Rabu, 06 Februari 2019

Hati-hati



“Hati-hatilah dengan Filsafat Yang Kosong”
Tulisan sederhana untuk seorang sahabat

          Perdebatan sengit dimulai dari kalimat di atas. Santiago malu tersipu diserang lawan debatnya. Pablo dan Santiago adalah kawan baik, walau Santiago satu tahun lebih tua dari Pablo. Sebagai kawan mereka sering meghabiskan banyak waktu bersama, apalagi keduanya sama-sama tertarik pada Politik. Setiap hari berebutan majalah Kompas hanya untuk bisa membaca opini. Opini dari harian kompas menjadi bacaan favorite mereka, terkadang tidak saling mengalah dan berlomba untuk menjadi orang pertama yang mengetahui berita hari ini. Namun Santiago karena lebih dewasa sering mendahulukan Pablo membaca harian kompas. Baginya tidak ada kata terlambat untuk mengetahui, sebab setelah Pablo selesai membaca majalah tersebut pasti dia akan berikan itu kepada Santiago. Pengetahuan Politik mereka sangat luas, isu-isu sosial dan berita-berita selalu up date. Walau mereka bukan pelajar Politik secara regular (mahasiwa politik). Mereka hanyalah pencinta kebijaksannan, yaitu yang menghabiskan waktu dengan mencari kebenaran, keindahan dan kebaikan, lalu diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Itulah mereka.
          Debat adalah konsumsi harian, seperti segelas kopi. Santiago bahkan merumuskan satu kalimat bijak “no day without coffee”, tiada hari tanpa kopi. Tiada hari tanpa perdebatan juga. Orientasi perdebatan bukan untuk saling mengalah dan membuktikan siapa yang lebih tahu banyak hal, tetapi perdebatan lebih dimaksudkan agar apa yang mereka baca atau pelajari tidak hilang dimakan waktu. Debat itu merangsang otak untuk terus berpikir dan mencari solusi terbaik. Otak manusia bukan seperti bak yang terus ditampungi air, tetapi otak manusi itu seperti lilin yang harus dinyalakan dan bercahaya mengusir kegelapan.  Walau ada ketidakpuasan antara salah satu pihak jika ia kalah dalam perdebatan. Itu tidak berarti si kalah ini  terus down>. Justeru dengan mengetahui bahwa dia kalah dia akan mencari tahu lebih banyak lagi dan dia selalu bersyyukur bahwa orang lain bisa menemukan kekurangannku, sehingga aku harus memperbaikinya.
          Malam ini seperti biasa teman mereka yang lain membacakan satu kalimat bijak  dari Kol 2: 8, “hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus”. Kalimat inilah yang memicu perdebatan hingga berakhir dengan suatu perasaan malu. Santiago yang memulai perdebatan, dengan gaya logika berpikirnya yang unik, Ia menempatkan Pablo sebagai seorang yang anti filsafat dan mengafirmasi kata-kata Paulus, dan dirinya sendiri sebagai pencinta filsafat yang bertanggung jawab dengan serangan Paulus tersebut. Ini gaya Santiago untuk memancing perdebatan, bahkan hal biasapun ia jadikan sebagai bahan untuk perdebatan dengan menciptakan suasana agar orang lain menjadi lawan debatnya. Tidak untuk membuktikan siapa yang lebih, tetapi supaya suasana menjadi cair dan pengethuan atau otak tidak beku.
          Sebenarnya Pablo hanya mau membuktikan secara rational bahwa kata-kata Paulus tersebut tidak boleh diikuti secara lurus yang bisa membawa kita pada kebencian terhadap filsafat. Ia sudah menyiapkan argument yang tepat. “filsafat lahir dahulu sebelum Perjanjian Baru, Filsafat Yunani sudah muncul jauh sebelum Paulus menulis surat-suratnya. Jadi, dari segi kronologi waktu Filsafat lebih unggul, dan menurut Santiago, ungkapan Paulus ini adalah ekspresi ketidakpuasan dirinya saat beliau ditolak di Areopagus. Paulus datang dan mempromosikan bahwa dewa yang tidak dikenal olah orang Yunani itulah Yahwe Israel, dia lalu berkotbah sepanjang hari. Kita bisa baca di Kisah Para Rasul. Namun apa yang terjadi, orang-orang Yunani malah menertawakannya, lain kali saja kami dengar bohongan ini. Mereka mengejek Paulus yang memberitakan tentang kebangkitan Yesus. Dari sentiment inilah maka Paulus tidak puas dan mengingarkan pengikutnya yang ada di Kolose agar berhati hati terhadap ajaran filsafat”.
          Santiago lalu memulai perdebatan dengan stok argumen yang sudah ia siapkan itu. Pablo malah menanggapi secara salah. Entahlah apa yang sedang terjadi, atau mungkin ia bosan dengan teori-teori yang Santiago jelaskan setiap hari? Sebab, Santiago terkenal dengan berbagai teorinya, setiap berjumpa denga orang lain selalu saja berdebat dan ia berusaha membuktika bahwa orang lain itu salah sendangan dirinya itu benar. Bukan dengan kekerasan fisik tentunya tetapi dengan argument. Semua argument Santiago selalu rational itulah yang membuat lawan debatnya kehilangan kendali dan goyah secara argumentatif. Santiago sebenarnya tidak ingin terlihat sombong, seolah-olah lebih tahu banyak hal. Tetapi ia juga tidak yakin teman-temannya lebih mengetahui tentang segala sesuatu daripada dirinya. Yah okelah bahwa mereka lebih memilih diam dan kelihatan seolah-olah tidak tahu banyak hal dan menjadikan diri sebagai alim. Namun Santiago ragu dengan sikap seperti ini. Mereka menyembunyikan kelemahan. Dia berusaha sedemikian rupa agar teman-temannya berhentilah menjadikan diri sebagai orang yang lebih tahu padahal jarang membaca buku, padahal susunan kalimat tidak rational, argument tidak tuntas. Itulah keprihatinan Santiago terhadap teman-temannya, mereka adalah masa depan bangsa dan Gereja jadi persiapan harus matang teristimewa dalam hal pengethuan.
          Tujuan mulia Santiago tidak selalu dihargai, itulah hidup. Selalu ada saja yang iri terhadap kelebihan orang lain, ada saja yang cemburu dan ada saja yang tidak suka dengan orang yang berbeda atau orang yang lebih. Lihat saja dalam sejarah, orang-orang pintar biasanya memiliki sahabat sedikit, sebab orang-orang pintar dibenci oleh banyak orang lainya. Santiaogo mendapat serangan dari Pablo. Ia katakan bahwa janganlah bangga atau menjadikan diri sebagai satu-satunya pelajar filsafat yang lebih baik di tempat ini, jangan menjadikan dirimu seolah-olah hebat dalam filsafat. Jangan bicara banyak hal dan jangan terlalu mempromosikan dirimu ssebagai orang yang lebih tahu. Kira-kira seperti itulah bunyi kalimat dari mulut Pablo. Kalimat yang tidak pernah disangkakan oleh Santiago sebelumnya. ,mengapa Pablo bisa berbicara seperti ini? Padahal apa yang dia lakukan demi tujuan yang mulia?
          Tetapi, serangan terhadap pribadi Santiago membuat dirinya sadar. Secara prinsipil dalam berdebat satu hal yang harus dihindari ialah jangan menyerang kepribadian seseorang, pasti perdebatan akan terbengkelai dan anda membunuh karakter orang tersebut. Berdebat tetaplah fokus pada materi perdebatan. Ini yang tidak dipahami oleh Pablo. Ia terus menyerang keoribadian Santiago sehabis-habisnya, hingga Santiago malu, apalagi di depan banyak orang. Santiagi tidak dapat melanjutkan debat mereka.
          Usaia makan Santiago masuk ke kamarnya dan menulis pengalaman baru tersebut. Ia merefleksikan bahwa memang tugas filsafat bukan untuk membenarnkan diri, filsafat bukan sebagai harga diri atau kebanggaan, filsafat bukan sebagai ilmu retorika dengan argument-argumen yang rational, bukan unutk diperdagangkan seperti para sofisme, atau seperti Rocky Gerung menurut Boni Hargens. Santiago manjatuhkan air matanya lalu duduk merenung, ia mengingat kembali berbagai perbuatannya selam ini, berbicara bertele-tele, beradebat dengan siapa saja dan selalu menampilkan diri seolah-olah orang lain bukan pelajar filsafat seperti dirinya. Walau tujuannya mulia denga diskusi perdebatan setiap hari supaya teman-temannya membuka mata dan pengethuan bahwa mereka belum mengetahui banyak hal. Guru selalu meminta Santiago untuk berbuat demikian. Dengan landasan pada alegori gua Platonis. Ketika seorang tawannan tersebut dibebaskan dan dia melihat cahaya sesungguhnya, ia bertanggung jawab terhadap teman-temannya yang masih dalam kegelapan agar mereka berpaling dan melihata apa yang sesungguhnya. Memang dari respons teman-teman tawannaannya ada yang menolak ada yang menerima. Itu saja tujuan Santiago. Berfilsafat baginya sangat berguna ketika itu bisa membantu orang lain keluar dari ketidak tahuannya dan menemukan pengetahuan sendiri, Sokrates sudah melakuakn jauh sebelum Santiago praktekan saat ini. Metode kebidannan.
          Serangan dari Pablo adalah suatu kritikan tajam bagi Santiago, dia lalu meutuskan untuk mengganti metode, dia tidak akan terlihat hiper aktif namun tetap calm, dia akan berbicara hanya jika diperlukan dan Santiago akan menghabiskan banyak waktu dengan membaca-membaca lebih banyak lagi buku. Seorang filsuf sejati itu tidak kelihatan secara terang-terangan tetapi dia ada. Filsuf tidak berbicara banyak namun mengetahui berbagai disiplin ilmu secara spektakuler. Sebab action speaks louder than words. Filsuf itu banyak merenung bukan banyak berbicara, sebab kata membatasi pengetahuan, ketiak kita berbicara kita membatasi apa yang ada dalam pikiran kita. Santiago berniat teguh untuk mengganti metode, dia hanya akan membantu sahabat yang benar-benar membutuhkan dirinya unutk berdiskusi berdebat dll. Dia akan semakin pasif dengan terus mengembagnkan diri secara otodidak dan dalam diam.
          Usai Santiago menulis pengalaman dan niatnya hari ini, ia terkenang pesan ibunya agar “belajrlah dari ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk”.
************
Terima kasih Ibu.

Rabu, 06/02/19
Sintus Bezy

         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Perihal Hidup: Sejak awal 2023, saya sudah disibukkan dengan satu pekerjaan baru yakni penyelenggara Pemilu persisnya panwaslu desa (PKD...