KEADILAN SOSIAL YANG PREMATUR,
SALAH
SATU AKAR PENYEBAB POLITIK IDENTITAS
Hakekat politik
Sebagian masyrakat akar rumput mereduksi
politik sebagai sesuatu yang kotor. Banyak yang tidak ingin terlibat secara
penuh dalam dialektika politik, seperti ambil bagian dalam pemilihan wakil
rakyat, mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah, sebab politik bagi mereka
adalah suatu pentas seni yang menyita banyak waktu, dimana para aktornya saling
mengalahkan untuk tampil jadi pemenang. Penontonlah yang dikorbankan, dipaksa
untuk menyaksikan berbagai kebobrokan yang dirationalisasi sedemikian rupa
sehingga kebenaran menjadi kabur. Ketidakpuasan menjadi biasa. Apakah benar
bahwa politik itu kotor? Tidak!! Sebenarnya bukan politik yang kotor, tetapi
aktor politik, yang terkadang terdesak oleh berbagai kepentingan individual
atau partai politiknya menghalalkan segala cara. Para politisi memenangkan
kepentingan-kepentingang, dengan berusaha merendahkan potensi lawan politiknya
serendah mungkin dan mempromosikan kapasitas dirinya, kepentingan partainya
setinggi mungkin. Itu yang terjadi di ruang public saat ini, janji manis selalu
yang terdengar bagi masyarakat, namun sakitlah yang dialami. Sibuk untuk
memperjuangkan ideologi partai dan berusaha mempertahankannya tanpa sampai
kepada makna dari mengapa harus berjuang?
Jika kita merevew sedikit memoria kita ke masa
Yunani Kuno, untuk mencari tahu hakekat politik yang benar, maka dapat
ditemukan defenisis Aristoteles bahwa politik itu sebebanrnya sebuah cetusan
aktivitas agung dari masyarakat yang bernama manusia. Cetusan kesempurnaan
kodrat sosialitas, rationalitas sekaligus moralitas manusia. Kesempurnaan itu
disebut kemanusiawian, artinya tidak manusiawilah manusia bila ia tidak
mengintegrasikan dirinya dalam tata kelola hidup bersama. Sebab politik yang
akar katanya dari bahasa Yunani, politikos
menyangkut warga negara, polites seorang
warga negara, polis kota, negara, politeia, kewargaan. Aristoteles lalu
melanjutkan, maksud (tujuan, sasaran) politik sama dengan tujuan etika dan sama
dengan tujuan kehidupan manusia pada umumnya yaitu untuk mencapai eudaimonia, kesejahteraan yang sangat
penting, vital bagi manusia.
Di era
kontemporer ini pengembangan konsep
politik sudah sangat kompleks. Politik yang pada dasarnya adalah tata
kelola hidup bersama demi mencapai eudaimonia,
berkembang dengan pertanyaa-pertanyaan dasar, siapa yang memiliki
legitimasi untuk mengelolah hidup bersama itu, bagaimana cara mengelolahnya?
Semua sudah dijawab. Pertama, dalam konteks
Indonesia, kita menerapkan sisitem pemerintahan demokrasi, bahwa masyarakatlah
yang mengelolah kehidupannya sendiri, kekuasaan ada di tangan rakyat, dari
rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Keputusan-keputusan politik selalu dibuat atas
persetujun seluruh rakyat, tetapi karena Indonesia dan juga negara-negara
modern yang terkomposisi dari berbagai suku, agama, ras, dan antargolongan
dengan porsentase penduduk yang sangat tinggi, maka demokrasi langsung tidak
mungkin bisa terlaksana, tetapi kekuasaan rakyat itu diserahkan kepada
wakil-wakil rakyat, mereka mendapat legitimasi untuk mengelolah kehidupan
bersama ini, dengan orientasi tetap pada kepentingan masyrakat umum. Wakil rakyat
adalah orang yang mewakili rakyat, memiliki kekuasaan karena diberi oleh
rakyat, kedaulatanya ada di tangan rakyat. Maka ketika para wakil rakyat tidak
bekerja untuk rakyat, mereka boleh disingkirkan. Inilah jawaban tentang siapa
yang harus mengelolah kehidupan berama dalam suatu negara yaitu rakyat secara
keseluruhan melalui wakil-wakilnya.
Kedua, Masyarakat demokratis adalah
pemegang kedaulatan, dan kehidupan bersama dalam suatu negara demokratis itu
harus membebaskan. Bebas untuk hidup, berkepresi, belajar dsb. Kebebasan inilah
adalah cita-cita seluruh masyarakat, kebebasan harus dijamian, maka dibutuhkan
hukum. Adanaya hukum bukan untuk
mengekang kebebasan namun untuk menjamin kebebasan sertiap warga dengan tidak
melanggar kebebasan orang lain. Hukum mengatur bagaimana tata kelolah hidup
bersama itu harus diterapkan. Hukum itu terwujud dalam Konstitusi,
Undang-Undang dan peraturan-peraturan pemerintah. Itulah hukum positive yang
tetap berlandas pada hukum moral bangsa tersebut. Hukum menjadi norma tingkah laku, dalam
konteks Indonesia, hokum tertinggi tetap bersumber pada Pancasila. dalam
masyarakat demokratis kita lalu mengenal tiga komponen yang memegang kekuasaan
berdasarkan hukum yaitu, legislativ (pembuat hukum), yudikativ
(penginterpretasi hokum), dan eksekutiv (pelaksana hukum). Inilah yang
menjawabi pertanyaan bagaiman tata kelolah hidup bersama itu dilakukan.
Indonesia
adalah negara demokrasi konstitusional. System pemerintahanya demokrasi, dan
berlandas pada hukum. Tetang siapa yang mengelolah negara ini, adalah
masyarakat umum melalu wakil-wakilnya, dan tetang bagaimana melaksanakan tata
kelolah hidup bersama ini, hokum adalah penuntunya dengan mekanisme pembagian
kekuasaan.
Keadilan Sosial
Di atas sudah diuraikan hakekat
politik dan korelasinya dengan konteks Indonesia. Tak bisa dipungkiri
bawasannya dalam negara demokratis, tetap ada segelintir warga yang tidak puas
dengan keputusan-keputusan politis, aspirasi mereka tidak dapat diterima oleh
mayoritas. Sebab pada akhirnya dalam membuat suatu keputusan harus tetap mendengakan
suara terbanyak, suara mayoritas, kepentingan tetap harus menguntungan banyak
orang. Inilah salah satu akar mencuatnya politik identitas, yaitu ketidakpuasan
minoritas terhadap keputusan-keputusan politis yang seolah-olah hanya
mendengarkan suaru mayortias. Bagi kaum minorotas inilah wajah keadilan sosial yang premature.
Jika hanya kepentingan mayoritas yang didengarkan, maka keadilan itu tidak
menyeluruh, tidak merata, tidak dirasakan secara sosial. Padahal hukum dalam
bahasa Latin disebut ius sama artinya
dengan adil. Ius quia iustum. Hukum harus
adil, negera hukum adalah negara yang menjunjung tinggi keadilan. Keadilan
menjadi unsur konstitutif dari hukum.
Dari sini kita menangkap bahwa, adil
itu adalah memberikan kepada orang lain
apa yang menjadi haknya. Keadilan didefenisikan sebagai kesedian kehendak
yang terus menerus untuk memberikan kepada seseorang secara terus menerus apa
yang menjadi miliknya. Tiga ciri khas yang menyertai keadilan, bahwa keadilan
itu selalu tertuju kepada orang lain, keadilan harus dilaksanakan, dan keadilan
menuntut persamaan. Berbicara tentang keadilan pengandaiannya hanya dalam
keterhubungan dengan orang lain, dalam suatu oraganisasi atau dalam hidup
bersama. Manusia dari kodratnya ens
sociale, mahluk sosial. Hidup bergantung pada orang lain, dan bersama orang
lain. Keadilan juga menuntut persamaan. Di depan hokum yang adil semua sama,
dan semua merasakan keadilan yang sosial itu.
Dalam pidatonya 1 Juni 1945,
Soekarno merumuskan sila terkhir dari Pancasila itu adalah keadilan sosial.
Keadilan sosial baginya adalah bukan saja persamaan politik, juga ekonomi,
pembangunan, tetapi kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya. Kesejahteraan
ini sebagai cita-cita idela, kesejahteraan itu effect langsung dari keadilan
sosial. Khaos terjadi karena ketidakadilan. Ketidak adilan membawa orang kepada
ketidakpuasan. Dan yang selalu merasa tidak puas itu adalah kaum minoritas. Ketidakpuasan
minoritas ini terumus rapi dalam bingkai politik identitas, dimana minoritas
mempolitisasi identitas demi kepentingan partiukular komunitasnya dengan
identitas tertentu.
Politik Identitas
Sisi polsitiv dari politik
identitas memang mulia adalah agar pemerintah juga menghargai aspirasi minoritas.
Sisi negative dari politik identitas ialah ketika identitas tertentu
memperjuangkan suatu homogenitas, dengan melecehkan pengahrgaan terhadap pluralitas.
Padahal bangsa Indonesia terlahir dari
pluralitas suku, ras, agama dan antargolongan.
Di bawah payung Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi satu itulah
Indonesia dibangun.
Secara
konseptual kata identitas menunjukan esensi sesuatu atau seseorang. Dalam
metafiska identitas disebut sebagai yang tetap dari sesuatu yang berubah. Paling
nyata adalah manusia, dari segi biologis setiap saat manusia terus berubah
semakin dewasa, seperti binatang pada umumnya. Dari segi kognitif juga
perubahan itu nyata ketika semakin kompleks wawasanya. Itulah yang berubah
tetapi yang tidak berubah adalah siapa dirinya. Sifat-sifat dasarnya,
karakternya. Hal-hal yang menentukan kesiapaan
seseorang. Identitas menunjukan apa yang sama dari suatu keseragaman.
Misalnya banyak rakyat berbeda golongan tetapi mereka sama-sama memeluk satu
agama tertentu, mereka memiliki identitas yang sama yaitu agama. Atau kaum
peremepuan memiliki identitas feminis.
Politik identitas muncul dari
ketidakpuasan terhadap mekanisme pemerintahan yang tidak memenuhi
kepentingan-kepentingan identitas tertentu. Paling nyata identitas dikenal
melalui suku, agama, ras, dan antar golongan. Dalam realitas hidup berbangsa
dan bernegara saat ini, tidak ada lagi suatu bangsa yang homogeny, dimana
masyarakatnya terdiri dari keturunan ras yang sama, atau semua warga memeluk
satu agama yang sama, atau dari suku yang sama. Homogenitas sudah tidak mengkin
lagi mengingat dunia yang terbuka, hukum international menjamin perpindahan
penduduk dari negara satu ke negara lain. Perpindahan penduduk karena
pengungsian, atau bahkan dalam satu negara juga terkomposisi dari suku yang
berbeda-beda sehingga benar-benar kompleks. Indonesia tidak terluput dari
kompleksitas masyarakatnya. Terbentang dari sabang sampai marauke, dengan
kebudayaan yang berbeda, dengan agama yang berfariasi, sehingga inilah yang
menjadikan Indonesia kompleks.
Sumpah pemuda, sebenarnya
dklarasi kaum muda sebagai perwaklan dari berbagai daerah yang menyatakan berbangsa
satu, bangsa Indonesia, bertanah air satu, berbahasa satu bahasa Indonesia.
Tahhun 1928 awal nasionalisme yang sesungguhnya. Nah melihat relitas bangsa
Indonesia yang kompleks kita menerima pluralism, yang sangat berbahaya ilaha
ketika pluralism ini diradikalkan, yaitu ketika masing identitas berusaha eksis
dengan satu style yang memang berbeda dari yang lain dan tidak ada kemungkinan
untuk bersatu. Masing-masing menatakan bahwa dirinya adalah unik, dan tidak
tunduk pada satu kesepakatan bersama, satu cita-cita negara bersma yaitu
Pancasila.
Politik identitas muncul pertama
kali dari kalangan ilmu –ilmu sosial, bermula di Amerika Serikat ketika ada,
kelompok-kelompok minoritas yang dimarginalisasikan oleh mayoritas. Mereka lalu
membenci kemapanan, lalu meluas ke masalah agama, cultural, suku, dan ras. Di
Indonesia misalnya, orang mengaggungkan daerahnya yang dipelopori oleh para
elit politik. Penyebab lain juga yaitu karen politik sentralitis, orientasi
membangun ibu kota sehingga lupa pada pinggiran. Sehingga identitas dari suku
pinggiran itu dipolitisasi demi memenagan kepentingan mereka, agar pemerintah
memperhatikan mereka. Tujuannya tetap mulia. Sisi baiknya ada, tetapi yang
menjadi tidak baik dari politik identitas ialah ketika, dengan identitas yang
tertindas, identitas yang tidak diperhatikan, lalu para elit politik
memanfaatkannya demi mencapai kepentingan-kepentingan terselubung. Bukan supaya
identitas tertentu diperhatikan, tetapi kepentiangan tertentu dipenuhi. Itulah
bahayanya.
Pancasila Penangkal Politik Identitas
Nasib pancasila, seharusnya tidak
hanya dimuliakan dalam kata, diagungkan dalam tulisan, dan dikhianati dalam
perbuatan. Karena kita di Indonesia menganut system demokrasi, penerimaan semua
masyarakat dari berbagai SARA, nah ideologi Pancasila menjadi penting, untuk
mengontrol semua ideology lain yang berkembang di Indosia dan rujukan terkhir bagi
manusia pancasila. Politik identitas adalah baikm ketika aspirasi minoritas,
atau kaum mariginal, atau identitas tertentu didenganr dan dihargai. Menjadi
buruk ketika identitas tertentu dipolitisasi demi suatu kepentingan particular.
Pancasila menghargai pluralitas, walaupun dalam menetukan keputusan-keputusan
politis sebagai satu negara demokrati harus mendegar suara terbanyak, namun dalam
hal ini minoritas tidak juga sangat drugikan. Hak-hak dasar minoritas tetap
dilindungi oleh hukum. Seperti hak hidup, hak berorganisasi.
Politik secara esensial adalah
baik yang tidak baik ialah politik identitas, jika identitas dipolitisasi demi
kepentingan-kepentingan particular tertent. Pancasila aalah penangkal
politisasi identitas, dimana dari ideology ini kita mendapat tuntunan bagaimana
harus menghargai pluralitas, karena negara Indonesia adalah komposisi dari
berbagai suku, agama, ras, dan antar golongan. Keadilan sosial adalah agenda
besar, dan dengan terpenuhnya agenda ini yang adalah sila ke-lima dari
pancasila, maka bagi saya politik identitas (politisasi identitas) akan semakin
menyusut.
Oleh Krisantus Yustus, fakultas
filsafat UNWIRA, semester VII
Sumber bacaan :
1.
Lorrens Bagus, Kamus
Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2000.
2.
Prof. Dr. E. Armada
Riyanto, CM, Berfilsafat Politik, Yogyakarta: Kanisius, 2014
3.
Nobertus Jegalus, Hukum
Kata Kerja, Diskursus Filsafat Tentang Hukum Progresif, Jakarta: Obor,
2011.
Filsafat
Sosial (Bahan Ajar), Kupang,
Fakultas Filsafat UNWIRA, 2018.
4.
Roso Daras, Total
Bung Karno, Serpihan Sejarah Yang Tercecer, Depok: Imania, 2013.
5.
Will Kymlicka, Pengantar
Filsafat Politik Kontemporer, kajian Khusus Atas Teori-Teori Keadilan, Agus
Wahyudi, M.Hum (penerj.), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar