Minggu, 28 April 2019

Yoman Rembung


“Namanya Rembung”

Refleksi singkat tentang nama Rembung,
 fam seorang sahabat yang bernama Yohanes Brahmans Rembung (Yoman).

            Di hari Minggu 31 Maret 2019, Santiago meluncur ke Kota Kupang. Apa yang akan terjadi, kemana secara spesifik sasaran kepergiannya? Semua tidak terkonsepkan, itulah yang selalu dilakukan oleh Santiago. Semua terjadi begitu saja, kemana dan apa yang akan terjadi mengalir begitu saja (pentha rei), anda tidak akan lewat di sungai degan air yang sama sebab air selalu mengalir. [1]Heraklitos menjadi filosof yang melandasi semua pemikiran dan gerak hidup Santiago, khususnya sehari itu. Walaupun segala sesuatu mengalir begitu saja, namun ke-mengaliran itu selalu mengandung makna, tergantung siapa yang ingin menggalinya. Makna tidak harus terdapat dari peristiwa yang indah dan amazing, segala peristiwa selalu mengandung makna dan nilai.
      Minggu ini Santiago meluncur ke suatu tempat di mana kampus STIKES MARANATHA berada. Santiago terpukau dengan para calon perawat yang koskosan sekitar STIKES, lebih dari itu begitu mengasykkan. Di Baumata Santiago berjumpa dengan Makarius teman sekampung dan seperjuangannya, mereka sebenarnya sudah berjanjian untuk bertemu, namun semua bersalahan sehingga perencanaan jadi buyar. Buyarnya perencanaan menjadikan Santiago tidak memiliki rencana baru lagi selain jalani dan jalani saja,  kemana dan bagaimana serta apa yang terjadi, semua diserahkan kepada kenyataan, satu hal yang pasti bahwa peristiwa baru akan terjadi.
    Marlin Manore artis Amerika yang pernah diisukan selingkuh dengan Soekarno bahkan menyatakan bahwa Ia menjadi terkenal hanya karena sering melakukan kesalahan, sebab baginya kesalahan menjadikan orang untuk mengetahui sesuatu yang baru dan berbeda. Thomas Alva Edison justerubersyukurdariseratus kali percobaan, pertama-tama bukan karena Ia menemukan sesuatu kebenaran yang Ia cari tetapi justeru karena Ia bisa mengetahui 99 kesalahan yang tidak perlu diulanginya lagi. Pengalaman itulah yang membuat Santiago tidak pernah takut berbuat salah, walau pergi ke Baumata ternyata adalah kesalahan, Santiago tidak takut sebab nantinya Ia akan tahu mana kebenarannya.
            Santiago sebenarnya adalah mahasiswa semester akhir di salah satu Universitas di kota Kupang yang sedang menggarap skripsinya, dengan judul Filsafat Nama Menurut Pi’i Pato’ Pada Kebudayaan Maronggela. Seperti kebanyakan kebudayaan lain yang ada di Indonesia begitupun Kebudayaan Maronggela, Desa Wolomeze, Kabupaten Ngada-NTT juga memiliki tradisi pemberian nama kepada calon anggota keluarga yaitu bayi yang baru lahir, tradisi itulah yang disebut P’i Pato’ atau pemberian nama dengan pinang muda yang dibelah dua sebagai sarana penentu apakah nenek moyang menyetujui nama yang ditawarkan atau tidak. Tradisi ini biasanya terjadi pada hari kelima setelah bayi lahir. Pemberian nama dilakukan oleh seorang kepala suku atau seseorang yang dituakan dalam keluarga dan semua anggota suku diharapkan hadir dalam acara “nampo’ ngalit/ pi’i pato’ tersebut. Alasan mendasar adalah karena sang bayi akan menjadi anggota resmi dari suku Maronggela maka dibutuhkan partisipasi seluruh anggota suku untuk menyambut kedatanngannya. Inilah unsur sosialitas dari pi’i pato’.
       Persoalan tentang mekanisme pemberian nama sudah bisa Santiago bayangkan dan pikirkan bagaiamana harus diatuliskan, bahkan Santiago telah melakukan semiar proposal dengan judul yang sama di atas dan diterima oleh dosen pembimbing serta diharapkan untuk melakukan penelitian yang lalu terdokumentasi dalam bentuk skripsi. Penelitian Santiago sebenarnya tidak hanya menyangku tmekanisme pi’i pato’! Bukan hanya untuk menjawabi pertanyaan bagaimana harus melakukan, kapan, siapa yang harus hadir serta apa bahan-bahan yang perlu dipersiapkan dalam acara pi’i pato’? Mengingat judul yang ditawarkan adalah menyangkut filsafat nama maka penelitian Santiago harus bisa menjawab persoalan apa filsafat nama menurut pi’i pato’? Santiago telah menghabiskan dua bulan berusaha menjawab pertanyaan itu dengan kemampuan serta pengetahuan yang ia miliki. Semua pertanyaan dasar sudah ia jawab perlahan tetap tidak memadahi. Pengetahuan yang Ia miliki tidak menjawab secara defenitif persoalan atau pertanyaan di atas, pengetahuan harus diakui datang dan bersumber dari orang lain, maka Santiago harus bertanya kepada orang yang lebih mengetahui jawaban dari pertanyaan apa filsafat nama menurut pi’ipato’.
            Pertanyaan telah coba Santiago tanyakan kepada orang-orang di kampung Maronggela sesuai 5w1h, namun jawaban yang sama selalu dilontarkan dari mulut tua-tua adat bahwa itu sudah tradisi dan kita generasi muda saat ini hanya melanjutkan. Itu sudah tradisi. Jawaban ini sungguh tidak memuaskan bagi Santiago dan tidak memenuhi dahaga inteleknya dan bahkan tidak memenuhi kriteria ujian skripsi. Santiago coba mewanwancarai orang-orang yang lebih tahu daripada tua-tua adat, misalnya mengapa harus pada hari kelima barulah pi’i pato’ bisa dilakukan? Mengapa harus gunakan pinang dan bukan gunakan hal lain? Santiago berusaha menjawabnya sendiri dan barulah ditanyakan kebenarannya kepada tua-tua adat, hanya saja itu pun belum memuaskan sehingga harus dibutuhkan input dari orang lain.
xxxxxxxxxxx
xxxxxx
xxx
x

            Kesalahan yang terjadi hari ini justeru menemukan Santiago dengan sesorang bernama Yoman Rembung. Beliau adalah seorang mahasiwa di salah satu universitas yang ada di kota Kupang ini. Santiago tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa Ia akan berjumpa dengan orang yang menjadi sasaran wawancaranya (Narasumber), Yoman Rembung sapaan hariannya, namun Ia memiliki nama panjang ialah Yohanes Brahmans Rembung. Santiago lalu mewawancarainya bukan nama baptis tetapi tentang nama Rembung itu sendiri. Rembung dalam bahasa Maronggela (Nampe), diartikan sebagai tunas muda, atau rumput muda yang baru tumbuh dan masih hijau. Rembung biasanya sangat cocok untuk makanan hewan seperti kuda, kerbau dan sapi serta hewan-hewan mamalia lainnya.
            Filsafat nama untuk nama Rembung yang dimaksud di sini dipakai metodologi filsafat Timur bukan pemikiran analitis tapi suatu pandangan hidup atau (way of life), dibedakan dari filsafat Barat yang cendrung spekulatif, rational, serta sistematis. Maka filsafat nama adalah pandangan tentang nama atau apa makna sebuah nama. Filsafat nama Rembung berarti menjawabi persoalan apa arti kata Rembung, dan mengapa nama Rembung serta makna nama Rembung secara filosofis. Melanjutkan penjelasan di atas, Rembung secara harafiah berarti tunas muda. Nama Rembung diambil dari nama kakeknya atau ayah dari ayahnya, dengan harapan bahwa kelak si kecil Rembung ini akan bertumbuh menjadi seperti Rembung kakeknya. Nama pada tempat ini mengandung dua unsur yaitu masa lalu dan masa depan. Unsur masa lalu berati nama Rembung mengenang nama kakeknya yang hidup di masa lalu, maka Rembung dalam keluarga selalu dipanggil Ma’. Ma’ itu artinya bapa. Memanggil Rembung dengan sapaan Ma’ mengenang bapa dari ayahnya atau kakeknya pemilik nama Rembung yang sesungguhnya. Dalam tradisi Maronggela kakek selalu diceritakansebagaitokoh yang hebat, pernah mengalahkan beberapa orang dalam suatu pertempuran atau bahkan pernah membunuh orang dll.
       Dimensi masa depan dari nama Rembung mengandung harapan bahwa Rembung kecil bertumbuh seperti Rembung tua yang sarat akan prestasi dan kehebatan di masa lalu. Hal ini terbukti melalui kata-kata dalam do’a adat yang disebut Pintu Pazir Pi’i Pato. Refleksi sederhana dari Rembung, yang adalah tunas muda, yang hijau dan segar, indah dipandang dan menghiasi pemandangan, serta enak dinikmati, dan  juga makanan untuk hewan. Maka pribadi Rembung atau orang yang bernama Rembung ini pertama, segar dan muda, layaknya tunas muda dia adalah dan seharusnya menampilkan diri sebagai orang yang selalu segar dalam pemikiran, perkataan dan tindakan. Segar menandakan bahwa Ia selalu menyumbang pemikiran yang baru dan memperbaiki pemikiran yang lama, perkataannya selalu mendatangkan pengetahuan yang baru dan menyejukan serta menginspirasi orang yang mendengarnya, tindakannya juga diharapkan.………..

Sekian dulu, nanti ada lanjutan



[1]Heraklitos seorang filosof Yunani Kuno mengungkapkan konsep “pantharei” segala sesuatu mengalir, segala sesuatu bergerak/berubah. Heraklitos bertentangan dengan Parmenides yang mengungkapkan bahwa segala sesuatu tidak bergerak, “ada” dan bukan “tiada”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Perihal Hidup: Sejak awal 2023, saya sudah disibukkan dengan satu pekerjaan baru yakni penyelenggara Pemilu persisnya panwaslu desa (PKD...