Senin, 09 November 2020

Budaya dan Pemikiran Indonesia Kontemporer

 

BUDAYA DAN PEMIKIRAN INDONESIA KONTEMPORER

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Pengatar

Budaya dan pemikiran Indonesia kontemporer adalah salah satu mata kuliah yang diajarkan pada Fakultas Teologi Wediabhakti, Universitas Sanata Darma. Dalam perkuliah ini dipresentasekan dinamika kebudayaan Indonesia kontemporer diawali sejak zaman penjajahan hingga era revormasi. Penekanannya pada hibriditas yakni perjumpaan budaya berbeda dalam hal ini kebudayaan non Indonesia dan kebudayaan Indonesia itu sendiri lalu melebur dan terciptalah suatau kebudayaan baru. Budaya-budaya non Indonesia yang paling berpengaruh untuk Indonesia khusus yang diapaparkan dalam perkuliahan ini adalah kebudayaan India yang hadir melalui agama Hindu dan Budha, kebudayaan China, Kebudayaan Islam yakni ajaran-ajaran agamanya, kebudayan Barat yang hadir melalui para penjajah dari bangsa Belanda, lebih pada gaya hidup tetapi juga budaya Kristen yang hadir melalui agama Kristen. Setelah terjadi perjumpaan maka hal tersebut membawa banyak perubahan bagi kebudayaan Indonesia itu sendiri.

            Selain belajar tentang hibriditas kebudayaan tapi juga kami diperkenalkan kepada tokoh-tokoh pemikir Indonesia kontemporer, sebut saja Sutan Syahriri, Mohhamad Hatta, Tan Malaka, Ki Hajar Dewantara, Sutan Takdir Alisyahbana, Pramoedya Ananta Toer, Mangunwijaya, Sindhunata serta Ayu Utami. Secara sederhana saya boleh mengatakan bahwa tokoh-tokoh ini adalah orang-orang Indonsia asli yang belajar di Barat maupun belajar mengenai konsep-konsep barat lalu menerapkannya di Indonesia tentu kita menemukan begitu banyak pertentangan tetapi para tokoh ini mampu mengintegrasikannya. Inilah suatu bentuk perjumpaan yang membawa banyak perubahan.

            Konsep perjumpaan selalu menghasilkan suatu konsensus kea rah yang lebih baik. Dari konsep perjumpaan atau hibriditas kebudayaan dan pemikiran Indonesia kontemporer inilah para mahasiswa di fakultas Teologi akan mampu menemukan inspirasi atau kekuatan dalam mengembangkan teologi kontekstual sebagai roh Teologi di fakultas Wedyabhakti ini. Maka  melalui tulisan ini saya akan mempresentasikan kembali hasil revew saya selama mengikuti perkuliahan dalam semester ini. Memang tulisan ini sebenarnya sebagai jawaban saya atas pertanyaan dosen pengampuh, pengganti UTS tapi saya menarasikan jawaban saya ini dalam bentuk makalah. Narasi makalah ini dituntun oleh beberapa pertanyaan dasar berikut.

1.2  Pertanyaan Dasar

1.2.1        Dengan menggunakan argumen dan ilustrai dari bacaan-bacaan kuliah sampai saat ini,  bagaimana perjalanan budaya dan pemikiran Indonesia ditandai oleh “hibriditas”, perjumpaan antar pelbagai arus budaya dan pemikiran? Terangkan!

1.2.2        Bagaiman bunyi penjelasan anda tentang 2 contoh hasil “sintesis”  pemikiran dari beberapa pemikir yang sudah kita bahas dalam matakuliah ini. Satu sintesis pemikiran dalam bidang budaya, ekonomi, atau politik, dan satu sintesis pemikiran dalam bidang agama? Terangkan!

1.2.3        Apa perbedaan atau perdebatan gagasan  yang ada di dalam tokoh-tokoh pemikir yang sudah kita bahas? Kalian bisa pilih misalkan perbedaan pemikiran Hatta, Syahrir dan Tan Malaka tentang sosialisme dan komunisme sebagai sistem ekonomi politik Indonesia, atau pemikiran tentang peran budaya tradisional dan modernitas dan budaya barat dalam pemikiran Ki Hajar Dewantara, Tan Malaka,  dan Sutan Takdir Alisyahbana. Jelaskan pula pendapat pribadimu tentang perdebatan ini. Jelaskan!

1.3  Tujan Penulisan

1.3.1        Agar bisa memahami perjalanan budaya dan pemikiran Indonesia yang ditandai oleh hibriditas.

1.3.2        Agar bisa memahami sintesis pemikiran dalam bidang budaya, ekonomi ataupun politik dan agama sebagai hasil dari perjumpaan pemikiran.

1.3.3        Agar bisa memahami inti pemikiran dari beberapa tokoh pemikir Indonesia kontemporer yang ditandai oleh hibriditas dan menemukan perdebatan antara keyakinan-keyakinan mereka satu sam lain dalam hal menata Indonesia ini secara baik.

1.3.4        Agar bisa mendapatkan nilai Mid Semester dari dosen pengampuh  mata kuliah ini.


BAB II

BUDAYA DAN PEMIKIRAN INDONESIA KONTEMPORER

2.1 Dinamika Perjalanan Budaya Dan Pemikiran Indonesia Ditandai Oleh “Hibriditas”, Perjumpaan Antar Pelbagai Arus Budaya Dan Pemikiran

Hibriditas adalah suatu istilah untuk mengatakan tentang situasi atau kegiatan perjumpaan. Perjumpaan yang terjadi bisa antara budaya, perjumpaan antara agama ataupun perjumpaan antara pemikiran dan lain lain. Sepanjang semester ini justeru hibriditas itu dibahas tuntas dengan rujukan adalah hibriditas antara budaya atau agama berhadapan dengan budaya dan agama di Indonesia. Saya bisa meminjam teori dialektika Hegel untuk memahami apa itu hibriditas. Hegel melihat suatu hal sebagai tesis, lalu akan diperhadapkan dengan antithesis dan pada akhirnya akan mendapatkan sintesis. Sebagai contoh budaya Indonesia adalah tesisnya diperhadapkan dengan budaya Barat sebagai antithesis lalu akan muncul suatu budaya baru sebagai penggabungan dan pengingkaran dari budaya Barat dan budaya Indonesia ini. Budaya baru itulah yang menjadi sintesis.

Dari perkuliahan selama ini dan bahan bacaan yang saya baca pertama-tama merujuk pada tulisan Denis Lombard diterangkan tentang adanya hibriditas antara India, China, Islam, Eropa dan Indonesia teisitimewa pada zaman penjajahan oleh Belanda. Banyak budaya Belanda dibawa ke Indonesia dan para pegawai Belanda atau setiap orang Belanda yang ada di Indonesia hidup dengan gayanya sehingga banyak orang Indonsia yang mengikuti gaya hidup seperti itu. Perjumpaan antara budaya Jawa dan India teristimewa dengan agama Hindu Budha, perjumpaan dengan budaya Cina. Perjumpaan dengan agama Islam. Dalam bidang pemikiran, banyak pelajar Indonesia yang menerima pengajaran dan budaya Belanda sebab mereka pergi bersekolah di Belanda. Setelah usai pendidikannya mereka kembali ke Indonesia dan menerapkan ilmu mereka sesuai konteks Indonesia. Terjadilah hibriditas pada saat ini bagaimana unsur rational Barat disesuaikan dengan keadaan Indonesia yang masih diliputi gaya berpikir mistis. Berikut saya akan mempresntasikan dinamika perjalanan hibriditas kebudayaan dan pemikiran Indonesia kontemporer.

2.1.1        Realitas Hibriditas

 Hibriditas Kebudayaan Jawa dalam perjumpaan dengan Barat. Denis Lombard memaparkan bagaimana situasi orang Jawa awal yang dipengaruh oleh kebudayaan Barat. Terjadi banyak perubahan dalam kebudayaan Jawa. Perjumpaan ini bisa terjadi disebabkan oleh banyaknya orang Barat saat itu yang datang ke Indonesia untuk mencari berbagai kepentingan seperti berdagan, bahkan menyebarkan agama dan akhirnya menjajah Indonesia. Tanpa disadari justeru kedatangan mereka ini juga lama kelamaan memberi pengaruh bagi orang Jawa. Ada di sana terjadi pengaruh-pengaruh Kristern baik itu Katolik dan Protestan. Kehadiran mereka telah membangun berbagai komunitas Kristen juga membangu gereja-gereja. Ada juga para Priayari yang terpengaruh oleh Barat. (Lombard, 1996: 94-215).

Hibriditas antara budaya Jawa dan agama Islam. Pada periode ini Lombard menggambarkan bagaiaman terjadi penyatuan antara kebudayaan asli orang Jawa dengan Islam. Setelah Islam masuk ke Indonesia khususnya Jawa banyak bentuk kebudaaan yang akan disatukan dan diberi warna Islam. Lombard menggunakan kata stimulus Islam artinya dalam hampir segala segi kehidupan orang Jawa diberi warna Islam. Orang saat itu akan mengenal  konsep-konsep Islam seperti sedekah, menyadari diri sebagai seorang pribadi atau individu otonom setelah mengetahui konsep nafas. Mengenal lima rukun Islam dan lain-lain. Tetapi juga dalam bidang asrsitektur banyak banguan yang becorak Islam seperti masjid. (Lombard, 1996: 149-242).

Pada bagian berikut ini kita mengenal tokoh bernama Syahrir, dikenal sebagai salah satu bapak pendiri bangsa. Ia adalah orang yang telah belajar banyak pendidikan Barat sebab Ia bersekolah di Belanda. Ia kemudian datang ke Indonesia dan mentrasnferkan ilmunya dalam konteks orang Indonesia. Memang akan ada pertentangan tetapi Syahriri yang paham budaya Indonesia sebab Ia adalah orang Indonesia maka Ia bisa dengan mudah mentransferkan pemikiran barat dalam konteks Indonesia. Hasilnya kita tidak bisa katakan itu sebagai budaya barat asli atau budaya Indonesia asli namun sudah diintegrasikan. Dua sumber yang dipakai adalah pertama tulisan Syahrir senditi berjudul Perjuangan Kita dan juga artikel Y.B Mangunwijaya berjudul Dilema Sutan Syahrir.

Adapun tokoh lain yang patut dikenang dan dipelajari pemikiran-pemikiran mereka adalah Mohhamad Hatta sebagai seroang pejuang nasionl juga pemikirannya telah tertampak bukti hibriditas. Ia beajar ilmu ekonomi di Belanda dan datang ke Indonesia untuk menerapkan teorinya di Indonesia. Ajaran-ajarannya mengenai Teori Ekonomi dan Politik Ekonomi Di Indonesia sangat memberikan sumbangsih untuk bangsa. Juga kita mengenal tokoh revolusi yang kontroverisal bernama Tan Malaka. Beliau juga seorang founding father bangsa Indonesia yang kurang diingat oleh bangsa. Namun sebenarnya jika kita menelusuri riwayat hidup dan pemikirannya sangat menarik dan inspiratif.  Bukunya yang sangat popular berjudul Madilog. Kata madilog ini adalah singkatan dari tiga kata yakni Materialisme, Dialektika, dan Logika. Tentu ini adalah konsep-konsep Barat. Seperti yang diulas oleh Alfian dalam kata pengantarnya untuk terjemahan buku Harry A. Poze.

Akan ada tokoh lain seperti Sutan Takdir Alihsyahbana melalui pemikirannya tentang kebangsawanan filsafat yang mana beliau mengagungkan filsafat sebagai suatu gaya berpikir yang mendalam dan harus menjadi tempat pertama, tentu yang beliau maksudkan adalah filsafat Barat. Ada lagi tokoh lain yang tidak sempat saya sebut pada bagian ini dengan alasan pertama saya belum terlalu memahami inti pemikiran mereka, sebut saja Pramoedya Ananta Toer, Ayu Utami, Y.B Mangunwijaya, Sidhunata. Terlepas dari itu semua saya yakin bahwa tokoh-tokoh yang telah disebutkan di atas sebagi bukti bagaimana perjupaan itu terjadi dan menghasilkan suatu keudayan baru.

2.1.2        Refleksi Tentang Hibriditas

Saya menemukan dinamika pemikiran para tokoh pemikir Indonesia kontemporer. Saya mengatakan itu sebagai sejarah kebudayaan yang dinamis progresif, berkembang semakin kaya dan komples khasanah pemikirannya. Ini semua hasil dari integrasi antara budaya atau seorang pemikir Indonesia dengan budaya serta ilmu pengerahuan Barat.

Dinamis progresif maksud saya adalah bagaimana kebudayaan Indonesia atau juga para pemikir Indonesia yang awalnya sangat sederhana tetapi setelah mengalami perjumpaan dengan kebudayaan dan pemikiran non Indonesia justeru mengalami perubahan tentu kea rah yang lebih baik. Dinamis, dinamis berarti tidak tetap atau berubah-ubah. Bayangkan orang Indoesia pada umumnya atau orang Jawa pada khususnya sebelum kedatangan bangsa-bangsa lain, mereka masih hidup dalam kebudayaan setempat dengan system kerajaan yang mana hanya untuk lingkup mereka setempat. Mereka mengembangkan kebudayaanya dan tentu hal itu sangat statis tidak ada perubahan. Namun setelah masuknya bangsa lain katakana agama Islam dengan ajaran-ajarannya mengubah kebudayaan setempat. Mereka diperkenalkan kepada Allah monoteistik. Inilah bentuk kedimikaan tersebut, perjumpaan degan budaya lain merubah budaya setempat dan menemukan budaya baru.

Progresif. Kata progresif bisa dartikan sebagai suatu gerak maju ke arah yang lebih baik. Progresif dilawankan dengan regresif yakni beregerak mundur. Saya katakana bahwa hibriditas antara kebudayaan dan pemikiran Indonesia telah mentrasnformasi kebudayaan tersebut ke sesuatu yang lebih baik. Saya ambil contoh dalam bidang pengetahuan. Para tokoh yang disebut di atas telah belajar banyak pengetahuan dari Barat tentu itu adalah pengeahuan baru yang tidak mereka dapatkan di Indonesia, dan saya yakin mereka tidak akan mendapatkan pengetahuan baru itu jika tidak membuka diri dengan mempelajarinya. Sebut saja Tan Malaka yang terpengaruh oleh filsafat Marxs dan realitas orang Indonesia yang sagat ditindas oleh penjajah kemudian mendorongnya  mendirikan partai juga mendorongnya untuk menulis buku yang berjudul Madilog itu.

Saya menilai bahwa dinamika perjumpaan antara kebudayaan dan pemikiran non Indonesia dengan kebudayaan dan pemikiran Indonesia telah menghasilakan suatu kebudayaan yang dinamis dan progresif.

2.2 Sintesis Pemikiran Dalam Bidang Politik Dan Dalam Bidang Kebudayaan

2.2.1 Dalam Bidang Politik

Tokoh-tokoh yang kita pelajari selama satu semeseter ini adalah mereka yang hidup pada era perjuangang Indonesia yakni perjuangan untuk memerdekakan diri dari penjajahan. Situasi politik saat itu memang sangat jelas bagi kita bahwa Indonesia berada di posisi kaum terjajah sedangkan kaum penjajah adalah negara Belanda, Jepang. Dua negara ini paling membekas dalam sejarah perjuangan Indonesia. Dari fakta sejarah ini saya dapat memetakan suatu situasi politik yang disbeut poitik perjuangan. Tokoh-tokoh bangsa tersebut adalah para pelopor perjuangan yang bergerak melalui gagasan-gagasan mereka dalam bentuk tulisan ataupun melalui kehadiran langsung di arena politik praktis. Sebut saja Hatta, Syahrir, Tan Malaka.

Para tokoh pejuang ini hampir semua adalah didikan Belanda. Mereka pergi bersekolah di negeri Belanda, menimba ilmu pengetahuan di sana, ada beberepa yang terlibat dalam kegiatan diskusi-diskusi bersama sahabat-sahabat mereka di Belanda. Isi diskusi mereka tentu menyangkut perpolitikan dunia dan imbasnya sampai pada perpolitikan Indonesia. Mereka adalah anak bangsa yang tentu setelah mengenyam pendidikan di Belanda pasti akan kembali ke Indonesia dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan meereka. Sebagai contoh sintesis dalam bidang politik saya mengangkat tokoh Tan Malaka. Beliau mempelajari pemikiran Marx dan Lenin dan Ia temukan berbagai konsep tentang revolusi proletariat dan penghapusan hak milik pribadi. Konsep ini sangat cocok dengan realitas bangsa Indonesia yang memang terjajah dan tertidas oleh kaum kapitalis, imperialis. Orang Indonesia hanya sebagai pekerja  bagi pabrik asing yang ada di tanah Indonesia, lalu mereka tidak dihargai. Ajaran Marx dan Lenin serta kenyataan Inodesia mendorong Tan Malaka untuk mendirkan partai baru dengan tujuan pembebesan. (Harry A. Poze, 1999: 271-297).

2.2.2 Dalam Bidang Agama

Sintesis dalam bidang agama dapat kita lihat paling cocok untuk dibahas adalah antara agama Islam dan kebudayaan Indonesia. Lombard memberi judul stimulus Islam untuk salah satu artikelnya. Pada tulisan tersebut Denis Lombard menggambarkan bagaimana situasi kebudayaan orang-orang Indonesia itu dipengaruhi oleh ajaran-ajarann Islam. Orang diperkenalkan dengan konsep sedekah atau zakat yang adalah salah satu dari lima rukun Islam. Dengan ajaran sedekah ini orang digerkan untuk saling memberi dan menolong teristimewa sesama yang berkekurangan, sebab pada dasarnya manusia itu sama. (Lombard, 1996 :174-175).

Munculnya pengertian pribadi. Orang  diajarkan untuk mengenal dirinya sebaga identitas yang otonom, individualitas melalui konsep nafs yang artinya roh orang perorangan. Kata ini lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata nafas tetapi juga nafsu, yang tentu adalah bahasa Arab dan pasti ajaran agama Islam.  (Lombard, 1996 :180-182). Dari ajaran-ajaran agama Islam tersebut lantas di Indonesia berkembanglah semangat memberi dan juga penyadaran siapa aku.

2.3 Perbedaan Pendapat Tentang Kebudayaan Antara Ki Hajar Dewantara dan Tan Malaka, Sutan Takdir Alisyahbana

2.3.1 Pemikiran Ki Hajar Dewantara Tentang Kebudayaan

a.       Kebudayaan Indonesia tidak boleh digantikan oleh kebudayaan Eropa yang materialistis (Dewantara, 2013: 3-5).

b.      Terus memelihara rasa kebangsaan yakni tradisi kita Orang Indonesia yang lebih menekankan pada kehidupan sosial melalui budaya dan lain-lain. (Dewantara, 2013:6-9). 

2.3.2        Tan Malaka Mengkritisi Budaya Lokal.

a.       Budaya Indonesia masih diliputi hal-hal mistis dan tidak kritis serta nyaman dengan budaya yang ada. Terjadinya penjajahan yang begitu lama itu juga disebabkan oleh feodalisme yang sudah mengakar dalam kebudayaan Indonesia. (Poeze, 1999: XXII-XXVI).

b.      Madilog adalah salah satu cara berpikir untuk membongkar budaya bangsa yang menghasilkan cara berpikir sirkular tidak progresif.

 

2.3.2      Alih Sabana yang sangat cocok  sebagai pengkritis tentang budaya dan menawarkan filsafat.

a.       Kebangsawanan filsafat. Filsafat rational tentu lahir dari Barat, bermula di Yunani dan hingga ke Eropa. Dengan filsafat orang bisa menemukan identitas dirinya yang sesungguhna dan berani berpikir sendiri. Hal ini saya bisa menafsirkan bahwa memang orang Indonesia pada zaman Alhi sabana tidak banyak yang mau belajar filsafat, sehingga kehidupan mereka seperti biasa saja, tidak dikritisi dan dipertanyakan. Budi adalah pusat filsafat, dasar segala kebudayaan manusia. Penekannannya jelas pada akal budi. (Frans M. Suseno dalam Abu Hasan Asy’ari, ed., 2008: 113-114).

b.      Filsafat Nilai. Ada enam nilai yang membentuk kekuatan integrative masyarakat manusia dalam berbudaya membentuk kepribadianya, kehidupan sosial, dan kebudayaan. Jadi penekananan pada kepribadian. (Ibid., 115-117).

2.3.3        Refleksi Pribadi

Setelah saya mencermati teks-teks yang mengulas tentang isi pemikiran para tokoh di atas tentang kebudayaan, lebih tepat kebudayaan mana yang paling baik jika diperbandingkan. Ki Hajar Dewantara tentu berpendirian teguh bahwa budaya Indonesia adalah identitas bangsa. Kita boleh merdeka tapi jika kita kehilangan budaya maka kita kehilangan diri kita. Tawaran Ki Hajar Dewantara agar pendidikan di mantapkan agar orang bisa mempertahankan budaya kebanggannya.

Tan Malaka dan Sutan Tahdir Alihsabana mengagungkan budaya Barat. Teristimewa dalam berpikir kritis dan rational yakni mengedepankan hal-hal yang masuk akal dan bukan sebaliknya. Orang Indoesia cendrung tidak kritis dalam berpikir sebab budaya telah membentuk gaya berpikir seperti itu. Budaya kita yang dibangun atas feodalisme, dimana orang-orang bawahan tanpa banyak bertanya mengapa, mengikuti saja perintah atasan para raja atau  para tokoh terkemuka pada zaman itu. Para bawahan merasa lebih baik ikuti saja tradisi yang ada daripada harus berpikir melawan. Padahal mereka tidak menyadari diri mereka sedang tertindas oleh system feodalisme itu sendiri. Ini berimplikasi pada zaman penjajajhan, orang Indonesia yang sudah biasa dengan feodalisme terjajah lagi oleh kaum kapitalis. Alih Sabana menerangkan bahwa gaya berpikir pertama itulah yang otonom, sedangkan gaya berpikir kedua heteronom.

Hal serupa persisi untuk memahami pemikiran Tan Malaka. Konsep Madilog menurut saya adalah salah satu ajaran yang sangat tinggi, ini bisa dikatakan sebagai filsafat. Materialisme yakni gaya berpikir yang menekankan pada materi atau realitas dan fakta manusia yang ada, sehingga Tan berusaha melawan gaya berpikir orang Indonesia pada umumya yang selalu tahayul, percaya pada mahluk-mahluk halus, pada sesuatu yang tidak bisa diindrai. Dialektika, Tan Malaka menawarkan suatu pemikiran yang dialektis dimana terjadi tesis, antithesis dan sintesis. Bahwa perjalanan hidup manusia atau juga pemikiran manusia terdiri dari tiga komponen dasar ini. Tesis adanya suatu kayakinan dasar lalu dilawan dengan antithesis suatu pemikiran yang bertolak belakang lalu lahirlah sintesis, dua pemikiran ini disatukan. Logika. Tan Malakan mengatakan bahwa hampir sebagian dari persoalan manusia ini dapat dipecahkan atau diselesaikan dengan logika. Tan tentu mengkritisi Logika orang Indonesia saat itu yang beliu sebut logika mistik. Dalam logika mistik Tan menemukan bahwa orang Indonesia selalu mengaitkan fenomena dunia ini dengan sesuatu yang mistis, misalnya seseorang mengalami sakit kepala katakana begitu. Orang tersebut akan berpiki penyebab kesakitannya pasti mahluk-mahluk halus, setan atau santet. Padahal secara logika formal sakit kepalanya mungkin saja disebabkan oleh kurang istirahat atau flu dan lain-lain.

Semua pemikiran ini tentu benar, tugas kita saat ini adalah menyaringnya dan mengambil yang cocok untuk kehidupan kita. Fakta bahwa kebudayaan kita tidak boleh dihilangkan itu saya setuju tetapi juga tentang gaya berpikir yang rational itu juga saya setuju. Hibriditas mesti terjadi pada momen ini, kita semakin kritis setelah belajar banyak pengetahuan Barat tetapi daam pengungkapannya harus tetep mengedepankan budaya Indonesia tercinta.

 

BAB III

PENUTUP

            Tulisan sederhana di atas telah mempresentasikan isi pengetahuan saya atas perkuliahan tentang Kebudayaan dan pemikiran Indonesia Kontemporer. Sumber tulisan ini pertama-tama dari perkuliahan langsung denga dosen pengampuh mata kuliah dan kedua melalui sumber-sumber bacaan yang diberikan oleh dosen pengmpuj via LMS. Saya bersyukur bisa masuk ke dalam kekayaan khasanah pemikiran Indonesia, teristimewa tokoh-tokoh nasional yang selama ini sangat saya agung-agungkan tetapi tanpa mengetahui mengapa. Melalui tulisan ini kiranya saya memaparkan jawaban atas pertanyaan mengapa orang-orang tersebut layak saya agungkan.

            Tentu jawaban untuk ujian UTS yang saya narasikan dalam bentuk makalah ini tidak luput dari kekeliruan dan kegagalan memahami inti pemikiran para tokoh tersebut, maka hal itu akan menjadi catatan bagi saya untuk terus mencari dan mendalami pemikiran-pemikiran mereka serta temukan relevansi untuk kehidupan saat ini. Memang ditemukan banyak perdebatan antara tokoh-tokoh tersebut, masing-masing saling mempertahankan gagasannya, namun yang menarik adalah mereka mempertahankan gagasan dengan alasan yang rational. Ratioanalitas inilah yang semetinya menjadi sumbangsih untuk khasanah pemikiran kita sebagai bangsa.

            Jauh dari itu semua bagi saya pembelajaran tentang hibriditas kebudayaan dan pemikiran Indonesia kontemporer ini sebagai salah satu bentuk untuk mendalami teologi kontekstual. Saya menemukan bahwa dalam berteologi kontekstual nanti, gaya hibriditas inilah yang digunakan. Perjumpaan antara teologi Khatolik dengan budaya lokal. Teologi Katolik mesti mampu masuk ke dalam kebudayaan lokal dengan tidak merubah isi. Akhirnya saya mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pengampuh mata kuliah ini untuk stimulusnya.


DAFTAR PUSTAKA

Denis Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, (Jakarta: Gramedia, 1996).

Franz Magnis-Suseno, “Sutan Takdir Alisjahbana dan Kebangsawanan Filsafat,” dlm. Abu Hasan Asyari (ed.), Manusia Renaissance: Relevansi Pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana., (Dian Rakyat, 2008).

Harry A. Poeze, Tan Malaka Perjuangan Menuju Republik, 1925-1945, (Jakarta: Pustaka Utama, Grafiti, 1999).

Ki Hajar Dewantara: Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka., Jakarta Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, “Jilid II (cetakan V, 2013).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Perihal Hidup: Sejak awal 2023, saya sudah disibukkan dengan satu pekerjaan baru yakni penyelenggara Pemilu persisnya panwaslu desa (PKD...