BTN
BTN adalah singkatan
dari kata back to nature yang dalam bahasa Indonesia berarti kembali ke asli. Di
manakah letak keaslian itu dan apa yang akan dikembalikan? Asli adalah kata sifat
menunjukan bahwa sesuatu itu memang betul apa adanya. Ketika banyak orang sudah
melewati berbagai proses kehidupan ini, menikmati tawaran-tawaran dunia, materialis-hedonis dan segalanya serba surface ternyata mereka tidak sampai pada hal yang
substansial, yang inti dan menjadikan jiwa nyaman. Kegagalan untuk sampai pada yang substanisal inilah akan menimbulkan kebosanan dalam hidup. Untuk memurnikan pencarian kita, perlulah yang namanya back to nature atau kembali ke natura, hal yang alamiah.
Kembali
ke asli atau BTN itu terkadang menyakitkan, karena butuh keberanian untuk
melepas disposisi batin saat ini, melepas status sosial, dan meninggalkan
gambaran orang tentang diri kita, siapa kita seperti yang orang katakan.
Kembali ke asli berarti suatu pemurnian dimana yang paling alamiah dari diri
seseorang ditonjolkan. Tentu rasa sakit itu ada karena orang akan melihat
kebenaran diri kita. Saya yakin tidak semua orang berani untuk mengambil langkah kembali ke asli, menunjukan siapa dirinya tanpa status sosial, jabatan, gelar-gelar pendidikan dan prestasi.
BTN sangat berarti bagiku. Yah, aku alami sendiri, hari ini tertanggal
30-November-2018 aku menghadiri perayaan ekaristi pemberkatan nikah dari salah
satu teman sekolahku, berinisial EN. Pemberkatan dilaksanakan di sebuah Gereja Katolik bernama BTN di kota Kupang. Aku
terlambat datang ke Gereja tersebut, sehingga aku tidak mengenakan jubah kebiaraanku seperti biasanya
para biarawan kenakan saat mengikuti perayaan ekaristi. Aku putuskan untuk tetap tidak mengenakan jubah dan membiarkan diriku melebur di tengah umat. Aku merasakan
apa yang orang awam rasakan. Inilah moment di mana aku menerapkan BTN (back to nature). Ternyata pengalaman kembali ke asli sangat menyakitkan. Oleh karena aku tidak mengenakan jubah maka perlakuan terhadapku berbeda, tidak seperti ketika aku mengenakan
jubah. Perlakuan terhadapku sama seperti orang memperlakukan pemuda awam biasa, bukan hanya itu tetapi perlakuan terhadap orang yang tidak berarti sedikitpun. Tidak ada yang special, aku tidak dianggap sedikitpun sungguh. Aku sadar ternyata kehormatan yang
orang berikan kepadaku selama ini hanya karena aku adalah seorang frater.
Penghormatan diarahkan kepada status sosialku. Penghormatan semu. Manusia terbuai dengan apa yang tampak. I see human, not
humanity. Hanya melihat siapa aku berdasarkan strata sosial bukan melihat
kemanusiaan diriku.
Ketika di rumah pengantin aku justeru didorang dengan tidak hormat oleh seorang ibu hanya karena aku menempati kursi yang seolah-oleh menghalanginya untuk jalan. Dia tidak mengenal aku hanya karena aku tidak memakai jubah. Aku hanya membayangkan andaikata aku memakai jubah pasti diberi tepat terdepan dan dilayani dengan hormat seperti para frater lainya yang sempat hadir saat itu. Tapi aku hanya menggunakan momen ini untuk menunjukan keaslian
diriku, melihat bagaiman cara pandang orang terhadapku ketika aku bukan seorang frater. "I see human, not humanity". Ternyata orang memang hanya melihat manusia berdasarkan apa yang dikenakannya, apa yang dimilikinya dan apa yang membuat dia dihormati. Jika beberapa kriteria ini tidak terdapat pada seseorang tersebut, maka janganlah berharap anda akan dihargai. Memang hidup jujur sangat sakit diman orang tidak mengahrgai
kita. Penghargaan yang diberikan murni karen status sosial semata.
Aku tidak butuh penghargaan siapapun, jika aku memang melakukan perbuatan yang salah. Seperti semua orang, akupun hanya ingin dihargai karena kemanusiaan, bukan karena aku memiliki status sosial. Dari pengalaman ini aku putuskan untuk merubah cara berpikirku, pandanglah orang lain sebagai dia dalam dirinya, bukan karena Ia memiliki jabatan tertentu. hargai orang lain karena dia adalah manusia seperti diriku sendiri. Bukankah orang lain adalah alter ego, aku yang lain.
Penfui, 01-12-2018
Oleh Sintuz Besy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar