BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pengantar
Pemimpin Besar Revolusi, juga salah satu founding fathers bangsa Indonesia, Dr.
Ir. Soekarno dalam pidatonya yang terakhir pada Hari Ulang
Tahun (HUT) Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1966 mengujarkan "Jasmerah". Jangan
Sekali-kali Meninggalkan Sejarah. Dalam pidato itu Presiden menyebutkan
antara lain bahwa kita menghadapi tahun yang gawat, perang saudara. Perang
saudara yang dimaksud Presiden Soekarno adalah antara anak bangsa, dimana satu
menyalahkan yang lain. Antara kubu Komunis melawan kubu Pancasilais, dan klaim
Soeharto yang menyatakan dirinya sama dengan Pancasila.[1]
Sejarah itu wajib dikatahui oleh anak
bangsa, direkonstruksi ulang demi suatu pemahaman yang benar. Sejarah harus
ditulis. Pramoedya Ananta Toer pernah berujar “Orang boleh pandai setinggi
langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari masyarakat dan dari
sejarah”.[2] kata-kata ini sebagai penegasan terhadap
Jasmerah, bahwa tulislah agar sejarah tidak pernah dilupakan. Fakta ada bahwa
Indonesia pernah mengalami perang saudara, pernah ada usaha penggantian
ideology bangsa, dan pernah hidup seorang tokoh yang berusaha menjaga Pancasila
sampai menghianati nilai-nilai kemanusiaan. Hal itu nyata dalam G30SPKI dan
Kebrutalan Orba, serta diktatoriat Soeharto.
Semua telah menjadi sejarah, namun sejarah
bukan hanya dipahami sebagai peristiwa masa lalu yang sudah lewat. Sejarah
adalah dinamika hidup manusia dalam horizon waktu. Dengan kata lain sejarah
adalah cara berada manusia dalam menghayati hidupnya dengan menghubungkan masa
lalu dengan masa kini dan membukakannya dengan masa yang akan datang. [3]
Bahwa bangsa Indonesi pernah diwarnai masa lalu dengan kebangkitan PKI, masa
kini isu itu muncul kembali. Bahwa bangsa Indonesia pernah tergiur dengan
propaganda Orba, kini dengan cara yang berbeda mencuat kembali ke permukaan.
Dalam
tulisan (Makalah) singkat ini, kami sebagai pemerhati sejarah dan juga pencinta
Pancasila yang benar dengan dibantu oleh sumber-sumber yang bisa kami dapatkan,
berusaha meluruskan sejarah, bahwa klaim Soeharto = Pancasila itu justeru
melecehkan Pancasila tersebut. Genosida terhadap anggota dan simpatisan PKI
adalah pengkianatan terhadap sila ke-2 Pancasila “Kemansiaan Yang Adil dan Beradab”. Dengan dipandu oleh rumusan
masalah di bawah kami member judul makalah ini “Genosida terhadap anggota dan
simpatisan PKI sebagai pelecehan terhadap sila ke-2 Pancasila.”
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Apa Hakekat sila ke-2 Pancasila?
1.2.2
Apa itu genosida terhadap anggota dan simpatisan PKI?
1.2.3
Mengapa genosida kepada anggota dan simpatisan PKI
sebagai pelecehan terhadap sila ke-2 Pancasila?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Untuk
mengetahui perkembangan PKI dari dulu hingga saat ini.
1.3.2 Untuk
memahami indoktrinasi Soeharto demi kedudukannya.
1.3.3 Untuk
mengetahui sejarah yang benar, bahwa genosida terhadap anggota dan simpatisan
PKI sebagai salah satu usaha kudeta dari Soekarno oleh Soeharto.
1.3.4 Demi
mendapat nilai tugas kelompok, dari dosen pengampuh mata kuliah Filsafat
Pancasila.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Sebagai
pengetahuan tambahan tentang sejarah, dan juga kaitannya dengan isu-isu terkini
di Indonesia.
1.4.2 Sebagai
sumbangan terhadap Fakultas Filsafat, dalam mengkritisi fakta dan rekayasa
G30SPKI.
BAB II
GENOSIDA TERHADAP ANGGOTA DAN
SIMPATISAN “PKI”
SEBAGAI BENTUK PENKHIANATAN
KEMANUSIAAN,
PELECEHAN SILA KE-2 IDEOLOGI
PANCASILA.
2.1
Hakekat Pancasila
Pancasila adalah
ideologi politik[4]
bangsa Indonesia. Hari lahir pancasila tanggal 1 Juni 1945. Di depan Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI), Soekarno dalam pidatonya yang
terkenal itu menawarkan dasar bagi Indonesia merdeka, filosofi bangasa yang di
atasnya Indonesia berdiri. Yang pertama ialah kebangsaan Indonesia/nasionalisme,
yang kedua ialah internasionalisme/peri kemanusiaan. Dasar ketiga yakni
mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan/demokrasi. Prisnsip keempat
adalah kesejahteraan sosial, tidak ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka.
Dan prinsip terakhir ialah Ketuhanan.[5]
Soekarno
juga memerasnya manjadi tiga sila, yaitu sosio-nasionalisme
(gabungan dari nasionalisme dan kemanusiaan), social-democratie (gabungan dari demokrasi dan kesejrahteraan),
Ketuhanan.[6]
Lalu diperas lagi menjadi satu dasar itulah yang disebutnya “Gotong Royong”.[7]
Pancasila menjadi trisila dan trisila menjadi ekasila.
Pancasila
yang kita kenal saat ini bersifat hirarkis dan berbentuk piramidal. Dimulai
dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa hingga Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia. Sila kedua yaitu kemanusiaan
yang adil dan beradab adalah diliputi dan dijiwai oleh sila Ketuhanan
Yang Maha Esa, meliputi dan menjiwai sila Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. [8]
Negara adalah lembaga kemanusiaan, yang diadakan oleh manusia, maka manusia
adalah subyek pendukung pokok negara. Negara adalah, dari oleh dan untuk
manusia. Tanpa manusia negara tidak ada.
Nilai
kemanusiaan bersumber pada dasar filosofis antropologis, bahwa hakikat manusia
adalah susunan kodrat rohani (jiwa) dan raga, sifat kofrat individu dan mahluk
sosial, kedudukan kodrat mahluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai mahluk
Tuhan Yang Maha Esa. Negara harus menjamin harkat dan martabat manusia sebagai
mahluk yang beradab. Mengindahkan Hak asasi sebagai hak dasar, sebab
kemanusiaan yang adil dan beradab adalah mengandung nilai suatu kesadaran sikap
moral dan tingkah laku manusia yang didasarkan pada potensi budi nurani manusia
dalam hubungan dengan norma-norma dan kebudayaan pada umumnya baik terhadap
diri sendiri, terhadap sesama manusia maupun terhadap lingkungan. Ini merupakan
perwujudan nilai kemanusiaan sebagai sebagai mahluk yang berbudaya, bermoral
dan beragama.[9]
2.2
Genosida terhadap anggota dan aktivis PKI sebagai pelecehan sila ke-2
Pancasila.
2.2.1
Genosida di Indonesia.
Genosida adalah
suatu bentuk perbuatan yang tidak memuliakan HAM, yang dilakukan dengan sengaja
dengan maksud untuk menghilangkan, menghancurkan serta memusnahkan sebagian
atau seluruh kelompok baik itu ras, kelompok etnik, agama maupun bangsa. Dengan
cara menyebabakan penderitaan fisik mental ataupun membunuh.
Dalam konteks Indonesia genosida
nyata ketika Soeharto sebagai pemimpin otoriter dan dengan otoritasnya lalu
disalahgunaka. Adapun Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) adalah surat
perintah yang ditandatangani presiden Soekarno pada 11 Maret 1966.[10]
Isinya berupa instruksi Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto, selaku
Menteri Panglima Angkatan Darat, untuk mengambil segala tindakan yang dianggap
perlu untuk mengawal jalannya pemerintahan pada saat itu. Dengan supersemar[11]
ini Soeharto seolah-olah mendapat legitimasi atas kekuasaanya, kebrtulannya. Soeharto
sejak G30SPKI 1965-1966 hingga kudeta terhadap Seokarno 1966 berhasil menumpas
jutaan anggota dan simpatisan PKI, demi keutuhan Pancasila menurutnya.
2.2.2
Genosida sebagai Rekayasa Soeharto
Pembunuhan masal oleh rezim Orde Baru
di bawah pimpinan Soeharto sebenarnya adalah suatu rekayasa yang
mengatasnamakan Pancasila demi mendapat kedudukan dan mempertahankannya. Menurut
Radis Bastian, rakyat Indonesia dicekoki dengan sejarah “palsu”. Film G30SPKI
yang menjadi tontonan wajib pada era ORBA hanyalah propaganda Soeharto.[12] G30SPKI
tidak murni tindakan PKI, mereka hanya bermaksud untuk menculik 7 jendral yang
dicurigai akan mengadakan kudeta terhadap Presiden Soekarno. PKI tidak ingin
Indonesia jatuh ke tangan militer dan jika dapat, mengambil alih kekuasaan demi
terjalanya ideology komunis dimana dijunjung tinggi persamaan, anti kapitalis
dsb.
Jika genosida adalah pembantain
terhadap orang banyak yang berbeda suku, ras negara ataupun ideology, maka korban
kebrutalan Soehaarto kira-kira 500.000 orang.[13]
Yaitu anggota dan simpatisan PKI adalah genosida. Ini adalah tidakan yang tidak
manusiawi. Soeharto telah merekayasa sejarah, dan bahkan Dia juga adalah dalang
dari terbunuhnya 7 jendral itu.[14]
2.2.3
Genosida PKI adalah Pelecehan sila ke-2 Pancasila
Pembantaian
sejak 1965-1966 kepada semua anggota PKI dan simpatisannya adalah sutau perbuatan
yang sangat kejam. Tidak terpuji. Tidak Pancasilais. Kenapa? Karena Pancasila
teristimewa pasal ke-2 berbicara tentang “kemanusiaan yang adil dan beradab”
itu berarti sebagai warga negara saling menghargai, dilandasi oleh moral
kemanusiaa, dalam kehidupan pemerintahan negara, politik, ekonomi, hokum,
sosial dsb. Moral bawaan manusia dimana saling menghargai, saling menjaga
keharmonisan.[15]
Nilai
kemanusiaan yang adil mengandung suatu makna bahwa hakikat manusia sebagai
mahluk yang berbudaya dan beradab harus berkodrat adil, dalam hubungannya
dengan diri sendiri, dengan orang lain dengan lingkungannya dan dengan Tuhan.
Konsekwensinya ialah menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai
mahluk Tuhan yang Maha Esa, menjunjung tinggi hak asasi manusia, menghargai
atas kesamaan hak dan derajat tanpa membedakan suku, ras, status sosial maupun
agama. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia, tenggan rasa, tidak
semena-mena terhadap sesama manusia, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.[16]
Soeharto
walau mengklaim diri penjaga ideologi Pancasila, tetapi sebenarnya tidak
Pancasilais. Sejarah ini sebagai pembelajaran untuk terus mengkritisi
manipulasi masa lalu demi terciptanya masa kini yang baik. Dasar negara kita selagi
belum tergantikan dengan ideology baru dan tidak akan tergantikan pula, maka tidak
ada alasan untuk tidak menerima dan menghidupinya. Sebagai bahan pembelajatran Pancasila
terus dipelajari tetapi sebgai ideology dia adalah final. Soeharto bukan penjaga
keutuhan Pancasila yang selalu kita peringati setiap tanggal 01/Oktober adalah hari
kesaktian Pancasil. Bukan kesaktian Soeharto.
BAB
III
PENUTUP
Politisasi Isu Kebangkitan PKI terus
dikoarkan. Apalagi bangsa kita sedang dalam tahun Politik menjelang Pilpre 2019
mendatang. Bahwa PKI akan bangit kembali, bahwa siapa saja yang menyatakan
dirinya PKI harus dihabiskan, selalu muncul dan ramai diperdebatkan dalam media
setiap hariny. Perkembangan bangsa tidak
pernah terpisah dari masa lalu. Entah itu baik ataupun buruknya masa lalu
tersebut.
Isu kebangkitan PKI terus mewarnai
panggung politik. Dan sebagai satu ideology sebenarnya PKI sudah dilarang di
Indonesia, karena PKI tidak Pancasilais. Namun bukan berarti Komunisme,
Marxisme, Sosialisme tidak perlu dipelajari. Sebagai ilmu pengetahuan itu wajib
dipelajari karena sejarah bansa tidak terluput dari perkembangan ideologi
tersebut.
Persoalan dalam makalah yang telah
diuraikan di atas, bukan tentang ideology PKI, tetapi lebih menyorot kepada
bagaiaman seorang Soeharto menanggapi perkembangan PKI. Dengang legitimasi
kekuasaan yang sebenarnya diberikan rakyat kepadanya, justeru digunakan untuk
membantai 500.000 anggota dan simpatisan PKI. Hal inilah yang tidak boleh
terjadi lagi dalam hari-hari mendatang. Ini adalah kejahatan terhadap
kemanusiaan. Padahal jelas-jelas sila ke-2 Pancasila menunjukan bahwa warga
harus menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Dengan berkembangnya isu kebangkitan PKI
yang dipolitisasi sebenarnya, opini public diombang-ambing antara boleh sejarah
wajib sesua kebijakan negara harus menonton fils G30SPKI atau itu hanya
propaganda Militer (AD) untuk mengangkat kebesarnya di masa lalu. Masyrakat harus
kritis menanggapinya. Jika masa lalu itu penuh dengan kontroversi, penuh dengan
rekayasa, maka kewajiban untuk menonton film terbut sebenarnya adalah usaha
untuk pemerintah untuk memaparkan kebobrokan masa lalu. Film itu terlalu
subyektif mengangkat nama Soeharto tetapi setelah Orba runtuh segalanya terang
benderang.
Isu-isu sekarang yang sedang berkembang,
menjadi cambuk juga untuk membuka kembali lembaran-lembaran yang telah hilang
di masa lalu. Kebenaran harus ditegakkan. [17]
DAFATAR
PUSTAKA
Sumber
– Sumber Buku:
·
Bastian, Radis., Tokoh-Tokoh Gelap Yang Terlupakan
Dalam Peristiwa G30S, (Jogjakarta: Palapa, 2013).
·
Darasa, Roso., Total Bung Karno, Serpihan
Sejarah Yang Tercecer, (Depok :Imania, 2013).
·
Darmawan, Ikhsan., Mengenal Ilmu Politik, (Jakarta:
PT Kompas Media Nusantara, 2015).
·
Dwi Sucipto, Herman., Kontroversi
G30S, (Jogjakarta: Palapa, 2013).
·
Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta:
Paradigma, 2008 ed-8).
·
Sihotang, Kasdin., Filsafat Manusia, Upaya
Membangkitkan Humanisme, (Yogyakarta: Kanisius, 2019).
Sumber
Koran:
·
Usman Hamid, Politisasi Isu Kebangkitan PKI, (Kompas,
2 Oktober 2018), hlm. 7
Sumber
Internet :
·
https://id.wikipedia.org/wiki/Pembantaian_di_Indonesia_1965%E2%80%931966
[1] Usman Hamid, Politisasi
Isu Kebangkitan PKI, (Kompas, 2 Oktober 2018), hlm. 7
[2] Ikhsan Darmawan, Mengenal
Ilmu Politik, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2015) hlm. vii
[3] Kasdin Sihotang, Filsafat
Manusia, Upaya Membangkitkan Humanisme, (Yogyakarta: Kanisius, 2019),
hlm. 125-126
[4] Ideologi politik dapat
didefenisikan sebagai sekumpulan ide yang bertalian satu sama lain dan bersifat
logis, yang menjadi pijakan untuk dilakukannya tindakan politik yang
dilakukannya dengan terorganisir, baik ideology itu ditunjukan untuk menjaga,
memodifikasi atau bahkan menggulingkan system hubungan kekuasaan yang ada. (Ikhsan Darmawan, 2015 : 165).
[5] Roso Darasa, Total
Bung Karno, Serpihan Sejarah Yang Tercecer, (Depok :Imania, 2013), hlm.
296-322
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Prof. Dr. Kaelan, M.S. Pendidikan
Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2008 ed-8), hlm. 60
[9] Ibid., hlm. 80-81.
[10] 1966 menjadi
tahun yang penuh carut-marut, Keadaan negara secara
umum dalam situasi kacau dan genting., Untuk mengontrol keadaan yang
tak jelas akibat pemberontakan G 30 S/PKI., Menyelamatkan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.,Untuk mengembalikan situasi dan wibawa
pemerintah. Maka supersemar dibuat.
[11] Supersemar masih belum jelas
kebenarannya. Entah ada atau tiada, dan jikapun ada sulit diyakini bahwa itu
benar-benar isi perintah Soekarno, jika benar Soekarno memerintahkan untuk
mengambil alih pemerintahan pasti ada tekanan dari pihak Soeharto.
[12] Radis Bastian, Tokoh-Tokoh
Gelap Yang Terlupakan Dalam Peristiwa G30S, (Jogjakarta: Palapa, 2013),
hlm. 5-8.
[13]
https://id.wikipedia.org/wiki/Pembantaian_di_Indonesia_1965%E2%80%931966
[14]
Herman Dwi Sucipto, Kontroversi G30S, (Jogjakarta: Palapa, 2013), hlm. 174-175
[15]
Prof. Dr. Kaelan, M.S., Loc.Cit.
[16]
Ibid.
[17]
Usman Hamid, Ibid.
Penfui, Jumad 02-November-2018 oleh Sintuz Bezy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar