanya
itu. Dialah
selakku pencipta manusia dan segala macam hal yang ada di bumi ini termasuk wujud–wujud lain
tersebut. Wujud ini disapaa oleh orang Maronggela sebagai Mori Kraeng[22]
Dalam Pintu Pazir Pii Pato
2.3.1.2 Makna Sosial
2.3.2 Nilai Pintu
Pazir Pii Pato
2.3.2.1 Nilai Religius
v
Nilai Pemulihan
v Nilai
Pemujaan dan Permohonan
v Nilai
Kepasrahan
Kata
pasrah secara semantik berkaitan dengan ketidakberdayaan. Dalam dimensi
religius,manusia senantiasa berada dalam kondisi ketidakberdayaan jika
dikaitkan dengan Sang Pencipta.Kepasrahan dalam dunia religi merupakan
pengakuan mutlak terhadap peran Sang Pencipta didalam mengatur seuruh aspek
kehidupan manusia. Kepasrahan dalam konteks ini tidak dimaknaisebagai sikap
apatis manusia terhadap kehidupannya. Kepasrahan dibarengi dengan usaha dan
kerjakeras dengan prinsip semua usaha dan pekerjaan dimaksud dapat mencapai keberhasilan
jikamendapatkan ridho dari Sang Pencipta, Mbo Mori.
Untuk mencapai
keberhasilan dalam setiap usaha, manusia harus bekerja. Namun, pekerjaanyang
dilakukan itu dipasrahkan keberhasilannya kepada Mbo Mori.
2.3.2.2 Nilai Sosial
v Nilai Pencitraan
Nama
merupakan konsep esensial yang berhubungan dengan identitas. Dari konsep ini muncul
istilah penamaan dan nama baik. Nama diberikan berdasarkan asal-usul dan
pencitraan terhadap
nama dimaksud. Oleh karena itu, orang yang menggunakan nama/ mewarisi nama berkewajiban
moral untuk tetap menjaga nama tersebut agar tidak tercela. Dalam budaya Maronggela, hal nama baik
terarah pada kisah berikut.
Nilai pencitraan
ini secara sosiologis menuntun setiap anggota guyup budaya Pintu Pazir Pii Pato mempertahankan
nama baik. Sehubungan dengan itu, orang Riung berkewajiban moral untuk
hidup taat norma sosial budaya agar peribahasa “Harimau mati meninggalkan
belang, manusia
mati meninggalkan nama” dapat tewujud. Nama itu harus bebas dari citra buruk
(stereotip) sehingga
layak untuk diwariskan ke generasi berikutnya.
v
Nilai Ekonomis
v Nilai
Kejujuran
KESIMPULAN
Secara esensial Pintu Pazir Pii Pato merupakan doa
warisan leluhur orang Maronggela. Terkait dengan
analisis
data, dapat disimpulkan beberapa hal tentang Pintu Pazir Pii Pato, seperti berikut ini.
a. Tuturan Pintu Pazir Pii Pato dalam budaya Maronggela mengandung makna religius yang menyiratkan
seperangkan sistem nilai religius, yani: nilai pemulihan, pemujaan dan
permohonan,
serta nilai kepasrahan. Ketiga nilai ini dijadikan petuntun perilaku orang
Maronggela. Keterbatasan
manusia menjadikan kesalahan/ pelanggaran norma menjadi hal yang
mungkin
dalam kehidupan. Oleh karena itu diperlukan pemulihan. Keterbatasan manusia
hidup
(anak) selamat dan sehat-sejahtera.
b. Meskipun beresensi doa, isi tuturan
menyiratkan pula makna sosial yang sudah tentu
berdimensi
humanis. Makna sosial dimaksud berimplikasi pada nilai-nilai sosial, yakni:
nilai
pencitraan, nilai eknomis, nilai kejujuran, dan nilai pewarisan. Pintu Pazir
Ziu Anak
menunjukkan
hasrat dan cita-cita orang tua, agar secara sosial, anak bertumbuh menjadi
orang.
BAB
III
METODE
PENELITIAN
3.1 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian kualitatif ini dibatasi oleh …. pertanyaan dasar yang telah
dikemukakan dalam bagian permasalahan/rumusan masalah dalam proposal ini.
Pertama,baerkaitan
dengan gambaran umum orang Maronggela,Kecamatan Riung Barat, Kabupaten Ngada. Komponen yang diteliti ialah, Orang Riung, keadaan geografisnya, mata
pencaharian, produk budaya, bahasa yang digunakan, agama setempat, struktur
kepemimpinan orang Riung, sistem perkawinan.
Kedua, berkaitan dengan paham orang tentang yang transenden.
Kompnen yang diteliti adalah bagaimana orang Riung mengenal yang transenden.
Siapa itu wujud terringgi atau yang transenden bagi orang riung, cara-cara
penghormatannya, serta sapaan-sapaan orang Riung terhadap wujud tertinggi ini.
Ketiga, berkaitan dengan penggunaan Pintu Pazir sebagai simbol
interaksi dengan yang transenden serta manfaatnya. Hal yang diteliti ialah
mengapa orang Riung menggunakan simbol interaksi ini dalam berinteraksi dengan
yang transenden dan apa sebenarnya manfaat atau keunggulan memamakai Pintu pzir
Pii Pato.
Keempat,
berkaitan dengan waktu, tempat juga orang yang layak dalam menggunakan pintu
pazir pii pato sebagai simbol interkasi dengan yang transenden ini. Komponen
elemen yang diteliti.
Relasi kebenaran
simbolik yang khas pada penglaman manusia yang sadar. Kata-kata entah
diucapakan atau ditulis, sebagai simbol dan maknanya, merupakan contoh
relasi kebenaran simbolik. Simbol-simbol tertantu seperti yang dipakai dalam
puisi ataupun drama, tidak hanya
menyampaikan makna obyektif , tetapi juga
bentuk sybektif penerimanya.[23]
Daftar
Pustaka
Andre Martinent., Elements
de Linguistique Generale (Paris,
Librairie Armand COLIN, 1980)., terjemahan Indonesia, Ilmu
Bahasa Pengantar.,( Yogyakarta, Kanisius,
1987).
Paul
Nganggung SVD, diktat
Jurnal Diskursus,38.
Demokrasi dalam budaya Lokal
Bertolomeus Bolong,OCD,
drs.Cyrilus Sungga S
Stephanus Ozias Fernandez, SVD, Kebijaksanaan
Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu dan Kini, (sekolahTinggi Filsafat
Katolik (STFK) Ledalero.
[1],Paul Arndt, SVD, Aus
der Mythologie und Religion der Riunger, (Netherland : Overgedruckt uit
het Tijdschrift voor Ind. Taal-, Land-en Volkenkunde Deel LXXV,
Afl.3,1935)hal.382 ( dalam
buku)Bertolomeus Bolong, drs. Cyrilus Sungga S, Tuhan Dalam Pintu Pazir. Tinjaun Filosofis Tenteng Tuhan Dalam
Kepercayaan Asli Orang Riung,Flores, , 1999
Frans Dahler Eka Budianta., Pijar
Peradaban Manusia., (Yogyakarta: Kanisius, 2004
MAKALAH LANNY KOROH
[1] J.
Sudarminta, ” Mengulik Pemikiran Alfred N. Whithead Tentang Kebudayaan”, dalam AA VV.,
Bertolomeus Bolong, OCD, drs.
Cyrilus Sungga S. Tuhan Dalam Pintu Pazir, Tinjauan Filosofis Tentang Tuhan Dalam
Kepercayaan asli orang Riuang, Flores, (Ende: Nusa Indah,) hlm.19.
[1] Andre Martinent., Elements
de Linguistique Generale (Paris,
Librairie Armand COLIN, 1980)., terjemahan Indonesia, Ilmu
Bahasa Pengantar.,( Yogyakarta, Kanisius,
1987).
[1]
MAKALAH LANNY KOROH
[2]
J. Sudarminta, ” Mengulik Pemikiran
Alfred N. Whithead Tentang Kebudayaan”,
dalam AA VV., Diskursus, ( 35
[3]
MAKALAH LANNY KOROH
[4]
Frans Dahler Eka Budianta., Pijar Peradaban Manusia.,
(Yogyakarta: Kanisius, 2004)., hlm.167.
[5]
P.paul nganggung, SVD
[7] Stephanus Ozias Fernandez, SVD, Kebijaksanaan
Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu dan Kini, (sekolahTinggi Filsafat
Katolik (STFK) Ledalero.
[8],Paul Arndt, SVD, Aus
der Mythologie und Religion der Riunger, (Netherland : Overgedruckt uit
het Tijdschrift voor Ind. Taal-, Land-en Volkenkunde Deel LXXV,
Afl.3,1935)hal.382 ( dalam
buku)Bertolomeus Bolong, drs. Cyrilus Sungga S, Tuhan Dalam Pintu Pazir. Tinjaun Filosofis Tenteng Tuhan Dalam
Kepercayaan Asli Orang Riung,Flores, , 1999,hal.20
[9]
Wolomeze adalah nama suatu kampung yang berada di kecamatan Riung Barat,
kab.Ngada. Kampung ini sudah ditinggalkan semenjak perpindahan penduduk tahun 1980-an.
Nama wolomeze sekarang menjadi nama sebuah desa
di
kec.Riung Barat dan nama sebuah Kecamatan. Di kab Ngada.
[10]
Wawancara, Senin 21-Maret-2016; jam 10.00-12.00 pagi.
Narasumber, P.Bertolomeus Bolong OCD, tercatat dalam jurnal harian Krisantus
Yustus dan Gregorius O. Langkamau.
[11]
Bertolomeus Bolong, OCD,
drs. Cyrilus Sungga S. Tuhan Dalam Pintu Pazir, Tinjauan
Filosofis Tentang Tuhan Dalam Kepercayaan asli orang Riuang, Flores, (Ende: Nusa Indah,) hlm.19.
[12] Andre Martinent., Elements
de Linguistique Generale (Paris,
Librairie Armand COLIN, 1980)., terjemahan Indonesia, Ilmu
Bahasa Pengantar.,( Yogyakarta, Kanisius,
1987). hlm.32.
[13]
Walau wakil Ulu Golo tetapi dari wibawanya tetap berada setelah Ga’en Wongko’.
[14]
Ghan Weton adalah salah satu upacara
di Maronggela.
[15] Bertolomeus Bolong,OCD,
drs.Cyrilus Sungga S., Op.Cit., hlm.39.
[17],Bertolomeus Bolong,OCD,
drs.Cyrilus Sungga S., Op.Cit., hlm.62-63.
[18]
Terjemahan ini sengaja diseliipkan oleh peneliti agar bisa menjadi bahan
pembanding dalam terjemahan tafsirannya.
[19]
Demokrasi dalam budaya Lokal
[20] Andre Martinent., Elements
de Linguistique Generale (Paris,
Librairie Armand COLIN, 1980)., terjemahan Indonesia, Ilmu
Bahasa Pengantar.,( Yogyakarta, Kanisius,
1987). hlm.32.
[21]
Paul Nganggung SVD
[22]
Sapaan Mori
Kraeng yang dipakai oleh orang Maronggela dalam menyapa wujud tertinggi
dipakai juga oleh orang Manggarai. Ini salah satu bukti pembenaran defenisi
Paul Arndt yang mengatakan bahwa masyarakat Maronggela itu mirip dengan
masyarakt Manggarai. (bdk. Hal.7 di atas).
[23]
Jurnal Diskursus,38.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar