“Hati-hatilah dengan Filsafat Yang
Kosong”
Tulisan sederhana untuk seorang sahabat
Perdebatan sengit
dimulai dari kalimat di atas. Santiago malu tersipu diserang lawan debatnya. Pablo
dan Santiago adalah kawan baik, walau Santiago satu tahun lebih tua dari Pablo.
Sebagai kawan mereka sering meghabiskan banyak waktu bersama, apalagi keduanya
sama-sama tertarik pada Politik. Setiap hari berebutan majalah Kompas hanya
untuk bisa membaca opini. Opini dari harian kompas menjadi bacaan favorite
mereka, terkadang tidak saling mengalah dan berlomba untuk menjadi orang
pertama yang mengetahui berita hari ini. Namun Santiago karena lebih dewasa
sering mendahulukan Pablo membaca harian kompas. Baginya tidak ada kata
terlambat untuk mengetahui, sebab setelah Pablo selesai membaca majalah
tersebut pasti dia akan berikan itu kepada Santiago. Pengetahuan Politik mereka
sangat luas, isu-isu sosial dan berita-berita selalu up date. Walau mereka
bukan pelajar Politik secara regular (mahasiwa politik). Mereka hanyalah
pencinta kebijaksannan, yaitu yang menghabiskan waktu dengan mencari kebenaran,
keindahan dan kebaikan, lalu diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Itulah
mereka.
Debat adalah
konsumsi harian, seperti segelas kopi. Santiago bahkan merumuskan satu kalimat
bijak “no day without coffee”, tiada
hari tanpa kopi. Tiada hari tanpa perdebatan juga. Orientasi perdebatan bukan
untuk saling mengalah dan membuktikan siapa yang lebih tahu banyak hal, tetapi
perdebatan lebih dimaksudkan agar apa yang mereka baca atau pelajari tidak
hilang dimakan waktu. Debat itu merangsang otak untuk terus berpikir dan
mencari solusi terbaik. Otak manusia bukan seperti bak yang terus ditampungi
air, tetapi otak manusi itu seperti lilin yang harus dinyalakan dan bercahaya
mengusir kegelapan. Walau ada
ketidakpuasan antara salah satu pihak jika ia kalah dalam perdebatan. Itu tidak
berarti si kalah ini terus down>. Justeru dengan mengetahui
bahwa dia kalah dia akan mencari tahu lebih banyak lagi dan dia selalu
bersyyukur bahwa orang lain bisa menemukan kekurangannku, sehingga aku harus
memperbaikinya.
Malam ini
seperti biasa teman mereka yang lain membacakan satu kalimat bijak dari Kol 2: 8, “hati-hatilah, supaya jangan
ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran
turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus”. Kalimat inilah
yang memicu perdebatan hingga berakhir dengan suatu perasaan malu. Santiago
yang memulai perdebatan, dengan gaya logika berpikirnya yang unik, Ia
menempatkan Pablo sebagai seorang yang anti filsafat dan mengafirmasi kata-kata
Paulus, dan dirinya sendiri sebagai pencinta filsafat yang bertanggung jawab
dengan serangan Paulus tersebut. Ini gaya Santiago untuk memancing perdebatan,
bahkan hal biasapun ia jadikan sebagai bahan untuk perdebatan dengan
menciptakan suasana agar orang lain menjadi lawan debatnya. Tidak untuk
membuktikan siapa yang lebih, tetapi supaya suasana menjadi cair dan pengethuan
atau otak tidak beku.
Sebenarnya
Pablo hanya mau membuktikan secara rational bahwa kata-kata Paulus tersebut tidak
boleh diikuti secara lurus yang bisa membawa kita pada kebencian terhadap
filsafat. Ia sudah menyiapkan argument yang tepat. “filsafat lahir dahulu
sebelum Perjanjian Baru, Filsafat Yunani sudah muncul jauh sebelum Paulus
menulis surat-suratnya. Jadi, dari segi kronologi waktu Filsafat lebih unggul,
dan menurut Santiago, ungkapan Paulus ini adalah ekspresi ketidakpuasan dirinya
saat beliau ditolak di Areopagus. Paulus datang dan mempromosikan bahwa dewa
yang tidak dikenal olah orang Yunani itulah Yahwe Israel, dia lalu berkotbah
sepanjang hari. Kita bisa baca di Kisah Para Rasul. Namun apa yang terjadi,
orang-orang Yunani malah menertawakannya, lain kali saja kami dengar bohongan
ini. Mereka mengejek Paulus yang memberitakan tentang kebangkitan Yesus. Dari
sentiment inilah maka Paulus tidak puas dan mengingarkan pengikutnya yang ada
di Kolose agar berhati hati terhadap ajaran filsafat”.
Santiago lalu
memulai perdebatan dengan stok argumen yang sudah ia siapkan itu. Pablo malah
menanggapi secara salah. Entahlah apa yang sedang terjadi, atau mungkin ia
bosan dengan teori-teori yang Santiago jelaskan setiap hari? Sebab, Santiago
terkenal dengan berbagai teorinya, setiap berjumpa denga orang lain selalu saja
berdebat dan ia berusaha membuktika bahwa orang lain itu salah sendangan
dirinya itu benar. Bukan dengan kekerasan fisik tentunya tetapi dengan
argument. Semua argument Santiago selalu rational itulah yang membuat lawan
debatnya kehilangan kendali dan goyah secara argumentatif. Santiago sebenarnya
tidak ingin terlihat sombong, seolah-olah lebih tahu banyak hal. Tetapi ia juga
tidak yakin teman-temannya lebih mengetahui tentang segala sesuatu daripada
dirinya. Yah okelah bahwa mereka lebih memilih diam dan kelihatan seolah-olah
tidak tahu banyak hal dan menjadikan diri sebagai alim. Namun Santiago ragu
dengan sikap seperti ini. Mereka menyembunyikan kelemahan. Dia berusaha
sedemikian rupa agar teman-temannya berhentilah menjadikan diri sebagai orang
yang lebih tahu padahal jarang membaca buku, padahal susunan kalimat tidak
rational, argument tidak tuntas. Itulah keprihatinan Santiago terhadap
teman-temannya, mereka adalah masa depan bangsa dan Gereja jadi persiapan harus
matang teristimewa dalam hal pengethuan.
Tujuan mulia Santiago
tidak selalu dihargai, itulah hidup. Selalu ada saja yang iri terhadap
kelebihan orang lain, ada saja yang cemburu dan ada saja yang tidak suka dengan
orang yang berbeda atau orang yang lebih. Lihat saja dalam sejarah, orang-orang
pintar biasanya memiliki sahabat sedikit, sebab orang-orang pintar dibenci oleh
banyak orang lainya. Santiaogo mendapat serangan dari Pablo. Ia katakan bahwa
janganlah bangga atau menjadikan diri sebagai satu-satunya pelajar filsafat
yang lebih baik di tempat ini, jangan menjadikan dirimu seolah-olah hebat dalam
filsafat. Jangan bicara banyak hal dan jangan terlalu mempromosikan dirimu
ssebagai orang yang lebih tahu. Kira-kira seperti itulah bunyi kalimat dari
mulut Pablo. Kalimat yang tidak pernah disangkakan oleh Santiago sebelumnya. ,mengapa
Pablo bisa berbicara seperti ini? Padahal apa yang dia lakukan demi tujuan yang
mulia?
Tetapi,
serangan terhadap pribadi Santiago membuat dirinya sadar. Secara prinsipil
dalam berdebat satu hal yang harus dihindari ialah jangan menyerang kepribadian
seseorang, pasti perdebatan akan terbengkelai dan anda membunuh karakter orang
tersebut. Berdebat tetaplah fokus pada materi perdebatan. Ini yang tidak
dipahami oleh Pablo. Ia terus menyerang keoribadian Santiago sehabis-habisnya,
hingga Santiago malu, apalagi di depan banyak orang. Santiagi tidak dapat
melanjutkan debat mereka.
Usaia makan
Santiago masuk ke kamarnya dan menulis pengalaman baru tersebut. Ia
merefleksikan bahwa memang tugas filsafat bukan untuk membenarnkan diri,
filsafat bukan sebagai harga diri atau kebanggaan, filsafat bukan sebagai ilmu
retorika dengan argument-argumen yang rational, bukan unutk diperdagangkan
seperti para sofisme, atau seperti Rocky Gerung menurut Boni Hargens. Santiago
manjatuhkan air matanya lalu duduk merenung, ia mengingat kembali berbagai
perbuatannya selam ini, berbicara bertele-tele, beradebat dengan siapa saja dan
selalu menampilkan diri seolah-olah orang lain bukan pelajar filsafat seperti
dirinya. Walau tujuannya mulia denga diskusi perdebatan setiap hari supaya
teman-temannya membuka mata dan pengethuan bahwa mereka belum mengetahui banyak
hal. Guru selalu meminta Santiago untuk berbuat demikian. Dengan landasan pada
alegori gua Platonis. Ketika seorang tawannan tersebut dibebaskan dan dia
melihat cahaya sesungguhnya, ia bertanggung jawab terhadap teman-temannya yang
masih dalam kegelapan agar mereka berpaling dan melihata apa yang sesungguhnya.
Memang dari respons teman-teman tawannaannya ada yang menolak ada yang
menerima. Itu saja tujuan Santiago. Berfilsafat baginya sangat berguna ketika
itu bisa membantu orang lain keluar dari ketidak tahuannya dan menemukan
pengetahuan sendiri, Sokrates sudah melakuakn jauh sebelum Santiago praktekan
saat ini. Metode kebidannan.
Serangan dari
Pablo adalah suatu kritikan tajam bagi Santiago, dia lalu meutuskan untuk
mengganti metode, dia tidak akan terlihat hiper aktif namun tetap calm, dia akan berbicara hanya jika
diperlukan dan Santiago akan menghabiskan banyak waktu dengan membaca-membaca
lebih banyak lagi buku. Seorang filsuf sejati itu tidak kelihatan secara
terang-terangan tetapi dia ada. Filsuf tidak berbicara banyak namun mengetahui
berbagai disiplin ilmu secara spektakuler. Sebab action speaks louder than words. Filsuf itu banyak merenung bukan
banyak berbicara, sebab kata membatasi pengetahuan, ketiak kita berbicara kita
membatasi apa yang ada dalam pikiran kita. Santiago berniat teguh untuk
mengganti metode, dia hanya akan membantu sahabat yang benar-benar membutuhkan
dirinya unutk berdiskusi berdebat dll. Dia akan semakin pasif dengan terus
mengembagnkan diri secara otodidak dan dalam diam.
Usai Santiago
menulis pengalaman dan niatnya hari ini, ia terkenang pesan ibunya agar
“belajrlah dari ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk”.
************
Terima kasih Ibu.
Rabu,
06/02/19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar