Bozu.!!!!!!!!
“Bozu” begitu teman-teman selalu memanggilku. Jika ada anak kecil yang nekat menyapaku dengan nama itu, maka dia akan mendapatkan hadiah satu kali ketuk di kepala. Tetapi itu tidak terjadi dengan orang yang lebih tua dari aku. Kemarahan memang selalu ada, dan setiap manusia mengalaminya. Selagi dia masih seorang manusia normal, rasa marah harus ada. Jangan sampai apa yang diungkapkan oleh Thomas Hobbes itu benar. “Homo Homini Lupus”. Manusia adalah serigala bagi sesamanya, maka dia harus marah, karena dia sama dengan serigala. Tidak!!! Aku tida seperti yang Hobbes katakan. Kemarahanku itu relative, saat tertentu saja. Dan kepada orang tertentu juga.
Satu alasan saja mengapa aku marah, yakni karena, namaku bukan Bozu.. aku hanya mau mengajarkan anak-anak bahwa
nama harus dihargai. Mereka harus diberitahu sejak dini, apa makna sebuah nama. Hehehe, nama bukan hanya konstruksi huruf-huruf mati, tetapi lebih dari itu, sebuah nama mewakili totalitas seseorang. Jiwa dan raganya, terrepresentasi dalam nama. Aku suka dipanggil Bozu, tapi nama itu tidak memiliki makna. Padahal, makna di balik nama itu sangat banyak. Ada makna historis, teologis, sosiologis. Dll.
1 hari setelah tanggal satu November, adalah, hari pesta jiwa-jiwa orang beriman. Pada tanggal itulah semua umat Katolik mengenang jiwa-jiwa keluarga kenalan yang telah meninggal. Ada yang meluangkan waktu untuk membersihkan kuburan orang tua, saudara-saudari yang mungkin sudah lama tidak pernah dibersihkan. Keluarga yang masih hidup itu lalu membakar lilin, atau juga ke gereja terdekat mengikuti kurban misa dengan intensi “mohon keselamatan jiwa….”. Bersamaan dengan hari raya jiwa-jiwa orang beriman itulah aku terlahir sebagai seorang bayi laki-laki yang sehat. Yah, aku lupa harinya, tetapi tanggal kelahiranku takan pernah hilang dari memoriku. Alasannya sederhana, pada tanggal 2 November setiap tahun, mama selalu membelikan baju baru untukku, dan itu adalah hadiah ulang tahunku.
2 November 1996, di pondok kecil, tak ada lampu tak ada bidan, aku merasakan dunia yang pertama kali. Yah, aku dilahirkan belum bernama. Aku sudah memiliki seorang kakak laki-laki, 2 tahun lebih dahulu kelahirannya, dan nanti juga serong adik perempuan 2 tahun kemudian setelah aku. Tidak seperti nama kakakku yang diambil bukan dari nama kakek kandung. Aku justeru diberi nama Buzan (bapak dari bapakku). Satu filosofi nama orang Maronggela, bahwa aku harus hidup seperti kakek Buzan. Ini seolah-olah menegaskan ajaran Konfusius tetang manusia yang harus hidup sesuia nama. Dan karena aku bernama Buzan maka aku harus hidup seperti Buzan kakekku. Ternyata menurut kesaksian bapak dan mama, tidak harus diwajibkan untuk menjadi seperti Buzan, aku malah sama seperti Buzan, hehehe maksudnya ada beberapa sifat kakekku yang diteruskan kepada aku. Misalnya suka yang enak-enak (orang bilang itu hedonis), suka memilki barang-barang mewah (materialis), tapi tidak selalu seperti itu. Orang tidak pernah mengerti aku seperti aku mengerti diriku sendiri.
Satu hal yang penting untuk diketahui bahwa, seperti kakekku Buzan yang pernah menjadi kepala desa wolomeze dua periode, maka punya jiwa kepemimpinan dan suka mengatur orang, aku juga tidak suka diatur. Aku bisa mengatur diriku. Dan aku paling benci apa yang dinamakan instansi, oraganisasi, sekolah formal. Karena instansi, oraganisasi dan sekolah formal mengekang kebebasanku, seolah hidup ini mereka yang mengaturnya. Padahal aku bisa sendiri. Maka aku memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan SMAku. Bapak dan mama terus memaksa tetapi aku konsisten. Untuk hidup tidak harus sekolah formal.
Entah mengapa, akhir-akhir ini aku selalu diserang oleh satu penyakit yang belum aku ketahui penyebabnya. Tetapi aku begitu takut akan sesuatu atau seseorang, aku takut akan suara kucing aku takut akan lolongan anjing malam, aku takut gelap, aku takut segalanya. Dan semua adalah setan di depanku. Dokter belum memberi keterangan yang pasti terhadap penyakitku ini. Mama selalu berdoa utuk kesembuhanku. Baik itu melalui doa resmi agama katolik maupun melalui dukun kampong semunya belum bisa mengatasi sakitku ini. Tapi aku tidak pernah patah semangat untuk tetap ceria dan rajin dalam menjalani hidup ini, aku tidak terlalu percaya takdir, semua bisa berubah.
Kedua saudaraku saat ini sedang melanjutkan sekolah mereka di Kupang. Aku sangat mengharapkan mereka berhasil dan sukses dan aku selalu yakin bahwa mereka tidak pernah menyai-nyiakan kesempatan. Selamat berjuang saudaraku semoga jadi orang besar di kemudian hari yah… walau aku tidak malnjutkan sekolhku tetapi akulah anak yang paling dekat dengan bapa dan mama. Aku paling tahu dinamika kehidupan bapa dan mama dan aku sayang kedua orang tuaku melebihi dua saudaraku. Entah apa kata mereka.
Hari ini, 02-November-2018. Ulang tahunku yang ke 22. Hehehe, mama membelikanku baju baru lagi. Hari ini aku sekali lagi menegaskan siapa aku, bahwa aku bernama panjang Ernestus Scotus, ditambah Buzan. Sapaan resmi Otuk bukan Bozu, bersyukur atas semua anugerh Tuhan ini, dan semoga aku tetap menjadi anak yang baik mengabdi kepada kehidupan ini. Trimakasih.
Disusun oleh Sintuz Bezy, kenangan Ultah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar