Selasa, 16 Oktober 2018

Meluruskan Kekliruan Naturalistis




Meluruskan Kekeliruan Naturalistis
(Sintuz B-zy, OCD)*
 Pengantar
Dalam menilai sesuatu, manusia memerlukan alat ukur khusus. Untuk mengukur panjang atau pendek sesuatu, manusia memerlukan meteran. Untuk mengukur berat atau ringan sesuatu, manusia memerlukan timbangan. Untuk mengukur kecepatan, manusia memerlukan barometer. Demikian pula, untuk mengukur tindakan manusia, baik atau buruk, manusia memerlukan alat ukur tertentu. Ilmu yang mempelajari apa yang seharusnya dilakukan manusia dan apa yang seharusnya tidak dilakukan disebut ilmu etika.
Etika adalah ilmu yang darinya kita mendapatkan patokan untuk hidup baik. Namun tidak selalu seperti yang diharapkan. Salah satu fenomen sosial yang sangat bersentuhan dengan persoalan etika yaitu menyebarnya hoax. Maka dalam coretan singkat ini kita bersama akan berlayar menelusuri konsep hangat yang ramai diperbincangkan dalam medsos akhir-akhir ini. Medsos yang adalah hasil kreasi manusia dengan tujuan untuk mempermudah kehidupan justeru tertantang, antara menyebarkan kebenaran dan penipuan. Walaupun banyak pihak yang tetap optimis dengan kemajuan teknologi, tetapi sebagian besar juga merasa cemas dengan ketidaktentuan perkembangan teknologi ini. Anthony Giddens (1938-  ) mengatakan bahwa bukan kita yang menghancurkan dunia, tetapi dunia yang melenyapkan kita karena ketidakkritisan manusia, tambah Hannah Arendy (1906-1975).  Salah satu bukti bahwa dunia dengan kemajuan teknologi saat ini akan melenyapkan manusia adalah dengan berkembangnya hoax tersebut. Medsos tidak dapat melenyapkan manusia, tetapi manusia yang dengan mensaranakan medsos untuk menghancurkan dirinya sendiri. Untuk itu mari kita bersama menelusuri hoax.
Apa Itu Hoax?
Robert Nares (1753-1829), seorang filsuf Inggris mengatakan hoax berasal dari kata “Hocus”, yang berarti menipu. Hoax sama dengan menipu. Maka hoax  adalah suatu kata yang umumnya digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang palsu, atau usaha untuk menipu atau mengakali orang lain supaya mereka memercayainya, padahal sudah jelas-jelas berita itu adalah palsu.Berita hoax berarti suatu informasi yang palsu yang dibuat seolah-olah benar dan diberitakan kepada orang lain dengan suatu motif tertentu dari penyebar hoax. Berhubungan dengan etika, yaitu parameter apakah suatu tindakan baik atau tidak, hoax dikategorikan dalam nilai yang bagaimana?
Hoax dan Etika
Aristoteles (384 SM – 322 SM) mengungkapkan bahwa tujuan hidup manusia ialah untuk mencari kebahagiaan. Karena, ketika sudah menemukan kebahagiaan maka seseorang tidak perlu mencai yang lain lagi. Dalam mencapai kebahagiaan adapun sarana-sarana yang harus digunakan yaitu kapasitas rationya harus dimaksimalkan, kualitas etisnya juga dimaksimalkan, maka antara baik, benar dan indah itu selaras dan itulah kebahagiaan.  Hal tersebut yang dinamakan keutamaan, Aristoteles kemudian mengklasifikasikan keutaman moral itu kebijaksanaan, keadilan, kebijaksanaan dan pengendalian diri. (A. Mangunhrdjna; 1997: 54-56). Sesuai tingkatanya itu apa yang kita tangkap atau kita dengar, kita resapi dan kita  aplikasikan dalam hidup secara benar dan baik secara tau dan mau. Kepenuhan moral inilah yang nanti mendatangkan kebahagiaan,  kebahagiaan sebagai telos pencarian manusia.
Hoax didefenisikan sebagai berita bohong, tentu secara etis tidak bisa dibenarkan karena berbohong itu tidak baik. Walau berbohong  itu tidak baik namun dalam realitas kita diperhadapkan dengan berbagai persoalan dilematis dimana jalan terkahir seseorang harus berbohong untuk menyelamatkan situasi. Katakanlah seorang harus berbohong, agar menyelamatkan nyawa saudaranya yang dikejar oleh pembunuh. Apakah dalam hal ini berbohong itu salah? Memang berbohong itu tidak masuk dalam kategori baik, tetapi adapun kategorinya. Tentu berbohong dalam hal ini berbeda dengan hoax. Hoax adalah berita yang benar-benar palsu tetapi diada ada dan disebarkan dengan maksud tertentu yang kebanyakan menghancurkan, berbohonga dalam situasi ini justeru dengan suatu motif yang berbeda. Jadi menipu melanggar etika namun ada gradasi nilainya. Dalam menyelamatkan situasi berbohong bisa saja dilakukan,tetapi hoax tidak boleh.
Hoax menurut George Moore
George Moore (1873-1958) menentang hal di atas. Dalam situasi apapun, berbohong itu tetap tidak baik. Fakta kasus pembunuh di atas yang jika saudara korban tidak berbohong maka pasti terjadi korban nyawa. Bagi Moore walau saudaranya mati dibunuhpun tetap haruslah kita berkata jujur. Karena jujur itu baik dan sesuatu yang baik tetap baik dalam dirinya sendiri. Nah selama ini ada semacam kekeliruan naturalis yaitu ketika orang mendefenisikan baik dengan suatu ciri naturalistis. Misalnya pertama baik sama dengan nikmat (etika hedonisme), atau baik sama dengan berguna (etika utilitarianisme). Jika baik adalah menyengankan berarti yang menyenangkan sama denga baik. Dalam hubungannya dengan hoax bearti orang bebas menyebarkan berita bohong dan karena menyebarkan hoax itu menyenagkan bagi yang menyebarnya dan karena menyenangkan itu sama denga baik maka jangan heran jika semakin hari berita hoax semakin menjadi jadi.
Kedua  jika baik sama  dengan berguna berari yang berguna itu semua baik. Segala seuatu yang dilakukan manusia sejauh itu berguna atau bermanfaat bagi dirinya atau orang lain maka hal tersebut baik. Dalam kasus pembunuh yang akan menghabisi  nyawa saudara tersebut dan tidak akan tertolong jika tidak berbohong maka berbohong itu berguna untuk menyelamatkan nyawa saudaranya. Bagi Moore tidak boleh berbohong dalam situasi apapun walau itu berguna tetapi tidak baik. menurutnya baik adalah baik. (K. Bertens; 2002: 23-25) kata baik tidak dapat didiefenisikan atau tidak berasal  kepada sesuatu yang lebih tinggi lagi.  Baik tidak bisa sama dengan menyenangkan atau berguna.  Maka, hoax walau itu menyenagkan bagi yang menyebarnaya teapi tidak baik dan berbohong walau berguna untuk dalam situasi dilematis tetapi itu tidak baik. Baik adalah baik. Konsep ini memang sangat kaku dan bagi pemikir-pemikir kemudian konsep Moore tidak bisa diterapkan secara utuh dalam realitas.
Berbohong Itu Perlu (Aristoteles).
Dalam kasus seorang pembunuh yang akan membunuh saudara yang dicari, dan jika tiak berbohong maka saudara tersebut betul betul terbunuh. Berbohong tentu menjadi pilihan bagi orang tersebut demi menyelamatkan saudarnya yang sedang dalam bahaya. Namun yang menjadi diletasi yaitu karen justeru untuk berbuat baik dia justeru berbohong, padahal berbohong itu tidak baik. Moore bahkan sangat menekankan bahwa berbohong memang tidak boleh karena seolah-oleh baiik itu direduksi kedalam suatu persamaan dengan berbguna.
Aristoteles (384-324 SM), justeru menawarkan suatu jalan keluar jika kita terjebak dalam persoalan dilematis seperti ini. Antara berbohong atau tidak. Bertolak dari kasus di atas, jika berbohong melawan nilai etis, dan jika jujur melawan nilai kemanusiaan.  Tentu ini menjadi dua ekstrrem yang selaras. Jalan tengah perlu diambil untuk menyelesaikan persoalan, Jalan tengah yang diambil ini tentu bukanlah suatu sikap yang biasa-biasa saja, namun adalah penentuan sikap yang paling baik untuk mengndari dua ekstrim (S P L Tjahjadi; 2004: 72-73). Tentu ada kategori untuk harus dipenuhi dalam melakukan penipuan yaitu bergantung pada kepribadian, situasi dan pengalaman orang yang bersangkutan.
Meluruskan Kekeiruan Naturalisitis
Berbohong itu memang bertentangan dengan etika, namun dalam menghadapi persoalan dilematis yang menuntut seseorang untuk berbohong demi suatu nilai yang lebih luhur, bagi saya dengan berpatokan pada filsafat jalan tengah Aristoteles, bisa dilakukan.  Catatan sebelumnya yang sebagai kategori dalam berbohong yaitu bergantung pada kepribadian yaitu siapa yang melakukan kebohongan dengan motiv yang bagaimana. Situasi seperti apa sehingga harus berbohong dan apakah tidak memiliki suatu jalan lain. Nah, berbohong boleh dilakukan dengan seminimalis mungkin.
Hoax, yang adalah berita bohong yang diada-adakan tentu berbeda dengan berbohong demi suatu tujuan tertentu. Hoax, tidak boleh dilakukan karena motivnya selalu buruk, bukan dalam situasi yang mendesak dan orang yang menyebarkan hoax biasanya tidak bertanggung jawab atas perbuatannya, ini nyata dalam media social.


*Nama lengkap : Krisantus Yustus,  semester VII. Fakultas Filsafat UNWIRA Kupang.
Ditulis pada tgl.07/10/2018

Tinggalkan Balasan



Buat situs web Anda di WordPress.com
Memulai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Perihal Hidup: Sejak awal 2023, saya sudah disibukkan dengan satu pekerjaan baru yakni penyelenggara Pemilu persisnya panwaslu desa (PKD...