Minggu, 16 Desember 2018

Politik Identitas


KEADILAN SOSIAL YANG PREMATUR,
 SALAH SATU AKAR PENYEBAB POLITIK IDENTITAS
          Hakekat politik
Sebagian masyrakat akar rumput mereduksi politik sebagai sesuatu yang kotor. Banyak yang tidak ingin terlibat secara penuh dalam dialektika politik, seperti ambil bagian dalam pemilihan wakil rakyat, mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah, sebab politik bagi mereka adalah suatu pentas seni yang menyita banyak waktu, dimana para aktornya saling mengalahkan untuk tampil jadi pemenang. Penontonlah yang dikorbankan, dipaksa untuk menyaksikan berbagai kebobrokan yang dirationalisasi sedemikian rupa sehingga kebenaran menjadi kabur. Ketidakpuasan menjadi biasa. Apakah benar bahwa politik itu kotor? Tidak!! Sebenarnya bukan politik yang kotor, tetapi aktor politik, yang terkadang terdesak oleh berbagai kepentingan individual atau partai politiknya menghalalkan segala cara. Para politisi memenangkan kepentingan-kepentingang, dengan berusaha merendahkan potensi lawan politiknya serendah mungkin dan mempromosikan kapasitas dirinya, kepentingan partainya setinggi mungkin. Itu yang terjadi di ruang public saat ini, janji manis selalu yang terdengar bagi masyarakat, namun sakitlah yang dialami. Sibuk untuk memperjuangkan ideologi partai dan berusaha mempertahankannya tanpa sampai kepada makna dari mengapa harus berjuang?
          Jika kita merevew sedikit memoria kita ke masa Yunani Kuno, untuk mencari tahu hakekat politik yang benar, maka dapat ditemukan defenisis Aristoteles bahwa politik itu sebebanrnya sebuah cetusan aktivitas agung dari masyarakat yang bernama manusia. Cetusan kesempurnaan kodrat sosialitas, rationalitas sekaligus moralitas manusia. Kesempurnaan itu disebut kemanusiawian, artinya tidak manusiawilah manusia bila ia tidak mengintegrasikan dirinya dalam tata kelola hidup bersama. Sebab politik yang akar katanya dari bahasa Yunani, politikos menyangkut warga negara, polites seorang warga negara, polis kota, negara, politeia, kewargaan. Aristoteles lalu melanjutkan, maksud (tujuan, sasaran) politik sama dengan tujuan etika dan sama dengan tujuan kehidupan manusia pada umumnya yaitu untuk mencapai eudaimonia, kesejahteraan yang sangat penting, vital bagi manusia.
          Di era kontemporer ini pengembangan konsep  politik sudah sangat kompleks. Politik yang pada dasarnya adalah tata kelola hidup bersama demi mencapai eudaimonia, berkembang dengan pertanyaa-pertanyaan dasar, siapa yang memiliki legitimasi untuk mengelolah hidup bersama itu, bagaimana cara mengelolahnya? Semua sudah dijawab. Pertama, dalam konteks Indonesia, kita menerapkan sisitem pemerintahan demokrasi, bahwa masyarakatlah yang mengelolah kehidupannya sendiri, kekuasaan ada di tangan rakyat, dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Keputusan-keputusan politik selalu dibuat atas persetujun seluruh rakyat, tetapi karena Indonesia dan juga negara-negara modern yang terkomposisi dari berbagai suku, agama, ras, dan antargolongan dengan porsentase penduduk yang sangat tinggi, maka demokrasi langsung tidak mungkin bisa terlaksana, tetapi kekuasaan rakyat itu diserahkan kepada wakil-wakil rakyat, mereka mendapat legitimasi untuk mengelolah kehidupan bersama ini, dengan orientasi tetap pada kepentingan masyrakat umum. Wakil rakyat adalah orang yang mewakili rakyat, memiliki kekuasaan karena diberi oleh rakyat, kedaulatanya ada di tangan rakyat. Maka ketika para wakil rakyat tidak bekerja untuk rakyat, mereka boleh disingkirkan. Inilah jawaban tentang siapa yang harus mengelolah kehidupan berama dalam suatu negara yaitu rakyat secara keseluruhan melalui wakil-wakilnya.
          Kedua, Masyarakat demokratis adalah pemegang kedaulatan, dan kehidupan bersama dalam suatu negara demokratis itu harus membebaskan. Bebas untuk hidup, berkepresi, belajar dsb. Kebebasan inilah adalah cita-cita seluruh masyarakat, kebebasan harus dijamian, maka dibutuhkan hukum. Adanaya hukum bukan  untuk mengekang kebebasan namun untuk menjamin kebebasan sertiap warga dengan tidak melanggar kebebasan orang lain. Hukum mengatur bagaimana tata kelolah hidup bersama itu harus diterapkan. Hukum itu terwujud dalam Konstitusi, Undang-Undang dan peraturan-peraturan pemerintah. Itulah hukum positive yang tetap berlandas pada hukum moral bangsa tersebut.  Hukum menjadi norma tingkah laku, dalam konteks Indonesia, hokum tertinggi tetap bersumber pada Pancasila. dalam masyarakat demokratis kita lalu mengenal tiga komponen yang memegang kekuasaan berdasarkan hukum yaitu, legislativ (pembuat hukum), yudikativ (penginterpretasi hokum), dan eksekutiv (pelaksana hukum). Inilah yang menjawabi pertanyaan bagaiman tata kelolah hidup bersama itu dilakukan.
          Indonesia adalah negara demokrasi konstitusional. System pemerintahanya demokrasi, dan berlandas pada hukum. Tetang siapa yang mengelolah negara ini, adalah masyarakat umum melalu wakil-wakilnya, dan tetang bagaimana melaksanakan tata kelolah hidup bersama ini, hokum adalah penuntunya dengan mekanisme pembagian kekuasaan.
          Keadilan Sosial
Di atas sudah diuraikan hakekat politik dan korelasinya dengan konteks Indonesia. Tak bisa dipungkiri bawasannya dalam negara demokratis, tetap ada segelintir warga yang tidak puas dengan keputusan-keputusan politis, aspirasi mereka tidak dapat diterima oleh mayoritas. Sebab pada akhirnya dalam membuat suatu keputusan harus tetap mendengakan suara terbanyak, suara mayoritas, kepentingan tetap harus menguntungan banyak orang. Inilah salah satu akar mencuatnya politik identitas, yaitu ketidakpuasan minoritas terhadap keputusan-keputusan politis yang seolah-olah hanya mendengarkan suaru mayortias. Bagi kaum minorotas inilah wajah keadilan sosial yang premature. Jika hanya kepentingan mayoritas yang didengarkan, maka keadilan itu tidak menyeluruh, tidak merata, tidak dirasakan secara sosial. Padahal hukum dalam bahasa Latin disebut ius sama artinya dengan adil. Ius quia iustum. Hukum harus adil, negera hukum adalah negara yang menjunjung tinggi keadilan. Keadilan menjadi unsur konstitutif dari hukum.
Dari sini kita menangkap bahwa, adil itu adalah memberikan kepada orang lain apa yang menjadi haknya. Keadilan didefenisikan sebagai kesedian kehendak yang terus menerus untuk memberikan kepada seseorang secara terus menerus apa yang menjadi miliknya. Tiga ciri khas yang menyertai keadilan, bahwa keadilan itu selalu tertuju kepada orang lain, keadilan harus dilaksanakan, dan keadilan menuntut persamaan. Berbicara tentang keadilan pengandaiannya hanya dalam keterhubungan dengan orang lain, dalam suatu oraganisasi atau dalam hidup bersama. Manusia dari kodratnya ens sociale, mahluk sosial. Hidup bergantung pada orang lain, dan bersama orang lain. Keadilan juga menuntut persamaan. Di depan hokum yang adil semua sama, dan semua merasakan keadilan yang sosial itu.
Dalam pidatonya 1 Juni 1945, Soekarno merumuskan sila terkhir dari Pancasila itu adalah keadilan sosial. Keadilan sosial baginya adalah bukan saja persamaan politik, juga ekonomi, pembangunan, tetapi kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya. Kesejahteraan ini sebagai cita-cita idela, kesejahteraan itu effect langsung dari keadilan sosial. Khaos terjadi karena ketidakadilan. Ketidak adilan membawa orang kepada ketidakpuasan. Dan yang selalu merasa tidak puas itu adalah kaum minoritas. Ketidakpuasan minoritas ini terumus rapi dalam bingkai politik identitas, dimana minoritas mempolitisasi identitas demi kepentingan partiukular komunitasnya dengan identitas tertentu.
Politik Identitas
Sisi polsitiv dari politik identitas memang mulia adalah agar pemerintah juga menghargai aspirasi minoritas. Sisi negative dari politik identitas ialah ketika identitas tertentu memperjuangkan suatu homogenitas, dengan melecehkan pengahrgaan terhadap pluralitas.  Padahal bangsa Indonesia terlahir dari pluralitas suku, ras, agama dan antargolongan.  Di bawah payung Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi satu itulah Indonesia dibangun.
          Secara konseptual kata identitas menunjukan esensi sesuatu atau seseorang. Dalam metafiska identitas disebut sebagai yang tetap dari sesuatu yang berubah. Paling nyata adalah manusia, dari segi biologis setiap saat manusia terus berubah semakin dewasa, seperti binatang pada umumnya. Dari segi kognitif juga perubahan itu nyata ketika semakin kompleks wawasanya. Itulah yang berubah tetapi yang tidak berubah adalah siapa dirinya. Sifat-sifat dasarnya, karakternya. Hal-hal yang menentukan kesiapaan seseorang. Identitas menunjukan apa yang sama dari suatu keseragaman. Misalnya banyak rakyat berbeda golongan tetapi mereka sama-sama memeluk satu agama tertentu, mereka memiliki identitas yang sama yaitu agama. Atau kaum peremepuan memiliki identitas feminis.
Politik identitas muncul dari ketidakpuasan terhadap mekanisme pemerintahan yang tidak memenuhi kepentingan-kepentingan identitas tertentu. Paling nyata identitas dikenal melalui suku, agama, ras, dan antar golongan. Dalam realitas hidup berbangsa dan bernegara saat ini, tidak ada lagi suatu bangsa yang homogeny, dimana masyarakatnya terdiri dari keturunan ras yang sama, atau semua warga memeluk satu agama yang sama, atau dari suku yang sama. Homogenitas sudah tidak mengkin lagi mengingat dunia yang terbuka, hukum international menjamin perpindahan penduduk dari negara satu ke negara lain. Perpindahan penduduk karena pengungsian, atau bahkan dalam satu negara juga terkomposisi dari suku yang berbeda-beda sehingga benar-benar kompleks. Indonesia tidak terluput dari kompleksitas masyarakatnya. Terbentang dari sabang sampai marauke, dengan kebudayaan yang berbeda, dengan agama yang berfariasi, sehingga inilah yang menjadikan Indonesia kompleks.
Sumpah pemuda, sebenarnya dklarasi kaum muda sebagai perwaklan dari berbagai daerah yang menyatakan berbangsa satu, bangsa Indonesia, bertanah air satu, berbahasa satu bahasa Indonesia. Tahhun 1928 awal nasionalisme yang sesungguhnya. Nah melihat relitas bangsa Indonesia yang kompleks kita menerima pluralism, yang sangat berbahaya ilaha ketika pluralism ini diradikalkan, yaitu ketika masing identitas berusaha eksis dengan satu style yang memang berbeda dari yang lain dan tidak ada kemungkinan untuk bersatu. Masing-masing menatakan bahwa dirinya adalah unik, dan tidak tunduk pada satu kesepakatan bersama, satu cita-cita negara bersma yaitu Pancasila.
Politik identitas muncul pertama kali dari kalangan ilmu –ilmu sosial, bermula di Amerika Serikat ketika ada, kelompok-kelompok minoritas yang dimarginalisasikan oleh mayoritas. Mereka lalu membenci kemapanan, lalu meluas ke masalah agama, cultural, suku, dan ras. Di Indonesia misalnya, orang mengaggungkan daerahnya yang dipelopori oleh para elit politik. Penyebab lain juga yaitu karen politik sentralitis, orientasi membangun ibu kota sehingga lupa pada pinggiran. Sehingga identitas dari suku pinggiran itu dipolitisasi demi memenagan kepentingan mereka, agar pemerintah memperhatikan mereka. Tujuannya tetap mulia. Sisi baiknya ada, tetapi yang menjadi tidak baik dari politik identitas ialah ketika, dengan identitas yang tertindas, identitas yang tidak diperhatikan, lalu para elit politik memanfaatkannya demi mencapai kepentingan-kepentingan terselubung. Bukan supaya identitas tertentu diperhatikan, tetapi kepentiangan tertentu dipenuhi. Itulah bahayanya.
Pancasila Penangkal Politik Identitas
Nasib pancasila, seharusnya tidak hanya dimuliakan dalam kata, diagungkan dalam tulisan, dan dikhianati dalam perbuatan. Karena kita di Indonesia menganut system demokrasi, penerimaan semua masyarakat dari berbagai SARA, nah ideologi Pancasila menjadi penting, untuk mengontrol semua ideology lain yang berkembang di Indosia dan rujukan terkhir bagi manusia pancasila. Politik identitas adalah baikm ketika aspirasi minoritas, atau kaum mariginal, atau identitas tertentu didenganr dan dihargai. Menjadi buruk ketika identitas tertentu dipolitisasi demi suatu kepentingan particular. Pancasila menghargai pluralitas, walaupun dalam menetukan keputusan-keputusan politis sebagai satu negara demokrati harus mendegar suara terbanyak, namun dalam hal ini minoritas tidak juga sangat drugikan. Hak-hak dasar minoritas tetap dilindungi oleh hukum. Seperti hak hidup, hak berorganisasi.
Politik secara esensial adalah baik yang tidak baik ialah politik identitas, jika identitas dipolitisasi demi kepentingan-kepentingan particular tertent. Pancasila aalah penangkal politisasi identitas, dimana dari ideology ini kita mendapat tuntunan bagaimana harus menghargai pluralitas, karena negara Indonesia adalah komposisi dari berbagai suku, agama, ras, dan antar golongan. Keadilan sosial adalah agenda besar, dan dengan terpenuhnya agenda ini yang adalah sila ke-lima dari pancasila, maka bagi saya politik identitas (politisasi identitas) akan semakin menyusut.

Oleh Krisantus Yustus, fakultas filsafat UNWIRA, semester VII

Sumber bacaan :
1.    Lorrens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2000.
2.    Prof. Dr. E. Armada Riyanto, CM, Berfilsafat Politik, Yogyakarta: Kanisius, 2014
3.    Nobertus Jegalus, Hukum Kata Kerja, Diskursus Filsafat Tentang Hukum Progresif, Jakarta: Obor, 2011.
Filsafat Sosial (Bahan Ajar), Kupang, Fakultas Filsafat UNWIRA, 2018.
4.    Roso Daras, Total Bung Karno, Serpihan Sejarah Yang Tercecer, Depok: Imania, 2013.
5.    Will Kymlicka, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer, kajian Khusus Atas Teori-Teori Keadilan, Agus Wahyudi, M.Hum (penerj.), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Perihal Hidup: Sejak awal 2023, saya sudah disibukkan dengan satu pekerjaan baru yakni penyelenggara Pemilu persisnya panwaslu desa (PKD...